Pop yeh yeh, rock and roll yang berkembang di Malaysia, Singapura, dan Brunei pada 1960-an. (Koleksi Adnan Othman).
Aa
Aa
Aa
Aa
ADIL Johan, musikolog kandidat doktor di King’s College London, tak heran melihat kesederhanaan pameran musik yang dihelat Singapore’s Esplanade Library pada 22 Oktober 2013. Pasalnya, pameran itu menampilkan informasi historis band-band rock n roll Melayu dari apa yang dikenal sebagai era pop yeh yeh. Genre musik ini dibenci pemerintah Singapura maupun Malaysia. Panitia tentu mesti berhati-hati.
Rock n roll masuk dan berkembang di Semenanjung Malaya pada 1960-an. Demam The Beatles melanda. Kaum muda bukan hanya gemar menyanyikan lagu tapi juga meniru musik maupun gaya mereka. Mereka menyebut genre musik tersebut sebagai pop yeh yeh, mengacu pada lirik lagu The Beatles “She Loves You”. Pada saat bersamaaan, produk budaya pop lain ikut masuk. Kacamata. Rambut gondrong. Pakaian ketat dan rok mini. Bagi generasi muda, pop yeh yeh menjadi simbol kebebasan sekaligus perlawanan terhadap tatanan kaum konservatif yang mengekang.
ADIL Johan, musikolog kandidat doktor di King’s College London, tak heran melihat kesederhanaan pameran musik yang dihelat Singapore’s Esplanade Library pada 22 Oktober 2013. Pasalnya, pameran itu menampilkan informasi historis band-band rock n roll Melayu dari apa yang dikenal sebagai era pop yeh yeh. Genre musik ini dibenci pemerintah Singapura maupun Malaysia. Panitia tentu mesti berhati-hati.
Rock n roll masuk dan berkembang di Semenanjung Malaya pada 1960-an. Demam The Beatles melanda. Kaum muda bukan hanya gemar menyanyikan lagu tapi juga meniru musik maupun gaya mereka. Mereka menyebut genre musik tersebut sebagai pop yeh yeh, mengacu pada lirik lagu The Beatles “She Loves You”. Pada saat bersamaaan, produk budaya pop lain ikut masuk. Kacamata. Rambut gondrong. Pakaian ketat dan rok mini. Bagi generasi muda, pop yeh yeh menjadi simbol kebebasan sekaligus perlawanan terhadap tatanan kaum konservatif yang mengekang.
Pemerintah dan kaum tua di Singapura dan Malaysia menganggap fenomena itu sebagai kemunduran moral. Ia bukan hanya ancaman bagi generasi muda tapi juga bagi budaya nasional yang Melayu-sentris dan Islam-sentris –digagas artis senior macam P. Ramlee, Zubir Said, dan Omar Rojik.
“Negara-bangsa Singapura dan Malaysia belum lama merdeka dan seakan putus asa mencari penegasan identitas budaya nasional khas yang ditumbuhkembangkan dalam modernitas halus namun berakar pada tradisi asli,” tulis Adil Johan dalam artikelnya yang termuat di buku ini.
Tak pelak pemerintah kedua negara tersebut berupaya menghambat pertumbuhan rock n roll dan budaya pop. Melalui Malaysian Culture Policy (NCP) pada 1971, misalnya, pertunjukan musik dilarang. Maka, label-label rekaman dan industri hiburan pun bergerak secara sembunyi-sembunyi, dengan ancaman dianggap subversif.
Kegalauan serupa juga terjadi di Indonesia. Musik “ngak-ngik-ngok” –demikian Presiden Sukarno menamakan rock n roll– dianggap tak sesuai dengan kepribadian dan budaya nasional. Orang yang mempertunjukkan atau menyebarkannya bisa berabe, mendapat stempel kontrarevolusi dan ujung-ujungnya masuk bui seperti dialami Koes Bersaudara.
Toh, arus modernitas tak bisa dibendung dan malah memperkaya perkembangan musik. Ini ditandai dengan antara lain penggunaan bass, drum, dan gitar listrik.
Album "Kembali" Koes Bersaudara, Januari 1977. (Wikimedia Commons).
Pertemuan Dua Budaya
Kendati coba mengkaji budaya populer, buku ini lebih menyoroti aspek modernitas dalam musik. Ia menganalisis hubungan antara produksi musik populer, transformasi ide-ide modern, dan proses diferensiasi sosial di Asia Tenggara pada abad ke-20.
“Tujuan kami adalah memetakan infrastruktur industri musik di kawasan itu, membantu mengidentifikasi artis dan genre populer, dan membangun kehidupan seniman-seniman dan agen kebudayaan kunci, serta mengaitkan penonton dan gaya hidup; dan ya, bahkan pergeseran kategori sosial,” tulis Bart Barendregt, associate professor di Institute of Social and Cultural Studies, Leiden University, editor buku ini dalam pengantarnya.
Modernitas tak bisa dilepaskan dari aspek politik, ekonomi, dan terutama teknologi. Kehadirannya, pada gilirannya, berbenturan dengan tatanan atau fenomena kultural yang sudah ada, sehingga hampir selalu memicu perdebatan dan pergulatan tentang apa yang dianggap otentik dan tradisional.
Di Serawak, sebagaimana diulas Tan Sooi Beng, “world music” –istilah pemasaran yang muncul pada 1980-an– mendorong musisi lokal untuk mempertahankan tradisi musik lokal. Caranya, antara lain dengan memasukkan irama Latin dan Afrika ke dalam karya musik lokal yang kental pengaruh Melayu, India, dan China.
Hal yang sama terjadi di bidang seni tari. Di Semenanjung Malaya, ronggeng dari Jawa mendapat pandangan miring karena dianggap berbahaya bagi tatanan sosial. Menurut Jan van der Putten, yang menyumbangkan tulisan soal tema ini, alasan moral bukan satu-satunya penyebab. Motif ekonomi dan perasaan nasionalisme juga memainkan peranan. Banyak penduduk setempat terdesak oleh pendatang asal Jawa sejak 1920-an.
Namun, alih-alih melarang, Malaysia memilih memodifikasi ronggeng yang giat dilakukan sejak akhir 1960-an. Musik pengiring tarian diganti dengan “Irama Malaysia” yang dilantunkan penyanyi macam Siti Nurhaliza. Dengan upaya tersebut, Malaysia berhasil mengubah citra ronggeng menjadi positif. Ronggeng Melayu kini justru menjadi suguhan dalam acara-acara resmi, sajian wisata, atau duta dalam bermacam festival budaya internasional.
Judul: Sonic Modernities in the Malay World: A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyles (1930–2000s). Penulis: Bart Barendregt (editor). Penerbit: KITLV. Terbit: 2014.
Modernitas
Teknologi, sejak era kolonial awal, berperan besar dan memberi warna bagi masuk dan bertumbuhnya kemodernan dalam khazanah budaya di Asia Tenggara. Drum Buton (tamburu) dan tradisi drumnya, tanjidor, gamelan Sunda, dangdut, atau rock n roll lokal hanyalah beberapa contoh produk budaya yang lahir dari pertemuan dua budaya, juga unsur modern dengan status quo.
Namun, teknologi juga menggeser sifat, estetika, dan fungsi sosial sebuah produk budaya. Sifat eksklusif dan mahal tergerus dan berubah menjadi massal, murah, populer, dan sampai tahap tertentu kehilangan kesakralan. Fungsi hiburan lebih menonjol.
Lewat teknologi pula, sebuah produk budaya menyebar melampaui batas-batas negara. Ini membuat para penikmatnya mengidentifikasi diri dengan sebuah “komunitas tradisional yang lebih besar yang memperlemah kesetiaan nasional,” tulis Bart Barendregt. Dia memberi contoh kesuksesan pop regional macam pop Sunda, pop Batak, atau pop Minang yang menumbuhkan ikatan baru di antara migran dari daerah tertentu yang sekarang tinggal di kota-kota besar di Asia Tenggara.
Semua artikel dalam antologi ini menyuguhkan paparan lengkap dan analisis menarik untuk membangun kerangka berpikir guna memahami budaya modern di Asia Tenggara hingga kini. Sayangnya, terminologi modern hanya mendapat sedikit tempat dalam buku ini. Modernitas, yang seiring perjalanan waktu juga terus bertransformasi, hanya dipakai sebagai bingkai. Bidang pengisinya adalah fakta-fakta sosial-historis. Paparan tentang proses pertemuan budaya yang kemudian melahirkan fenomena kultural baru juga kurang mendapat tempat. Di atas semua itu, buku ini tetap menarik.*