Percobaan Pertama Pembunuhan Sukarno

Mimpi mendirikan negara Islam jadi alasan menghabisi Presiden Sukarno di Perguruan Cikini. Para pelaku terkait dengan DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Tak boleh ada matahari kembar.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Percobaan Pertama Pembunuhan SukarnoPercobaan Pertama Pembunuhan Sukarno
cover caption
Presiden Sukarno mengunjungi korban Peristiwa Cikini di rumah sakit, 3 Desember 1957. (Perpusnas RI).

DUA anak itu berjalan mengapit Presiden Sukarno yang terlihat sumringah saat melangkah keluar dari gedung sekolah Perguruan Tjikini. “Dengan suasana hati yang gembira aku mempermainkan rambut seorang anak yang berjalan di samping sebelah kiriku dan mendekap anak yang melekat ke kaki kananku,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Sabtu malam itu, 30 November 1957, Sukarno menghadiri malam amal dalam rangka hari jadi Sekolah Rakyat (SR) Perguruan Tjikini yang ke-15. Dia hadir bukan sebagai presiden melainkan sebagai orang tua murid dari Guntur dan Megawati Sukarnoputri. Tapi Guntur dan Mega tak ikut pulang. Mereka memilih tetap di sekolah, menonton film yang bakal diputar selepas resepsi. 

Pukul 20:45 Kepala Sekolah Sumadji dan Ketua Panitia Ny. Sudardjo mengantar Presiden Sukarno menuju mobil kepresidenan yang menunggu di depan sekolah. Belum lagi langkah kaki presiden beranjak masuk ke dalam mobil, seketika ledakan menggelegar tak jauh darinya. Dar! Semula orang mengira ledakan berasal dari ban yang meletus. Namun, tak lama setelah ledakan pertama, ledakan kedua kembali terdengar. Kali ini semua orang panik, menjerit, dan berlarian menyelamatkan diri.

DUA anak itu berjalan mengapit Presiden Sukarno yang terlihat sumringah saat melangkah keluar dari gedung sekolah Perguruan Tjikini. “Dengan suasana hati yang gembira aku mempermainkan rambut seorang anak yang berjalan di samping sebelah kiriku dan mendekap anak yang melekat ke kaki kananku,” kata Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Sabtu malam itu, 30 November 1957, Sukarno menghadiri malam amal dalam rangka hari jadi Sekolah Rakyat (SR) Perguruan Tjikini yang ke-15. Dia hadir bukan sebagai presiden melainkan sebagai orang tua murid dari Guntur dan Megawati Sukarnoputri. Tapi Guntur dan Mega tak ikut pulang. Mereka memilih tetap di sekolah, menonton film yang bakal diputar selepas resepsi. 

Pukul 20:45 Kepala Sekolah Sumadji dan Ketua Panitia Ny. Sudardjo mengantar Presiden Sukarno menuju mobil kepresidenan yang menunggu di depan sekolah. Belum lagi langkah kaki presiden beranjak masuk ke dalam mobil, seketika ledakan menggelegar tak jauh darinya. Dar! Semula orang mengira ledakan berasal dari ban yang meletus. Namun, tak lama setelah ledakan pertama, ledakan kedua kembali terdengar. Kali ini semua orang panik, menjerit, dan berlarian menyelamatkan diri. 

“Anak-anak berteriak dan berlari ketakutan memasuki gedung sekolah. Tamu-tamu berguling ke bawah mobil atau masuk selokan. Puluhan orang kena. Ratusan terbanting ke tanah. Kulihat kekuatan ledakan melemparkan seorang inspektur polisi ke sebuah tiang. Darah berserakan,” ujar Sukarno mengenang. 

Para pengawal berlari, menerjang presiden dan menindih tubuh orang nomor satu Republik Indonesia itu. Salah seorang pengawal jadi tameng hidup presiden. “Ngationo telah menjadikan dirinya sebagai perisai dan merangkul Bung Karno sebelum granat yang jatuh di dekatnya meledak sehingga pecahan-pecahan granat yang menuju ke arah Bung Karno telah mengenai badan dan bagian kepala Ngationo,” tulis surat kabar Merdeka, 2 Desember 1957. 

Adegan dramatis belum berhenti. Seorang pelaku lain kembali melemparkan granat dari kiri gedung sekolah dan disusul seorang lagi yang menggranat dari sisi kanan. Granat ketiga, yang dilemparkan ke Sukarno dari jarak hanya lima meteran, dan granat keempat mungkin yang paling dramatis. Ledakannya, “menembus mesin, menghancurkan kaca depan, menyobek-nyobek bagian dalam mobil menjadi serpihan dan meledakkan dua buah ban,” ujar Sukarno. 

Budiono Kartohadiprodjo, saksi dan korban Peristiwa Cikini. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Sedangkan granat keempat, dilempar dari seberang jalan, menghancurkan sisi lain mobil presiden. Total ada lima granat yang dilemparkan pelaku. Di tempat yang sama, Budiono Kartohadiprodjo, 67 tahun, saat itu siswa kelas 5 SR Perguruan Tjikini, merasakan dadanya seperti tertonjok tapi dia tak menggubrisnya. Pandangannya tetap tertuju ke arah iringan presiden. Dia berdiri di kanan gerbang sekolah, sekira 1,5 meter dari titik perlintasan presiden. Sejak beberapa menit sebelumnya dia antusias menunggu iring-iringan presiden dan pengawalnya lewat. “Namanya anak kecil, senang dengar sirene-sirene gitu,” ujarnya kepada Historia

Ketika presiden baru berjalan beberapa langkah, kenangnya, bunyi ledakan keras terjadi. Dia tak tahu itu bunyi apa, dia ingat presiden langsung dibawa lari pengawalnya. Sejurus kemudian, letusan kembali terjadi tepat di titik presiden berdiri ketika granat pertama meledak. “Saya lihat kok semprotannya, apinya itu lihat. Ya (cuma) satu setengah meter,” kenangnya. Suara teriakan orang-orang minta tolong bercampur suara tangis pun langsung menggema. “Saya berdiri aja, bengong. Kan nggak tau,” kenang pemimpin redaksi majalah Gatra itu. Semua orang duduk dan tiarap. “Ya saya juga ikut duduk saja di situ,” kenangnya. Listrik mati. Gelap. Dalam keadaan serba kalut itu dia mengusap dada kirinya. Ternyata, darah sudah membasahi. Napasnya mulai ngos-ngosan. Dia terkulai lemas.

Di tengah kegelapan itu, Kolonel dr. Azis Saleh datang memeriksa keadaan. Menteri kesehatan itu menemukan Budiono bersimbah darah dan langsung menggotongnya ke dalam, membaringkannya di meja. “Habis itu terus saya diangkat lagi, dimasukkan ke mobil. Nah dari mobil itu terus diangkut ke Rumah Sakit Cikini,” kenang Budiono. Tapi karena RS Cikini penuh, Budiono dirujuk ke RSUP Cipto Mangunkusumo. 

Karena seorang fanatik yang ingin membunuhku, banyak yang harus kehilangan nyawanya.

Ternyata serpihan granat mengenai dada dan bahu Budiono. Serpihan lainnya mengiris bagian kecil telinga kanannya. Yang paling parah, menurutnya, serpihan granat yang di dada, memotong pembuluh jantungnya. “Ini yang mengubah kehidupan saya,” ujarnya. Karena itu dia tak lolos tes jadi pilot.

Pada malam nahas yang sama, beberapa puluh meter dari tempat Budiono berdiri, Jus Soema di Pradja dan keluarganya sedang berkumpul di salah satu ruang di SR Perguruan Tjikini. Mereka bersiap pulang namun menunggu rombongan presiden pergi. “Tunggu sampai Bung Karno pergi. Ngapain kita berdesak-desakan di depan,” ujar Jus kepada Historia, menirukan kata-kata ayahnya. 

Tiba-tiba, blar! Bunyi ledakan besar terdengar. “Ayah kagum. Dia bilang, hebat ya Cikini, pakai petasan,” tutur mantan wartawan Indonesia Raya itu. Selang beberapa detik, bunyi ledakan kembali terdengar. Erik, salah seorang teman kakak Jus langsung berteriak kepada Makmoen Soemadipradja (ayah Jus), “Handgranaat, Oom. Diam, Oom!” 

Mendadak Makmoen pening. Keluarganya juga panik. Tapi efek obat yang diminumnya berhasil menenangkan Makmoen. Dia perintahkan keluarganya agar tetap di tempat dan tenang. Orang-orang sudah berlarian sembari menangis dan berteriak minta tolong waktu itu. Mereka mondar-mandir karena informasi yang memberi tahu posisi penggranat membingungkan. “Panik. Semrawut aja pada saat itu,” kenang Jus. 

Beruntung seluruh anggota keluarga mantan menteri dalam negeri Negara Pasundan itu selamat dari ledakan granat. Keterangan resmi pemerintah menyebutkan ada sepuluh orang tewas dan lebih dari seratus orang luka-luka dalam peristiwa itu. 

Jus Soema di Pradja, saksi Peristiwa Cikini. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Modus Pembunuhan

Hanya beberapa jam pascaperistiwa, intelijen mulai bekerja. Petugas menyisir beberapa tempat, termasuk ke Gang Ampiun, Cikini, Jakarta Pusat. Mustafa Kamal Saleh, 86 tahun, warga Gang Ampiun, ikut kena getahnya. Rumah miliknya yang dikontrak sekelompok pemuda asal Bima, Nusa Tenggara Barat, disambangi petugas keamanan. Rumah yang setelah dikontrak lebih dikenal sebagai “Asrama Sumbawa” itu digeledah, penghuninya ditangkap. “Tiap yang masuk sini ditangkep, tiap yang masuk sini ditangkep,” kenang Mustafa saat ditemui Historia di Gang Ampiun. 

Mustafa juga ketiban urusan panjang. Sebulan setelah peristiwa, saat subuh, dia dicokok petugas menyusul penangkapan 20 anak kosnya yang sudah ditangkap lebih dulu. Dibawa ke markas Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKB DR). Ditanyai seputar hubungannya dengan para pemuda yang menyewa rumahnya. Mustafa apes, karena setelah penangkapan itu dia tak pulang: menginap sebulan di Penjara Glodok dan ditahan setahun di Gang Tengah, Penjara Salemba. 

Keberhasilan pemerintah menangkap pelaku dalam waktu singkat malah mengundang kecurigaan kalau skenario peristiwa Cikini disusun pemerintah. “Sebab utama begitu cepat ditangkapnya pelaku Peristiwa Cikini adalah pengkhianatan seorang penghuni asrama Sumbawa itu,” tulis Leirissa dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis.

Apalagi sejak awal Kepala Intelijen Letkol Sukendro sudah menduga keterlibatan Kolonel Zulkifli Lubis, mantan wakil KSAD yang sejak lama kurang akur dengan Sukarno. Para anggota komplotan dikaitkan dengan peran tokoh intelijen tersebut. Apalagi komplotan perencana pembunuh Sukarno yang berlatar belakang anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dengan Zulkifli Lubis sama-sama antikomunisnya. 

Dalam persidangan yang digelar mulai 15 Agustus 1958, terungkap hubungan Lubis dengan komplotan. Mereka memang saling kontak namun Lubis bersikeras menolak jika dituduh jadi aktor intelektual percobaan pembunuhan itu. Lubis malah menganjurkan untuk tidak menggunakan kekerasan. Pengakuan Lubis berlawanan dengan tuduhan pihak pemerintah, khususnya intelijen pimpinan Sukendro yang menuduh Lubis menyokong aksi komplotan. 

Gang Ampiun, Cikini, Jakarta Pusat, tempat rumah kontrakan Asrama Sumbawa. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Lubis akhirnya boleh berlega hati. Dalam persidangan terungkap fakta bahwa ide pembunuhan datang dari Jusuf Ismail, anggota komplotan penghuni Asrama Sumbawa di Gang Ampiun, Cikini. Ismail mengaku ide pelemparan granat datang spontan, saat dia melihat mobil presiden terparkir di halaman sekolah Tjikini pada 30 November petang. 

Sebelum melancarkan aksinya, Ismail terlebih dulu menemui Saleh Ibrahim, kepala Asrama Sumbawa dan penghuni asrama lainnya di Gang Ampiun. Ibrahim mencegah agar Ismail tak buru-buru beraksi dan terlebih dulu membicarakannya dengan Lubis yang saat itu tengah bersembunyi di bilangan Cideng, Tanah Abang. Ismail manut. Dia pergi ke Tanah Abang untuk menemui Lubis. Tapi sial sepeda motornya mogok. 

Ismail tak mau kehilangan kesempatan. Granat sudah di tangan. Dia bersama Saadon bin Mohammad dan Moh. Tasrif bin Husein langsung berjalan menuju SR Perguruan Tjikini. Mereka sempat mengintai Presiden Sukarno selama beberapa saat sebelum melakukan aksinya. Mengetahui presiden keluar dari sekolah, kelima granat dilemparkan secara bergantian dari tepi jalan depan gedung sekolah Tjikini. 

Usai beraksi, mereka kabur ke Tanah Abang, menemui Lubis yang jadi incaran pemerintah gara-gara percobaan kudeta terhadap Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua. Mendengar laporan aksi penggranatan itu, Lubis sudah punya firasat bakal kena tudingan. “Ini pasti kita kena tuduh,” ujar Lubis kepada Ibrahim Saleh, sebagaimana ditulis Tempo, 29 Juli 1989. 

Benarkah Lubis punya kaitan resmi dengan Peristiwa Cikini? “Saya memang kenal orang-orangnya. Tersangkut boleh saja. Tapi kalau saya dikatakan menyuruh mereka itu, itu sangat keliru sama sekali,” ujar Lubis. Menurut Lubis, sejak beberapa waktu sebelumnya dia telah mewanti-wanti para pemuda GPII agar tidak berbuat kekerasan dan mereka mematuhinya. Dalam persidangan, Ismail pun mengakui perintah Lubis tersebut. 

Tuduhan pemerintah bahwa Peristiwa Cikini didalangi Lubis dan perwira-perwira PRRI/Permesta pun mentah. “Dari keterangan mereka yang dituduh sebagai pelaku Peristiwa Cikini itu, tidak dijumpai seorang pun yang menyatakan perbuatannya mempunyai sangkut-paut dengan gerakan dan sikap Letkol Ahmad Husein, Letkol Barlian, dan Letkol Sumual,” tulis Leirissa. 

Mustafa Kamal Saleh menunjukkan rumah kontrakan bekas Asrama Sumbawa. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Lubis menuturkan bahwa lawan-lawan politiknya sejak lama berusaha menuduhnya dengan macam-macam perbuatan makar. Permintaan Lubis ke Jaksa Agung beberapa tahun kemudian agar dugaan keterlibatannya dalam Peristiwa Cikini dimejahijaukan pun tak pernah dikabulkan. Pemerintah hanya menjawab, masalah tersebut sudah selesai. Para pelaku menyebut nama Lubis di pengadilan besar kemungkinan lantaran tak kuat menghadapi siksaan saat diinterogasi KMKB. 

Menurut Leirissa, para pelaku terkait erat dengan gerakan DI/TII pimpinan S.M. Kartosoewirjo. “Kebetulan banyak pula mantan pasukan DI/TII yang berhasil menyusup ke dalam tubuh organisasi itu. Sejumlah penghuni asrama Sumbawa pun bekas pasukan tersebut.” Selain antikomunis, belakangan diketahui mereka ingin menjadikan Indonesia negara Islam. 

Sebuah dokumen yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sejarah TNI menyebutkan kalau perintah pembunuhan datang langsung dari S.M. Kartosoewirjo. Kata Kartosoewirjo, seperti dikutip dari dokumen pemeriksaan itu, “tak boleh ada matahari kembar”. Matahari kembar yang dimaksud adalah Kartosoewirjo dan Sukarno dalam satu wilayah negara.

Sukarno tak bisa begitu saja mengabulkan permintaan hukuman mati, satu hal yang dia benci. Terlebih Kartosoewirjo adalah temannya ketika sama-sama mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Sukarno selalu ingat masa-masa ketika mereka berjuang bahu-membahu memerdekakan Indonesia. Pergumulan batin terjadi di dalam dirinya. 

Namun, Sukarno akhirnya menandatangani sanksi hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dan beberapa pelaku Peristiwa Cikini. Ingatannya akan korban-korban yang berjatuhan dalam Peristiwa Cikini, termasuk anak-anak tak berdosa dan ibu hamil yang tewas bersimbah darah, membuatnya mengambil keputusan tersebut. 

“Karena seorang fanatik yang ingin membunuhku, banyak yang harus kehilangan nyawanya. Ini bukan satu tindakan untuk memenuhi kepuasan hati. Ini tindakan untuk menegakkan keadilan,” kata Sukarno.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65267f4fb4fb6b7c6183714b