Perempuan di Garis Depan

Ibu pertiwi memanggil, bangku sekolah ditinggal, Laskar Wanita Indonesia memanggul senjata.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Perempuan di Garis DepanPerempuan di Garis Depan
cover caption
Patung Laswi di Jalan Viaduct, Bandung.

SEORANG perempuan muda nan cantik, berseragam tentara, memakai topi pet dengan rambut berkepang dua, berdiri tegak di Jalan Viaduct, Bandung. Ia memegang senjata. Gestur tubuhnya terlihat seperti terperangah dan geram. Ekspresi wajahnya keras, tengadah menatap tajam jauh ke arah tenggara. Lekuk tubuhnya menonjol, memberikan citra feminin.

“Ketika saya membuat patung Tentara Pelajar, para veteran Laswi meminta saya membuat patung yang menyimbolkan perjuangan mereka,” kata seniman serbabisa Sunaryo, yang mengerjakan patung itu. “Saya membayangkan bagaimana membuat sosok wanita yang berani berjuang tapi tetap mempertahankan sisi kewanitaannya.”

SEORANG perempuan muda nan cantik, berseragam tentara, memakai topi pet dengan rambut berkepang dua, berdiri tegak di Jalan Viaduct, Bandung. Ia memegang senjata. Gestur tubuhnya terlihat seperti terperangah dan geram. Ekspresi wajahnya keras, tengadah menatap tajam jauh ke arah tenggara. Lekuk tubuhnya menonjol, memberikan citra feminin.

“Ketika saya membuat patung Tentara Pelajar, para veteran Laswi meminta saya membuat patung yang menyimbolkan perjuangan mereka,” kata seniman serbabisa Sunaryo, yang mengerjakan patung itu. “Saya membayangkan bagaimana membuat sosok wanita yang berani berjuang tapi tetap mempertahankan sisi kewanitaannya.”

Rekan kerjanya, Amrizal Salayan St. Parpatih bilang desain awal patung dibuat agak kurus dan berdiri tegak, lebih realistis tapi menonjolkan sisi psikologis. Para veteran Laswi protes, karena kurang estetis.

Untuk merealisasikannya, para veteran Laswi menggalang dana, sementara pemerintah kota Bandung menyediakan lahan dan membebaskannya dari pajak. Monumen Laskar Wanita Indonesia (Laswi) ini terbuat dari perunggu setinggi sekitar tiga meter, berdiri tegak di atas pondasi setinggi dua meter.

“Lokasi di Viaduct dipilih karena rel kereta api dianggap garis demarkasi antara wilayah Belanda di utara dan wilayah Republik di selatan. Patung Laswi ditaruh di situ, seakan-akan menjaga daerah selatan,” ujar Amrizal.

Pengerjaan monumen memakan waktu empat setengah bulan. Krisis moneter pada 1997 membuat biaya pengerjaan membengkak. “Kami rugi sekitar Rp16 juta. Saya dan Pak Sunaryo masing-masing menanggung Rp8 juta,” kata Amrizal.

Akhirnya, monumen Laswi diresmikan pada 11 Agustus 1997 oleh Wali Kota Bandung A.A. Tarmana. Monumen ini masih terawat dan bersih, dikelilingi tanaman hias yang memagari pondasinya.

Laskar Wanita sedang berlatih dengan senjata tiruan tahun 1946. (IPPHOS/ANRI).

Dari Gadis hingga Janda

Pada masa revolusi, laskar perempuan berdiri di sejumlah daerah. Laswi merupakan satuan perempuan perjuangan yang dibentuk di Bandung pada 12 Oktober 1945 oleh Sumarsih Subiyati Aruji Kartawinata, istri Aruji Kartawinata, komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat, yang kemudian menjadi Divisi Siliwangi.

Tak jelas apa yang mendorong Yati Aruji, nama kecilnya, mendirikan Laswi. Wartawan Annie Bertha Simamora, yang menulis kisah Yati Aruji dalam Satu Abad Kartini 1879–1979, menyebut pendirian itu dilakukan secara spontan, “seperti diperintah Tuhan untuk turut berjuang dengan golongan pria.” Mingguan Merdeka, 24 Agustus 1946, memberitakan bahwa Yati Aruji melihat dengan mata kepala sendiri gerakan Sekutu di kota Bandung yang membalikkan ketenteraman umum, menyebabkan banyak orang Indonesia menjadi korban, dan banyak harta benda kepunyaan rakyat hilang. “Karena itu Laswi didirikan.”

Markas dan asrama Laswi menempati rumah Yati Aruji di Societet Mardi Harjo di Jalan Pangeran Sumedang 91 (sekarang Jalan Otto Iskandar Dinata). Anggotanya beragam, dari gadis, ibu rumah tangga, hingga janda, umumnya berusia 18 tahun ke atas. Rata-rata lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan kelas pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), meski ada juga yang kelar Holandsche Indische Kweekschool (HIK). Namun tak mudah bagi Laswi merekrut anggota.

“Banyak orang tua tidak sudi anak gadisnya yang berparas molek dibawa ke front untuk disuruh memanggul senjata atau menyingsingkan lengan baju memegang bambu runcing. Ada juga yang beralasan anaknya hanya satu,” tulis Annie.

Yang lainnya khawatir anak gadisnya menjadi korban lelaki hidung belang. “Diperlukan perhatian khusus agar tidak terjadi perbuatan yang tak susila,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

Untuk itu, Laswi memiliki asrama. Tak ada lelaki yang boleh masuk asrama. “Saya sendiri selalu tinggal di sana. Tidak terjadi hubungan asmara, karena pemuda Laswi dilarang menodai diri sendiri dan jika aturan ini dilanggar hukumannya ‘peluru’,” kata Yati Aruji dalam wawancara dengan Saskia. “Sesudah perang selesai gadis-gadis itu diterima dengan bangga oleh keluarga masing-masing, dan mereka semuanya kemudian menikah.”

Alasan lain sehingga orang tua enggan merestui anaknya masuk Laswi, lanjut Saskia, karena mereka berseragam seperti laki-laki, bercelana panjang, ke sana ke mari memanggul senjata dan duduk di atas truk.

Saat itu, perempuan bercelana panjang terlihat janggal. Seperti dikemukakan seorang penulis, Noersjamsoe di mingguan Merdeka, 24 Agustus 1946, yang menceritakan acara peringatan ulang tahun Republik Indonesia pertama pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Ia menulis: “Di sini yang menarik perhatian ialah Laswi, Laskar Wanita. Mereka tak kalah dari pemuda dalam ketangkasan sikap. Tapi kadang-kadang menggelikan hati juga. Karena kalau dilihat dari belakang tak ada bedanya antara seorang putri dari Laswi dan seorang pemuda dari tentara sama bersepatu laars, sama-sama bercelana dan berbaju khaki dan sama-sama berambut panjang.”

Sumarsih Subiyati Aruji Kartawinata alias Yati Aruji, pendiri Laswi.

Karena penolakan orang tua, ujar Yati Aruji, banyak gadis minggat dari rumah untuk bergabung dengan Laswi.

Ada juga yang memaksa atau mengancam orang tuanya seperti Tuti Amir Kartabrata dan Euis Sari’ah alias Saartje. Keduanya mengenal perjuangan sejak mengikuti bushido dan kinrohoshi (kerja sukarela), di mana mereka mendapatkan pelatihan baris-berbaris dan kerja bakti.

Tuti, berusia 82 tahun, bergabung dengan Laswi karena ajakan temannya, Nani Sumarni, yang punya pacar mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) bernama Juhro. Sayang, orang tua mereka melarang. Tak kurang akal, Tuti mencuri celana panjang milik keponakan ibunya, karena anggota Laswi harus pakai celana panjang. Ia dan Nani pergi ke rumah orang tua Nani dengan mengantongi buah mangga untuk menakut-nakuti. “Kalau tidak diizinkan, kita punya granat, akan diledakkan, padahal kami baru tahu granat setelah bergabung dengan Laswi. Dengan siasat itu, kami diizinkan. Orang tua mengantar dengan tangisan karena tidak rela,” kata Tuti yang kemudian menjadi kepala Brigade I.

Begitu pula dengan Saartje, berusia 86 tahun. Ia masih ingat kata-kata larangan bapaknya, “Mau cari mati?” Namun karena memaksa, dengan berat hati bapaknya mengizinkan anak sulungnya dari sembilan bersaudara ini. Sebelum mengungsi ke Tasikmalaya, bapaknya yang bekerja pada Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api, sering menjenguknya ke asrama Mardi Harjo.

Laswi memiliki dua peleton dan delapan brigade, dengan total kekuatan mencapai seratus orang (sumber lain menyebut 300 orang), sepuluh di antaranya sebagai tenaga administrasi pengawas asrama dan dapur. Laswi memiliki bagian dapur umum, palang merah, perlengkapan, bidang sosial, intelijen, dan penghubung. Saartje memimpin kedua peleton itu; karena temannya, Sisbandiah, komandan peleton II dan memiliki perawakan tegap, diangkat menjadi ajudan Yati Aruji. “Sar, kamu pimpin pasukan ya,” kata Yati Aruji kepada Saartje. “Jadilah saya memimpin dua pasukan. Padahal ada wakil di peleton II.”

“Dorongan ikut Laswi bukan semata patriotisme tapi ikut-ikutan dan hura-hura bersama para gadis- gadis yang lain,” ujar Tuti. Ia baru serius menjadi anggota Laswi setelah Sekutu mengancam akan membombardir Bandung.

Defile Laskar Wanita dalam rangka pelantikan Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang, November 1946. (IPPHOS/ANRI).

Garis Demarkasi

Pada 21 November 1945, Sekutu mengultimatum agar Bandung bagian utara dikosongkan. Para pejuang harus menyerahkan senjata yang mereka rampas dari tentara Jepang. Peringatan ini tak diindahkan. Bentrokan senjata pun terjadi. Keadaan kian parah karena hujan lebat mengakibatkan Sungai Cikapundung, yang membelah kota Bandung, meluap dan menelan banyak korban jiwa.

“Di situ para anggota Laswi mulai diterjunkan ke lapangan guna memberikan darma baktinya membantu para korban banjir dan menyuplai makanan bagi para korban,” tulis Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawan yang menulis banyak buku, dalam Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. “Sedang dari seksi palang merah terus menyebarkan para anggotanya ke tiap-tiap rumah sakit dan pos palang merah.”

Pada 27 November 1945, Sekutu membuat garis demarkasi dengan rel kereta api sebagai pemisah: Bandung bagian utara sebagai wilayah Sekutu dan bagian selatan sebagai wilayah pejuang. Meningkatnya tekanan Sekutu mendorong Laswi membekali diri dengan kemampuan militer. “Mulailah mereka bergiat dengan latihan militer,” tulis Annie. Instrukturnya: Aruji yang pernah jadi daidancho (komandan batalyon) Pembela Tanah Air (Peta) di Cimahi dan istrinya, mantan anggota kepanduan, serta beberapa eks anggota Peta.

Tuti dilatih oleh Husen Wangsaatmaja, anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) –kelak menjadi wali kota Bandung (1978–1983), sementara Saartje di bawah Batalyon II pimpinan Yon Sumarsono. Tempatnya di Jalan Simpang yang dikosongkan oleh warga Tionghoa yang pergi ke Bandung utara. “Dilatih militer seperti cara berlindung, tiarap, membawa dan menggunakan karaben,” kata Tuti. Ketika lagi berlatih, pesawat Cocor Merah (P-51 Mustang) datang menyerang. Mereka tiarap di kebun singkong. “Untung tidak ada yang kena,” kata Saartje.

Sejak ada garis demarkasi, Tuti baru sadar bahwa ikut Laswi bukan main-main. Seorang temannya tewas. Garis demarkasi juga membuat orang tuanya mengungsi. Dan teman baiknya, Nani Sumarni dan Siti Sabariyah, tertangkap di dekat pabrik Kina di Wastukancana. Saat itu Nani dan Sabariyah dari regu pengintai Laswi serta empat pemuda dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ditugaskan melakukan penyelidikan di Bandung bagian utara. Mereka ditangkap tentara Gurkha lalu dibawa ke penjara Glodok, sementara tiga pemuda TRIP dibawa ke Pulau Onrust di Pulau Seribu, dan seorang lagi dikirim ke Nusakambangan.

Tuti Amir Kartabrata, kepala Brigade I Laswi.

Nani dan Sabariyah ditawan selama dua minggu. Mereka baru dibebaskan setelah ditukar dengan tentara Gurkha yang ditawan pasukan pemuda. “Nani dibebaskan dengan cara ditukar dengan tawanan Gurkha oleh Juhro,” kata Saartje menyebut nama pacar Nani. Setelah bebas, Nani dan Juhro menikah.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di penjuru kota Bandung. Beberapa pesawat terbang Inggris mengebom daerah Lengkong Besar hingga Cicadas. Keadaan kota menjadi sepi dan penduduk mengungsi ke luar kota. Saat itu, Laswi bergabung dengan Markas Dewan Pimpinan Perjuangan (MDPP), badan koordinasi 61 kelompok satuan perjuangan di seluruh Jawa Barat yang dibentuk pada 15 September 1945. Selain Laswi, yang bergabung dengan MDPP antara lain Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Banteng, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hizbullah, dan Sabilillah.

“Cicadas ditempatkan 2 regu palang merah dan 2 regu dapur umum untuk merawat para korban di daerah tersebut,” tulis Irna.

“Saya kebagian hari ketiga, mengurusi mayat-mayat yang sudah busuk,” kata Saartje. “Bekas-bekas bom membentuk lubang yang besarnya seperti kolam.”

Menurut laporan pemerintah kota dan Badan Pekerja KNI Daerah Kota Bandung, sebagaimana dikutip sejarawan J. Jogaswara dalam Lahirnya Badan-badan Perjuangan dan BKR di Kota Bandung sampai Timbulnya MDPP/MPPP, pengeboman di Cicadas menghancurkan 335 rumah dan gedung, 50 rumah di antaranya rusak berat, menewaskan 60 orang Tionghoa dan 15 orang Indonesia, 1.500 orang kehilangan tempat tinggal, dan 8.000 orang mengungsi. “Laswi berusaha untuk membantu penduduk yang hendak mengungsi ke luar kota atau ke tempat-tempat yang aman,” tulis Jogaswara.

Sadar akan kekuatan persenjataan Sekutu lebih canggih, para pejuang termasuk Laswi melakukan taktik gerilya serta mengadakan penyusupan dan pembunuhan secara diam-diam.

Karena serangan sporadis yang dilancarkan pasukan Indonesia, pada 23 Maret 1946, Sekutu mengultimatum Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar selambat-lambatnya pukul 00.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah harus meninggalkan Bandung selatan sejauh 10 sampai 11 km dari pusat kota. Sjahrir mengutus Sjafruddin Prawiranegara dan Mayor Jenderal TNI Didi Kartasasmita ke Bandung untuk menyampaikan agar mematuhi ultimatum itu.

Ketimbang membiarkan Bandung jadi basis Sekutu, Musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) –perubahan dari MDPP pada 14 Desember 1945– bersepakat membumihanguskannya. Pilihan ini juga lebih realistis karena kekuatan pejuang Republik tak akan sanggup melawan Sekutu. Masyarakat diminta mengungsi. Rencananya Bandung akan jadi lautan api pada pukul 00.00 tanggal 24 Maret 1946. Ternyata bumi hangus dilakukan lebih awal pukul 21.00.

Sebelum aksi bumi hangus, Tuti dan Hermiati, kepala Brigade III Laswi, mendapat tugas melakukan survei tempat pengungsian di Ciparay dan Majalaya. “Setelah sampai di sana dilarang kembali lagi ke Bandung,” kata Tuti. “Ternyata Bandung sudah dibakar.”*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642a6824d5a08135f95b4d07