Perempuan di Masa Orde Baru

Orde Baru merumuskan perempuan ideal dalam Panca Dharma Wanita. Perempuan dilihat dari siapa suami mereka. Muncul perlawanan dari kaum perempuan.

OLEH:
Mariana Amiruddin
.
Perempuan di Masa Orde BaruPerempuan di Masa Orde Baru
cover caption
Ibu Tien Suharto menerima kunjungan ibu-ibu Ikatan Dharma Wanita Departemen P&K yang didampingi Ny. Daoed Joesoef di Istana Negara, Jakarta, 10 April 1978. (IPPHOS/Perpusnas RI).

SEJAK masa Orde Baru, figur Kartini hanya digambarkan sebagai perempuan Jawa dari keluarga ningrat, kalem, keibuan dan lembut bertutur kata. Setiap kali hari kelahirannya diperingati, kaum perempuan meniru gaya busana Kartini: kebaya di badan plus sanggul di kepala. Sampai hari ini, hanya dengan cara itulah kebanyakan perempuan mengenang Kartini. Gagasan-gagasan emansipasinya justru tak pernah dikenal luas. Pada zaman Orde Baru pula gerakan perempuan didepolitisasi dan didomestifikasi.

Benarkah gerakan perempuan Indonesia mengalami penghancuran sebagaimana yang pernah didedahkan oleh Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Wanita Indonesia? Apakah tak ada perlawanan sama sekali?

SEJAK masa Orde Baru, figur Kartini hanya digambarkan sebagai perempuan Jawa dari keluarga ningrat, kalem, keibuan dan lembut bertutur kata. Setiap kali hari kelahirannya diperingati, kaum perempuan meniru gaya busana Kartini: kebaya di badan plus sanggul di kepala. Sampai hari ini, hanya dengan cara itulah kebanyakan perempuan mengenang Kartini. Gagasan-gagasan emansipasinya justru tak pernah dikenal luas. Pada zaman Orde Baru pula gerakan perempuan didepolitisasi dan didomestifikasi.

Benarkah gerakan perempuan Indonesia mengalami penghancuran sebagaimana yang pernah didedahkan oleh Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Wanita Indonesia? Apakah tak ada perlawanan sama sekali?

Perempuan Indonesia yang ideal menurut Orde Baru terdapat dalam rumusan Panca Dharma Wanita, yakni sebagai pendamping setia suami, sebagai ibu pendidik anak dan generasi penerus bangsa; sebagai pengatur rumah tangga; bila ia bekerja maka sebagai penambah hasil keluarga; dan menjadi anggota masyarakat yang berguna dalam kegiatan sosial dan menyumbang tenaga mengabdi pada negara. Itulah “kategori resmi” perempuan Indonesia yang diakui negara semasa Orde Baru.

Organisasi resmi perempuan di masa Orde Baru adalah Dharma Wanita. Berdiri sejak 5 Agustus 1974. Mewajibkan seluruh isteri karyawan instansi pemerintahan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di dalamnya. Para istri prajurit pun dihimpun menurut matra angkatan suaminya masing-masing, seperti Persit Kartika Chandrakirana dan Bhayangkari.

Organisasi perempuan bentukan pemerintah Orde Baru itu dikendalikan secara struktural langsung di bawah kendali presiden (melalui istri presiden). Kepengurusan Dharma Wanita ditentukan berdasarkan jabatan struktural suaminya. Kualifikasi atau kapasitas perempuan yang memiliki pengalaman, manajemen, intelektualitas, dan kapabilitas tak berlaku di organisasi tersebut bila suami bukan pejabat. Dengan demikian, perempuan dilihat dari siapa suami mereka.

Peringatan HUT III Dharma Wanita di Balai Sidang Senayan, Jakarta, 6 Agustus 1977. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Kendati ada upaya sistematis untuk mendepolitisasi gerakan perempuan, riak perlawanan kaum perempuan pun bermunculan mulai 1980-an. Mereka mencoba keluar dari perumusan Orde Baru tentang perempuan. Ada dua pola respons yang dilakukan oleh gerakan perempuan terhadap Orde Baru, yakni dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang independen dan kelompok-kelompok diskusi perempuan di kalangan mahasiswa.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak mengusung isu perempuan antara lain Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) di Yogyakarta dan Yayasan Kalyanamitra di Jakarta. Bak menanggung tugas historis, kedua yayasan tersebut bertujuan mengembalikan pergerakan perempuan sesuai gagasan Kongres Perempuan Indonesia 1928. Menarik kembali mereka dari domain domestik ke panggung politik emansipasi perempuan.

Kebangkitan gerakan perempuan emansipatif pada masa Orde Baru juga ditandai dengan kemunculan pusat kajian perempuan yang mencurahkan perhatian pada studi wanita (sekarang studi gender). Situasi internasional tentang pembangunan di negara dunia ketiga saat itu telah menyadarkan kaum ilmuwan perempuan tentang pentingnya mengembangkan studi wanita.

Kritik atas pembangunan yang meminggirkan peran perempuan mulai muncul pada medio 1970-an. Saat itu permasalahan perempuan di negara-negara berkembang menjadi bahan pembahasan dalam pertemuan-pertemuan gerakan perempuan internasional dan kemudian menjadi isu utama yang menggejala di kalangan gerakan perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Kendati ada upaya sistematis untuk mendepolitisasi gerakan perempuan, riak perlawanan kaum perempuan pun bermunculan mulai 1980-an. Mereka mencoba keluar dari perumusan Orde Baru tentang perempuan.

Berbagai studi tentang “Wanita dan Pembangunan” menjadi populer. Para akademisi perempuan melakukan studi mendalam dan mempublikasikan penelitiannya tentang dampak pembangunan terhadap perempuan. Tema-tema yang sama mulai menjadi bahan diskusi yang menarik di lembaga-lembaga penelitian, salah satunya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ilmuwan perempuan yang terlibat di sana antara lain Dr. Mely G. Tan dan Prof. Dr. TO Ihromi.

Studi wanita pun berkembang di berbagai universitas dan keberadaannya telah menjadikan ilmu pengetahuan berdasarkan perspektif perempuan penting di dalam khasanah kajian ilmu pengetahuan. Bahkan di Universitas Indonesia didirikan Program Studi Kajian Wanita yang menyediakan pendidikan strata magister spesialis kajian wanita. Sejak saat itulah mulai dikenal istilah feminisme dalam gelanggang pergerakan perempuan di Indonesia.

Gerakan perempuan di masa reformasi yang kita kenal sekarang merupakan kelanjutan dari gerakan perempuan yang menentang otoritarianisme Orde Baru. Mereka berperan penting untuk mengembalikan tujuan pergerakan perempuan dari masa prakemerdekaan dan masa sebelum Orde Baru berdiri.

Penghancuran gerakan perempuan yang dilakukan di pengujung Orde Lama dan di awal berdirinya Orde Baru memang secara sistematis telah melenyapkan eksistensi gerakan perempuan yang emansipatif. Namun demikian ide-ide emansipasi dan perjuangan politik perempuan dari masa Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 tidak serta-merta turut lebur di dalam kehancuran yang dibuat Orde Baru. Ide itu tetap hidup dalam relung-relung jiwa perempuan yang dirasuki semangat pembebasan perempuan dari keterkungkungannya.

Usaha Orde Baru untuk mendepolitisasi dan mendomestifikasi gerakan perempuan Indonesia secara masif justru telah meletupkan semangat perlawanan segelintir kaum perempuan
untuk menarik kembali kaum perempuan dari wilayah domestik ke panggung aksi emansipasi yang lebih luas lagi. *

Penulis adalah pemimpin redaksi Jurnal Perempuan.

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642d119f480f67fbd03f5d27