Peretul yang Kena Retul

Bertekad memperbaiki birokrasi dan memberantas korupsi, Paran/Operasi Budhi malah jadi korban.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Peretul yang Kena RetulPeretul yang Kena Retul
cover caption
Jenderal TNI Abdul Haris Nasution memimpin Paran, lembaga pembenahan birokrasi dan pemberantasan korupsi.

PRIYATNA Abdurrasyid masih ingat ketika seorang pengacara datang ke rumahnya suatu pagi pada 1960-an. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Alih-alih pengacara itu malah menawarkan barang dagangan. Ia pun berang, yang membuat si pengacara melenggang keluar rumah, meninggalkan bawaannya di meja. Priyatna mengejar sembari membawa bungkusan itu.

Di luar, Priyatna menangkap dengar pembicaraan pengacara dengan temannya yang menunggu di mobil. Rupanya pengacara barusan berusaha menyogoknya, dan bungkusan itu ternyata berisi segepok uang. Priyatna langsung melemparkan bungkusan sembari mengumpat. “Jadi itu taktik mereka,” ujar Priyatna, mantan jaksa agung muda intelijen berusia 83 tahun, di rumahnya di bilangan Pondok Indah.

PRIYATNA Abdurrasyid masih ingat ketika seorang pengacara datang ke rumahnya suatu pagi pada 1960-an. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Alih-alih pengacara itu malah menawarkan barang dagangan. Ia pun berang, yang membuat si pengacara melenggang keluar rumah, meninggalkan bawaannya di meja. Priyatna mengejar sembari membawa bungkusan itu.

Di luar, Priyatna menangkap dengar pembicaraan pengacara dengan temannya yang menunggu di mobil. Rupanya pengacara barusan berusaha menyogoknya, dan bungkusan itu ternyata berisi segepok uang. Priyatna langsung melemparkan bungkusan sembari mengumpat. “Jadi itu taktik mereka,” ujar Priyatna, mantan jaksa agung muda intelijen berusia 83 tahun, di rumahnya di bilangan Pondok Indah.

Apa kasusnya? Priyatna tak menyebutnya spesifik. Tapi ia bisa memastikan bahwa upaya penyogokan itu ada kaitannya dengan kerja-kerjanya selama menjadi jaksa tinggi di Bandung sekaligus wakil kejaksaan di Panitya Retooling Aparatur Negara (Paran), lembaga pembenahan birokrasi dan pemberantasan korupsi, sekira 1962. Retuling menjadi kata yang jamak di masa itu, yang berarti menata ulang atau merombak.

“Saya tak ingat kasus-kasus yang saya tangani. Saya juga lupa apa jabatan persisnya di Paran. Pokoknya saya ikut memeriksa,” ujarnya.

Priyatna Abdurrasyid. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kegelisahan Nasution

Sejak militer mengawasi dan mengelola perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, militer jadi sasaran kritik. Selain memperoleh pendanaan yang sepenuhnya tak bisa dikontrol masyarakat, sejumlah perwira militer ditengarai melakukan korupsi. Beberapa politisi pun jengah. Kepada Anwar A. Moein, Sjahrir mengatakan: “Dulu yang mempunyai mobil dan rumah-rumah bagus adalah saudagar-saudagar ‘nasional’ tetapi kini adalah para opsir.”

Serangan terhadap pengawasan manajemen bekas perusahaan-perusahaan Belanda oleh AD tak berhenti hingga 1960-an. Kelompok kiri di bawah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sayap kiri Partai Nasional Indonesia (PNI) menyerangnya, “dengan alasan korupsi dan salah urus serta dicap sebagai ‘kapitalis birokrat’,” tulis J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946–1965.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letjen TNI Abdul Haris Nasution bukan tak punya perhatian terhadap masalah ini. Bermodalkan UU Keadaan Bahaya (SOB), pada 16 April 1958 Penguasa Perang Pusat/KSAD Nasution mengeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) No. Prt/Peperpu/013/1958 untuk Angkatan Darat sebagai pijakan pemberantasan korupsi –sehari kemudian Penguasa Perang Pusat/KSAL Laksamana Subyakto mengeluarkan peraturan No. Prt/ ZL/1/7. Karena dasar hukumnya kurang kuat, penegakan hukum berjalan lambat. Terlebih ia menghadapi friksi internal di tubuh AD. Pergolakan di daerah juga menyurutkan prioritas pemberantasan korupsi.

Nasution kemudian menemukan celah setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 –yang merupakan usulan Nasution. Dalam pidato 17 Agustus 1945 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, presiden antara lain mengemukakan adanya “setan-setan” yang menerkam Indonesia, termasuk korupsi, dan rencana retuling di segala bidang. Nasution, yang ditunjuk sebagai menteri keamanan nasional dalam Kabinet Kerja I, mengusulkan pembentukan sebuah lembaga yang membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi. Sukarno setuju serta menugaskan Nasution, Ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas) Muhammad Yamin, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Roeslan Abdulgani untuk merancang konsepnya. Pada 1959, lahirlah Panitya Retooling Aparatur Negara (Paran).

Nasution jadi ketuanya, sementara Roeslan dan Yamin anggota. Mereka berbagi tugas. Nasution menggarap ketertiban organisasi, tata kerja, dan personal. Roeslan menangani retuling mental. Sementara bidang tugas Yamin lebih fleksibel. Staf-stafnya antara lain Sekjen Departemen Pendidikan sekaligus Sekjen Depernas M. Hutasoit, Sekjen Departemen Luar Negeri Kusumowidagdo serta Mursalin Daeng Mamangung dan Kolonel Arifin Sjukur dari ALRI. Mereka biasanya rapat di Mabes AD –lalu pindah ke Departemen Pertahanan ketika Nasution menjadi menteri koordinator pertahanan dan keamanan/kepala staf angkatan bersenjata (Menko Hankam/Kasab).

Untuk melaksanakan programnya, Paran membentuk beberapa subpanitia, yang kemudian berdasarkan SK Paran tanggal 20 November 1960 No. 1/I/K/a/60 dikembangkan dengan tambahan petugas dari wakil-wakil lembaga pemerintahan. Paran juga bekerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, dan bea cukai. Pelaksanaan di daerah diserahkan kepada Paran daerah, yang dibentuk gubernur. Sedangkan untuk militer, Nasution mengirimkan radiogram ke Kodam-Kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran.

Jenderal TNI A.H. Nasution, Presiden Sukarno, dan Mayjen TNI Soeharto di Istana Merdeka Jakarta. (Perpusnas RI).

Gebrakan Awal

Sebagai langkah awal, Paran melaksanakan pengawasan aparatur negara. Sasaran awalnya, perbaikan organisasi dan tata kerja departemen, perbaikan kepegawaian, dan peningkatan semangat kerja. Ada formulir laporan kekayaan yang harus diisi oleh para pejabat dan harus dikembalikan ke Paran.

Setelah berjalan, Paran menemukan bukan hanya salah urus atau kurang kompetensi dalam birokrasi, tapi juga korupsi. Temuan-temuan itu diteruskan ke kejaksaan, pengadilan, atau kepolisian. Namun, “Cukup banyak rintangan dan oposisi. Karena itu perlu banyak musyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi lainnya. Tapi rintangan terbesar berangsur-angsur tampil dari aspek politik,” tulis Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas.

Banyak pejabat dan perwira tak mau melaporkan kekayaan mereka. Banyak juga yang mengembalikan laporan kekayaan langsung ke presiden dengan dalih mereka bawahan presiden. Dalam konsep Sukarno, aparatur negara adalah alat perjuangan. “Karena itu semua organisasi, termasuk pemerintahan, merupakan alat perjuangan dan selalu disesuaikan dengan tingkatan perjuangan. Kuncinya bukan hanya profesional, justru dedikasi dan ideologi,” ujar Mohamad Achadi, mantan menteri Transmigrasi dan Koperasi pada Kabinet Dwikora (1964–1966).

Karena berjalan tersendat-sendat, Sukarno pun jengah. Dalam pidato 17 Agustus 1960, Sukarno menyinggung soal adanya perwira-perwira korup yang memimpin perusahaan-perusahaan negara, dengan menegaskan isi pidatonya pada 27 Januari tahun yang sama. “Pokoknya pada waktu itu saya tandaskan setandas-tandasnya, bahwa untuk ekonomi terpimpin haruslah Ekonomi Negara memegang posisi komando. Dan ini akan gagal sama sekali, kataku, jika diteruskan ‘pencolengan-pencolengan, korupsi-korupsi, ketidaktegasan, etc...’ Pokoknya sekarang ialah supaya diakhirilah penyalahgunaan atau penggunaan kesempatan oleh siapapun juga adanya SOB (adanya keadaan bahaya) untuk menggemukkan kantong sendiri,” ujar Sukarno.

Paran menemukan bukan hanya salah urus atau kurang kompetensi dalam birokrasi, tapi juga korupsi.

Pemerintah juga sudah mengambil langkah taktis. Pada 9 Juni 1960, pemerintah mencabut dua Peperpu tahun 1958 tentang korupsi dan menggantikannya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Karena hingga 31 Desember 1960 belum disahkan parlemen, melalui UU No. 1 tahun 1961, presiden memutuskan bahwa sejak 1 Januari 1961 Perpu ini menjadi UU No. 24 Prp tahun 1960.

Meski tak menyebut angka, bagian penjelasan dalam Perpu menyebut hasil pemberantasan korupsi sebelumnya cukup memuaskan. Termasuk, yang terpenting, “effect psychologis terhadap masyarakat dengan konsekwensi membatasi/mengurangi nafsu berkorupsi, kesemuanya itu sangat berjasa mengkonsolideer kembali kewibawaan pemerintah.”

Terkait retuling, menindaklanjuti surat Paran pada 3 Mei 1962, Sukarno menerbitkan sejumlah Peraturan Presiden (Perpres) untuk melaksanakan indoktrinasi. Ada kewajiban membaca sumpah setidaknya sekali dalam satu minggu bagi aparatur negara (Panca Satia), polisi (Tri Brata), tentara (Sapta Marga), dan mahasiswa (Panca Dharma Bhakti). Sukarno sendiri tak segan turun langsung dengan memberikan kuliah-kuliah umum tentang retuling, yang dihadiri aparat negara, mahasiswa, hingga perempuan biasa.

Langkah Nasution mulai tersendat ketika posisinya sebagai pimpinan AD digantikan Mayjen TNI Ahmad Yani. Pergantian ini merupakan langkah Sukarno untuk membatasi kekuatan kubu Nasution. “Setelah saya berhenti sebagai KSAD pada medio tahun 1962, maka Paran semakin terkucil,” tulis Nasution.

Presiden Sukarno melantik Mayjen TNI Ahmad Yani sebagai KSAD. (Repro Achamd Yani Tumbal Revolusi).

Operasi Budhi

Pada Februari 1961, KSAD Nasution mengirimkan radiogram ke seluruh Kodam. Divisi Siliwangi di bawah Kolonel Ibrahim Adjie merespons dengan membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Perwira Menengah yang dikenal dengan nama Operasi Budhi.

Siliwangi menjalankan Operasi Budhi bukan semata untuk meningkatkan efisiensi administrasi daerah, tapi juga “memberikan jawaban yang memadai atas tuduhan korupsi yang dilancarkan PKI terhadap para perwira Siliwangi,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967.

Selain menelusuri kekayaan para perwiranya dengan cara pengisian formulir, Siliwangi menarik kembali perwira-perwiranya yang gagal menjalankan jabatan-jabatan sipil. “Adjie tak mau berkompromi dalam soal ini,” tulis Sundhaussen.

Dalam setahun, Siliwangi memejahijaukan beberapa perwira, memecat hingga memenjarakan banyak pejabat korup. Pengadilan Tentara Tinggi ALRI, misalnya, memvonis enam tahun penjara kepada Kepala Operasi ALRI Kolonel Pirngadi, yang dikutip Pikiran Rakjat, 28 Mei 1962, “terbukti melakukan kejahatan pelanggaran hukum dengan menggelapkan/menyalahgunakan keuangan yang berada dalam penguasaan jabatannya meliputi jumlah Rp14 juta.”

Setelah berjalan kira-kira 18 bulan, Nasution, kala itu menjabat sebagai Menko Hankam/Kasab, menjadikan Operasi Budhi sebagai program di tingkat nasional. Ia menunjuk Inspektur Kehakiman Kolonel Sutoyo untuk menyusun program operasi; Kolonel Muktiyo menjadi sekretarisnya. Presiden Sukarno menyetujuinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 275 tahun 1963 tentang Operasi Budhi. Sasaran utama Operasi Budhi adalah perusahaan-perusahaan negara.

Nasution jadi ketua dibantu Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro. Nasution akan memeriksa semua perusahaan negara dan perusahaan dagang negara, sementara Wirjono memprosesnya di badan-badan peradilan. Keduanya juga membuat kebijakan pelaksanaannya, dibantu menteri/panglima Angkatan Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Paran menemukan adanya manipulasi dan penyelewengan dalam lingkungan perusahaan negara yang meliputi angka-angka yang hampir tidak masuk akal setelah dilancarkannya Operasi Budhi.

Sebuah panitia dibentuk untuk menyusun seratus pertanyaan yang akan ditujukan kepada para pejabat di perusahaan-perusahaan negara. Panitia itu terdiri dari beragam ahli, dari polisi, jaksa, hakim, bea cukai, hingga pajak. Sekitar 200 mahasiswa dan pegawai magang di berbagai instansi ikut dilibatkan. Seratus pertanyaan itu meliputi kebijakan, barang, uang, devisa, transaksi pembelian dan penjualan, jasa-jasa produksi, dan lain-lain. Termasuk juga pendaftaran milik direktur perusahaan negara, dari rumah hingga perhiasan berharga.

Tim pemeriksa biasanya mendatangi perusahaan negara pada hari Senin setelah memberikan pemberitahuan sebelumnya. Dalam pemeriksaan, tim mengajukan pertanyaan tentang aktivitas perusahaan dan mendata kekayaan para pejabat. Jika menemukan adanya pelanggaran, mereka akan membedakannya dalam dua kategori: kriminal atau administratif. Pelanggaran pertama langsung ditangani sesuai hukum tanpa kecuali, sedangkan untuk pelanggaran administratif Operasi Budhi langsung meneruskannya ke menteri-menteri bersangkutan.

Dalam tiga bulan, menurut Nasution, Operasi Budhi berhasil menyelamatkan uang negara sekira RP11 milyar. “Dulu Mercedez 3,5 juta lho harganya,” ujar Achadi. Jika uang itu dibelikan Mercedez Benz, Anda bisa mendapatkan 3.000 lebih mobil. Namun jumlah itu baru sekitar 1/7 dari hasil pemeriksaan yang mereka garap.

Pada 14 Maret 1964, Nasution mengumumkan di depan konferensi Presidium Kabinet dan Catur Tunggal se-Indonesia bahwa Paran telah menemukan adanya manipulasi dan penyelewengan dalam lingkungan perusahaan negara “yang meliputi angka-angka yang hampir tidak masuk akal setelah dilancarkannya Operasi Budhi.” Nasution tak menyebut angka. Namun berdasarkan informasi pengusaha Agus Dasaad, wartawan Rosihan Anwar dalam catatan hariannya Sebelum Prahara menyebut angka sekira Rp14 milyar.

Muncul desakan agar Operasi Budhi mengumumkannya ke publik, terutama dari PKI. Maksudnya sih baik. Namun ada yang menengarai tujuan lain PKI: memperkuat kedudukan politik dalam rivalitasnya dengan militer –dua kekuatan politik dominan selain Sukarno. Namun Nasution menolak. “Pengumuman hasil Operasi Budhi akan diserahkan ke instansi yang berwenang dalam hal ini”, yakni pihak kejaksaan.

Ada juga reaksi dari masyarakat dan partai politik agar pelaku korupsi mendapat hukuman berat atau hukuman mati. Dalam Konferensi Kosgoro 24 Maret 1964 di Yogyakarta, Nasution memberikan penjelasan terbuka. Ia antara lain mengatakan presiden dan pemerintah tetap mempunyai hak oportunitas (hak mengesampingkan perkara demi kepentingan umum) terkait hasil-hasil pemeriksaan dan penyelesaiannya di badan-badan peradilan. Mengenai hukuman, Operasi Budhi tak punya kewenangan. “Hal ini terletak di bidang badan-badan peradilan,” ujar Nasution.

Presiden Sukarno dan Ibnu Sutowo dalam acara resepsi peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan di Istana Merdeka Jakarta. (Perpusnas RI).

Move Sukarno

Banyak pejabat atau perwira, termasuk teman-teman Nasution di Staf Umum AD (SUAD), tak suka atau merasa terancam oleh Operasi Budhi. Mereka berlindung di balik orang-orang kuat seperti Sukarno dan Ahmad Yani. Bahkan pada suatu kesempatan, Sukarno mengatakan bahwa jika para kolonel kena sikat, PKI akan mendominasi.

Tembok tebal dihadapi Operasi Budhi ketika hendak memeriksa Pertamina. Direktur Utama Ibnu Sutowo dan jajaran direksi Pertamina menolak pengusutan dengan alasan pelaksanaan Operasi Budhi belum dilengkapi surat tugas. Menurut Priyatna, “(Pertamina) bukan sulit, (tapi) orangnya menentang. Mau diapain?”

Ibnu Sutowo –yang menangani pengelolaan tambang minyak peninggalan Belanda itu atas perintah Nasution pada 1955– juga sudah diberi tahu agar bersiap-siap untuk pemeriksaan. Tapi kemudian ia mengirimkan utusan yang membawa surat bahwa dirut Pertamina mendapat perintah presiden ke luar negeri sehingga tak bisa hadir saat pemeriksaan. “Karena intervensi Presiden Sukarno, Pertamina tak bisa saya capai,” ujar Nasution.

Sejauh itu, Operasi Budhi sudah memeriksa 49 perusahaan negara. Mereka mempersiapkan bahan-bahan penuntutan di pengadilan dan saran-saran tentang perbaikan kebijakan hingga administrasi. “Baru lebih kurang 10% berkas-berkas pemeriksaan yang kami garap. Dari sini sudah jelas betapa luasnya korupsi dan salah urus,” tulis Nasution.

Namun, langsung ataupun tidak, Operasi Budhi mulai mengusik Sukarno. Dari bisikan-bisikan orang-orang terdekatnya yang tak suka Operasi Budhi, Sukarno menganggap Nasution sedang menggalang dukungan di kalangan tentara antikorupsi dan membangun kekuatan untuk menandingi dirinya.

Sejarawan Asvi Warman Adam melihat hubungan Sukarno-Nasution yang “didasari love and hate”. Dalam tatanan politik nasional kala itu, Sukarno sebisa mungkin mengatasi AD maupun PKI. Sukarno tak ingin posisi Nasution (AD) makin kuat. Keberhasilan Operasi Budhi bisa membahayakan posisi politik Sukarno. Ditambah dengan bisikan-bisikan orang-orang di sekelilingnya, seperti dari Aidit yang mengatakan bahwa yang harus diretul itu sebetulnya Operasi Budhi sendiri, Sukarno akhirnya lebih memilih mengganjal Operasi Budhi. “Bung Karno tidak senang kesuksesan Nas,” ujar Asvi.

Kabar ketidaksukaan Sukarno itu bukanlah isapan jempol. Dalam catatan hariannya 17 April 1964, Rosihan Anwar mencatat, presiden memanggil wakil-wakil Front Nasional Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan memberikan isyarat agar mereka menuntut pembubaran Operasi Budhi. Alih-alih menjalankan, mereka mengemukakan perlunya “penyempurnaan”. Presiden kecewa dan meminta mereka menghadap sebuah panitia yang terdiri atas Kolonel Bambang Supeno, Brigjen TNI Kretarto, Laksamana Muda Abu Rachmat, dan Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Polisi Sutjipto Judodihardjo, untuk membicarakan bentuk penyempurnaan itu.

Dari perspektif Sukarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan.

Tanpa disadari, tulis Nasution, Operasi Budhi menyinggung perasaan presiden ketika ia memeriksa seorang direktur utama Perusahaan Dagang Negara yang dekat dengan Sukarno. Nasution tak menyebut nama. Tapi mudah dilacak bahwa orang itu adalah Harsono Reksoatmodjo.

Operasi Budhi menemukan korupsi ratusan juta. Harsono bersama teman-temannya membentuk perusahaan pelayaran yang menggunakan wewenang, modal, dan fasilitas perusahaan negara. Ketika pemeriksaan lagi berjalan, muncul kabar bahwa Harsono akan ditunjuk sebagai duta besar Indonesia di Jepang. Nasution menghubungi Departemen Luar Negeri. Ia mendapat kabar bahwa Harsono ditunjuk langsung oleh Istana. “Rupanya dirut yang bersangkutan telah minta perlindungan ke istana,” tulis Nasution.

Buntut dari pemeriksaan itu, Nasution dan Wirjono dipanggil ke Istana Bogor. Di sana keduanya mendapat “kuliah” dari ketiga Wakil Perdana Menteri: Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh. Waperdam I menyatakan bahwa dalam revolusi tak penting apa yang keduanya ramaikan. Waperdam II menyebut presiden telah melantik duta besar; kalau tak jadi, prestise presiden jadi korbannya.

Operasi Budhi pun akhirnya berakhir. Pada Mei 1964 Wakil Perdana Menteri I dr. Subandrio mengumumkan pembubarannya. Menurut Subandrio dalam memoar Kesaksianku tentang G30S, pembubaran itu merupakan langkah Sukarno berikutnya untuk menggunduli sisa-sisa kekuatan Nasution. Sebagai gantinya, presiden membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang dipimpin Subandrio. Presiden menunjuk Yani sebagai kepala staf Kotrar. “Dari perspektif Sukarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan kemenangan,” tulis Subandrio.

Persaingan Yani-Nasution begitu kuat. Yani menyetujui usulan Sukarno yang membatasi wewenang Kasab Nasution hanya sebagai penguasa administratif. Yani juga setuju atas pembubaran Operasi Budhi. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia, Yani setuju pembubaran itu lantaran ada kekhawatiran penyelidikan Nasution terhadap korupsi para perwira AD di perusahaan-perusahaan negara akan menyinggung para pendukung Yani.

Begitu Kortrar terbentuk, Yani mengutus sekretarisnya, Kolonel Suparjo, untuk meminta arsip- arsip Paran/Operasi Budhi. Setelah berunding dengan staf, Nasution memutuskan menyerahkan lebih dulu arsip-arsip indoktrinasi yang dibawahi Roeslan Abdulgani. Namun ternyata itu tak cukup. “Ada analisis, mungkin ada lagi laporan kepada presiden bahwa kami mempunyai dokumen yang bisa dipakai untuk menyerang beliau. Tapi sepengetahuan saya, tidak ada yang demikian,” tulis Nasution.

Di luar persinggungan politik itu, Nasution mengakui bahwa ia alpa melaporkan progres Paran secara kontinyu kepada presiden karena beranggapan sudah mendapat restu dari presiden. Kealpaan ini dimanfaatkan lawan-lawan politiknya. Apa lacur, upayanya memberantas korupsi harus berakhir sekalipun, “Saya belum puas dengan hasil-hasil retuling yang dicapai.”*

Majalah Historia No. 2 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
643cfafce2685e4de2574f40