Wilayah operasi VOC membentang dari Afrika Selatan hingga Filipina dengan pusatnya di Nusantara. Dari arsip VOC diketahui barang-barang muatan kapal yang diperdagangkan.
Kapal perang Belanda dan kapal-kapal lainnya dalam keadaan tenang, 1665. Lukisan karya Willem van de Velde II. (Rijksmuseum/Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBAGAIMANA diketahui, perusahaan dagang Belanda untuk wilayah Timur, Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC), didirikan pada 20 Maret 1602. Perusahaan yang kemudian dianggap sebagai perusahaan multinasional di dunia, merupakan penggabungan (vereenigde) dari berbagai kamar dagang yang menyertakan modal untuk mendanai pelayaran ke wilayah Timur dalam rangka mencari sumber rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Ada enam kamar dagang yang menyertakan modalnya, yaitu: Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuyzen. Masing-masing kamar dagang diwakili dalam dewan pengurus VOC di Belanda yang disebut Heeren XVII menurut besaran modal yang ditanam dalam perusahaan.
Dari buku pelajaran sejarah, yang umum diketahui adalah pelayaran Cornelis de Houtman dan De Keyzer yang tiba di Banten pada 23 Juni 1595 dan kemudian juga singgah di pelabuhan Jayakarta. Sejumlah pelayaran yang dilakukan sebelum VOC terbentuk disebut sebagai periode voorcompagnieёn, bahkan juga disebut sebagai wilde vaart (pelayaran liar), tersebab oleh pelayaran yang tidak diatur (unregulated voyages) yang sering menimbulkan persaingan ketat di antara perusahaan dagang Belanda sendiri.
SEBAGAIMANA diketahui, perusahaan dagang Belanda untuk wilayah Timur, Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC), didirikan pada 20 Maret 1602. Perusahaan yang kemudian dianggap sebagai perusahaan multinasional di dunia, merupakan penggabungan (vereenigde) dari berbagai kamar dagang yang menyertakan modal untuk mendanai pelayaran ke wilayah Timur dalam rangka mencari sumber rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Ada enam kamar dagang yang menyertakan modalnya, yaitu: Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuyzen. Masing-masing kamar dagang diwakili dalam dewan pengurus VOC di Belanda yang disebut Heeren XVII menurut besaran modal yang ditanam dalam perusahaan.
Dari buku pelajaran sejarah, yang umum diketahui adalah pelayaran Cornelis de Houtman dan De Keyzer yang tiba di Banten pada 23 Juni 1595 dan kemudian juga singgah di pelabuhan Jayakarta. Sejumlah pelayaran yang dilakukan sebelum VOC terbentuk disebut sebagai periode voorcompagnieёn, bahkan juga disebut sebagai wilde vaart (pelayaran liar), tersebab oleh pelayaran yang tidak diatur (unregulated voyages) yang sering menimbulkan persaingan ketat di antara perusahaan dagang Belanda sendiri.
VOC berhasil menjejakkan kaki di bekas wilayah kekuasaan Pangeran Wijayakrama itu pada Januari 1611 dan berkembang menjadi pusat kekuasaan VOC. Dari Batavia yang secara resmi dirayakan pembentukannya pada 30 Mei 1619, kompeni dagang itu melebarkan sayap ke berbagai penjuru dengan berbagai intrik politik dan tarik ulur dalam menghadapi penguasa-penguasa lokal di wilayah Nusantara.
Wilayah operasi dagang VOC yang juga disebut sebagai octrooigebied membentang luas dari Tanjung Harapan (Cape Hope) di Afrika Selatan–sepanjang pantai timur Afrika –semenanjung Arab–Teluk Persia–pantai Malabar dan Koromandel di India–Malaka–Nusantara–Siam– Taiwan–sampai ke Jepang dengan pos dagang Nagasaki di pulau Deshima. Bahkan, Filipina juga masuk dalam jangkauan operasi dagang VOC.
Dengan wilayah operasi yang sangat luas itu bisa dimaklumi periode abad ke-16 sampai akhir abad ke-18 wilayah Asia-Afrika jadi arena persaingan dan perebutan di antara berbagai perusahaan dagang Eropa, mulai Inggris, Portugis, Spanyol, Denmark sampai Swedia. Laut, pada masa itu, adalah jalur kekuatan ekonomi tetapi juga area pertempuran.
Peta lokasi pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa pada masa VOC. (gahetna.nl).
Harta Karun yang Tersisa: Arsip VOC
Sebagai wilayah yang paling luas dalam kancah persaingan, Nusantara jadi wilayah konsentrasi dagang VOC yang menobatkan Batavia sebagai kantor pusat VOC di dunia Timur. Posisi ini menjadikan Batavia sebagai pos arus korespondensi antara berbagai pos dagang VOC di Asia dan Afrika. Ketika Batavia menjadi ibukota pemerintah kolonial Hindia Belanda (bahkan juga sekarang sebagai ibukota Republik Indonesia), maka sebagian lembaga yang menyimpan semua dokumen dari masa kolonial/VOC-Hindia-Belanda juga terdapat di Batavia-Jakarta.
Dokumen VOC yang tersebar di beberapa pusat kekuasaannya dulu tersimpan di Cape Town di Afrika Selatan, Chennai di India, dengan jumlah yang jauh lebih sedikit di Kolombo/Sri Lanka, dan kemungkinan juga ada di Nagasaki, Jepang. Sebagai pusat administrasi VOC di Batavia maka arsip VOC terbesar terdapat di Arsip Nasional RI di Jakarta.
Jumlah arsip VOC yang tersimpan di Arsip Nasional RI, bila berkas-berkas itu diletakkan berdiri, mencapai dua kilometer. Maka, tak mengherankan jika di lembaga itu dijumpai banyak dokumen-arsip periode abad ke-17 dan ke-18 tentang berbagai pos dagang VOC di India, Ceylon/Sri Lanka, korespondensi dengan penguasa (raja dan perdana menteri) Siam, Tonkin, Formosa/Taiwan, Gamron dan Hormuz di Persia, Mocha (Aden/sekarang Yemen), Madagaskar, juga Mangindanao di Filipina.
Koleksi arsip VOC yang ada di Arsip Nasional RI menghimpun berbagai jenis dokumen, bagian terbesar terdiri dari: (a) resolusi, berupa keputusan rapat Hooge Regering atau pimpinan tertinggi VOC yang merupakan anggota Dewan Hindia bersama gubernur jenderal; (b) daghregister, yaitu jurnal atau catatan harian administratif yang berisikan berbagai hal dan aktivitas; (c) plakaat, adalah publikasi dari berbagai peraturan yang bersifat lokal; (d) berkas-berkas yang termasuk dalam koleksi lembaga yang dibentuk VOC untuk wilayah Batavia. Buku inventaris The Archives of the Dutch East India Compay/VOC and the Local Institutions in Batavia yang terbit tahun 2007 dapat menjadi rujukan lengkap.
Wilayah Niaga dan Barang Muatan VOC
Dari telaah dan bacaan arsip VOC dapat diketahui bahwa daerah operasi dagang VOC tidak melulu mengirimkan keuntungan niaga ke ibu negeri di Belanda. Tidak hanya wilayah di mana kapal-kapal tersebut berlayar dan berdagang, jenis kapal yang digunakan dalam operasi tersebut juga menunjukkan di mana wilayah operasi dagang itu diadakan. Termasuk pula muatan kapal dengan bermacam komoditas yang diperjualbelikan memberikan ciri wilayah operasi dagang dimaksud.
Operasi dagang VOC di kawasan Timur terbagi tiga wilayah: pertama dalam operasi dagang di kawasan Asia, dari pantai timur Afrika–Persia–India–Siam–Taiwan–bahkan sampai ke Tiongkok; kedua, operasi dagang di wilayah Nusantara dari Aceh–Riau–Sumatra Barat–Palembang– Banka–Lampung sampai ke Jawa (Banten–Cirebon–Tegal–Rembang–Semarang–Gresik–Surabaya–Pasuruan)–Sumbawa (Bima) sampai ke Flores dan Timor, juga Sukadana– Pontianak–Banjarmasin–Gowa/Makassar–Buton–Ternate–Tidore–Ambon–Banda–Bacan. Ketiga, operasi dagang di wilayah Afrika Selatan berlanjut ke negeri Belanda dengan kapal-kapal yang membawa komoditas dari Asia dan Nusantara.
Jenis kapal yang mencirikan wilayah operasi dagang juga dapat dilacak dari catatan yang termuat dalam Daghregister 1624–1682 yang diterbitkan tahun 1684–1807 yang belum diterbitkan. Sebagaimana W.Ph. Coolhaas menuliskan dalam A Critical Survey of Studies on Ducth Colonial History (‘s Gravenhage, 1960, hlm. 28) bahwa daghregisters dari periode 1628–1750 merekam hal-hal penting tentang hampir semua kejadian di Asia yang menjadi perhatian VOC.
Maka dari Daghregisters kita bisa menangkap arti dan peranan perahu lokal jenis pancalang, paduwakang, perahu mayang, sampan, gonting (kunting dalam bahasa Jawa), tingan (bahasa Jawa: ténggang) dan ada juga jenis gorab yang berseliweran di perairan Nusantara meramaikan peniagaan maritim. Kapal VOC yang ikut terlibat dalam perniagaan Nusantara biasanya menggunakan jenis chialoup, jaghtje, dan hoeker.
Sementara untuk perniagaan antar-Asia digunakan kapal dengan daya angkut yang lebih besar. Untuk pelayaran niaga membawa hasil bumi Nusantara dan Asia ke Eropa, dimuat dalam beberapa kapal yang membentuk sebuah armada (vloot). Selain memuat komoditas barang dagangan, armada juga memuat para pegawai dan keluarga pejabat VOC yang akan kembali ke negeri mereka.
Hasil produk dan komoditas yang diperdagangkan juga memberi gambaran tentang perbedaan dan pembagian wilayah operasi dagang VOC. Kapal-kapal yang berdagang di perairan Asia, biasanya membawa produk kain bahan pakaian yang banyak diproduksi di India, Persia, Jepang dan Tiongkok, yaitu kain sutra yang dari India disebut patola. Sementara dari Persia disebut armozijn, mengambil nama Ormudz, pos dagang VOC di wilayah Teluk tersebut.
Sedangkan bahan kain yang lebih banyak diperdagangkan adalah bahan katun atau linen dengan banyak nama, seperti chits (dari India) atau kain cita warna-warni, ada juga tapesarassa atau kain tapis, assumania, niquania, bafta, yang semuanya berasal dari berbagai tempat di India, dan banyak lagi.
Pelabuhan Batavia yang sedang ramai oleh aktivitas pembuatan kapal pada masa VOC, 1615. (gahetna.nl).
Dari Koin Sampai Buncis
Selain barang dagangan juga diperjualbelikan berbagai mata uang, baik yang berasal dari Eropa, Jepang, dan Tiongkok. Real (rial atau ringgit) dari Spanyol, kroon, schelling, riksdalder, stuiver dari Belanda, piaster yang diperkenalkan oleh Inggris, dukat, dan duit, yang sebetulnya uang logam Belanda. Sementara umum digunakan adalah picis dari Tiongkok (piti), ropia (dari bahasa Sanskerta, rüpya, sekarang menjadi rupiah). Dari Jepang dikenal coubang dari emas, dan itseboos (ichibu). Di sepanjang pantai Koromandel digunakan pula pagoden, uang logam perak.
Armada yang membawa barang dagangan dari Asia dan Nusantara ke Eropa, terkonsentrasi pada berbagai jenis kain bahan pakaian seperti yang disebutkan di atas, kayu dan rempah-rempah (cengkeh, pala, lada) dari Nusantara, termasuk pula indigo dan kapur barus. Kayu yang dipilih adalah jenis sappanhout, yaitu kayu cendana yang berwarna merah untuk pewarnaan perabot rumah tangga, dan untuk obat.
Pelayaran niaga antar wilayah di Nusantara yang setiap akhir bulan dicatat dalam daghregisters adalah yang datang dan pergi ke pelabuhan Batavia. Dari arus kedatangan perahu-perahu lokal tersebut yang memiliki frekuensi antara 5 sampai 10 perahu dalam satu bulan biasanya dari Jepara, Banten, Ciasem, Krawang, Indramayu, Pemalang, Tegal, Surabaya. Sementara dengan frekuensi di atas 10 perahu yang datang setiap bulan adalah dari Rembang, Semarang, Juana, Gresik, Cirebon, dan Pekalongan.
Muatan yang dibawa dan diperdagangkan di Batavia umumnya beras, padi, gula, asam (tamarinde), kayu termasuk papan dan kayu gelondong, rotan, kapuk, minyak, kadjang yang bisa digunakan untuk membuat tikar disebut cadjang matten, kelapa, pinang, jahe, kacang (witte boontjes = kacang kedelai?), kadang juga garam.
Bahwa ternak dan hewan piaraan juga ikut diperdagangkan, seperti ayam, bebek, kambing, sapi. Juga ikan dan udang yang umumnya berupa ikan asin, atau disebut ikan yang sudah dikeringkan, begitu juga dengan udang kering. Yang juga acap dijumpai dalam catatan muatan kapal itu adalah telur asin (gesoute eyeren), dan yang disebut pees pada (ikan peda?) dari Tegal dan Semarang.
Ada lagi yang menarik untuk dicatat barang dagangan seperti: labu (pompoenen) yang dibawa oleh kapal dari Tangerang (Agustus 1675) dan ketimun (Maret 1675), ada juga belacan dari Ciasem (Juni 1675). Sebaliknya ketika perahu-perahu tersebut kembali ke tempat asal masing-masing, yang biasanya dibawa adalah uang kontan dan bahan kain.*
Majalah Historia No. 22 Tahun II 2015
Penulis adalah sejarawan, arsiparis Arsip Nasional RI, dan peneliti arsip VOC.