Kolonel Soeharto, Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah. (pinterest.com).
Aa
Aa
Aa
Aa
SELEPAS nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1958, militer menduduki jabatan-jabatan penting di perusahaan-perusahaan negara. Peran mereka di bidang sipil makin kuat menyusul Undang-undang Keadaan Darurat Perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg) yang dikeluarkan KSAD Mayjen TNI AH Nasution setahun sebelumnya. Banyak perwira yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri.
SELEPAS nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1958, militer menduduki jabatan-jabatan penting di perusahaan-perusahaan negara. Peran mereka di bidang sipil makin kuat menyusul Undang-undang Keadaan Darurat Perang (SOB, Staat van Oorlog en Beleg) yang dikeluarkan KSAD Mayjen TNI AH Nasution setahun sebelumnya. Banyak perwira yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri.
Kasus Soeharto
Di Jawa Tengah, Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto memanfaatkan posisinya untuk melakukan perniagaan barter, padahal penyelundupan. Alasannya untuk menyejahterakan prajurit. Kala itu anggaran militer masih sangat minim dan belum teratur. Untuk menutupi kekurangannya, “Soeharto memulai upaya sistematis penggalangan dana bagi kesejahteraan pasukannya, kesejahteraan seluruh penduduk Jawa Tengah yang sebagian daerahnya amat miskin serta kekurangan gizi,” tulis RE Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik.
Soeharto memulainya sejak 1953, saat jadi komandan Resimen Infantri 15 di Solo, Jawa Tengah. Di Semarang, melalui orang-orang kepercayaannya seperti Yoga Sugama, Ali Moertopo, dan Sudjono Humardani, Soeharto menyelundupkan gula dan kopra untuk dibarter dengan beras. Kegiatan itu dilakukan dengan menggandeng pengusaha swasta, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, anak asuh Brigjen TNI Gatot Soebroto.
Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mencium penyelewengan itu. MBAD mengirim tim pemeriksa yang diketuai Kolonel Sungkono. Nasution marah ketika tahu hasilnya. Ia sempat ingin memecat Soeharto tapi tak jadi setelah wakilnya, Gatot Soebroto, menyarankan agar Soeharto disekolahkan saja.
“Perkaranya diperiksa tersendiri oleh tim yang dipimpin Deputi III KSAD Badarusyamsi dan dengan wewenang yang ada pada KSAD tidak diteruskan ke pengadilan,” tulis Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas.
Presiden Sukarno kecewa karena pemimpin Angkatan Darat tak membawa kasus tersebut ke pengadilan. Menurut Nasution, kebijakan pimpinan Angkatan Darat didasarkan pada hak veivijzingsrecht atau hak menunjuk perkara yang dimiliki KSAD. Ia juga menganggap barter di Kodam Diponegoro kecil dibanding korupsi tokoh-tokoh politik. Selain itu, Soeharto berniat baik: memanfaatkan dana yang diperoleh dari barter untuk kesejahteraan prajurit dan pembangunan daerah. Kasusnya pun lenyap tak berjejak.
Yayasan Kopra
Di Sulawesi, para perwira setempat sudah melakukan barter hasil bumi jauh sebelum SOB. Pada 1954, Panglima TT-VII Kolonel Warouw dan komandan resimen di Sulawesi Utara, Mayor Worang, seorang putra Minahasa, mengizinkan penyelundupan kopra secara besar-besaran. Hasilnya, “untuk dapat membiayai operasi-operasi militer dan program permukiman kembali,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967.
Sama seperti di tempat lain, dalih untuk menyejahterakan prajurit juga dipakai. Kopra, komoditas utama Sulawesi, diselundupkan ke Kalimantan Utara dan Singapura untuk ditukar dengan persenjataan dan peralatan pertanian. Keuntungan dari perdagangan barter itu juga digunakan untuk membiayai proyek pembuatan dan perbaikan jalan, pembangunan barak, serta pembangunan jembatan. Selain itu, untuk impor bahan-bahan makanan, tekstil, dan beragam peralatan. Tak heran bila Yayasan Kopra yang –didirikan untuk mengatur dan memonopoli perniagaan kopra– merupakan kepanjangan tangan pusat, mendapat penentangan kuat. Mereka mendirikan Yayasan Kelapa, yang menyita kekayaan Yayasan Kopra.
Pengawasan Jakarta menemui hambatan. Antara lain disebabkan karena para penyelundup menggunakan tangan-tangan di Jakarta yang tak menyukai tindakan Nasution. Untuk mengatasinya, salah satu jalan yang ditempuh Nasution adalah mengganti Mayor Worang dengan Mayor Somba.
Kolonel Simbolon pada 1956 juga melakukan penyelundupan di Sumatra. Komoditas yang diselundupkan berupa karet dan kopi. Keuntungannya dipakai untuk membangun perumahan prajurit dan membayar gaji. Pembayaran gaji itu ia tempuh lantaran divisinya mendapat hukuman dari pemerintah akibat kritik-kritikan kerasnya. Namun Simbolon, tulis Sundhaussen, memberi tahu pejabat-pejabat tinggi dan pimpinan Angkatan Darat sebelum menjalankan aksinya. “Dan ia menghentikan kegiatan itu ketika diperintahkan.”
Barter Tanjung Priok
Pada akhir 1958, pihak militer terlibat penyelundupan di Pelabuhan Tanjung Priok. Kegiatan penyelundupan dilakukan oleh pihak intelijen untuk mencari sumber biaya di luar bujet. Nasution mulanya menghentikan penyelidikan dan akan menyelesaikannya secara hukum disiplin tentara dan administratif. Pemerintah menyetujuinya.
Namun, pada 23 Agustus 1959, Jaksa Agung Mr. Gatot Tarunamihardja meminta izin Presiden Sukarno untuk mengadakan pemeriksaan karena ada indikasi penyelundupan terus dilakukan. Presiden memberi izin. Gatot adalah Jaksa Agung pertama pada 1945 yang terpilih kembali pada 1959.
Abdul Rachmat Nasution, ayah pengacara Adnan Buyung Nasution, menceritkan sosok sahabatnya itu. “Pak Gatot itu orang hebat,” katanya sambil mengacungkan jempol. “Cuma nasibanya tidak bisa maju. Zaman telah berubah. Siapa yang mau menegakkan kebenaran dan keadilan seperti Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja itu malah dianggap melawan arus. Sekarang, kebanyakan orang malah lebih suka mengikuti arus, yaitu arus kebatilan.”
“Ayah ngomong begitu sebab ayah tahu, begitu Mr. Gatot Tarunamihardja diangkat jadi Jaksa Agung, langsung ia mau membersihkan negara ini dari korupsi,” kata Buyung dalam otobiografinya, Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto.
Menurut Buyung, Gatot memang terlalu berani karena memilih yang pertama diberantas yaitu korupsi di institusi tentara. Ia berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatra Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo.
Saat Gatot akan memeriksa beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo, Nasution berusaha menggagalkannya. Bahkan situasi jadi berbalik: Jaksa Agung yang diselidiki. Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusumah mendapat tugas menangkap Jaksa Agung saat presiden berada di luar negeri.
Ketika sudah berada di tanah air, Sukarno mengadakan pertemuan dengan Djuanda, Nasution, dan Gatot. Permasalahan kemudian diambil alih presiden. Sebagai jalan tengah, presiden memberhentikan Gatot dan mengembalikan kedudukannya ke Departemen Kehakiman. Sementara para perwira yang terlibat dalam barter Tanjung Priok dimutasi dan tetap aktif sebagai militer.
Tidak terima dengan tindakan Gatot, tentara berusaha untuk membunuhnya. “Ia dicoba dibunuh oleh tentara dengan ditabrak subuh-subuh sampai buntung kakinya,” kata Buyung.*