Pernikahan dengan Sarung Tangan

Pernikahan dengan wanita Eropa masih menjadi impian laki-laki Eropa yang berada di Hindia Belanda. Mereka pun melakukan pernikahan dengan sarung tangan.

OLEH:
Amanda Rachmadita
.
Pernikahan dengan Sarung TanganPernikahan dengan Sarung Tangan
cover caption
Potret pernikahan Bets. Wanita ini menikah dengan sarung tangan karena suaminya, laki-laki dalam foto, diduga tinggal di Hindia Belanda, sekitar tahun 1900 atau sebelum 1915. (Jean Vaessen/Rijksmuseum).

HUBUNGAN laki-laki imigran Eropa dengan wanita lokal, yang mengarah pada pergundikan, menjadi hal yang lazim pada zaman kolonial Belanda. Namun, hubungan tersebut umumnya tak berlangsung lama karena pria Eropa masih menginginkan perkawinan dengan perempuan Eropa atau Indo-Eropa yang sederajat.

Keinginan itu pula yang mendorong laki-laki imigran Eropa mengikuti perjodohan melalui keluarga, teman, atau kenalan di Belanda. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menyebut pernikahan melalui wali atau disebut trouwen met handschoenen (pernikahan dengan sarung tangan) menjadi fenomena khas di zaman kolonial Belanda yang dilakukan tanpa kekerasan dan kembali pada adat istiadat abad pertengahan.

“Dalam pernikahan ini, kewenangan calon pengantin laki-laki dapat dilimpahkan kepada orang lain lewat sarung tangan yang dikirimnya,” tulis Reggie.

HUBUNGAN laki-laki imigran Eropa dengan wanita lokal, yang mengarah pada pergundikan, menjadi hal yang lazim pada zaman kolonial Belanda. Namun, hubungan tersebut umumnya tak berlangsung lama karena pria Eropa masih menginginkan perkawinan dengan perempuan Eropa atau Indo-Eropa yang sederajat.

Keinginan itu pula yang mendorong laki-laki imigran Eropa mengikuti perjodohan melalui keluarga, teman, atau kenalan di Belanda. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menyebut pernikahan melalui wali atau disebut trouwen met handschoenen (pernikahan dengan sarung tangan) menjadi fenomena khas di zaman kolonial Belanda yang dilakukan tanpa kekerasan dan kembali pada adat istiadat abad pertengahan.

“Dalam pernikahan ini, kewenangan calon pengantin laki-laki dapat dilimpahkan kepada orang lain lewat sarung tangan yang dikirimnya,” tulis Reggie.

Seperti halnya proses perjodohan di masa kini, keluarga atau kenalan dari pihak laki-laki akan mencarikan perempuan Eropa yang bersedia menikah dengan laki-laki yang berada di Hindia Belanda. Jika ada perempuan yang bersedia, selanjutnya akan dilakukan pernikahan dengan sarung tangan. Pernikahan tersebut dilaksanakan menggunakan wali atau surat kuasa karena posisi laki-laki berada jauh dari Eropa. Selain itu, seorang perempuan dianggap tidak pantas berlayar seorang diri untuk melangsungkan pernikahan di wilayah tempat tinggal laki-laki. Solusinya, perempuan tersebut harus lebih dahulu mengubah statusnya.

Menurut Frederick Spencer Bird dalam A Sketch of Holland and the Dutch, pernikahan menggunakan wali menjadi jalan tengah bagi kedua pihak mempelai untuk melangsungkan pernikahan. Pasalnya, butuh waktu lama bila harus menunggu mempelai laki-laki yang tinggal di Hindia Belanda kembali ke Eropa maupun tempat asalnya untuk sekadar melangsungkan pernikahan di stadhuis (balai kota) atau gereja. Selain itu, pelayaran juga membutuhkan biaya yang besar. 

“Oleh karena itu, jika, misalnya mempelai wanita tinggal di Belanda, dan calon suaminya di Hindia Belanda, kadang-kadang terjadi untuk menghemat biaya pelayaran yang panjang, dan akibatnya kehilangan waktu, diaturlah wanita tersebut harus pergi ke Batavia atau ke tempat lain untuk bergabung dengan suaminya; tetapi sebelum berlayar, ‘pernikahan sarung tangan’ (met de Handschoen trouwen) harus dilakukan terlebih dahulu,” tulis Bird.

Pieter van Son dengan sarung tangan di tangan kiri dan istrinya, Johanna Le Maire memegang sarung tangan pengantin di tangan kanan. Lukisan karya Nicolaes Eliasz. Pickenoy, sekitar tahun 1622–1629. (Rijksmuseum).

Terkait proses pernikahan tersebut, setelah berbagai persiapan selesai, sang laki-laki akan mengirimkan sarung tangannya yang akan dipakai pada hari pernikahan oleh teman atau kerabat sebagai wali atau kuasanya, yang dihadiri pihak mempelai wanita dan wakil mempelai pria. Setelah prosesi selesai, sepasang kekasih yang terpisah ini secara hukum telah sah menjadi suami dan istri. Perempuan yang telah berstatus istri itu pun diizinkan berlayar untuk menemui suaminya. Dalam istilah kolonial, menurut Reggie, hal itu dinamakan kedatangan handschoentje (pengantin wanita kulit putih yang telah melaksanakan pernikahan dengan sarung tangan).

Namun, bila salah satu pihak meninggal sebelum bertemu, Bird menyebut orang yang masih hidup, baik istri maupun suami, berhak mengklaim warisan milik pihak yang telah meninggal, seolah-olah mereka telah hidup bersama selama bertahun-tahun.

Besarnya minat laki-laki Eropa di wilayah koloni terhadap pernikahan dengan sarung tangan membuat mereka cukup mudah untuk ditelusuri, salah satunya adalah Francois Caron. Menurut Gary P. Leupp dalam Interracial Intimacy in Japan: Western Men and Japanese Women, 1543–1900, pegawai VOC itu menikah melalui wali dengan Constantia Boudaen, seorang perempuan muda Belanda yang berasal dari keluarga terpandang. 

“Caron sebenarnya telah bertunangan, ketika berada di Belanda, dengan Constantia… Mereka kemudian menikah melalui perwakilan segera setelah Caron kembali ke Batavia, dan Constantia tiba di Batavia pada tahun 1645,” tulis Leupp.

Para wanita yang menikah dengan wali umumnya didampingi anggota keluarga, kerabat atau orang kepercayaan dari kedua belah pihak, saat berlayar untuk bertemu suaminya di wilayah koloni. Seperti dialami oleh Maartje, putri pemilik hotel di Amsterdam. Maartje, yang menjalani pernikahan dengan wali, berlayar ke Hindia Belanda menumpang kapal Burgemeester den Tex pada 1894. Dalam pelayaran tersebut, ia didampingi oleh istri seorang penulis sekaligus wartawan, Jan Fabricius.

Sarung tangan pernikahan yang digambarkan pada lukisan Johanna Le Maire, istri Pieter van Son. (Rijksmuseum).

Menurut Reggie, kisah kedatangan para pengantin wanita kulit putih yang melaksanakan pernikahan dengan sarung tangan kerap menjadi tema yang diangkat oleh para penulis dalam kesusasteraan Indies. “Sang pengantin baru yang berlayar seorang diri kemudian kerap terlibat dalam lika-liku percintaan. Banyak handschoentje yang tidak tahan menghadapi bujuk rayu para bujangan yang ada di kapal,” tulis Reggie.

Tak hanya membahas lika-liku percintaan di atas kapal, kisah kehidupan para pengantin wanita kulit putih di wilayah koloni juga menjadi sorotan. Salah satu penulis yang menyoroti hal tersebut adalah Bas Veth. 

Joost Cote dalam Romancing The Indies: The Literary Construction of Tempo Doeloe, 1880–1930 menulis Bas Veth berfokus pada isu hubungan seksual antara laki-laki Eropa pendatang dengan perempuan Indies (Indo-Eropa) dan perempuan pribumi, serta antara perempuan muda Belanda dan laki-laki kolonial. “Dalam penggambarannya, kehidupan kolonial dipenuhi oleh arus bawah yang busuk, seksual, dan berbahaya secara fisik,” tulis Cote.

Rangkaian sketsa kolonial dibuka dengan deskripsi tentang seorang istri muda Eropa yang menikah di Belanda melalui wali atau perantara (met de handschoen) tiba di Batavia. Seperti yang dilihat Bas Veth, wanita itu dianiaya oleh seorang pria kolonial kasar yang belum pernah ditemuinya. Ia kemudian menemaninya ke perkebunan yang sepi, tempat ia diracun oleh nyai yang dibuang oleh sang suami atau terkontaminasi oleh penyakit kelamin yang “banyak diderita oleh para pemuda yang hidup dalam kemaksiatan di Hindia Belanda”.

Di sisi lain, terkait dengan pergundikan yang marak di wilayah koloni pada zaman kolonial Belanda, Reggie menyebut kedatangan handschoentje memiliki arti bahwa tugas sang nyai dalam mendampingi seorang laki-laki Eropa telah usai. “Ini berarti sang gundik (jika belum disuruh pergi) harus secepatnya meninggalkan rumah dan pergi dari hidup sang laki-laki. Selain itu, semua jejak keberadaan gundik pun harus dilenyapkan,” tulis Reggie.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64a7e9b95abf54daa6c6fd42