Persekutuan Dagang Negeri Atas Angin

VOC didirikan pada masa sulit membelit Negeri Kincir Angin. Lambang kejayaan sekaligus simbol imperialisme Belanda.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
Persekutuan Dagang Negeri Atas AnginPersekutuan Dagang Negeri Atas Angin
cover caption
Hak Octrooi yang dimiliki VOC, 1602. (KITLV).

PADA 20 Maret 2002, pemerintah Belanda memperingati 400 tahun Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Ratu Beatrix berpidato dan disiarkan langsung ke seluruh penjuru negeri Belanda. Menjelang puncak perayaan, sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana, kala itu masih menempuh studi master di Universitas Leiden, diminta oleh seorang profesornya untuk ikut dalam perhelatan tersebut. Sang guru besar juga didaulat untuk berpidato di hadapan ratu.

Rencananya, beberapa mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri bekas jajahan seperti Indonesia, Formosa (kini Taiwan), dan Ceylon (kini Srilanka) diminta untuk berdiri berbaris di belakang sang profesor ketika dia berpidato. Mereka diminta memakai pakaian tradisional asal negerinya sembari memegang komoditas khas negerinya masing-masing.

“Tentu saja saya dan dua kawan dari Indonesia menolak permintaan itu. Sebagai bangsa Indonesia kami merasa dilecehkan,” kenang Margana dalam seminar sejarah VOC di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 11 Februari 2015.

PADA 20 Maret 2002, pemerintah Belanda memperingati 400 tahun Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Ratu Beatrix berpidato dan disiarkan langsung ke seluruh penjuru negeri Belanda. Menjelang puncak perayaan, sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana, kala itu masih menempuh studi master di Universitas Leiden, diminta oleh seorang profesornya untuk ikut dalam perhelatan tersebut. Sang guru besar juga didaulat untuk berpidato di hadapan ratu.

Rencananya, beberapa mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri bekas jajahan seperti Indonesia, Formosa (kini Taiwan), dan Ceylon (kini Srilanka) diminta untuk berdiri berbaris di belakang sang profesor ketika dia berpidato. Mereka diminta memakai pakaian tradisional asal negerinya sembari memegang komoditas khas negerinya masing-masing.

“Tentu saja saya dan dua kawan dari Indonesia menolak permintaan itu. Sebagai bangsa Indonesia kami merasa dilecehkan,” kenang Margana dalam seminar sejarah VOC di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 11 Februari 2015.

Dalam sejarah Indonesia, kedatangan VOC adalah awal dari jalan panjang penjajahan. Buat bangsa Belanda, kejayaan VOC adalah zaman keemasan, di saat armada dagang Belanda menguasai jalur perdagangan yang merentang mulai Tanjung Harapan di Afrika sampai Jepang dan Nusantara di Asia.

Semangat zaman untuk menemukan sumber rempah-rempah mendorong tumbuhnya minat penjelajahan di kalangan orang Belanda. Kamar dagang yang terbentuk di berbagai kota di Belanda berlomba-lomba membiayai ekspedisi untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah.

Menurut sejarawan Mona Lohanda periode tersebut masuk ke dalam masa “voorcompagnie’n”, “atau bahkan disebut sebagai ‘pelayaran liar’ (wilde vaart) yang tidak diatur dan seringkali menimbulkan persaingan di kalangan perusahaan dagang Belanda sendiri,” ujar sejarawan-cum-arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia itu.

Armada Belanda di Banten, 1601. (KITLV).

Pada masa itulah delegasi dagang Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman berhasil tiba di Banten pada 23 Juni 1595. Keberhasilan itu menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan mereka: tak hanya orang Portugis dan Spanyol yang bisa mencapai Nusantara, sumber penghasil rempah, tapi juga Belanda. Maka tiap-tiap kongsi dagang berlomba-lomba pergi ke timur, menggantungkan harapan mencari untung.

Dalam keadaan terpecah belah demikian, Belanda disibukkan oleh perang melawan Spanyol dan Portugis. Menurut sejarawan Universitas Leiden Femme Simon Gaastra, kompeni-kompeni dagang yang tercerai berai tersebut tak mampu menghadapi kekuatan kedua armada itu.

“Sebaliknya, kompeni bersatu dapat menjadi senjata ampuh di bidang militer dan ekonomi,” tulis Gaastra dalam makalahnya “Organisasi VOC”.

Maka dimulailah proses perundingan untuk menyatukan kongsi-kongsi dagang yang ada di Belanda, enam di antaranya dari Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuyzen. Awalnya tak semua sepakat dengan penyatuan itu, terutama wakil dari kamar dagang Zeeland. Mereka terlampau curiga atas dominasi Amsterdam. Namun, berkat upaya keras dari Johan van Oldenbarneveldt dan campur tangan Pangeran Maurits, mereka bersedia bersatu di bawah panji VOC.

Johan van Oldenbarneveldt adalah pengacara yang mewakili Staten General (pemerintahan negeri Belanda). Penyatuan itu menurutnya, “Guna menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air.”

Pada 20 Maret 1602 enam perusahaan dagang menggabungkan diri, membentuk Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Dengan penggabungan itu persaingan sengit di kalangan perusahaan dagang Belanda bisa diatasi. Belanda lebih siap menghadapi pesaingnya, Spanyol dan Portugis, yang merintangi jalan Belanda menguasai jalur perdagangan.

Menurut C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, VOC dipimpin oleh suatu dewan pengelola atau majelis para pengurus yang terdiri dari 17 utusan dari enam kamar dagang yang sudah dilebur dalam VOC. Ketujuhbelas pemimpin itu dikenal dengan sebutan Heeren Zeventien atau 17 tuan. Sementara itu, untuk level manajerial ada 60 direktur yang terdiri dari 20 orang wakil dari Amsterdam, 12 wakil Zeeland, dan tujuh wakil untuk empat kamar dagang kecil lainnya.

Pemerintah Belanda juga memberikan keistimewaan kepada VOC berupa hak oktroi. Hak tersebut antara lain menyebut “bahwa tidak satu pihak pun selain VOC yang diperbolehkan mengirimkan kapal-kapal dari negeri Belanda ke daerah seberang timur Tanjung Harapan dan di sebelah barat Selat Magalan,” tulis Gaastra.

Sebagaimana perusahaan dagang, kepemilikan VOC pun dibagi berdasarkan saham. Menurut Mona, kepemilikan saham voor-compagnie (perusahaan-perusahaan dagang pra pembentukan VOC) itu hampir tak berbeda dari VOC yang mendapat oktroi.

“Dari tukang cukur, tukang roti, pemilik warung sampai pedagang besar ikut beli saham dan mereka dapat andil (aandeel). Amsterdam mempunyai modal terbesar, karena itu mereka memiliki wakil paling banyak dalam Dewan Tujuhbelas,” ujar Mona.

Para direktur VOC juga diharuskan memiliki saham minimal enam ribu gulden. Jumlah ini sekaligus jadi jaminan apabila kelak mereka melakukan penyalahgunaan wewenang atau penipuan, mereka dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkannya.

Hak oktroi pun memberikan keistimewaan lain kepada VOC untuk memiliki armada militer sendiri, termasuk mempersenjatai personel dan kapal-kapal mereka. Bahkan, VOC dizinkan untuk memiliki mata uang sendiri untuk menjalankan aktivitas perdagangannya. Melalui oktroi, pemerintah Belanda juga memberi wewenang VOC untuk membangun benteng-benteng, mengerahkan serdadu, mengikat perjanjian dengan raja-raja, dan mengangkat hakim-hakim.

Perang VOC melawan Kesultanan Banten, 1682. (geheugenvannederland.nl).

Kekuasaan VOC

Dari semua wilayah operasi VOC, wilayah Hindia Timurlah yang terluas cakupannya dan menjadi wilayah terpenting di Asia. Oleh karena itu, menurut Gaastra, seluruh kantor VOC di Asia (dan Tanjung Harapan) tunduk pada Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

Cengkeraman kekuasaan VOC dimulai perlahan-lahan. Diawali oleh perdagangan, berakhir pada campur tangan politik pada konflik-konflik yang terjadi di tubuh kerajaan-kerajaan. “Biasanya mereka datang untuk berdagang. Namun, seringkali diundang terlibat membela salah satu pihak di dalam konflik perebutan kekuasaan di kerajaan. Dari situ mereka mendapatkan konsesi wilayah,” kata Mona.

Ricuh antara Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dengan Sultan Haji adalah contoh terbaik bagaimana VOC berhasil memanfaatkan konflik ayah dan anak itu. Banten lambat laun melemah seiring meluasnya pengaruh VOC di tubuh keluarga kesultanan yang terlibat pertikaian.

Namun, tak selamanya cerita hubungan VOC dengan kerajaan berwarna kelabu. Di Kesultanan Buton, kompeni mendapatkan tempat di hati sultan dan petinggi kesultanan lainnya. Dari catatan Syekh Haji Abdul Ganiu, seorang ulama terkemuka dari Buton yang hidup pada abad ke-18, terjemahan oleh La Niampe dalam Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna berharap persekutuan yang mengikat antara Kesultanan Buton dengan VOC (kemudian pemerintah Belanda) yang pernah dibuat pada 5 Januari 1613 bisa tetap dipertahankan.

“Wahai Sultan yang memegang kekuasaan, teguhkanlah perjanjian dengan Belanda. Apabila perjanjian dengan Belanda itu lemah, maka akan berwujud dua perkara, pertama, kita akan dikena sumpah, kedua, esok mengubah dolango (pelindung sultan dan rakyat, red.) tertumbuk perjanjian dengan Bone, sekejap mata saja esok kita tenggelam,” tulis Syekh Haji Abdul Ganiu.

Siap Mati

Menurut Sri Margana, setiap awak kapal VOC yang hendak berlayar ke kepulauan Nusantara sudah siap mati dalam perjalanan. “Biasanya dari 300 kru yang berangkat, pulang 100 itu sudah bagus. Kerjaannya berat. Selama perjalanan 3,5 bulan ke Hindia Timur banyak yang sakit dan tewas,” kata dia.

Doktor alumnus Universitas Leiden itu menyebut pada setiap kapal VOC selalu ada empat kategori profesi yang turut serta berlayar. Mereka adalah para saudagar (koopman), tentara bayaran, para pendeta, dan kelompok terakhir terdiri dari pembuat peta, dokter, serta ilmuwan.

Kendati dikenang sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, VOC juga menyisakan cerita kelam tersendiri. Menurut Sri Margana, tak semua pegawai VOC yang dikirim ke Hindia Belanda berwatak baik. “Orang yang bekerja di VOC adalah pengangguran, penjahat, dan punya reputasi buruk,” ujarnya.

Tak semua orang Belanda menyanjung VOC pada zaman di saat kongsi dagang itu sedang berkibar. Pieter de la Court, seorang usahawan dari Leiden yang hidup pada abad ke-15 dalam buku Aanwijzing der heilzame politieke gronden en maximum van de Republieke van Holland ende West-Vriesland (Petunjuk tentang dasar-dasar dan dalil-dalil politik yang bermanfaat dari Republik Holland dan Friesland) menulis kalau VOC mengirim “orang yang lalai, malas, boros dan jahat berlayar ke Kepulauan Hindia.”

Padahal, katanya, “orang-orang Belanda yang berbakat, hemat, rajin dapat menjadi kolonis yang terbaik di dunia.” Tapi dalam urusan VOC ini, Pieter malah mengherankan lagi kalau ada orang Belanda cerdas, hemat, dan rajin yang bersedia masuk dalam “dinas membudak demikian, kecuali dalam kebutuhan yang amat sangat.”*

Majalah Historia No. 22 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6798588cf3d2ab148b2ef6e5
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID