SECARA diam-diam, Jahja Malik Nasoetion mendirikan Sarekat Tani Indonesia (Sakti) pada 1949. Ketika terjadi konflik internal, Jahja dan kawan-kawan sehaluan meninggalkan Sakti. Sebagai gantinya, pada 20 Mei 1952, mereka mendirikan Persatuan Rakjat Tani (Perta).
Perta juga bersinggungan dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), yang dibentuk awal kemerdekaan. Menurut Gerrit Huizer dalam Peasant Mobilization and Land Reform in Indonesia, BTI tak sepenuhnya didominasi komunis tapi segera pudar setelah kegagalan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Peristiwa Madiun 1948. “Setelah peristiwa itu, banyak anggotanya bergabung dengan Murba...”
Hanya sedikit informasi mengenai aktivitas Perta, di pusat maupun daerah. Salah satunya terekam dalam Arsip Nasional mengenai keputusan konferensi bersama di Tambun, Bekasi, pada 6 September 1952.
Selain Partai Murba cabang Bekasi, hadir ormas di bawahnya, termasuk Perta. Di bidang agraria, keputusan konferensi berisi desakan kepada pemerintah pusat/daerah untuk membagikan tanah/sawah pemerintah dan bekas partikelir kepada rakyat tani yang tak bertanah, mengembalikan kelebihan pembayaran pajak tanah tahun 1950 kepada rakyat, menghapus pajak yang memberatkan rakyat tani, serta membangun dan memperbaiki saluran-saluran air.
Perta menghelat kongres ke-3 di Cirebon pada 2-8 November 1964. Soeriawinata melaporkan bahwa Perta mempunyai 159 cabang, 14.567 seksi, serta lebih dari satu juta anggota dan seratus ribu calon anggota.
Menurut Poeze, di Dewan Partai, Soeriawinata bertanggung jawab untuk pekerjaan di kalangan kaum tani. Dalam Kongres dia terpilih sebagai penasihat tapi dia menolak. Rupanya konflik internal di tubuh Partai Murba menyeret ormas-ormasnya. Kelak, pada 1960- an, Soeriawinata duduk sebagai wakil Perta dalam Badan Pertimbangan dan Pengawasan Pelaksanaan Landreform Pusat.
Laporan dari Wakil Ketua Harun Umar, yang agaknya tentang resolusi Kongres, menguraikan garis umum tentang kegiatan untuk mempertinggi produksi, perbaikan distribusi dan menggalakkan transmigrasi, serta seruan untuk memperkuat dan memperluas organisasi.
Persinggungan lain Perta dengan BTI terjadi pada 1960-an. Perta, sebagaimana Partai Murba, menentang aksi sepihak yang dilakukan BTI/PKI. “Samsudin Chan adalah ketua Perta (Persatuan Rakyat Tani) yang paling gigih menentang aksi sepihak BTI/PKI,” tulis Wasid Suwarto dalam Mewarisi Gagasan Tan Malaka.
Salah satu ekses dari aksi sepihak adalah terjadinya Peristiwa Bandar Betsy di Simalungun, Sumatra Utara, pada Mei 1965. Seorang perwira pengamanan perkebunan Letnan II Sudjono dibunuh oleh petani BTI. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan petinggi militer.
Menurut Hadidjojo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo, militer menghubungi Ketua Partai Murba Sukarni dan menanyakan soal kesepakatan sebelumnya untuk saling bantu jika salah satu pihak dipukul.
“Partai Murba mengonsolidasikan diri dengan menggerakkan Persatuan Rakyat Tani (Perta),” tulis Hadidjojo. “Buruh tani dan buruh perkebunan di seluruh Indonesia segera diorganisir untuk membendung pengaruh BTI. Usaha dapat berjalan baik di beberapa provinsi termasuk di Sumatra Utara.”
Pada November 1965, Perta bergabung dengan Sekber Golkar. Golkar dengan senang hati menyambut penggabungan Perta. Bahkan, tulis Poeze, Golkar terus-menerus mempertanyakan fitnah yang menyerang Perta sebagai organisasi Chaerul Saleh atau sebagai bagian dari Partai Murba yang terlarang.
Samsudin Chan, yang ditahan bersama Sukarni awal 1965, menghirup udara bebas pada Oktober 1965 dan kembali menjabat ketua Perta. Di Sekber Golkar, Perta masuk dalam Gabungan Karyawan Demokrasi Pancasila di mana Samsudin Chan jadi ketuanya.*
Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016