Munif Bahasuan diiringi Orkes Melayu Chandralela, 1969. (Repro Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia).
Aa
Aa
Aa
Aa
MUNIF Bahasuan, kelahiran tahun 1935, seorang penyanyi, komponis, dan pimpinan grup musik di era purwa-dangdut pada 1960-an. Ayahnya lahir di Hadramaut. Pada 1901, ketika usianya 12 tahun, ayahnya dibawa orangtuanya berdagang rempah-rempah ke Batavia. Ibunda Munif berasal dari Gresik, Jawa Timur. Keluarga ini sangat mapan secara ekonomi dan mengembangkan selera kosmopolitan.
Kakak perempuan Munif, memainkan komposisi-komposisi piano gubahan Mozart dan Beethoven. Namun, Munif lebih memilih menyanyi dengan iringan musik leluhurnya: gambus. Dia sering menyanyi pada pesta-pesta dengan iringan orkes gambus. Dia mulai menjadi penyanyi bersama grup Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfi di Radio Republik Indonesia Jakarta.
Menurut Andrew N. Weintraub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, orkes gambus adalah orkes yang menonjolkan gambus (alat musik petik berleher panjang tanpa papan nada) atau ‘ud (alat musik petik berbadan mirip buah pir) dilengkapi gendang dengan membran-ganda kecil (marwas, majemuk: marawis). “Gambus dan marwas diperkirakan dibawa ke Indonesia oleh imigran dari kawasan Hadramaut (Yaman),” tulis Andrew.
MUNIF Bahasuan, kelahiran tahun 1935, seorang penyanyi, komponis, dan pimpinan grup musik di era purwa-dangdut pada 1960-an. Ayahnya lahir di Hadramaut. Pada 1901, ketika usianya 12 tahun, ayahnya dibawa orangtuanya berdagang rempah-rempah ke Batavia. Ibunda Munif berasal dari Gresik, Jawa Timur. Keluarga ini sangat mapan secara ekonomi dan mengembangkan selera kosmopolitan.
Kakak perempuan Munif, memainkan komposisi-komposisi piano gubahan Mozart dan Beethoven. Namun, Munif lebih memilih menyanyi dengan iringan musik leluhurnya: gambus. Dia sering menyanyi pada pesta-pesta dengan iringan orkes gambus. Dia mulai menjadi penyanyi bersama grup Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfi di Radio Republik Indonesia Jakarta.
Menurut Andrew N. Weintraub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, orkes gambus adalah orkes yang menonjolkan gambus (alat musik petik berleher panjang tanpa papan nada) atau ‘ud (alat musik petik berbadan mirip buah pir) dilengkapi gendang dengan membran-ganda kecil (marwas, majemuk: marawis). “Gambus dan marwas diperkirakan dibawa ke Indonesia oleh imigran dari kawasan Hadramaut (Yaman),” tulis Andrew.
Di Hadramaut, menurut L.W.C. van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara, orkes dibentuk dari sebuah gambus (qanbus), gendang (hajir) dari kayu, dan empat buah gendang kecil (marwas). Keempat gendang kecil itu dipegang dengan tangan kiri dan ditabuh dengan tangan kanan. Sedangkan hajir diletakkan tegak di tanah di depan penabuhnya yang memukul dengan kedua tangannya dari sisi yang berbeda.
“Di Hadramaut gambus lazim digunakan di kalangan suku,” tulis van den Berg. “Di kalangan sayid dan golongan menengah, alat musik itu dianggap tidak sesuai dengan martabat mereka.”
Musik gambus, menurut Andrew, dimainkan di pesta pernikahan dan perayaan komunitas lainnya di kalangan pelanggan muslim. Instrumennya meliputi gambus, harmonium, biola, suling, bas betot (bas berdiri, string bass), rebana, dan tamborin.
Di Indonesia, marwas kemudian berdiri sendiri menjadi kesenian yang dinamakan marawis. Dalam Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi, Windoro Adi menjelaskan bahwa satu kelompok marawis terdiri dari sepuluh orang penabuh. Biasanya marawis dimainkan pada acara-acara keagamaan, seperti maulid Nabi Muhammad Saw.
Di Hadramaut gambus lazim digunakan di kalangan suku. Di kalangan sayid dan golongan menengah, alat musik itu dianggap tidak sesuai dengan martabat mereka.
Menurut Birgit Berg dalam “Authentic Islamic Sound? Orkes Gambus Music, the Arab Idiom, and Sonic Symbol in Indonesian Islamic Musical Arts,” termuat di Divine Inspirations: Music & Islam in Indonesia suntingan David D. Harnish dan Anne K. Rasmussen, musik gambus dibagi dalam dua kategori utama: gambus daerah dan gambus Arab atau disebut juga orkes gambus. Instrumen dan genre gambus daerah ada di seluruh Indonesia. Pertunjukannya sering menggabungkan pantun dan tari zafin (zapin).
Tari zapin merupakan jenis tari ketangkasan dan kelincahan gerak yang indah dan berirama. Tari ini pada mulanya berkembang di kalangan santri, terutama sebagai pengisi waktu senggang mereka setelah selesai belajar ilmu agama dan melaksanakan pekerjaan sehari-hari.
“Melihat gerak dan komposisinya, maka dapat diduga tari ini merupakan penyesuaian tari-tari kepahlawanan dari Timur Tengah, dan masuk ke Indonesia bersamaan dengan awal pengembangan agama Islam,” tulis Edi Sedyawati dan Yulianti Parani dalam Ensiklopedi Tari Indonesia.
Menurut van den Berg, di Hadramaut, zapin (tarian) dihalalkan, tetapi lelaki terpelajar, paling tidak kalangan sayid dan golongan menengah, tidak melakukannya. Tarian dilakukan oleh dua orang dan mirip tari polka –tari berpasangan di negara-negara Eropa dan Amerika. Bedanya, penari tidak saling berpegangan tangan dan berputar bersama, masing-masing menari sendiri. Sambil berputar ke dua penari menjauhi orkes dengan tetap menjaga jarak di antara mereka. Laki-laki dan perempuan tidak pernah menari bersama.
“Pada dasarnya [tari zapin] hanya ditarikan oleh pria dengan mengandalkan irama rentak kaki dan jentikan jari tangan. Tetapi pada masa kini sering pula ditarikan oleh penari putri berpakaian muslim, tanpa kehilangan kelincahannya,” tulis Edi dan Yulianti.
Tari zapin berkembang sedemikian rupa, dan banyak dipengaruhi oleh seni tari setempat. Umumnya dikembangkan oleh masyarakat dari rumpun bangsa Melayu, seperti di Bengkalis, Siak, Pekanbaru, Riau, Sumatra Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Jakarta.
Di Gorontalo, tempat penelitian Birgit, musik gambus sering disertai dengan gendang-gendang kecil yang disebut maluwasi. Musik gambus ini, disertai dengan tarian, dikenal sebagai dana-dana, istilah setempat untuk tari zapin Melayu. Pertunjukkan dana-dana di Gorontalo jarang terlihat di luar pertunjukkan budaya, acara-acara yang disponsori pemerintah daerah, perlombaan, dan sering dipentaskan sebagai bagian dari acara budaya daerah dalam konteks budaya nasional.
Sedangkan gambus Arab atau orkes gambus adalah ansambel yang menggabungkan kecapi gambus (hampir selalu berupa ‘ud modern) dan berbagai bentuk gendang kecil (termasuk tamtam, dumbuk, dan marwas).
“Ansambel orkes gambus modern juga menggabungkan gitar, bass, dan keyboard listrik. Musik ini paling sering ditemukan dalam masyarakat perkotaan Arab-Indonesia terutama dari keturunan imigran dari Hadramaut, Yaman,” tulis Birgit.
Musisi keturunan Hadramaut kemudian mempopulerkan orkes gambus lebih luas dengan mendirikan grup musik, seperti Orkes Gambus Syech Albar, Orkes Gambus Al-Wardah, dan Orkes Gambus Al-Wathoni. Selain memainkan musik Timur Tengah, orkes gambus ini juga memainkan musik Melayu, India, Eropa, bahkan musik dansa asal Kuba, rumba.
Munif Bahasuan dan banyak musisi yang main di Orkes Gambus Al-Wardah bergabung dengan Orkes Melayu Sinar Medan pada 1955. Orkes Melayu memainkan lagu Melayu yang diiringi dengan instrumen Eropa dengan mempertahankan karakteristik musikal Melayu, termasuk struktur pantun, frase melodik jenis standar, serta kata dan frasa imbuhan seperti “aduhai sayang” dan “tuan”.
Dua tahun kemudian, Munif membuat rekaman perdananya bersama Orkes Melayu Sinar Kemala pimpinan Abdul Kadir, yang bermarkas di kampung Arab Ampel, Surabaya. Orkes Melayu Sinar Kemala berdiri pada 1952. Personelnya dari Orkes Gambus Syech Albar dan Orkes Gambus Alfan. Dibanding grup-grup musik orkes Melayu di Medan atau Jakarta, musik Sinar Kemala lebih condong ke bunyi Timur Tengah. Sedangkan orkes Melayu di Medan memainkan musik Melayu-Deli, dan orkes Melayu di Jakarta cenderung memainkan musik India.
Selain orkes Melayu, ada juga orkes Harmonium, merujuk kepada organ lidah-getar (reed) kecil yang masuk dari Eropa melalui India. Orkes ini memainkan repertoar campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Nama lain orkes ini adalah samrah, berasal dari bahasa Arab yang berarti “hiburan malam”; atau samroh, yaitu perempuan yang menyanyikan teks Arab dengan iringan rebana, atau ansambel gambus laki-laki yang mengiringi tari.
Menurut Munif Bahasuan, samrah mengacu pada acara-acara di Jakarta ketika musik Arab dan musik berbau India dimainkan di pesta-pesta orang Betawi. Grup-grup samrah mengiringi tari Melayu dan tari Betawi. Nama “orkes Harmonium” kemudian menghilang. Grup-grupnya berganti nama menjadi “orkes Malayu.”
Pada 1930-an, lagu yang direkam dan disiarkan di radio didominasi oleh tiga jenis orkes utama tersebut: orkes gambus, orkes Melayu, dan orkes Harmonium. “Musisi tiga jenis orkes ini berperan membangun fondasi musik dangdut,” tulis Andrew.*