Peran Bataviaasch Genootschap dalam dinamika ilmu pengetahuan di Hindia Belanda. Peninggalan institusi sains tertua di Asia dan pertama di Asia Tenggara ini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia.
Museum Nasional Indonesia disebut juga Museum Gajah di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, tahun 2015. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
GEDUNG bergaya Eropa dengan sentuhan patung gajah di pintu gerbangnya ramai didatangi pengunjung. Gedung tersebut, yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, menyimpan khasanah ilmu pengetahuan dan koleksi benda-benda kebudayaan Nusantara yang lengkap dan komprehensif.
“Museum Pusat merupakan museum terbesar di Indonesia. Demikian juga, ia merupakan pintu gerbang untuk melihat berbagai ragam kesenian serta kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia,” tulis Wahyono Martowikrido, yang bekerja di Museum Nasional pada 1964–1998, dalam Cerita dari Gedung Arca: Serba-serbi Museum Nasional Jakarta.
Berdirinya Museum Nasional dan ketersediaan koleksinya tak lepas dari keberadaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Batavia, yang didirikan tahun 1778.
GEDUNG bergaya Eropa dengan sentuhan patung gajah di pintu gerbangnya ramai didatangi pengunjung. Gedung tersebut, yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, menyimpan khasanah ilmu pengetahuan dan koleksi benda-benda kebudayaan Nusantara yang lengkap dan komprehensif.
“Museum Pusat merupakan museum terbesar di Indonesia. Demikian juga, ia merupakan pintu gerbang untuk melihat berbagai ragam kesenian serta kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia,” tulis Wahyono Martowikrido, yang bekerja di Museum Nasional pada 1964–1998, dalam Cerita dari Gedung Arca: Serba-serbi Museum Nasional Jakarta.
Berdirinya Museum Nasional dan ketersediaan koleksinya tak lepas dari keberadaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Batavia, yang didirikan tahun 1778.
Sebagai salah satu institusi sains tertua di Asia, bahkan yang pertama di Asia Tenggara, Bataviaasch Genootschap menjadi institusi pionir pemicu aktivitas intelektual di Hindia Belanda.
“Diskusi-diskusi yang hangat tentang benda-benda antik, rasa penasaran, dan fenomena alam yang terjadi di ruang-ruang penelitian Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menandingi gema semangat dari komunitas-komunitas serupa di Philadelphia dan Manchester, dan juga ibu kandung spiritual Genootschap, de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen di Haarlem,” tulis Lewis Pyenson dalam Empire of Reason: Exact Sciences in Indonesia, 1840–1940.
Kala itu semangat Abad Pencerahan (the Age of Enlightenment) membuncah di Eropa, di mana orang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Semangat itu pula yang mendorong Jacob Cornelis Matthieu Radermacher untuk mendirikan Bataviaasch Genootschap di Batavia.
Memenuhi Hasrat Intelektual
Radermacher lahir di Den Haag, Belanda tahun 1741 dari keluarga yang punya pengaruh besar dalam pemerintahan. Ayahnya, Joan Cornelis Radermacher adalah bendahara keluarga kerajaan, dan pamannya anggota dewan direksi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Pada usia 16 tahun Radermacher berlayar ke Batavia sebagai pedagang VOC.
Kariernya melesat hingga dia menyandang pangkat saudagar tinggi dan memegang jabatan syahbandar Batavia hingga akhirnya mendapat posisi terhormat sebagai anggota biasa Dewan Hindia (Raad van Indie).
Radermacher menikahi putri almarhum Hugo Verijssel, anggota Dewan Hindia. Suami kedua ibu dari istrinya adalah Reinier de Klerk, anggota khusus Dewan Hindia yang kemudian menjadi gubernur jenderal VOC. Posisi ini membuatnya mudah diterima kalangan elite Batavia.
Di Belanda, pada 1777, de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen mendirikan “Cabang Ekonomi”, yang sekaligus dimaksudkan untuk memajukan perdagangan dengan wilayah-wilayah jajahan. Mereka mengontak Radermacher dan Reinier de Klerk untuk bertindak sebagai pengurus cabang di Hindia Belanda. Mereka setuju.
Dengan semua yang dimilikinya, Radermacher masih ingin memenuhi hasrat intelektual yang mengakar dalam keluarganya. Maka, pada 24 April 1778, dia mendirikan Bataviaasch Genootschap. Tujuannya mendorong kajian ilmiah untuk kemajuan ilmu alam, perbaikan kesehatan, dan pertanian, juga kajian sejarah dan adat-istiadat suku bangsa di Nusantara. Radermacher jadi ketua direksi pertamanya. Sementara de Klerk menjadi pelindung.
“Tempat di mana rapat umum pertama organisasi baru ini dilangsungkan, yakni di kantor pusat pemerintah Hindia, sangat menentukan bagi kedudukannya dalam masyarakat Batavia,” tulis Th Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia, 1764–1962.
Pembentukan Bataviaasch Genootschap merupakan langkah awal dari jalan untuk menginstitusikan sains di Hindia Belanda.
Di awal berdiri, lembaga ini memiliki 192 anggota; 103 orang menetap di Batavia, dan sisanya tersebar di pos-pos dagang Belanda di Nusantara, Jepang, India, dan Sri Lanka.
Bataviaasch Genootschap memiliki motto “Ten Nutten van het Algemeen” (Demi Kemanfaatan Umum), yang menggambarkan semangat lembaga ini untuk menjadikan sains sebagai sarana memajukan kehidupan masyarakat.
“Meskipun Bataviaasch Genootschap adalah hasil buah pikir dari satu orang, J.C.M. Radermacher, namun pembentukannya merupakan langkah awal dari jalan untuk menginstitusikan sains di Hindia Belanda,” tulis Klaas van Berkel dalam “The Natural Sciences in the Colonies”, termuat di The History of Science in the Netherlands: Survey, Themes and Reference yang disuntingnya bersama Albert van Lelden dan L.C. Palm.
Demi membesarkan lembaga ini, Radermacher menyumbangkan sebuah rumah di Kali Besar untuk aktivitas Bataviaasch Genootschap, berikut delapan peti kayu berisi buku-buku berharga dari Eropa, koleksi hewan, fosil, bebatuan, beberapa instrumen musik Jawa, beraneka ragam mata uang koin, bahkan sebuah taman untuk kepentingan riset botani. Radermacher tak segan merogoh kocek sendiri untuk menutup defisit yang dialami lembaga. Radermacher juga menyumbangkan banyak tulisan untuk Verhandelingen, jurnal ilmiah yang diterbitkan Bataviaasch Genootschap guna merangsang atmosfer penelitian.
Aktivitas Bataviaasch Genootschap menurun drastis setelah Radermacher terbunuh dalam perjalanan pulang ke Belanda tahun 1783.
Masa Peralihan
Sepeninggal Radermacher, dukungan VOC mengendur akibat kejatuhan moralitas para pegawainya. Anggota Bataviaasch Genootschap menyusut hingga tinggal belasan orang. Pukulan berikutnya datang dari situasi politik di Eropa. Belanda diduduki Prancis tahun 1795, menyusul kemudian bangkrutnya VOC tahun 1799. Jawa diduduki Prancis, dan kemudian datang Inggris tahun 1811. Masa pergolakan tersebut secara efektif mematikan aktivitas Bataviaasch Genootschap.
Ketika Inggris berkuasa, Bataviaasch Genootschap diambil alih dan kepengurusannya diserahkan kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, yang memiliki kharisma, semangat liberal, dan hasrat naturalis kukuh. Pada masanya, Raffles gencar mempromosikan kajian sejarah alam, sosiologi peradaban, dan menanggalkan perhatian institusi tersebut dari bidang kesenian.
Dalam ceramahnya di depan anggota Bataviaasch Genootschap yang termuat dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles Vol. II, Raffles mengutarakan keinginannya untuk membuka akses yang luas bagi para sarjana Barat untuk melakukan penelitian di tanah Hindia.
“Mari kita berharap tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa meremukkan semangat penelitian yang sempat menghilang dari (institusi) ini; juga tidak melanjutkan, dalam kondisi apapun, upaya menutup mulut orang-orang yang seharusnya berhak memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan,” ujarnya sebagai penutup ceramah yang disampaikan pada perayaan ulang tahun Bataviaasch Genootschap, 24 April 1813.
Kegiatan ilmiah Bataviaasch Genootschap berangsur-angsur aktif kembali. Karena gedung di Kali Besar sudah penuh menampung koleksi, Raffles memerintahkan pembangunan gedung baru di Jalan Majapahit No. 3, yang juga berfungsi sebagai tempat pertemuan anggota Literary Society yang dia dirikan.
“Setelah dihidupkan kembali oleh Thomas Stamford Raffles selama masa peralihan pemerintahan Inggris, Bataviaasch Genootschap secara progresif berubah menjadi komunitas wadah perdebatan soal masalah-masalah Indologi, terutama arkeologis maupun etnografis,” tulis Lewis Pyenson.
Para ilmuwan dengan sadar selalu mencoba mencocokkan arah penelitiannya sesuai dengan kepentingan negara.
Ketika Inggris hengkang tahun 1816 dan pemerintahan Hindia Belanda dipulihkan, Kerajaan Belanda mempromosikan kembali aktivitas intelektual di Hindia Belanda. Bataviaasch Genootschap kerap terlibat, membuatnya seakan menjadi lembaga setengah resmi pemerintah.
Dalam artikelnya soal rencana kerja Bataviasch Genootschap tahun 1843, Baron van Hoevell mengemukakan pandangan liberalnya. Menurutnya keilmuan adalah sarana “menyebarkan pencerahan dan peradaban, membentuk sesuatu yang baik dan permanen bagi generasi mendatang penduduk koloni.”
Namun, cita-cita itu terbentur dinding birokrasi kolonial. Umumnya para pengemban jabatan politik kolonial tidak menganggap penting aktivitas ilmu pengetahuan, atau baru menganggapnya penting apabila searah dengan garis kebijakan kolonial. Pada akhirnya ilmu pengetahuan dipergunakan rezim kolonial untuk mengatur alam dan masyarakat kolonial secara sistematis, begitu pula yang terjadi pada Bataviaasch Genootschap.
“Pendanaan kegiatan ilmiah saat itu hampir semuanya berasal dari negara. Karena itu, para ilmuwan dengan sadar selalu mencoba mencocokkan arah penelitiannya sesuai dengan kepentingan negara,” tutur Sangkot Marzuki, mantan kepala Lembaga Eijkman periode 1992–2014, dalam diskusi dan peluncuran buku terjemahan Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan karya Andrew Goss, Oktober 2014.
Contohnya adalah dilema yang dihadapi Melchior Treub (1851–1910), ahli botani kenamaan dari Belanda. Dia datang ke Hindia Belanda pada 1880 dengan gagasan memajukan pertanian pribumi dengan teknik modern. Treub sempat ditempatkan di Kebun Raya Bogor dan kerap berinteraksi dengan Bataviaasch Genootschap, sebelum pemerintah memutuskan menempatkannya di Departemen Pertanian. Namun, gagasannya membentur tembok kepentingan rezim kolonial. Sebab, menurut Goss, Departemen Pertanian dirancang untuk mengabaikan praktik-praktik pertanian petani Jawa dan pada akhirnya menjadi sebuah mekanisme bagi negara untuk menguasai pembangunan ekonomi.
Menanggalkan Sejarah Alam
Bataviaasch Genootschap berkembang pesat sejak dipimpin Baron van Hoevell. Pada masanya, penelitian difokuskan pada bidang linguistik dan etnografi Jawa dan Melayu. Kebijakan ini menyebabkan Bataviaasch Genootschap melepaskan sama sekali fokus penelitian terhadap sejarah alam, yang akhirnya diambil Koninklijke Natuurkundige Vereeniging (KNV) atau Asosiasi Ilmu Pengetahuan Alam Kerajaan bentukan naturalis Pieter Bleeker tahun 1850 di Batavia.
Temuan ilmiah terbaru para peneliti Hindia Belanda dipresentasikan di hadapan anggota Bataviaasch Genootschap. Misalnya temuan Thomas Horsfield tahun 1812 tentang khasiat racun pohon upas yang menjadi buah bibir di Eropa. Snouck Hurgronje juga mendatangi Bataviaasch Genootschap sebelum memulai penelitiannya tentang Islam di Hindia Belanda. Bataviaasch Genootschap sendiri terlibat aktif dalam proyek arkeologi pemerintah seperti pemugaran candi Borobodur dan pemotretannya yang dilakukan Isidore van Kinsbergen.
Jumlah penerbitannya juga bertambah. “Pada waktu itu, terdapat 11 jurnal berbeda yang beredar di Batavia, dan hampir semuanya dicetak Bataviaasch Genootschap,” tulis Andrew Goss dalam The Floracrats: State-sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia.
Koleksi Bataviaasch Genootschap terus bertambah setiap tahunnya. Untuk mengakomodasinya, pada 1862 pemerintah Hindia Belanda membangun gedung museum baru di Koningsplein West (kini Jalan Medan Merdeka Barat). Gedung museum ini dibuka untuk umum enam tahun kemudian. Sebuah patung gajah, hadiah dari Raja Chulalongkorn dari Thailand, ditempatkan di depan museum.
Karena jasanya besar dalam lapangan ilmiah, Bataviaasch Genootschap disematkan gelar kerajaan, Koninklijke tahun 1933 oleh Kerajaan Belanda. Seiring itu pula didirikan beberapa bagian (afdeelingen) untuk masing-masing bidang ilmu pengetahuan: hukum adat, antropologi dan bahasa, hukum, ekonomi, kajian politik internasional, dan sejarah.
“Bataviaasch Genootschap memang berkompetisi dengan institusi-institusi lainnya, tapi soal bidang bahasa, geografi, dan etnografi merekalah yang terdepan,” tulis Rudolf Effert dalam Royal Cabinets and Auxiliary Branches: Origins of the National Museum of Ethnology 1816–1883. “Kegiatan mereka berkontribusi dalam arus perpindahan objek-objek etnografi lokal ke negeri Belanda selama paruh kedua abad ke-19.”
Berhenti Total
Meski memiliki keanggotaan yang luwes dan terbuka, hanya sedikit kalangan elite bumiputra yang bergabung sebagai anggota. Salah satunya pelukis Raden Saleh yang, “menyerahkan beberapa naskah lontar yang berharga kepada perpustakaannya, dan pada tahun 1865 ia sendiri melakukan penelitian paleontologis di Jawa Tengah,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan.
Baru ketika Politik Etis dijalankan, beberapa bumiputra jebolan pendidikan Barat bergabung, seperti Raden Mas Poerbatjaraka yang kemudian menjadi kurator koleksi manuskrip Jawa kuno dan Husein Djajadiningrat yang kemudian mengepalai lembaga tersebut pada 1936.
Aktivitas Bataviaasch Genootschap terhenti total ketika pecah Perang Dunia II. Beruntung koleksinya yang tersimpan di museum tidak rusak selama masa perang kemerdekaan di Jakarta.
Pada 26 Januari 1950, Bataviaasch Genootschap diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Namun karena kesulitan dalam pengurusannya, LKI diambil alih pemerintah dan ditempatkan di bawah pengawasan Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kini aset-asetnya menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Sedangkan koleksi buku-bukunya diserahkan kepada Perpustakaan Nasional. Sedangkan arsip-arsip berharga, yang mencakup risalah rapat, daftar koleksi, dan dokumen lain diserahkan kepada Arsip Nasional.*