“Jika saudara-saudara kekurangan cerita, datanglah pada saudara Kotot Sukardi, atau datanglah pada saya.” Begitulah ucapan Bung Karno pada malam resepsi perpisahan pertemuan besar artis dan seniman film di Istana Negara pada 12 Maret 1956.
Sebelumnya, dalam pertemuan besar yang melahirkan Persatuan Artis Film Indonesia (PAFI, tapi kemudian lebih dikenal dengan Parfi) itu dibahas permasalahan dunia perfilman nasional, termasuk kurangnya dukungan pemerintah. Pertemuan menghasilkan suatu resolusi yang disampaikan kepada Presiden Sukarno. Hal inilah yang memantik tanggapan Sukarno.
Sukarno menerima resolusi para artis dan siap mendukung perfilman nasional. Tapi Sukarno juga geram karena film-film Indonesia tidak mencirikan watak Indonesia dan justru meniru corak-corak film luar. Lebih-lebih, kala itu industri film Indonesia tengah dihantam film-film impor dari India, Malaya hingga Amerika.
“Saya sungguh-sungguh sedih bahwa film-film Indonesia hanya meniru-meniru film-film samba dan mambo dari Amerika,” kata Sukarno dikutip Harian Rakjat, 16 Maret 1956. Samba dan mambo adalah jenis musik dan tarian Amerika Latin yang sedang populer lewat film Amerika.
“Sejarah Indonesia masih cukup. Sejarah Indonesia cukup dengan cerita-cerita yang patriotik. Jangan dikata lagi Revolusi Agustus 1945,” kata Sukarno, yang kemudian menyebut nama Kotot Sukardi dan disambut dengan tepuk tangan riuh.
Siapakah Kotot Sukardi yang disebut Sukarno bisa memberi inspirasi bila para sineas datang kepadanya?
“Jika saudara-saudara kekurangan cerita, datanglah pada saudara Kotot Sukardi, atau datanglah pada saya.” Begitulah ucapan Bung Karno pada malam resepsi perpisahan pertemuan besar artis dan seniman film di Istana Negara pada 12 Maret 1956.
Sebelumnya, dalam pertemuan besar yang melahirkan Persatuan Artis Film Indonesia (PAFI, tapi kemudian lebih dikenal dengan Parfi) itu dibahas permasalahan dunia perfilman nasional, termasuk kurangnya dukungan pemerintah. Pertemuan menghasilkan suatu resolusi yang disampaikan kepada Presiden Sukarno. Hal inilah yang memantik tanggapan Sukarno.
Sukarno menerima resolusi para artis dan siap mendukung perfilman nasional. Tapi Sukarno juga geram karena film-film Indonesia tidak mencirikan watak Indonesia dan justru meniru corak-corak film luar. Lebih-lebih, kala itu industri film Indonesia tengah dihantam film-film impor dari India, Malaya hingga Amerika.
“Saya sungguh-sungguh sedih bahwa film-film Indonesia hanya meniru-meniru film-film samba dan mambo dari Amerika,” kata Sukarno dikutip Harian Rakjat, 16 Maret 1956. Samba dan mambo adalah jenis musik dan tarian Amerika Latin yang sedang populer lewat film Amerika.
“Sejarah Indonesia masih cukup. Sejarah Indonesia cukup dengan cerita-cerita yang patriotik. Jangan dikata lagi Revolusi Agustus 1945,” kata Sukarno, yang kemudian menyebut nama Kotot Sukardi dan disambut dengan tepuk tangan riuh.
Siapakah Kotot Sukardi yang disebut Sukarno bisa memberi inspirasi bila para sineas datang kepadanya?
Dari Bawah Tanah
Kotot Sukardi sosok misterius. Karya-karyanya disebut tapi jejak masa lalunya seolah tenggelam dalam pusaran sejarah. Sekadar mencari tahu kapan lahirnya saja teramat sulit.
Nama Kotot Sukardi juga jarang muncul ketika membicarakan sejarah perfilman Indonesia. Dalam Apa siapa orang film Indonesia, 1926-1978 yang disusun oleh Sinematek Indonesia, namanya disebut dalam catatan beberapa tokoh. Kotot tidak mendapat lema tersendiri. Begitu pula kiprahnya dalam pergerakan kemerdekaan. Namanya kerap absen dalam buku-buku sejarah.
Kotot Sukardi terlibat dalam gerakan pemuda setidaknya sejak 1930-an. Dia salah satu pelopor organisasi Suluh Pemuda Indonesia (SPI) yang didirikan di Malang tahun 1931. Pada tahun yang sama, karena SPI mendapat tekanan keras dari penguasa, Kotot dan sejumlah pemuda di Yogyakarta mendirikan organisasi baru Persatuan Pemuda Mataram (PPM). Perkumpulan ini bersalin rupa menjadi Persatuan Pemuda Rakyat Mataram (PPRM) lalu Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI).
Dalam “Sejarah Pergerakan Pemuda Kerakyatan dan di Sekitar Proklamasi Agustus 1945” di buku Bunga Rampai Soempah Pemuda, Mantoro Tirtonegoro, yang pernah jadi pengurus PERPRI, menyebut PERPRI bergerak pada bidang pendidikan pemudi-pemuda di kampung-kampung. Mereka mendirikan perguruan-perguruan rakyat serta kepanduan kanak-kanak yang dikenal dengan nama KB (Kesehatan Badan).
“Saudara Kotot Sukardi adalah tokoh SPI yang sebetulnya adalah Pimpinan Barisan Anak-anak Have Not dari kampung-kampung dengan nama KB (Kesehatan Badan) ialah onderbouw PERPRI dalam pendidikan anak-anak dari 6-15 tahun,” tulis Mantoro.
Selain memimpin KB di Yogyakarta, Kotot bergiat dalam Taman Siswa. Dia menjadi guru cabang sekolah Taman Siswa di Jembrana, Bali. Nyoman S. Pendit dalam Bali Berjuang menyebut Kotot merintis dan memimpin Taman Siswa di Tejakula di bagian timur Buleleng Singaraja. Karena aktivitasnya, dia mengenal seniman-seniman Bali.
Suatu ketika, pada akhir 1942, Sukarno memprakarsai berdirinya Badan Pusat Kesenian Indonesia yang semula diusulkan oleh Abisin Abbas alias Andjar Asmara, penulis drama dan sutradara film. Sebuah pertunjukan bertajuk “Lukisan Zaman” akan digelar di Gedung Komidi (kini, Gedung Kesenian Jakarta) pada 8 Desember 1942.
Sukarno menetaskan ide untuk mendatangkan rombongan penari dan pemusik Bali. Penulis dan sutradara teater Kamajaya dikirim ke Bali dengan membawa surat dan sejumlah uang. Namun Kamajaya gagal menjalankan tugas karena tak mendapat izin dari penguasa setempat. Satu-satunya cara: menyelundupkan mereka.
“Dengan bantuan almarhum sdr. Kotot Sukardi ‘pencurian’ 45 seniman seniwati dengan gamelannya lengkap, dapat berhasil,” kisah Kamajaya dalam Sejarah Bagimu Neg’ri.
“Lukisan Zaman” menjadi satu-satunya pertunjukan yang digelar Badan Pusat Kesenian Indonesia. Penguasa militer Jepang membentuk Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) pada 1 April 1943 untuk menggantikannya.
Setelah pertunjukan “Lukisan Zaman”, rombongan penari dan pemusik dari Denpasar dan Tabanan tetap tinggal di Jakarta. Kotot menjadi manajer mereka dan juga bekerja sebagai aktor sandiwara keliling. Di kemudian hari, tarian Bali oleh Kotot Sukardi tampil dalam “Programa malam gembira” yang diusahakan DjawaHoso Kanrikyoku (Biro Pengawas Siaran Jawa)dan Sendenbu (Departemen Propaganda) untuk menyambut “perkenanan kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari” di Shiritsu Gekijo (kini, Gedung Kesenian Jakarta) pada 23 September 1944.
Kotot juga melibatkan diri dalam gerakan pemuda. Pada 1943, bersama Peno, Asmara Hadi, Sarwoko dan Suhud, dia mendirikan Barisan Pelopor Istimewa karena tidak percaya pada Barisan Pelopor (Sushintai) bikinan Jepang. Tapi, pembentukan Barisan Pelopor Istimewa bocor dan dibajak penguasa militer Jepang. Namanya menjadi Tokubetsu Keibotai (Pasukan Pengawal Istimewa).
Karena gerakan bawah tanah dianggap tidak efektif lagi, para pemuda bergabung dengan organisasi bikinan Jepang. Dan Kotot memilih Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan). Pada masa inilah dia terlibat dalam kegiatan-kegiatan seni sandiwara.
Turut Sama Nippon
Amat adalah nama yang populer kala pendudukan Jepang. Ia dikisahkan sebagai seorang sukarelawan Heiho yang gagah berani dan gugur di Tarakan. Amat menjadi karakter dalam naskah-naskah sandiwara yang diproduksi sebagai sarana propaganda Jepang.
Untuk kebutuhan itu, penguasa militer Jepang mendirikan Djawa Engeki Kyōkai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) pada 1944.
POSD berada di bawah Seksi Propaganda Sendenbu dan dipimpin Eitaro Hinatsu atau Dr. Huyung. Tugasnya menghimpun perkumpulan sandiwara, menyelenggarakan berbagai pertunjukan, serta menyusun cerita sandiwara melalui Badan Permoesjawaratan Tjerita POSD untuk kemudian dibagikan dan dimainkan oleh perkumpulan-perkumpulan sandiwara.
Produksi perdana POSD adalah Fadjar Telah Menjingsing karya Hinatsu. Lakon ini dipentaskan selama empat malam di Jakarta dan Surabaya pada September 1944 untuk menandai janji Jepang atas kemerdekaan Indonesia.
“Lakon tersebut patut dicatat sebagai penampilan panggung pertama dari karakter Amat, seorang sukarelawan Heiho (prajurit pembantu) yang antusias,” tulis Matthew Isaac Cohen dalam Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia.
Karakter Amat kemudian direproduksi untuk mempropaganda kepahlawanan Heiho. Majalah propaganda Jepang, Djawa Baroe Edisi 14, 15 Juli 2605 (perhitungan tahun Jepang, 1945), menerbitkan poster sandiwara sang pahlawan Heihoitu. Tajuknya “Toeroet Sama Amat”. “Toeroet Sama Amat” kemudian digubah Kotot Sukardi dalam naskah sandiwara.
Toeroet Sama Amat gubahan Kotot dipentaskan untuk merayakan Hari Peringatan Laut pada 18 hingga 27 Juli 1945 secara serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bondowoso, dan Situbondo. Pendapatan dari pertunjukan akan diserahkan kepada keluarga korban Heiho Kaigun (Pembantu Prajurit Angkatan Laut).
Kendati bukan sentral cerita, Amat menjadi salah satu karakter dalam drama dua babak karya Kotot berjudul Koesoema Noesa.
Di POSD, Kotot adalah salah satu penulis sandiwara andal. Lakon sandiwara gubahannya yang lain adalah Petjah Sebagai Ratna, Benteng Ngawi, dan Bende Mataram. Judul yang terakhir disebut merupakan sandiwara paling terkenal pada masanya yang berkisah tentang kepahlawanan prajurit Diponegoro pada masa Perang Jawa.
Lakon Bende Mataram berpusat pada seorang pemuda bernama Lagiono yang bimbang memihak pasukan pemberontak atau ayahnya, yang setia kepada keraton bekingan Kompeni. Lakon ini tampil perdana secara serentak di enam kota oleh perkumpulan sandiwara yang berafiliasi dengan POSD.
Menurut Cohen, lakon yang berkaitan dengan Diponegoro, Untung Surapati dan Sawunggaling pernah dilarang penguasa Jepang pada pertengahan 1943. Alasannya, lakon-lakon itu sulit dipentaskan dan secara tidak sengaja dapat memperolok-olok pahlawan nasional. Kemungkinan besar, penguasa Jepang khawatir para pejuang itu akan membangkitkan pemberontakan. Namun, Kotot berhasil menggubahnya dengan apik.
“Drama Sukardi tidak hanya mengangkat semangat juang pemberontak bersejarah itu sebagai model perjuangan melawan imperialisme Inggris dan Amerika, tetapi juga memungkinkan kita untuk merenungkan mata-mata masa perang, loyalis, propaganda musuh, dan bahkan bendera nasionalis Indonesia yang setara dengan abad kesembilan belas,” tulis Cohen
Kendati asyik dengan dunia panggung, Kotot ikut dalam arus revolusi pemuda. Dia hadir dalam pertemuan di Jakarta pada 3 Juni 1945, yang melahirkan Gerakan Angkatan Baru Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, seniman-seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan membentuk Seniman Merdeka. Kotot tergabung di dalamnya. Setelah itu dia terjun ke kancah perang.
“Anggota-anggota dari kelompok Angkatan Baru juga bergabung dengan pasukan gerilya. Kotot Sukardi menjadi pemimpin batalyon,” tulis Cohen.
Ketika Jakarta dikuasai Belanda, Kotot pindah ke Yogyakarta seiring pemindahan ibukota Republik ke sana.
Panggung Yogya
Di Yogyakarta, Kotot tak jauh-jauh dari dunia panggung. Bersama sejumlah seniman, dia menjadi penggerak seni sandiwara di Yogyakarta. Percikan revolusi menjadi ilham karya-karya mereka.
“Masa hangat-hangatnya revolusi itu banyak memberi bahan-bahan kepada mereka untuk menciptakan cerita-cerita baru. Terutama Kotot Sukardi, Sri Murtono, Bakri Siregar dan Hamidy Djamil sungguh sangat produktif dalam karangan-karangannya,” tulis Toekidjo Handojo dkk dalam Daerah Istimewa Jogjakarta.
Salah satu cerita Kotot berjudul Nasib Si Mientje dimuat Revolusioner, majalah Pemuda Sosialis Indonesia, pada 5 Januari 1946. Sementara lakon sandiwara lainnya di antaranya Sepandjang Malioboro, Jogja Bukan Hollywood, dan Dibalik Dinding Sekolah.
Kotot bukan hanya menjadi penulis dan pemain sandiwara. Dia turut mengajar seni drama di Kino Drama Atelier (KDA) yang dipimpin oleh Dr. Huyung. Selebihnya dia menyibukkan diri dengan aktivitas sosial.
Dalam “Dongeng Pakdhe Awul-Awul tentang Alun-Alun” di kunci.or.id, 29 April 2009, seniman Hersri Setiawan menyebut aktivitas Kotot dalam “asrama BM”, kependekan dari Barisan Mataram tapi umum memberi kepanjangan Barisan Macan, bahkan ada yang menamainya Barisan Kere.
“Karena di sini dikumpulkan anak-anak laki-laki muda gelandangan kota, untuk ‘ditempa’ menjadi anggota kelasykaran yang patriotik. Tokoh yang berjasa dalam hal ini justru seorang tokoh seniman film Kotot Sukardi, paman tokoh perfilman yang lain Basuki Effendy,” ujar Hersri.
Namun, Kotot lebih dikenal karena menghimpun anak-anak gelandangan dan terlantar dalam apa yang dikenal sebagai Barisan P. Kata “P” merujuk pada Pengharapan. Basuki Effendy ikut membantunya.
Pelukis Mia Bustam dalam Sudjojono dan Aku menyebut Kotot adalah seorang bujang yang tinggal di paseban sisi timur alun-alun. “Bapak para gelandangan dan pencopet,” begitulah ia dikenal.
“Ia mengumpulkan anak-anak gelandangan dan pencopet cilik di situ, diberi makan dan minum serta pendidikan rohani dan jasmani. Pendek kata dilatih memasuki hidup bermasyarakat yang berbudi dan berpekerti,” tulis Mia.
Kotot bukan hanya mengasuh dan memberikan pendidikan. Dia juga melatih dan mengajak mereka bermain sandiwara dan tampil dalam pertunjukan guna mendapatkan dana.
Nasib Kotot dan anak-anak asuhnya jadi tak menentu setelah Belanda melancarkan agresi militer II dan menduduki Yogyakarta. Dia memutuskan untuk mengungsi. Pada Juni 1949, Kotot dan anak-anak asuhnya diangkut ke Semarang untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan kapal Tawali menuju Jakarta. Di atas kapal, sebagaimana terekam dalam foto-foto di Arsip Nasional, Kotot tetap memberikan pelajaran sekolah. Sebuah pertunjukan juga diadakan oleh anak-anak dari “rumah piatu” Yogyakarta itu.
Di Jakarta, Kotot bergelut di dunia sandiwara bersama Basuki Effendy, Soerjono alias Pak Kasur; dan I Gde Wajanseken, guru tari Bali ternama. “Mereka merupakan empat serangkai dalam penyelenggaraan sandiwara anak-anak, sandiwara radio, tari Bali, dan sebagainya,” tulis Aneka, 20 April 1952.
Kotot juga sempat menerbitkan sebuah novel berjudul Bengawan Solo. Namun, ada dunia baru yang kemudian ditekuni dan mengangkat namanya: film.
Sekira sejak 1949, Kotot Sukardi bekerja di Perusahaan Film Negara atau PFN (kini, Produksi Film Negara). PFN memproduksi film berita, dokumenter, pendidikan, dan penerangan. Sebagai orang lama di dunia sandiwara, Kotot memegang peranan penting dalam perusahaan di bawah naungan Kementerian Penerangan itu. Majalah Mimbar Penerangan merekam beberapa aktivitas Kotot.
Pada akhir 1952, Kotot berada di Sumatra Utara bersama Max de Haas, sineas Belanda yang diundang khusus oleh Kementerian Penerangan. Mereka keliling Karo, Prapat, Sibolga, dan Balige untuk membuat film berita mengenai Tapanuli. Film berita atau lazim disebut Gelora Indonesia menyajikan peristiwa-peristiwa penting di tanah air. Setahun kemudian, Kotot telah berada di Kepulauan Maluku untuk program serupa.
Pada 1954, Kotot dari PFN berangkat ke Praha untuk hadir sebagai perwakilan Indonesia dalam Karlovy Vary Film Festival yang berlangsung pada 5-24 Juli. Indonesia membawa film Pulang (1952) dan Dari hutan kehutan. Selama diputar dalam festival, Pulang yang disutradarai Basuki Effendy mendapat sambutan meriah dan bahkan mendapat penghargaan.
Menanggapi kritik atas film Pulang, Kotot menyebut dunia film Indonesia masih muda. Dia juga menerangkan kekurangan alat dan tenaga ahli dalam soal-soal teknis.
“Umpamanya dalam mencuci film, kadang-kadang terpaksa memakai tangan saja. Karena hanya mempunyai satu mikrofon, maka kalau sedang ada konversasi mikrofon harus dipindahkan dari satu pembicara kepada yang lainnya, yang kadang menyebabkan adanya ‘lowongan’ antara dialog-dialog tersebut. Dalam atelier film PFN di Polonia terpaksa masih digunakan perlengkapan-perlengkapan tua yang sebagian berasal dari Belgia, atau Prancis, Australia, atau lainnya,” ujar Kotot, dikutip Antara, 29 Juli 1954.
Pada 1955, Kotot menggarap film Ayo Memilih dan Mbok Ijah Turut Memilih. Dua film pendek penerangan untuk kampanye dan sosialisasi cara-cara pemilihan umum yang akan digelar pada 1955.
“Saya lupa kenapa setelah shooting selesai Pak Kotot berhalangan menyelesaikan tahap akhir. Mungkin waktu itu beliau jatuh sakit, atau kemungkinan besar beliau harus berangkat ke Kanada. Tetapi yang sangat benar tugas itu lalu dibebankan kepada saya,” tulis Soemarmo, saat itu bekerja di Kementerian Penerangan, dalam Soemarmo, Pejuang Tanpa Tanda Jasa.
Perjalanan ke Kanada yang dimaksud Soemarmo adalah program pelatihan yang diadakan oleh Colombo Plan. Menurut National Film Board Mat Release No. 6, 28 April 1955, Kanada menerima 260 delegasi dari negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk pelatihan di berbagai bidang. Kotot sendiri mengikuti pelatihan teknik pembuatan film yang diadakan oleh Dewan Film Nasional Kanada.
Setelah itu Kotot dipercaya untuk mengerjakan film dokumenter mengenai Ki Hadjar Dewantara. “DalamusahaPerusahaan Film Negara untuk mendokumentasikan tokoh-tokoh nasional Indonesia, maka sebuah film unit lainnya di bawah pimpinan Kotot Sukardi kini sedang dibuat film dokumenter tentang perjuangan Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh nasional yang tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia,” tulis Mimbar Penerangan, Agustus 1956.
Pengerjaan film tersebut terbilang lama. Sayangnya, sedikit sekali informasi tentang produksi film tersebut. Dalam buku Menggali Butir-butir Mutiara Museum Dewantara Kirti Griya, Soeharto menyebut Museum Dewantara memiliki satu unit film dengan judul Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Nasional. Film ini buatan PFN tahun 1960. Ukuran 33 mm. Lama putar 80 menit.
Di sesela mengerjakan film, Kotot memimpin delegasi Indonesia dalam Asia Film Festival di Peking (kini, Beijing), Tiongkok, pada 1957. Ada dua film yang dibawanya, yakni Djajaprana (1955) karya Kotot Sukardi dan Tjorak Dunia (1955) karya Bachtiar Siagian.
Film Djajaprana yang diangkat dari cerita rakyat Bali masuk nominasi untuk penghargaan Golden Bear dalam Festival Film Internasional Berlin ke-8 pada 1958. Golden Bear akhirnya dianugerahkan kepada film Swedia Smultronstället karya Ingmar Bergman, sutradara kelas wahid.
Pada 1959, sebuah film yang disutradarai Kotot berjudul Indonesian Dances diputar dalam Season of Ballet Films di National Film Theatre, London, Inggris. “Ia menampilkan tiga tarian Indonesia, disajikan secara sederhana dan penuh citarasa dengan latar hitam yang memperlihatkan garis tubuh dan anggota badan para penari dengan sempurna,” tulis Ballet Today tahun 1959.
Di luar film berbau penerangan, Kotot menggarap film-film cerita. Terutama bertema anak-anak.
<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/629f1b0ef28e0bcd9bd56b11_KOTOT-KI-HAJAR.jpg" alt="img"></div><figcaption>Kotot Sukardi bersama Ki Hadjar Dewantara di sela-sela pembuatan filmnya. (Perpusnas RI).</figcaption></figure></div>
Penyambung Lidah Anak
PFN bukan hanya memproduksi film berita, dokumenter, pendidikan dan penerangan, tapi juga film cerita atau hiburan. Produksi pertama PFN adalah film Inspektur Rachman (1950), yang disutradarai Nawi Ismail.
“Produksinya kita lihat dipegang oleh orang baru dalam kalangan pembikinan film, tetapi sudah bergerak dalam lapangan persandiwaraan, dan alam lingkungan Pusat Kebudayaan serta POSD dalam zaman Jepang, yaitu Kotot Soekardi,” tulis Armijn Pane dalam Produksi Film Tjerita di Indonesia.
Setelah mengenal seluk-beluk film, Kotot terjun langsung sebagai penulis skenario sekaligus sutradara film Si Pintjang (1951). Sejurus dengan idealismenya, film tentang anak-anak korban perang dimainkan oleh anak-anak korban perang. Anaknya, Nurdjojo Kotot, juga dilibatkan dalam film ini.
Menurut Antara, 10 Juni 1952, Si Pintjang diangkat dari pengalaman Kotot menyelenggarakan dan memimpin Barisan P di Yogya. Sebagian besar pemain dalam film itu pun terdiri dari anak-anak dari Barisan P. “Si Pintjang yang dibikin dalam tahun 1950 dapat selesai dalam 2 bulan dan ongkos pembikinannya ada Rp250.000.”
Soed M. dalam ulasannya di Minggu Pagi, 9 Maret 1952, menyebut pelibatan anak-anak dari asrama Taman Pengharapan yang dibina oleh Kotot Sukardi memungkinkan film ini mendekati realitas saat itu.
“Mereka itu di antaranya ada yang telah duduk di SMP. Duka dan gembira, ingus, mengejek, digambarkan oleh anak-anak dengan kebiasaan mereka sebagai anak terlantar. Dengan demikian regiseur Kotot Sukardi hendak mewujudkan ceritanya untuk lebih realistis, seperti regiseur Italia Fitorio de Sicca dalam membuat film Ladri di Baciellette,” tulis Soed.
Si Pintjang dimulai dengan pernyataan di layar yang menggambarkan niat Kokot Sukardi menjadikan film ini sebagai cita-cita pribadinya: “Tjerita ini digubah sebagai persembahan dan pernjataan turut duka kepada anak-anak jang mendjadi korban keganasan pendjadjahan dan bentrokan-sendjata, pula sebagai hormat kepada mereka yang telah membuka hatinja untuk anak-anak itu.”
Dalam film, Kotot juga menampilkan beberapa cuplikan dokumenter yang menunjukkan kota-kota yang hancur setelah perang dan antrian anak-anak pengungsi yang tinggal di jalanan.
Film berdurasi 67 menit ini, yang kemudian didapuk sebagai perintis film anak-anak di Indonesia, diikutsertakan dalam Festival Film Internasional Karlovy Vary dan diputar keliling Cekoslowakia.
“Si Pintjang satu-satunya film Indonesia yang dipertunjukkan dalam Festival Film Internasional di Praha, mendapat hadiah kehormatan istimewa pada penutupan festival itu, berupa diploma untuk Kotot Sukardi dan PFN,” tulis Minggu Pagi, 10 Agustus 1952.
Usmar Ismail dalam Usmar Ismail Mengupas Film mengapresiasi Kotot dan menyebut Si Pintjang memiliki arti penting karena dapat melibatkan anak-anak sebagai pemain secara efektif. Namun, sutradara Darah dan Doa ini menganggap Kotot belum bisa melepaskan pengaruh sandiwara propaganda zaman Jepang sehingga merusak tendensi sosial yang hendak disampaikan.
Penulis sejarah film Salim Said punya pendapat lain. Dalam Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar,Salim menyebut Kotot Sukardi tak lagi bicara muluk-muluk soal buah kemerdekaan. Tujuannya sederhana, menyuarakan nasib anak-anak terlantar korban keberingasan perang.
“Setelah para bekas pejuang sendiri sudah mulai mengkhianati cita-cita mereka, yang diminta Kotot Sukardi cumalah agar anak-anak terlantar, akibat revolusi, juga mendapat perhatian. Api harapan yang tadinya amat menyala-nyala, makin redup saja oleh kenyataan yang makin menyimpang dari dambaan awal,” terang Salim.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/629f1af612930863574d3423_Intersection%2012.jpg" alt="img"></div><figcaption>Kotot Sukardi saat mengarahkan anak-anak dalam salah satu filmnya. (Perpusnas RI)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/629f1afc02ad7f53f9c67a82_Intersection%2013.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/Kotot-Sukardi/Satrya%2002.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Satrya Wibawa</b><br>Pakar kajian sinema UNAIR. (unair.ac.id).</span></div></div></div>
Soal film anak, Kotot tak hanya berhenti pada Si Pintjang. Dia juga menulis cerita dan skenario untuk film Si Melati (1954) yang disutradarai oleh murid sekaligus rekannya, Basuki Effendy.
Pada 1958, Kotot menggarap film Lajang-lajangku Putus tentang mimpi seorang anak yang mengejar layang-layang dari Mentawai hingga ke Ambon. Juga Tiga-Nol tentang permainan sepakbola yang menggambarkan beragam sifat manusia. Sementara pada 1961, dia menyutradarai Dibalik Dinding Sekolah, digubah dari drama bikinannya semasa revolusi, tentang kisah anak-anak keluarga miskin yang kudu bekerja di usia sekolah.
I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa, dosen Universitas Airlangga Surabaya, dalam riset mengenai film anak untuk disertasinya berjudul “Constructing the Nation: Children and Representation in Indonesian Cinema” mendapati bahwa Si Pintjang membangun narasi film anak-anak yang cukup berpengaruh pada masanya.
“Apa yang dilakukan Kotot dengan cara pembentukan narasi, kemudian konstruksi anak-anak pada masa itu, berpengaruh pada film-film lainnya,” ujar Satrya.
Sebagai film anak pertama, Si Pintjang mempengaruhi film-film anak yang diproduksi setelahnya. Satrya mengambil contoh film Djenderal Kantjil (1958) karya sutradara Nya Abbas Akup. “Narasinya kurang lebih serupa walaupun diproduksi oleh orang yang berbeda ya, yang berbeda afiliasi politik dengan Kotot,” ujar Satrya.
Berbeda dari Si Pintjang, film-film Kotot pada akhir 1950-an hingga akhir 1960-an tidak lagi bicara soal tema politik besar. Film seperti Layang-layangku Putus, Tiga-Nol dan Kantjil Mentjuri Timun berkutat pada persoalan dunia anak itu sendiri. Namun, hal ini semata menurut sinopsis karena seluloid film-film itu belum ditemukan. Boleh jadi, muatan isinya tidak sesederhana sinopsis.
“Walaupun dari sinopsis kayaknya benar-benar film anak-anak, tapi pada catatan sejarahnya film-film tersebut, termasuk Layang-layangku Putus, harus disensor ulang terlebih dahulu,” tambah Satrya.
Menyokong Konsepsi
Pada masanya, seniman berpolitik adalah lumrah. Begitu pula jalan yang dipilih Kotot Sukardi. Pergaulan dan pengalaman selama masa pergerakan, pendudukan Jepang, hingga revolusi mengarahkan orientasi politiknya.
Pada 1952, bersama sepuluh orang lainnya, Kotot terpilih sebagai anggota delegasi Indonesia untuk persiapan Konferensi Perdamaian Dunia untuk Asia Pasifik di Peking. “Pendukung perdamaian Indonesia memutuskan pada 10 April untuk mengirim delegasi ke Peking untuk persiapan konferensi,” tulis Daily News Release tahun 1952. Konferensi itu sendiri diadakan pada 2-12 Oktober 1952.
Keputusan tersebut bukan tanpa risiko. Pada 9 November 1951, Jaksa Agung R Soeprapto mengirim surat kepada Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo mengenai pelarangan utusan dari Indonesia ke Konferensi tersebut karena dianggap pro komunis. Tampaknya Komite Perdamaian Indonesia, yang dipimpin Setiadi Reksoprodjo, tak menghiraukan larangan pemerintah.
Kotot terpilih bukan sebagai orang PFN tapi pendidik. Anggota delegasi lainnya adalah tokoh-tokoh organisasi yang sehaluan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Werdojo dari Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), A.S. Dharta dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Suwarti dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis), Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia.
Pada September 1952, Kotot hadir dalam rapat pembentukan dewan pengurus tetap Gelanggang Kesenian, sebuah badan kesusastraan yang diinisiasi Pramoedya Ananta Toer dan Basuki Resobowo; dua seniman yang kemudian menonjol di Lekra. Kotot tercatat sebagai anggotanya.
Peran Kotot dalam pelbagai organisasi memang amat minim. Meski terbatas, namanya kerap muncul dalam pembicaraan mengenai perfilman nasional. Kotot tercatat sebagai salah satu pendiri Parfi, yang diinisiasi Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Parfi yang didirikan di Gedung SBKA Manggarai Jakarta pada 10 Maret 1956 menempatkan Kotot sebagai anggota.
Parfi terbentuk sebagai reaksi atas gempuran film-film impor. Kondisi ini pula yang mendorong Djamaluddin dan Usmar Ismail mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dua tahun sebelumnya. PPFI mengeluhkan kondisi perfilman nasional dan menganggap pemerintah tak membantu. Puncaknya, pada 19 Maret 1957 PPFI –terutama pemilik studio besar– melakukan aksi tutup studio.
Reaksi bermunculan dari organisasi maupun orang film. Sarekat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis) menyatakan sikap tak membenarkan penutupan tersebut dan bahkan mendesak pemerintah turun tangan. Sarbufis berafiliasi dengan SOBSI. Sementara Kotot menganggap keputusan yang diambil PPFI hanyalah gertakan sambal. Dia tak percaya PPFI menutup studionya begitu saja karena akan merugikan PPFI sendiri.
Aksi tutup studio berakhir dua bulan kemudian. Tapi persoalan di dunia film belum berakhir. Di tubuh PPFI timbul ketegangan antara pendukung Konsepsi Presiden dan golongan yang tak setuju artis film berpolitik.
Pada 21 Februari 1957, Sukarno mengeluarkan Konsepsi Presiden. Sebuah konsepsi yang menolak demokrasi liberal dan menjadi mula tegaknya demokrasi terpimpin. Konsepsi ini mendapat sambutan beragam dari seniman. Kotot menjadi salah satu seniman yang berdiri di depan penyokong konsepsi.
Dukungan para seniman melahirkan apa yang disebut sebagai Dokumen 4 Maret 1957, merujuk pada tanggal pertemuannya. Pernyataan dukungan tersebut ditandatangani oleh pelukis Henk Ngantung, sastrawan Pramoedya, dan sutradara Kotot Sukardi.
Sekira 40 seniman menyerahkan dokumen ini kepada Sukarno di Istana Merdeka dua hari kemudian. Pramoedya bertugas membacakan dokumen itu di hadapan Bung Karno.
Walujadi Tur dalam artikel yang dimuat Harian Rakjat, 7 Maret 1957, menyebut bahwa presiden menyambut hangat dukungan para seniman. Sukarno menyatakan kehadiran para seniman memperkuat konsepsi yang tengah digodok dan dikatakan akan menjadi revolusi batin bagi bangsa Indonesia.
Menurut Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, tanggapan terhadap gagasan Konsepsi Presiden segera menjadi ramai di gelanggang politik. Namun belum ada ada orang film yang “ditodong” agar mendukung atau diganyang karena dianggap anti atau tidak mendukung Konsepsi Presiden. “Satu-satunya orang film yang sudah mulai kena serang adalah RM Soetarto, direktur PFN.”
Alasannya hanya karena Soetarto tak mengirimkan juru kamera untuk merekam sebagai film berita ketika berlangsung demonstrasi Konsepsi Presiden di Jakarta pada 24 Februari. Pun PFN tak mengibarkan bendera Merah Putih pada hari pertama Konsepsi Presiden diumumkan. “Padahal tidak ada keharusan mengibarkan bendera Merah Putih pada hari itu. Lalu diungkapkan, bahwa R.M. Soetarto itu dekat dengan PSI dan Bung Hatta.” PSI singkatan dari Partai Sosialis Indonesia.
Pertentangan kian kentara sejak simposium “Artisfilm dan Partai Politik” yang digelar Persatuan Pers Film Indonesia (Perpefi) di Aula Universitas Indonesia pada 8 September 1957. Tan Sing Hwat, perwakilan dari Sarbufis, tampil sebagai pendukung “artis film yang berpolitik”.
“Memang simposium tidak segera disertai langsung dengan pengganyangan musuh-musuh mereka, tapi sejarah film kita sudah mulai memasuki periode baru, yakni ‘periode pertentangan politik’,” tulis Misbach.
Kotot tidak hadir dalam simposium. Namun namanya disebut-sebut dalam simposium. “Warganegara Dhalia, Kotot Sukardi, Bachtiar Siagian dan lain sebagainya memang mempunyai hak untuk menjalankan kegiatan-kegiatan politik, tapi kedudukan mereka pada saat menjalankan kegiatan-kegiatan politik itu bukan lagi sebagai ‘kaum artis film’.”
Sama seperti Pramoedya, kedekatannya dengan seniman-seniman kiri membawa Kotot masuk ke dalam organisasi-organisasi kiri pula. Dia menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra, hasil Kongres Nasional pada 24-29 Januari 1959 di Solo, Jawa Tengah. Dia juga wakil ketua Lembaga Film Indonesia yang berada di bawah naungan Lekra, anggota Panitia Sensor Film mewakili Lekra, serta anggota Pleno Sarbufis.
Kendati demikian, dalam urusan film, Kotot tetap terbuka untuk bekerjasama dengan seniman lain yang “berbeda haluan”. Misalnya, dia membantu Djamaluddin Malik, yang notabene pendiri dan ketua umum Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi kebudayaan Nahdlatul Ulama, dalam penggarapan film Holiday in Bali (1962).
Holiday in Bali merupakan kolaborasi Perseroan Artis Indonesia (Persari), studio film yang didirikan Djamaluddin, dengan perusahaan Filipina, Sampaguita Pictures. Film berwarna yang mengisahkan percintaan beda bangsa ini digarap sutradara Tonny Cayado dan Misbach Jusa Biran.
Menurut Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel, menggarap film ini memberikannya banyak kesempatan untuk berbincang dengan Kotot Sukardi karena tinggal sekamar selama dua bulan ketika syuting di Ubud, Bali.
“Pak Kotot diangkat Pak Djamal sebagai penasihat urusan Bali. Alasannya Pak Kotot menguasai masalah Bali karena pernah menjadi guru Taman Siswa di Bali. Tapi saya yakin ini hanya taktik Pak Djamal agar pembuatan film tidak diserang orang kiri. Maklum Filipina kan cs-nya Amerika yang amat dimusuhi PKI,” ujar Misbach.
Wafatnya Pak Kotot
Hingga akhir hayatnya, Kotot dikenal sebagai orang PFN. Jabatannya pun terbilang wah, yang bisa menentukan film-film apa diproduksi PFN.
Kotot sempat menjabat direktur Dinas Film Tjerita (Difta) PFN. Namun, ketika PFN ditata-ulang oleh Menteri Penerangan Maladi (1959-1962), Difta dilebur dan tugas khusus untuk Kotot tak ada lagi. “Lalu Kotot Sukardi tidak bisa lagi bikin cerita film. Sehingga ajalnya sampai,” tulis MS Biono dalam obituari yang dimuat Minggu Pagi, 8 Desember 1963.
Posisi Kotot pun berubah-ubah. Dalam surat keputusan menteri penerangan tanggal 31 Januari 1963, Kotot tercatat sebagai anggota staf urusan audio visual. Dua bulan kemudian, dia ditempatkan sebagai anggota staf Direktorat Urusan Perencanaan/bidang cerita/skenario dan Pengawasan.
“Ia terus terang saja jadi kecewa. Kecewa, karena keinginan dan rencana-rencananya banyak tertumbuk kenyataan pahit. Ia selalu merindukan hidupnya kembali Dinas Film Cerita PFN. Ia kepingin dapat memberi banyak kepada anak-anak dan kepada revolusi. Tapi kenyataan pahit telah memalanginya!,” tulis MS Biono.
Tapi Kotot adalah seniman dengan banyak talenta. Panggung sandiwara tidak ditinggalkan sepenuhnya. Pada akhir 1950-an, lakonnya Toeroet Sama Amat disadur jadi lakon sandiwara berjudul Turut Sama Sukardi. Kotot juga mengerjakan drama empat babak berjudul Bung Tjipto yang dimuat bersambung oleh majalah Pesat. Bagian terakhir dimuat Pesat pada 10 Juni 1964.
Selain itu, buah dari kunjungannya ke Kanada pada 1955, Kotot membuat sandiwara boneka anak-anak. Menurut Kotot, seperti dijelaskannya dalam majalah Varia, 25 April 1963, Indonesia yang memiliki tradisi boneka seperti wayang kulit, wayang golek, hingga boneka si gale-gale perlu mengembangkan sandiwara boneka.
“Karena daya tariknya, ia tidak saja dapat dipergunakan sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai alat penerangan dan pendidikan. Apalagi jika ini sudah berada di tangan dalang-dalang boneka yang terdidik, ceritanya sudah teratur dan tokoh-tokoh bonekanya diciptakan oleh para ahli, pasti sandiwara boneka ini menduduki tempat yang berarti dalam kehidupan seni Indonesia,” tulisnya.
Sementara di dunia film, Kotot menyimpan banyak rencana. MS Biono mengenang pertemuan terakhirnya dengan Kotot. Dalam pertemuan itu Kotot banyak bicara tentang film. Waktu itu Kotot sedang menyiapkan film dokumenter tentang rakyat, negara dan revolusi Indonesia dalam tata warna, yang akan dibawa ke New York World’s Fair 1964. Kotot juga berencana membuat film pembebasan Irian Barat. Naskah cerita sudah dipersiapkannya.
“Sampai ajalnya tidak saya ketahui lagi, bagaimana kelanjutan rencana almarhum itu. Tapi yang pasti, bahwa almarhum meninggalkan dunia yang fana ini, dengan kerja yang masih menumpuk,” tulis MS Biono.
Kotot Sukardi meninggal dunia di Jakarta pada Sabtu, 21 November 1963, dalam usia 47 tahun. Dia dimakamkan di Karet. Prosesi pemakamannya dihadiri oleh tokoh-tokoh Lekra seperti Joebaar Ajoeb, Njoto, Bakri Siregar, dan Agam Wispi. Juga tokoh-tokoh di dunia film macam Bachtiar Siagian, Basuki Effendy, hingga Tan Sing Hwat.
Wafatnya Kotot Sukardi juga sebuah kehilangan bagi anak-anak Indonesia. Majalah anak-anak Kutilang menurunkan berita lelayu ini. “Anak-anak, adalah suatu kabar yang sangat mengejutkan dan menyedihkan sekali dengan adanya berita bahwa Pak Kotot telah meninggal secara mendadak pada tanggal 22 November 1963.”
“Anak-anak, kalian tentu sudah tahu, siapa Pak Kotot itu?”
“Pak Kotot adalah seorang pengarang cerita film dan pengarang sandiwara anak-anak dan belakangan ini pengarang sandiwara boneka kanak-kanak yang telah disiarkan oleh televisi berkali-kali,” tulis Kutilang.
Kotot meninggal dunia dua tahun sebelum peristiwa G30S meletus. Kawannya, Bachtiar Siagian, dan muridnya, Basuki Effendy, dibuang ke Pulau Buru. Sementara Tan Sing Hwat sempat tak bisa berkarya dan menjadi sopir bemo. Meski Kotot telah tiada, memori tentangnya seakan ikut diberangus.
Seluloid Susut
Kotot Sukardi pergi dengan meninggalkan banyak karya. Katalog Film Indonesia 1926-2007 yang disusun oleh JB Kristanto mencatat beberapa film ceritanya antara lain Sepandjang Malioboro (1951), Si Pintjang (1952), Djajaprana (1955), Lajang-Lajangku Putus (1958), Ni Gowok (1958), Tiga-Nol (1958), Kantjil Mentjuri Timun (1959) dan Melati Dibalik Terali (1961).
Kotot juga menulis cerita dan skenario untuk film yang disutradarai oleh murid maupun rekannya seperti Si Mientje (1952), Si Melati (1954), Sampai Berdjumpa Kembali (1955), Sajem (1961), dan Dibalik Dinding Sekolah (1961).
Meski mengisi banyak nomor dalam daftar panjang film Indonesia, jejak karya-karyanya seolah menghilang. Satrya mengaitkannya dengan daftar film dan statusnya yang diterbitkan Departemen Penerangan tahun 1969. Dalam daftar itu, film Ni Gowok dan Tiga-Nol disebut harus dibekukan atau boleh beredar setelah lolos sensor ulang.
“Kemudian Layang-Layangku Putus dikategorikan sebagai diusahakan izin beredar’. ‘Diusahakan’ berarti kan ada persoalan pada isinya. Si Pintjang sendiri dikategorikan harus dihancurkan,” ujar Satrya. Satrya menduga, film Si Pintjang disimpan di Sinematek karena hubungan baik Kotot dengan pendiri Sinematek, Misbach Yusa Biran.
<div class="strect-width-img width70"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/629f1b3386f48414407774be_FIRDAUS.jpg" alt="img"></div><figcaption>Firdaus, juru dokumentasi dan perawatan film seluloid Sinematek. (Fernando Randy/Historia.ID)</figcaption></figure></div>
Menurut Firdaus, juru dokumentasi dan perawatan film seluloid Sinematek, sejak dia bekerja di Sinematek pada 1996, film Si Pintjang telah mengalami kerusakan ketika ditemukan di gudang. Pita seluloidnya telah susut dan bergelombang, perforasinya sempal, serta mengeluarkan cairan asam.
“Itu (seluloidnya) sudah mengkristal. Maksudnya lapisan pernisnya megelupas, filmnya sudah diagonal karena tingkat PH-nya tinggi, sehingga ia asam dan bergelombang,” kata Firdaus. Beruntungnya, film ini sempat didigitalisasi meski ada bagian akhir yang hilang.
Selain Si Pintjang, Sinematek Indonesia juga menyimpan karya Kotot lainnya. Pita seluloid Djajaprana telah melintir dan getas. Perforasinya juga sempal. Si Melati 70% baik meski gambarnya telah baret-baret halus dan sesekali tebal.
Sejauh ini tak ada lagi film Kotot yang ditemukan. Yang tersimpan hanya sinopsis mapun keterangan singkat bahwa pernah ada film-film karya sineas Kotot Sukardi meramaikan layar perak tanah air.
Jika pada 1956, atas saran Bung Karno, para sineas bisa datang kepada Kotot Sukardi ketika kekurangan cerita, kepada siapa para sineas hari ini kudu datang, Bung?
Kotot Sukardi memang akhirnya menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan pada 2015 karena jasanya sebagai perintis pembuatan film anak-anak. Namun nama Kotot Sukardi bak potongan film yang tak lulus sensor seperti dalam film Cinema Paradiso (1988). Hanya bisa digunting dan disusun dari mereka yang sudi mengutipnya dalam ingatan. Kumpulan potongan itu, ternyata menjadi rangkaian pita memori cukup panjang dan penting dalam sejarah film Indonesia yang pincang. Montase Kotot Sukardi.*