PNI Baru Mendidik Dulu, Merdeka Kemudian

Beda siasat dan strategi perjuangan, Sukarno dan Hatta berpisah di tengah jalan. Berjuang dengan caranya masing-masing.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
PNI Baru Mendidik Dulu, Merdeka KemudianPNI Baru Mendidik Dulu, Merdeka Kemudian
cover caption
Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pada kunjungan kerja di Jawa Tengah. (KITLV).

MOHAMMAD Hatta merasa gundah dengan cara agitasi yang dilancarkan oleh Sukarno, tetapi tak menggembleng kadernya dengan pendidikan. Dia juga jengah dengan keputusan PNI membubarkan diri pascapenangkapan para pemimpinnya pada April 1931. Dia juga mengkritik cara PNI yang terkesan hanya menggantungkan perjuangan kepada pemimpinnya saja, sehingga ketika mereka dipenjara, rakyat seperti anak ayam kehilangan induknya.  

“Dengan jalan pendidikan, rakyat jelata akan mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Bukan saja pemimpin yang harus berjuang, malahan rakyat juga turut berjuang,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.  

Hatta memilih untuk bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sekembalinya dari negeri Belanda pada Agustus 1932. Saat itu, PNI Baru sudah berdiri di Yogyakarta, Desember 1931. Dalam kongres pertamanya di kota yang sama, 25–27 Desember 1931, PNI Baru memilih Soekemi sebagai ketua umum sedangkan Sutan Sjahrir, yang baru tiba dari negeri Belanda, terpilih sebagai ketua cabang Batavia. Pada Juli 1932, Sjahrir terpilih jadi ketua umumnya, menggantikan Soekemi. Sebulan kemudian Hatta menggantikan Sjahrir jadi ketua.

MOHAMMAD Hatta merasa gundah dengan cara agitasi yang dilancarkan oleh Sukarno, tetapi tak menggembleng kadernya dengan pendidikan. Dia juga jengah dengan keputusan PNI membubarkan diri pascapenangkapan para pemimpinnya pada April 1931. Dia juga mengkritik cara PNI yang terkesan hanya menggantungkan perjuangan kepada pemimpinnya saja, sehingga ketika mereka dipenjara, rakyat seperti anak ayam kehilangan induknya.  

“Dengan jalan pendidikan, rakyat jelata akan mendapat keyakinan bahwa tidak saja pemimpin harus tahu kewajibannya, tetapi juga rakyat semuanya. Bukan saja pemimpin yang harus berjuang, malahan rakyat juga turut berjuang,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.  

Hatta memilih untuk bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sekembalinya dari negeri Belanda pada Agustus 1932. Saat itu, PNI Baru sudah berdiri di Yogyakarta, Desember 1931. Dalam kongres pertamanya di kota yang sama, 25–27 Desember 1931, PNI Baru memilih Soekemi sebagai ketua umum sedangkan Sutan Sjahrir, yang baru tiba dari negeri Belanda, terpilih sebagai ketua cabang Batavia. Pada Juli 1932, Sjahrir terpilih jadi ketua umumnya, menggantikan Soekemi. Sebulan kemudian Hatta menggantikan Sjahrir jadi ketua.  

Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, PNI Baru menolak cara-cara perjuangan politik Sukarno dalam PNI yang sudah bubar. PNI Baru menghindari agitasi dan pengerahan massa. “Di sini taktik-taktik Sukarno ditolak dan PNI Baru menganut pandangan-pandangan yang sedikit realistis,” tulis Ricklefs.  

PNI Baru didirikan karena ada sebagian anggota PNI yang tak setuju dengan pembubaran partai pada April 1931, menyusul penangkapan para pemimpinnya. Namun, menurut Iskaq Tjokrohadisurjo, pembubaran PNI terjadi karena partai dinyatakan melanggar pasal 169 KUHP Hindia Belanda yang menentukan bahwa PNI termasuk perkumpulan jahat sehingga siapa saja yang menjadi anggotanya bisa ditangkap. “Maka jelaslah PNI dan seluruh anggotanya ditempatkan dalam posisi sulit,” kata Iskaq membela keputusan PNI.  

Anggota PNI yang dipimpin oleh Sartono kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo), empat hari setelah pembubaran PNI, 29 April 1931. Menurut Ricklefs, Sjahrir cs. mendirikan PNI Baru justru sebagai “suatu organisasi tandingan terhadap Partindo”. “Dengan demikian,” lanjut Ricklefs, “gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model aksi-massa dan model pembentukan kader.”  

Untuk menyatukan perpecahan dimulai ketika Hatta datang ke Bandung dan menemui Sukarno untuk kali pertama. Namun, pertemuan tersebut justru gagal membicarakan soal PNI Baru dan Partindo karena, “Ia tidak memulai, aku juga tidak menyinggung masalah itu,” ujar Hatta. Maka, kedua organisasi itu tetap jalan sendiri-sendiri.

Gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model aksi-massa dan model pembentukan kader.

Kaderisasi

Sebagai partai yang tidak mengandalkan aksi massa, PNI Baru mendahulukan pendidikan untuk mencetak kader-kader unggulannya. Hatta merumuskan garis dasar pendidikan kader partai agar kader “tahan uji”, bukan agitator penggerak massa semata. “Dalam rapat-rapat umum dan rapat kursus kader jangan dilakukan agitasi, melainkan diutamakan memberikan petunjuk dengan jalan menganalisis keadaan yang nyata,” kata Hatta.  

Untuk bergabung ke dalam PNI Baru, setiap orang harus terlebih dahulu melewati pokok-pokok ujian, yakni sejarah umum, imperialisme dalam pertumbuhannya, kapitalisme dalam perkembangannya, kolonialisme dan kedaulatan rakyat. Sedangkan sumber bacaan rujukan para pendidik adalah Daulat Ra’jat, Indonesia Vrij dan Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia karya Mohammad Hatta, dan Indonesia Menggugat karya Sukarno.  

Cara kaderisasi demikian mengundang banyak ejekan terhadap PNI Baru. Organisasi politik itu disebut sebagai perkumpulan “sekolah-sekolahan” karena hanya mendidik kadernya. Namun, Hatta menjawab, “Memang, kita mau ‘bersekolah’ dahulu, bersekolah untuk membentuk budi dan pekerja, bersekolah dalam memperkuat iman.”  

Sampai awal 1933, PNI Baru berhasil membentuk 65 cabangnya yang tersebar di beberapa wilayah mulai Jawa sampai Sumatra. Peran Hatta cukup penting di dalam memperluas jaringan kader PNI Baru. Padahal, pada Juni 1932, jumlah cabang baru mencapai 12, tetapi cabang PNI Baru makin bertambah ketika Hatta memimpin.

Hatta bersama kawan-kawan di pembuangan Boven Digoel. (Repro Untuk Negeriku).

Kontestasi

Harapan bahwa PNI Baru dan Partindo tidak saling bersaing tak sepenuhnya berhasil. Terlebih ketika Partai Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) menawari Hatta untuk dicalonkan menjadi anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer) bocor ke majalah Persatuan Indonesia. Menurut majalah yang berafiliasi kepada Partindo itu, tawaran tersebut adalah bukti Hatta melanggar prinsip nonkooperasinya.  

Hatta menampik tuduhan itu. Dia belum lagi menolak atau menerima tawaran tersebut karena keputusannya tergantung kepada keputusan sidang PNI Baru. Namun, serangan telah datang bertubi-tubi. Menurut Hatta prinsip nonkooperasi tidak sama dengan antiparlementarisme. Persoalan ini bermuara pada polemik antara Sukarno dengan Hatta tentang gerakan nonkooperasi.

Bagi Sukarno, nonkooperasi haruslah total memegang “prinsip oposisi tanpa kompromi terhadap Belanda,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik. Sementara bagi Hatta, kalau memang ia mau, “orang-orang OSP yang terpilih di atas aku akan memberikan tempatnya kepadaku (untuk duduk di dalam parlemen).” Dan tujuan OSP itu menurutnya “benar-benar untuk memberi kesempatan bagiku untuk menentang imperialisme kolonial dalam Tweede Kamer.”

Perbedaan taktik perjuangan antara kaderisasi atau radikalisasi massa telah menjadi jurang pemisah antara PNI Baru dengan Partindo. Menurut sejarawan Legge, banyak orang saat itu menggambarkan persaingan PNI Baru dengan Partindo “sebagai persaingan antara kaum radikal dan kaum moderat atau barisan kiri dan barisan kanan.” Kendati pandangan itu menurutnya tak sepenuhnya benar karena kedua organisasi itu berhak mengklaim dirinya sama-sama radikal dalam mencapai kemerdekaan.  

Sukarno dalam otobigrafinya bersikukuh bahwa kemerdekaan harus direbut dengan cara aksi massa. Dia meragukan upaya PNI Baru dan Hatta untuk mendidik rakyat sebelum kemerdekaan bisa diraih. “Untuk mendidik mereka secara perlahan akan memakan waktu beberapa generasi,” kata dia. Sementara Hatta mengkritik balik Sukarno karena terlalu lama “mendidik” rakyat “dengan cita-cita umum, dengan dendang persatuan, sehingga ia keliru tentang asas mana yang harus dipakai.”

Polemik tentang taktik perjuangan itu untuk sementara berakhir karena pemerintah kolonial Belanda akhirnya menangkap Sukarno, Hatta, Sjahrir dan pemimpin gerakan pembebasan nasional lainnya. Sukarno dibuang ke Ende pada 1934 dan di tahun yang sama Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digoel dan kemudian ke Banda Neira.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66877561f5f23a0b7ccfd097