PNI Lahir Kembali di Masa Revolusi

Sempat dibubarkan para pendirinya, PNI dihidupkan kembali oleh para mantan pendiri yang lama setelah Indonesia merdeka.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
PNI Lahir Kembali di Masa RevolusiPNI Lahir Kembali di Masa Revolusi
cover caption
Mr. Sartono, salah satu pemrakarsa pendirian kembali PNI. (koransulindo.com).

TAK lagi menjabat sebagai menteri, Sartono mulai memikirkan tentang partai. Dia mengajak beberapa teman dekatnya berdiskusi tentang pembentukan sebuah partai nasionalis yang meneruskan cita-cita Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).  

Diskusi kian intens setelah keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang mendorong pembentukan partai-partai politik. Sartono mengumpulkan beberapa rekannya di kantor Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jalan Cilacap, Jakarta. Mereka adalah Sarmidi Mangunsarkoro, Lukman Hakim, Wilopo, Sabillal Rasjad, dan Sudiro.  

“Rapat memutuskan untuk mempersiapkan sesegera mungkin berdirinya suatu partai politik, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pemersatu di antara partai nasionalis,” tulis Daradjadi dalam Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.

TAK lagi menjabat sebagai menteri, Sartono mulai memikirkan tentang partai. Dia mengajak beberapa teman dekatnya berdiskusi tentang pembentukan sebuah partai nasionalis yang meneruskan cita-cita Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).  

Diskusi kian intens setelah keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang mendorong pembentukan partai-partai politik. Sartono mengumpulkan beberapa rekannya di kantor Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jalan Cilacap, Jakarta. Mereka adalah Sarmidi Mangunsarkoro, Lukman Hakim, Wilopo, Sabillal Rasjad, dan Sudiro.  

“Rapat memutuskan untuk mempersiapkan sesegera mungkin berdirinya suatu partai politik, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pemersatu di antara partai nasionalis,” tulis Daradjadi dalam Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi & Bapak Parlemen Indonesia.

Setelah itu, pada 4 Desember 1945, atas prakarsa Sartono dan Suwirjo, sebuah pertemuan dihelat di rumah Suwirjo di Jalan Pegangsaan Barat No. 6, Jakarta. Hadir pula beberapa eks anggota PNI 1927, Partindo, Gerindo, dan lainnya. Mereka menyepakati membentuk sebuah partai baru, Serikat Rakyat Indonesia (Serindo). Mangunsarkoro terpilih menjadi sekretaris jenderal, dibantu Osa Maliki (sekretaris I), Lukman Hakim (sekretaris II), dan Mukarto (sekretaris III). Serindo dideklarasikan pada 13 Desember 1945.  

Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta, lokasi rumah Suwirjo yang dipakai untuk pertemuan membahas pembentukan partai. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Serindo mengadakan kongres pertamanya di Kediri, Jawa Timur, pada 28 Januari–1 Februari 1946. Kongres dihadiri wakil-wakil dari partai lain, dengan maksud melakukan fusi, antara lain Partai Republik Indonesia (Madiun), Partai Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Gerakan Rakyat Indonesia (Madiun), dan bekas-bekas cabang PNI (partai tunggal) di Madiun, Pati, Palembang, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Diputuskan untuk mengganti nama Serindo menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan azas sosialis, nasional-demokrasi, dan dengan tujuan menegakkan Republik Indonesia, mewujudkan negara yang berkedaulatan rakyat dan masyarakat yang sosialistis. Tanggal 29 Januari ditetapkan sebagai hari jadi PNI. Mangunsarkoro terpilih sebagai ketua umum.  

Menurut J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, “dari komposisi pimpinan partai, falsafah, dan program partai baru tersebut, tampak jelas bahwa PNI 1946 berada dalam jalur langsung warisan faksional dan ideologis dari PNI 1927.”

Suwirjo. (Wikimedia Commons).

Mikrokosmos politik indonesia

Sejak PNI 1927 membubarkan diri karena para pemimpinnya ditangkap pemerintah kolonial, beberapa anggotanya berpencar-pencar. Sebagian kecil dari mereka kemudian mendirikan partai baru. Namun, perjuangan itu harus mengambil bentuk lain pada masa pendudukan Jepang karena adanya larangan partai politik dari pemerintah militer Dai Nippon.  

Setelah Indonesia merdeka, muncul gagasan dari Presiden Sukarno untuk mendirikan partai negara dengan nama PNI. Namun, pembentukan itu akhirnya dibatalkan, dengan alasan, “partai negara jenis ini akan berbau Jepang dan bersifat otoriter,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.  

Sukarno akhirnya berkompromi dengan KNIP tentang sistem banyak partai. Dari sinilah terbit Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang mendorong pula terbentuknya PNI.  

Menurut Rocamora, dalam banyak cara, PNI merupakan mikrokosmos (jagat kecil) yang mencerminkan sistem politik Indonesia. PNI adalah Jawasentris dan sekular, tetapi mencakup pula unsur-unsur bukan Jawa dan Islam yang kuat.

Kelompok elite birokrat dan kapitalis nasional selama beberapa masa menguasai pimpinan partai, tetapi selalu mendapat tentangan dari unsur angkatan muda dan buruh. Ideologinya terpecah-pecah di antara dorongan budaya konservatif dan cita-cita politik radikal, hampir tidak ada bedanya dengan negara Indonesia sendiri.  

“Karena adanya unsur-unsur yang bertentangan inilah, banyak orang menganggap PNI plin-plan dan berkualitas meragukan,” tulis Rocamora.

Sarmidi Mangunsarkoro. (Wikimedia Commons).

Antara Idealis dan Taktis

Menurut Rocamora, beberapa bulan sejak didirikan, PNI bukanlah partai yang berpengaruh dalam politik nasional. Penyebabnya antara lain hubungannya yang dingin dengan Presiden Sukarno, tak adanya dukungan dari kelompok bersenjata, dan pengaruh pribadi para pemimpin terasnya yang relatif kecil. Selama itu pula PNI mengambil jalur oposisi.  

“Namun, PNI merumuskan kebijakan oposisi begitu rupa sehingga hubungannya dengan pemerintah tidak sampai putus sama sekali, dalam pengertian yang sedikit berbeda, mampu menghindari tekanan yang sesungguhnya dari pemerintah,” tulis Rocamora.

PNI mengambil sikap radikal-nasionalis. Mereka menentang kolonialisme Belanda, yang hendak dibangun kembali oleh NICA, dengan mobilisasi massa. Sikap itu mengundang balasan. Pada September 1946, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook melarang PNI dengan cabang-cabangnya di seluruh Sulawesi. Alasannya, “bertentangan dengan openbare orde (ketertiban umum),” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid II, 1946.

Sikap keras itu juga ditunjukkan PNI dalam soal perundingan dengan Belanda. Para pemimpin PNI menentang perundingan dan beroposisi melawan kebijakan pemerintah Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin yang didominasi kaum sosialis. Namun, mempertahankan disiplin partai yang ketat terbukti sulit. Beberapa individu bergabung dengan kabinet yang kebijakannya kadang bertentangan dengan partai. Maka, Rocamora menyebut periode 1946–1950 adalah tahun-tahun frustrasi bagi PNI.  

Perjanjian Linggarjati yang dijalankan pemerintah Sjahrir diserang habis-habisan karena dianggap merugikan perjuangan Republik. Untuk menyikapinya, PNI sampai mengadakan Kongres Luar Biasa pada pengujung tahun 1946 di Malang. Dalam sebuah pertemuan dengan presiden di Yogyakarta pada 18 Februari 1947, PNI bersikap tegas menolak Perjanjian Linggarjati. Bersama fraksi Masjumi, yang juga hadir, fraksi PNI walk out.  

PNI juga menentang Kabinet Amir Sjarifuddin, yang berunding dengan Belanda melalui Perundingan Renville. Bahkan, tulis Daradjadi, “Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin, antara lain, disebabkan oleh sikap oposisi yang dilancarkan PNI.”  

Karena citra sebagai partai nasionalis radikal itulah, menurut Rocamora, PNI memperoleh banyak pengikut pada tahun-tahun berikutnya.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668941ca38c3c3f979a77978