Polemik Kapal Van Der Wijck

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dituduh plagiat. Ada yang mendukung tuduhan itu, ada pula yang membela Hamka.

OLEH:
Historia
.
Polemik Kapal Van Der WijckPolemik Kapal Van Der Wijck
cover caption
Buya Hamka di Singapura tahun 1956. (bertuahpos.com).

PADA 7 September 1962, lewat tulisannya di “Lentera” milik Bintang Timur, Abdullah Said Patmadji menuduh novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka merupakan plagiat dari novel Al Majdulin atau Magdalaine karya sastrawan Mesir Mustafa Al Manfaluthi. Al Majdulin sendiri merupakan terjemahan dari novel Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. 

Artikel berjudul “Hamka, Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?” itu menggemparkan dunia sastra Indonesia. Mereka terbelah, ada yang mendukung Abdullah dan ada pula yang mendukung Hamka.

Berikut tuduhan-tuduhan dan pembelaan-pembelaan itu.

PADA 7 September 1962, lewat tulisannya di “Lentera” milik Bintang Timur, Abdullah Said Patmadji menuduh novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka merupakan plagiat dari novel Al Majdulin atau Magdalaine karya sastrawan Mesir Mustafa Al Manfaluthi. Al Majdulin sendiri merupakan terjemahan dari novel Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. 

Artikel berjudul “Hamka, Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia?” itu menggemparkan dunia sastra Indonesia. Mereka terbelah, ada yang mendukung Abdullah dan ada pula yang mendukung Hamka.

Berikut tuduhan-tuduhan dan pembelaan-pembelaan itu yang dimuat di media massa.

Tuduhan

Bintang Timur, 7 September 1962. Abdullah SP: Di sini aku lihat, bahwa Hamka memang hakul-yakin mentah-mentah menjiplak, apanya yang berbeda, temanya, isinya, nafasnya, cuma tempat kejadian dan tokoh-tokohnya yang disulap dengan menggunakan warna setempat tentu.

Bintang Timur, 14 September 1962. Abdullah SP: Baik Hamka maupun Alphonse Care mempergunakan titik tolak yang sama, yaitu hubungan antar-manusia melalui surat-surat persahabatan. Hamka menggunakan surat-surat Hayati kepada Chadidjah, sedang Alphonse Care/Manfaluthi membergunakan surat-surat Magdalaine kepada Suzanne.

Warta Bhakti, 20 September 1962. Dua buah karangan Abdullah SP yang dimuatkan dalam lembaran kebudayaan harian Bintang Timur “Lentera” tanggal 7 dan 14 September bulan lalu telah membongkar satu rahasia dalam dunia sastra Indonesia dengan menyebutkan bahwa buku Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck karangan Hamka adalah jiplakan dari buku Magdalaine karangan penulis Perancis Alphonse Care yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh pujangga Mesir kenamaan Manfaluthi.

Merdeka, 22 September 1962. Di tengah-tengah kesibukan rakyat Indonesia membangun kepribadian bangsa, terbongkarlah satu skandal besar di bidang kesusastraan. Buku Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck yang terkenal dan sudah mengalami 8 kali ulang-cetak, ditulis oleh Hamka, ternyata menurut Abdullah SP adalah jiplakan belaka. Tahun kemenangan bagi rakyat Indonesia ini rupa-rupanya diciri dengan tahun kejatuhan tokoh Masyumi yang tersisa: Hamka!

Bintang Timur, 28 September 1962. Redaksi: Berhubung dengan memuncaknya peristiwa sastra ala Hamka, dengan ini Redaksi “Lentera” menegaskan, bahwa pernyataan Hamka bahwa ia akan memberikan keterangan di bawah komisi Universitas pada prinsipnya tidak menjawab persoalan yang sesungguhnya.

Berita Minggu, 30 September 1962. Pramoedya Ananta Toer: Ide dan gaya bahasa jelas menandakan karya tersebut adalah jiplakan dan ini akan memberikan contoh yang tidak baik pada generasi muda.

Bintang Timur, 5 Oktober 1962. Pengantar redaksi: Perampasan itu bisa terjadi hanya oleh bukan pengarang. Orang yang bisa melakukan plagiat, tidak pernah seorang pejuang buat masyarakatnya, dia cuma menyalurkan keserakahan hewaniah: keharuman nama dengan cepat, harta-kekayaan, dan penghormatan masyarakat pada dirinya. 

Abdullah SP: Pada buku Hamka yang ada hanya pewarnaan setempat dan digarami latar belakang adat. Itu tidak bisa dinamakan ekspresi, itu hanya kamuflase!

Gelora, 28 Desember 1962. Umar Yunus: Dengan cara begini, penonjolan Jassin yang mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengandung soal adat yang pasti tidak ada pada “Madjdulin” sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan.

Novel Tenggelamnja Kapal Van Der Wyck karya Hamka.

Pembelaan

Warta Bhakti, 25 September 1962. Penulis buku Tenggelamnya Kapal V.D Wijck Hamka menyebutkan dalam tulisannya yang disampaikan kepada Antara bahwa dia bersedia memberikan keterangan tentang buku Tenggelamnya Kapal V.D Wijck yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan orang, apabila sudah terbentuk satu “Panitia Kesusastraan” yang bersifat ilmiah di bawah naungan satu Universitas/Fakultas Sastra.

Suluh Indonesia, 29 September 1962. HB Jassin: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tidak dapat dikatakan suatu jiplakan.

Berita Minggu, 30 September 1962. HB Jassin: Kalau dibandingkan, maka karya Hamka itu masih ada pemikiran-pemikiran, penghayatan dan pengalaman Hamka sendiri.

Berita Minggu, 30 September 1962. Hamka: tidak mau melayani fakta yang dicampur adukkan dengan opini.

Res Publica, 03 Oktober 1962. HB Jassin: Mungkin memang ada persamaan patron, persamaan ungkapan antara karya Hamka dan Manfaluthi, tetapi Hamka telah menggunakan imaginasinya dan tidak menyalin mentah-mentah seperti murid sekolah meniru gambar-gambar dengan kertas tipis.

Berita Minggu, 07 Oktober 1962. Anas Ma’ruf (Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional): Abdullah SP tidak meyakinkan. Terus terang saja, demikian Anas melanjutkan, bahwa kesan yang diperolehnya dalam membaca dua buah tulisan Abdullah SP kurang meyakinkan. Hal pokok seperti gagasan, tema, plot cerita dalam keseluruhannya kurang disinggungnya. Tapi, demikian Anas, kesimpulan yang berbeda itu mungkin disebabkan oleh pengemukaan fakta mempunyai pengertian lain tentang jiplakan.

Berita Minggu, 07 Oktober 1962. Ali Audah: Kita memang akan mengalami sedikit kesukaran, demikian Ali Audah melanjutkan keterangannya, dan bahkan akan lebih mengaburkan bilamana bahan-bahan perbandingan itu kita penggal-penggal dan kita ambil hanya sebahagian-sebahagian saja. Apa lagi bila yang diambil itu biasanya hanya persamaannya atau perbedaannya saja, kita tidak bisa bertindak adil lagi.

Berita Minggu, 07 Oktober 1962. Usmar Ismail: Cuma geni yang mampu ciptakan keaslian. Tentang plagiat kita harus berhati-hati benar. Lebih-lebih di bidang sastra. Dalam menciptakan karyanya, seniman atau lebih khusus lagi pengarang harus melalui masa-masa tertentu, yaitu: 1. Masa terjemahan, 2. Masa pengaruh, dan 3. Masa keaslian. Yang terakhir inipun adalah hasil kristalisasi dari pada masa-masa sebelumnya.

Suluh Indonesia, 03 November 1962. A. Rahim Mufty: Betapapun Busje dipengaruhi Chekov, betapapun Pramudya dipengaruhi John Stainback, betatapun Hamka dipengaruhi Manfaluthi, toh pribadi-pribadi mereka tetap ada. Tetapi pengaruh-pengaruh ini tidak selamanya menetap pada diri sang pengarang. 

Zuber Usman: Ada-ada saja orang membuat tingkah untuk dapat nama.

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d733cabdf7bf65b52abae0