Lukisan sebuah pabrik gula di Jawa dengan asap yang mengotori udara dan limbah yang dibuang ke sungai. (Repro Jawa Tempo Doeloe).
Aa
Aa
Aa
Aa
TERDORONG cinta pada istri, J.W.B. Money, seorang Inggris, berlayar dari Kalkuta, India, menuju Pulau Jawa pada musim panas 1858. Dia berkasad mencari terapi penyembuhan penyakit istrinya. Sebelum menyusuri Jawa, dia singgah sejenak di Batavia. Dia terkejut menemukan keadaan di sana jauh berbeda dari apa yang dia baca di buku, bahwa Batavia kota yang kotor.
“Batavia sendiri merupakan salah satu kota terbersih dan tercantik di sana,” tulis Money dalam catatannya yang termuat di Jawa Tempo Doeloe karya James R. Rush. Gambaran ini berbeda 180 derajat dari banyak catatan sezaman yang mengulas Batavia. Charles Walter Kinloch, misalnya, menulis Batavia sebagai kota berpenyakit karena polusi udara.
“Kapal-kapal harus berlabuh dalam jarak yang cukup jauh dari pantai untuk menghindari penyakit yang dibawa oleh angin darat yang buruk, proses pendaratan selalu menjadi suatu hal yang menyulitkan,” tulis Kinloch pada 1852.
Batavia sohor sebagai kota tak sehat sejak pertengahan abad ke-18. Udaranya berbau busuk dan airnya kotor sehingga bibit penyakit mudah tersebar. Jumlah kematian orang Belanda pun meningkat. Maka tercetus sebutan baru untuk Batavia: “Kuburan untuk orang Belanda”. Padahal, kota ini sempat menyandang gelar “Ratu dari Timur” selama abad ke-17.
TERDORONG cinta pada istri, J.W.B. Money, seorang Inggris, berlayar dari Kalkuta, India, menuju Pulau Jawa pada musim panas 1858. Dia berkasad mencari terapi penyembuhan penyakit istrinya. Sebelum menyusuri Jawa, dia singgah sejenak di Batavia. Dia terkejut menemukan keadaan di sana jauh berbeda dari apa yang dia baca di buku, bahwa Batavia kota yang kotor.
“Batavia sendiri merupakan salah satu kota terbersih dan tercantik di sana,” tulis Money dalam catatannya yang termuat di Jawa Tempo Doeloe karya James R. Rush. Gambaran ini berbeda 180 derajat dari banyak catatan sezaman yang mengulas Batavia. Charles Walter Kinloch, misalnya, menulis Batavia sebagai kota berpenyakit karena polusi udara.
“Kapal-kapal harus berlabuh dalam jarak yang cukup jauh dari pantai untuk menghindari penyakit yang dibawa oleh angin darat yang buruk, proses pendaratan selalu menjadi suatu hal yang menyulitkan,” tulis Kinloch pada 1852.
Batavia sohor sebagai kota tak sehat sejak pertengahan abad ke-18. Udaranya berbau busuk dan airnya kotor sehingga bibit penyakit mudah tersebar. Jumlah kematian orang Belanda pun meningkat. Maka tercetus sebutan baru untuk Batavia: “Kuburan untuk orang Belanda”. Padahal, kota ini sempat menyandang gelar “Ratu dari Timur” selama abad ke-17.
Di sebalik sebutan itu, siapa sangka Batavia telah didera masalah polusi?
Didirikan pada 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen sebagai markas besar Kongsi Dagang Belanda (VOC) di Asia, Batavia lekas berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Hanya dalam waktu sepuluh tahun kota ini dihuni 20 ribu orang dari aneka rupa bangsa. Dan secepat itu pula polusi muncul.
Aktivitas perdagangan internasional menyisakan sampah-sampah. “Pada 1630, tumpukan sampah di jalan dan kanal Batavia menjadi masalah. Sampah-sampah ini, terutama sekali, terdiri dari abu, batu bata, kapur, daun palem, dan material lainnya. Ini ditambah lagi bangkai ikan dari beberapa pasar,” tulis Luc Nagtegaal dalam “Urban Pollution in Java, 1600- 1850”, termuat di Issues in Urban Development. Bau tak sedap pun merebak di beberapa sudut kota.
Pemerintah Tinggi Batavia tanggap. Mereka menerapkan hukuman untuk orang yang membuang sampah ke jalan atau kanal. Selain itu, mereka membentuk pengangkut sampah. Petugas ini menggunakan tongkang yang menyusuri kanal untuk mengangkut sampah. Pada titik tertentu mereka berhenti dan turun dari tongkang untuk memungut sampah di jalan.
Untuk mendukung kerja petugas, Pemerintah Tinggi menyediakan tempat sampah di banyak tempat pada 1673. “Tapi ini tak menyelesaikan masalah kekotoran di kota,” tulis Luc. Pemerintah Tinggi pun cari cara lain. Salah satunya mengontrak kontraktor Tionghoa untuk membersihkan jalan dan kanal dari sampah pada 1707.
Keputusan ini justru menambah masalah. Beberapa petugas bertindak nakal. Bukannya membawa sampah ke tempat pembuangan yang terletak jauh di luar kota, mereka justru sering membuangnya ke laut untuk mempersingkat kerja. Akibatnya, pinggiran laut ikut tercemar, tetapi polusi air ini bukan masalah baru.
Bunga Jam Sembilan Malam
Polusi air mendera Batavia sejak pertengahan abad ke-17. “Bentuk utama polusi air adalah feses,” tulis Luc. Batavia belum mempunyai sistem sanitasi kotoran yang baik kala itu. Penduduk Batavia biasa menggunakan guci untuk menampung kotoran. Guci itu kemudian dibuang ke kanal dan kali kapan saja mereka mau.
Praktik ini sangat mengganggu kala kanal dan kali di Batavia mampat. Bau busuk kotoran pun tercium. Ini bisa berlangsung selama beberapa hari di musim kemarau.
Sadar tindakan itu membahayakan kualitas air dan udara, Pemerintah Tinggi mengeluarkan aturan yang melarang penduduk membuang guci sebelum pukul sembilan malam pada 1653. Praktik ini berhenti pada akhir abad ke-18.
Penduduk tak boleh lagi membuang guci kotoran ke kanal. Sebagai gantinya, Pemerintah Tinggi menugaskan beberapa orang untuk mengambil guci-guci itu agar tak selalu mencemari air. Apalagi polusi air diketahui sebagai penyebab jumlah kematian orang Belanda meningkat pada pertengahan abad ke-18.
“Salah satu sejarawan yang berpendapat demikian adalah Leonard Blusse melalui bukunya, Persekutuan Aneh. Dia mengajukan argumentasi polusi air sebagai faktor utama tersebarnya epidemi penyakit, yang kemudian membuat banyak orang Belanda mati,” kata Bondan Kanumoyoso, ahli sejarah Batavia.
John Barrow, sekretaris Departemen Angkatan Laut Inggris, mencatat praktik buang guci itu dimodifikasi pada 1792. “Di pengujung hari, sebut saja pada pukul sembilan di malam hari, waktu di mana semua pesta telah usai dan semua orang kembali ke rumah mereka masing-masing, sampan Cina atau perahu tinja mulai mengarungi kanal-kanal kota,” tulis John Barrow yang termuat dalam Jawa Tempo Doeloe karya James R. Rush.
Dia menganggap praktik itu amat menjijikan dan tak patut. Namun, penduduk Batavia tenang-tenang saja. Jika tak tercium bau busuk, mereka cuma berkata: “Bunga jam sembilan malam baru saja mekar.” Lain saat, jika udara mendadak tak sehat, mereka mengeluh. Dan polusi udara ini tak kalah menyengsarakan penduduk Batavia ketimbang polusi air.
Polusi udara berasal dari pabrik gula, pabrik bubuk mesiu, pabrik batu bata, penyamakan kulit hewan ternak, penggergajian kayu, penyulingan arak, dan pabrik kapur. Pabrik-pabrik gula berdiri di sepanjang kali yang membelah Batavia.
“Lukisan bertarikh 1696 menunjukkan bahwa ada 16 pabrik gula yang berlokasi di Ciliwung, 36 pabrik di sepanjang kali Sunter, dan 26 pabrik di tepi Kali Pesanggrahan,” tulis Bondan Kanumoyoso dalam “Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684–1740”, disertasi di Universitas Leiden, Belanda. Jumlah itu bertambah pada 1710, ketika industri ini mencapai kejayaannya.
Sedangkan pabrik bubuk mesiu dan lainnya sudah berdiri pada 1657 di sekitar Molenvliet, wilayah pinggiran Batavia. Menurut Luc, dari semua itu, pabrik mesiu menjadi penyumbang zat polutan paling berbahaya. “Asap yang dihasilkan benar-benar sangat beracun,” tulis Luc. Penduduk di kota itu tak tahan lagi. Sebagian besar memilih pindah ke wilayah yang lebih sehat di luar kota seperti Weltevreden.
Polusi di Kota Lain
Beberapa kota di Jawa juga menghadapi masalah serupa. Meski tak seserius di Batavia, polusi air ditemukan di Surabaya, Semarang, dan Surakarta selama abad ke-17 hingga 18. Namun, keadaan ini berubah, terutama di Surabaya, memasuki paruh pertama abad ke-19.
Lantaran Surabaya menjadi salah satu tujuan ekspansi pertanian, populasi penduduk di sana meningkat. Polusi air pun mulai menjadi masalah serius.
Hageman, seorang warga Belanda yang tinggal di Surabaya, melaporkan sekira 6400 orang membuang feses dan sampah ke kali Krambangan, salah satu anak sungai Brantas yang membelah beberapa kota di Jawa Timur. Padahal, penduduk juga menggunakan kali itu untuk mandi.
“Karena kali itu biasanya hanya digunakan mandi, sebagian besar airnya masih jernih. Tapi kemudian situasi berubah. Sebagian besar airnya menjadi berlumpur dan berbahaya, terutama saat pasang,” tulis Hageman dalam Tijdschrift voor Nederlansch Indie, seperti dikutip Luc Nagtegaal.
Menurut Luc, catatan para pelancong abad ke-19 menguatkan laporan Hageman. “Dari jauh sudah tercium bau tak sedap dari kali di pusat kota Surabaya itu. Bau itu tercium ketika mereka menyeberang sebuah jembatan di Simpang, yang beberapa mil jauhnya dari pusat kota,” tulis Luc.
Aliran kali pun tak lancar lantaran tersendat sampah sehingga bibit penyakit bermunculan. Dari semua kota di Jawa Timur, Surabaya menjadi kota yang paling menderita karena wabah kolera. Walhasil, polusi air di Surabaya menjadi sama parahnya dengan Batavia. Serupa di Batavia, pusat kota pun mulai ditinggalkan. Orang Eropa berbondong hijrah ke dataran yang lebih sehat.
Di Semarang, keadaan air jauh lebih baik meski bukan berarti tanpa polusi. Antara lain ini karena wilayah Semarang tak lebih berawa ketimbang Batavia dan Surabaya. Selain itu, gradien sungai di Semarang jauh lebih besar. Beberapa kanal yang digali pada paruh pertama abad ke-18 malah baru dialiri air pada permulaan abad ke-19.
Keadaan di Surakarta hampir serupa. Airnya masih bersih dan polusinya jauh lebih sedikit. Namun, penduduk tak bisa langsung mengonsumsi air. Mereka tetap harus memasaknya untuk memastikan bakteri mati. Bakteri itu sebagian besar berasal dari sampah sisa penggilingan pabrik tebu.
Semarang, Surabaya, dan Surakarta bertalian dalam polusi udara. Beberapa pabrik gula, pabrik mesiu, penyamakan hewan ternak, dan penyulingan arak berdiri di tiga kota itu. Bahkan, ketika pabrik mesiu dilarang berdiri di Batavia awal abad ke-19, Surabaya dan Semarang masih memilikinya hingga pertengahan abad ke-19. Seperti di Batavia, pabrik ini menjadi salah satu sumber polusi udara terbesar di tiga kota itu. Asap hitam dan tebal residu zat kimia berbahaya kerap keluar dari cerobong pabrik itu. Tak pelak, udara pun tercemar.
Polusi Industri Modern
Meski pabrik-pabrik telah berdiri pada masa kolonial, Jawa belum bisa dinilai sebagai wilayah industri besar. Komisi industrialisasi bahkan baru didirikan pada 1915. Tujuannya bukan untuk mempercepat industrialisasi di Jawa, melainkan mencegah kekurangan bahan pokok selama Perang Dunia I berlangsung. Ekonomi Jawa masih bercorak agraris. Namun, Orde Baru mengubah itu secara drastis.
“Setelah melampaui masa pendudukan Jepang, masa revolusi, kegoncangan politik pada dekade 1950-an dan 1960-an, investasi di sektor industri tetap kurang dan berada pada tingkat yang rendah,” tulis Robert Cribb dalam “Politic of Pollution Control in Indonesia”, termuat di Asian Survey tahun 1990. “Bersama munculnya Orde Baru Soeharto, perubahan besar itu datang.”
Indonesia pun terbuka lebar bagi investasi asing. Pabrik industri besar bermunculan sehingga masalah polusi kian meruncing. “Yang paling mencolok adalah polusi aliran sungai oleh kawasan industri,” tulis Cribb. Polusi itu berdampak bagi warga yang tinggal di tepi sungai karena biasa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Di Surabaya, pabrik-pabrik industri yang berdiri pada 1970-an menyerap banyak tenaga kerja. Ini sebuah dilema, sebab keberadaan mereka juga turut memperparah polusi kali-kali di Surabaya. “Kali-kali Surabaya, sumber air minum utama di wilayah itu, sudah digunakan sebagai tempat sampah raksasa,” tulis Anton Lucas dan Arief W. Djati dalam “The Politics of Environmental and Water Pollution in East Java”, termuat di A World of Water karya Peter Boomgaard.
Ditambah limbah buangan pabrik industri, kualitas air kali pun kian turun. “Peristiwa ini ilham bagi pemerintah provinsi untuk mengeluarkan aturan perlindungan kali dari polusi,” tulis Lucas dan Djati. Salah satu pokok aturan itu menyebut pabrik-pabrik harus mempunyai instalasi pengolahan limbah sendiri.
Keadaan serupa mendera Semarang. Air Kali Tapak, misalnya, tak lagi jernih. Kolam ikan dan persawahan penduduk sekitar ikut tercemar limbah pabrik. Banyak ikan mati di kali itu setelah sejumlah pabrik industri berdiri di sana sejak 1970-an.
Anehnya, kasus ini baru mencuat pada 1991. “Ini berarti setelah warga menderita selama 14 tahun karena polusi salah satu pabrik di sana, PT Semarang Diamond Chemicals,” tulis Anton Lucas dalam “The River Pollution and Political Action in Indonesia”, termuat di The Politics of Environment in Southeast Asia karya Philip Hirsch dan Carol Warren.
Selama itu, warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat gigih merangkai sejumlah perlawanan terhadap polusi. Antara lain memboikot produk pabrik, meminta pabrik agar membuat penampungan limbah, dan berusaha menyeret pelaku polusi ke pengadilan. Perjuangan itu tak mudah. Koalisi pengusaha-penguasa kerap menjegal langkah mereka. Kepentingannya mudah ditebak: bisnis.
Koalisi itu lestari hingga sekarang. Maka selama itu pula polusi masih akan menghantui Indonesia.*