PON di Masa Perang

Lebih dari sekadar kompetisi olahraga. PON I menjadi tanda eksistensi Republik Indonesia.

OLEH:
Fadrik Aziz Firdausi
.
PON di Masa PerangPON di Masa Perang
cover caption
Upacara penyerahan bendera PON I dan bendera Merah Putih oleh Presiden Sukarno di Istana Yogyakarta, 8 September 1948. (Koleksi Rushdy Hoesein).

DALAM suatu upacara di Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung), Presiden Sukarno menyerahkan bendera Pekan Olahraga Nasional (PON). Barisan pembawa bendera PON dan bendera Merah Putih kemudian membawanya dengan jalan beranting menuju Solo.  

Sesampai di Solo, rombongan pembawa bendera disambut GPH Soerio Hamidjojo, ketua penyelenggara PON I. Keesokan harinya, 9 September 1948, barisan pembawa bendera tiba di Stadion Sriwedari, tempat upacara pembukaan PON I.  

Kendati di tengah situasi genting, upacara pembukaan berlangsung meriah. Sejumlah tamu penting hadir seperti Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Susuhunan Pakubuwono XI, dan Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Turut diundang dan hadir pula anggota-anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang dibentuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menengani konflik Indonesia-Belanda, yakni Merle Cochran (Amerika Serikat), Thomas Chritchley (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia); Konsul Jenderal Inggris Shepherd; serta Konsul Jenderal India Raghavan dan wakilnya Mohammad Yunus.

DALAM suatu upacara di Istana Kepresidenan Yogyakarta (Gedung Agung), Presiden Sukarno menyerahkan bendera Pekan Olahraga Nasional (PON). Barisan pembawa bendera PON dan bendera Merah Putih kemudian membawanya dengan jalan beranting menuju Solo.  

Sesampai di Solo, rombongan pembawa bendera disambut GPH Soerio Hamidjojo, ketua penyelenggara PON I. Keesokan harinya, 9 September 1948, barisan pembawa bendera tiba di Stadion Sriwedari, tempat upacara pembukaan PON I.  

Kendati di tengah situasi genting, upacara pembukaan berlangsung meriah. Sejumlah tamu penting hadir seperti Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Susuhunan Pakubuwono XI, dan Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Turut diundang dan hadir pula anggota-anggota Komisi Tiga Negara (KTN), yang dibentuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menengani konflik Indonesia-Belanda, yakni Merle Cochran (Amerika Serikat), Thomas Chritchley (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia); Konsul Jenderal Inggris Shepherd; serta Konsul Jenderal India Raghavan dan wakilnya Mohammad Yunus.  

Dalam pidato pembukaan PON, Presiden Sukarno dengan bernas mengkonstatasikan eksistensi Republik Indonesia. “Pertama-tama mengucap syukur kepada Allah Subhanahuwata’ala bahwa PON berlangsung di alam merdeka bebas. Kemudian menyatakan perasaan bangga atas ikut serta pahlawan-pahlawan dari daerah-daerah pendudukan. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi datang di Solo ini tidak untuk berolahraga saja, tapi terutama untuk menunjukkan semangat kemerdekaan yang menyala-nyala,” ujar Presiden Sukarno, dikutip Merdeka, 10 September 1948.  

Usai pidato pembukaan oleh Presiden Sukarno itu, berdentumlah meriam 13 kali sebagai tengara dibukanya PON I. Bertahun kemudian, peristiwa itu diabadikan sebagai Hari Olahraga Nasional yang diperingati setiap tahun. “PON I penting sekali artinya karena diselenggarakan di tengah-tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” ujar Maulwi Saelan, bekas komandan Tentara Pelajar Seberang, kepada Historia. Maulwi ikut berpartisipasi dalam PON I sebagai penjaga gawang kesebelasan Jakarta Raya.

Rombongan pembawa bendera PON masuk kota Solo, 8 September 1948. (Koleksi Rushdy Hoesein).

Ditolak IOC

PON I diselenggarakan Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), yang terbentuk pada Januari 1946 dan berkedudukan di Yogyakarta. Sebelum munculnya ide menyelenggarakan PON, PORI berupaya agar Indonesia bisa ikut dalam Olimpiade London pada 1948. Untuk itu PORI membentuk Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI), yang diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX.  

Namun, PORI, yang saat itu dipimpin Widodo Sastrodiningrat, belum menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) sehingga tak dapat mengikuti Olimpiade. Posisinya kian sulit karena pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia masih minim.  

Meski begitu, permohonan keikutsertaan Olimpiade tetap diajukan kepada IOC. Jawaban atas permohonan itu rupanya jatuh ke tangan Belanda di Jakarta. Dalam jawaban disebutkan bahwa Republik Indonesia untuk sementara belum bisa diterima menjadi anggota penuh IOC karena belum menjadi anggota PBB. Meski demikian, Indonesia diundang sebagai observer (peninjau).  

Mengetahui adanya undangan itu, KORI dan PORI membentuk delegasi yang akan dikirim ke London, terdiri dari Sultan Hamengkubuwono IX, Letkol Azis Saleh (wakil ketua bagian atletik PORI), dan Mayor Maladi (ketua bagian sepakbola PORI). Namun, delegasi tak jadi berangkat karena harus menggunakan paspor Belanda.  

“Keharusan menggunakan paspor Belanda direkayasa oleh Belanda untuk menunjukkan kepada dunia bahwa yang berdaulat di Indonesia adalah Belanda,” kata Maulwi.  

Menurut Sorip Harahap dalam Pekan Olahraga Nasional I-X: Sejarah Ringkas dan Perkembangannya, masalah ini kemudian dibahas dalam konferensi darurat PORI di rumah Soerio Hamidjojo, anggota BP KNIP mewakili keraton Surakarta yang juga ketua seksi cabang tenis PORI, pada Mei 1948. Hadir wakil-wakil PORI daerah, Menteri Pembangunan dan Pemuda Wikana, serta Menteri Pengajaran dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo. Konferensi bersepakat untuk mengadakan suatu pekan olahraga level nasional di Surakarta sekira bulan September.  

PON I punya tujuan politik: menjawab blokade Belanda sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. “PON ini juga membuktikan bahwa olahraga kita mampu berbicara, bersikap, patriotik, dan ikut menjalankan peran strategis dalam revolusi kemerdekaan,” kata Maulwi.  

Selain itu, PORI ingin menghidupkan kembali ISI sportweek atau pekan olahraga ISI yang diadakan Ikatan Sport Indonesia (ISI) di Solo pada 1938, yang tak berlanjut karena pendudukan Jepang. Untuk merealisasikannya, panitia penyelenggara praktis hanya punya waktu sekira empat bulan untuk menyiapkan gelaran PON.  

Ada kisah menarik di balik pembuatan logo PON I. Suatu ketika Bung Karno berujar kepada Mutahar, ajudan presiden, untuk mencarikan gadis Solo yang bisa mendesain dan menjahitkan bendera PON. Mutahar kenal dengan Mastini Hardjoprakoso dalam kepanduan. Maka, Mastini kejatuhan tugas itu.

Menurut ingatan Poedjono, kakak Mastini, semua orang di rumah ikut melembur agar pekerjaan selesai. “Bayangkan semua itu dikerjakan dengan tangan karena waktu itu kami tak punya mesin jahit. Lagi pula bentuk desain itu harus dikerjakan dengan aplikasi, bolak-balik, wah-wah, untung yang disuruh lulusan huishoudschool bagian menyulam,” ujarnya, dikutip Kustiniyati Mochtar dalam Sosok Pribadi Unik Mastini Hardjoprakoso.  

Kendala lainnya sulitnya mendapatkan bahan bendera dengan berbagai warna. Apa akal? Bahan semacam mori itu di-wenter (dicelup) menurut warna yang diinginkan. Dengan segala keterbatasan itu, bendera PON I selesai pada waktunya dan dikibarkan pada upacara pembukaan. Sayangnya, menurut Kustiniyati, bendera itu kemudian raib entah ke mana, sehingga terpaksa didesain logo baru untuk bendera PON II di Jakarta tahun 1951, yang terus digunakan sampai sekarang.

Upacara pembukaan PON I. (IPPHOS).

Menerabas Suasana Tegang

Selain menyiapkan bendera PON, dalam waktu yang singkat pula panitia harus menyiapkan Surakarta sebagai venue. Setidaknya Surakarta memiliki Stadion Sriwedari yang merupakan arena olahraga terbaik kala itu.  

Pemilihan Surakarta sebenarnya cukup riskan. Pasalnya, kota itu menjadi basis beberapa satuan tentara dan laskar dengan beragam aliran politik pula. Tak jarang merebak ketegangan di antara mereka. Kebijakan rasionalisasi yang dilakukan Perdana Menteri Mohammad Hatta mempertajam gesekan itu.  

Pada 7 September, dua hari menjelang pembukaan PON I, terjadi penculikan terhadap perwira-perwira Divisi IV Panembahan Senopati, yang tak setuju rasionalisasi. Penculiknya diduga dari satuan Divisi Siliwangi, yang hijrah dari Jawa Barat. Usai mendapat persetujuan dari Jenderal Sudirman untuk bertindak, Letkol Soeadi, komandan Divisi IV, memberikan ultimatum kepada Siliwangi: selambat-lambatnya pada 13 September pukul 14.00 orang-orang yang hilang harus dibebaskan. Jika tidak, serangan akan dilakukan.  

“Tanggalnya dengan sengaja telah ditetapkan: sehari sesudah penutupan PON,” tulis Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.  

Semua pihak tampaknya berupaya menjaga situasi kondusif menjelang gelaran PON I. Yang terang, suasana gelisah itu tak menyurutkan persiapan PON I. Bung Karno sendiri meminta PON I tetap dilaksanakan sesuai rencana.  

Guna mengamankan pelaksanaan PON I, pemerintah menugaskan tentara Siliwangi. Poeze mencatat, “Komandan Militer Kota Achmadi mengkonsinyasi semua pasukan di kesatrian masing-masing; ia juga melarang semua pengunjung PON membawa senjata, namun pengawasan tidak dilakukan dengan cukup memadai.”  

Menumpuknya satuan-satuan tentara dan laskar di Surakarta dan sekitarnya membawa masalah tersendiri karena kebanyakan mereka tidak mengindahkan perintah Achmadi. Banyak tentara masuk Stadion Sriwedari dengan tetap membawa senjata.  

Menurut Padmosumasto, tak jarang di tengah pertandingan ada saja Tentara Pelajar yang menembak ke udara tanpa jelas sebabnya. “Konon pernah terjadi, pasukan dari Jawa Timur melepas tembakan menembus atap seng stadion. Ini terjadi karena sementara menonton, mereka mendengar Belanda menyerbu Malang Selatan,” ujar Padmosumasto.  

Pengunjung sempat panik. Bahkan Jenderal Sudirman harus turun tangan untuk menenangkan pasukan Tentara Pelajar yang gugup dan kacau balau. “Dengan insiden ini acara berjalan terus; namun di dalam kota sendiri, untuk sementara, tidak terdengar suara senjata,” tulis Poeze.

Lomba lari jarak pendek (sprint) PON I. (IPPHOS).

Serba Terbatas

PON I diikuti 600 atlet dari 13 daerah: Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kedu, Magelang, Banyumas, Bandung, dan Jakarta. Sembilan cabang olahraga dipertandingkan: atletik, bola keranjang (korfball), bulutangkis, tenis, renang, panahan, sepakbola, basket, dan pencak silat.  

Mengingat negara tengah berperang melawan Belanda, PON I dihelat dengan serba aneka kompromi. Untuk menghimpun kontingen yang merepresentasikan provinsi-provinsi di Indonesia jelas tidak mungkin. Pengangkutan dan komunikasi menjadi kendala utama. Selain itu, sejak agresi militer Belanda I, beberapa kota penting seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang diduduki Belanda. Jalan yang tersisa adalah mengundang keresidenan-keresidenan di Jawa sebagai peserta.  

“Karena komunikasi sulit, daerah-daerah luar Jawa tak mungkin kita undang. Kalau diundang pun yang mungkin bisa datang hanya Lampung. Tetapi ini pun sulit, karena sebelum masuk Solo, mereka harus melalui daerah yang diduduki Belanda,” ujar Maladi, dikutip Kompas, 9 September 1983.  

Yang berlaga pun tak melulu atlet sungguhan. Beberapa anggota pasukan T Ronggolawe yang sedang belajar di SMA Peralihan Magelang ikut berpartisipasi. Mereka memperkuat barisan kontingen dari Magelang. Salah satunya adalah Sudharmono, kelak menjabat wakil presiden. Sudharmono turut dalam nomor lari 100 meter dan estafet 4x100 meter. “Hasilnya untuk nomor 100 meter saya dapat mencapai final dan menjadi juara keempat dari 8 pelari finalis dengan waktu 11,4 detik. Untuk 4x100 meter, tim Magelang menjadi juara ketiga,” ujar Sudharmono dalam otobiografinya, Pengalaman dalam Masa Pengabdian.

Begitu pula prajurit yang tengah menempuh pendidikan di Akademi Militer Yogya. Salah satunya Sayidiman Suryohadiprodjo, yang kelak menjabat sebagai wakil kepala staf Angkatan Darat. Dia menjadi anggota tim bola keranjang Yogyakarta, yang jadi juara. Pada umumnya seluruh acara dan kompetisi dilangsungkan dengan sederhana. Para atlet yang bertanding ditampung di gedung-gedung sekolah atau dibuatkan barak sementara di Lapangan Mangkubumen. Fasilitas dan peralatan yang digunakan bertanding pun sebagian adalah sisa dari masa kolonial dan pendudukan Jepang.  

“Saya masih ingat, alat-alat atletik mereknya Berg,” kata Padmosumasto, atlet lompat tinggi PON I, dikutip Kompas, 8 September 1983.  

Untuk cabang renang, panitia menggunakan Kolam Tirtomoyo yang sebenarnya merupakan tempat penampungan air minum kota Surakarta. Ukurannya pun bukan standar Olimpiade sehingga nomor yang dilombakan bukan 100 atau 200 meter, tetapi 110 dan 220 meter. “Daripada finisnya di tengah kolam, kan tidak lucu,” ujar Kwik Ing Djie, juara renang PON I, dikutip Kompas, 11 September 1993.  

Wiryatni, atlet cabang lari yang mewakili Surakarta, mengungkapkan cerita yang tidak berbeda. Dia mengingat bagaimana susahnya berlari di lintasan atletik yang tanahnya berbatu. Apalagi sepatu lari yang dikenakannya memiliki spike, sehingga makin menyulitkannya berlari. “Saya tak bisa menggunakan sepatu, karena tanahnya berbatu. Tetapi, karena saya harus lari empat kali dalam sehari sampai babak final, maka kaki saya jadi sowel (terkelupas, luka),” kenangnya.  

Kondisi sedikit lebih baik untuk cabang tenis. Kala itu tenis terhitung olahraga kalangan berpunya. Pertandingan tenis dihelat di lapangan tenis pribadi milik GPH Soerio Hamidjojo.

Perolehan medali PON I.

Hasil Akhir

Pada 12 September 1948, sesuai jadwal yang ditetapkan, PON I secara resmi berakhir dengan Surakarta tampil sebagai juara umum. Tuan rumah merajai cabang sepakbola, bulutangkis, renang, panahan, dan pencak silat. Juara kedua ditempati Yogyakarta dan disusul Kediri sebagai juara ketiga.

Upacara penutupan PON I digelar di halaman Kepatihan Surakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku ketua KORI menutup gelaran pesta olahraga pertama di Indonesia itu. Turut hadir pula Jenderal Sudirman.  

Meskipun PON I dihelat dalam suasana perang, bintang-bintang olahraga mampu menunjukkan prestasi. Salah satu bintang yang menorehkan pencapaian mengesankan adalah Arie Muladi. Menurut catatan Kompas, 11 September 1983, atlet bertubuh kurus kelahiran Kupang yang mewakili Yogyakarta ini merebut tiga medali emas dari tiga cabang berbeda: atletik nomor lompat jangkit (dengan raihan lompatan 13,25 meter), lompat jauh (6,59 meter), dan estafet 4x100 meter bersama tiga rekannya (45,1 detik). Tidak habis di situ, dia juga merebut medali perak dalam lompat tinggi (1,75 meter).  

Sementara atlet putri yang menonjol adalah Anie Salamoen, juga mewakili Yogyakarta. Dia merebut dua medali emas dari dua nomor atletik berbeda, yaitu lari 100 meter dengan capaian kecepatan 13,9 detik dan lempar cakram dengan torehan lemparan sejauh 25,52 meter.  

Hingga penutupan, PON I berlangsung aman. Meski sempat terjadi kericuhan akibat ulah Tentara Pelajar, selama empat hari pelaksanaan tak ada clash di dalam kota Surakarta. Penonton pun antusias menonton laga.  

“Sambutan luar biasa terhadap PON I terbukti dari jumlah sekitar 40.000 penonton, yang setia mempersaksikan pertandingan, berjejer sekeliling lapangan,” tulis Sorip Harahap. Kebanyakan penonton datang dari daerah-daerah sekitaran Surakarta.  

Namun, sehari setelah penutupan, konflik pun pecah. Bertepatan dengan habisnya batas waktu ultimatum, pasukan Divisi IV Panembahan Senopati menyerbu markas Siliwangi di Srambatan. Terjadilah pertempuran sengit. Clash di Srambatan itu berbuntut panjang hingga meletusnya Peristiwa Madiun 1948.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66fbaca026e6863fc8acd930