ABU Berto kesohor sebagai jagoan pasar di depan Istana Kedatuan Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan. Sekitar 1940-an, bersama kawan-kawannya, Berto membentuk perkumpulan bernama Anak Pasar.
“Kelompok inilah yang memulai pengibaran bendera merah putih di depan Istana Kedatuan Luwu,” kata Idwar Anwar, penulis buku Ensiklopedi Luwu, kepada Historia.
Aksi pengibaran merah putih itu membuat tentara NICA berang. Mereka mengajukan protes kepada Raja Luwu, Opu Datu Andi Djemma, dan memintanya memberikan titah agar bendera itu diturunkan. Karena tak dipatuhi, perang pun meletus pada 23 Januari 1946 –tiap tahun diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Luwu.
Kelompok Anak Pasar menjadi salah satu garda terdepan dalam konfrontasi fisik tersebut. Mereka bahu-membahu bersama kelompok Soekarno Muda.
Selain Abu Berto, jagoan yang namanya melambung di masa perang kemerdekaan di Luwu adalah Samiun. Dia dikenal pemberani dan memiliki ilmu kanuragan. Dia punya kebiasaan tidur di menara-menara masjid.
Dalam rapat-rapat para pejuang, biasanya dibahas siapa saja orang-orang bersekongkol dengan Belanda. Nama para pengkhianat itu ditulis dan ditandai dengan garis merah. Karena buta huruf, Samiun meminta teman-temannya membacakannya. Maka dalam hitungan hari bahkan jam orang tersebut akan ditemukan tewas. “Samiun seorang algojo,” ujar Idwar.
“Masa itu, jika ada pribumi yang tewas dalam keadaan misterius, masyarakat akan mengaitkannya dengan Samiun,” kata Andi Habibah, 80 tahun, kawan Samiun sesama anggota Kelompok Sandiwara Setia di Malili, Luwu Timur.
Samiun menggunakan Kelompok Sandiwara Setia saat berkeliling kampung untuk menelisik keberadaan pasukan Belanda dan mata-mata. “Pada masa itu sandiwara adalah hiburan rakyat yang sangat diminati dan selalu dinanti-nanti. Jadi semua orang senang. Kita juga yang main ikut bahagia,” katanya.
Masa itu, jika ada pribumi yang tewas dalam keadaan misterius, masyarakat akan mengaitkannya dengan Samiun.
Kelompok sandiwara ini diinisiasi Anwar dan Ismail. Biasanya mereka keliling kampung, mendirikan panggung untuk mementaskan cerita rakyat dan kisah dari negeri lain. Atau, naskah dipentaskan sesuai permintaan penguasa masa itu, Belanda ataupun Jepang.
Tak ada yang tahu pasti kapan Kelompok Sandiwara Setia ini berdiri. Menurut perkiraan Fahmi Syarif, seniman teater di Makassar, kelompok tersebut berdiri awal 1940-an. “Bukan tidak mungkin, di Makassar kelompok sandiwara telah berjalan sejak tahun 1930-an. Digunakan sebagai hiburan sekaligus sebagai alat perjuangan,” katanya.
Samiun akhirnya ditangkap Belanda dan dihukum mati bersama beberapa kawannya pada 1947 di wilayah Balandai, Palopo. Tak ada nisan dan tak ada upacara untuk mengenangnya. Kini, namanya diabadikan menjadi nama jalan di sudut Istana Kedatuan Luwu.
“Saya dan ibu saya pernah mengunjungi kuburannya di wilayah Balandai. Kabarnya, Samiun memiliki hubungan kekeluargaan dengan kami. Tapi saya juga tidak tahu. Sekarang pun saya tak tahu apakah itu benar,” kata Andi Anton Pangerang, salah seorang tokoh di Kabupaten Luwu.
Belum diketemukan dokumen lawas yang menjelaskan lakon hidup Samiun. Tak ada juga penelitian ilmiah menyangkut dirinya. Lakon hidup Samiun hanya dikisahkan dari mulut ke mulut.
Atas dasar itulah, pada 1990-an Fahmi Syarif bersama Jacob Marala (almarhum) menulis naskah drama mengenai Samiun. Judul naskahnya “Samiun Sang Algojo”. Fahmi menjadi asisten sutradara.
Jejak langkah Samiun sepertinya berhenti pada panggung sandiwara. Dia hanya dikisahkan sebagai seorang pendiam namun bengis dalam melaksanakan tugas. “Saya kira masa itu, Samiun menjadi cerita yang menakutkan. Dia tak segan menggorok leher orang-orang yang ingin berkhianat pada perjuangan Indonesia,” kata Fahmi Syarif.*
Majalah Historia No. 20 Tahun II 2014