Presiden dari Bali

Orang berdarah Bali kedua yang jadi presiden. Tjokorda Gde Raka Soekawati menjadi presiden Negara Indonesia Timur.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Presiden dari BaliPresiden dari Bali
cover caption
Kunjungan Presiden Negara Indonesia Timur Tjokorda Gde Raka Soekawati bersama istri ke Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1948. (Tropenmuseum).

TAK semua presiden di Indonesia berdarah Jawa. Setidaknya dalam sejarah Indonesia, setelah Sukarno (ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai), ada orang berdarah Bali lain yang pernah menjadi presiden. Namanya Tjokorda Gde Raka Soekawati. Ia menjabat presiden negara berumur pendek bernama Negara Indonesia Timur, negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Negara Indonesia Timur hanya hidup dari akhir 1946 hingga 1950. Ibu kotanya di Makassar. Wilayahnya bekas Provinsi Timur Besar, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara yang dulu disebut Sunda Kecil.

Tjokorda Gde Raka Soekawati dipilih sebagai presiden Negara Indonesia Timur setelah Konferensi Denpasar berakhir pada 24 Desember 1946. Konferensi itulah yang melahirkan Negara Timur Besar alias Negara Indonesia Timur.

TAK semua presiden di Indonesia berdarah Jawa. Setidaknya dalam sejarah Indonesia, setelah Sukarno (ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai), ada orang berdarah Bali lain yang pernah menjadi presiden. Namanya Tjokorda Gde Raka Soekawati. Ia menjabat presiden negara berumur pendek bernama Negara Indonesia Timur, negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.

Negara Indonesia Timur hanya hidup dari akhir 1946 hingga 1950. Ibu kotanya di Makassar. Wilayahnya bekas Provinsi Timur Besar, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara yang dulu disebut Sunda Kecil.

Tjokorda Gde Raka Soekawati dipilih sebagai presiden Negara Indonesia Timur setelah Konferensi Denpasar berakhir pada 24 Desember 1946. Konferensi itulah yang melahirkan Negara Timur Besar alias Negara Indonesia Timur.

Tjokorda Gde Raka Soekawati lahir di Ubud pada 15 Januari 1899. Ia adalah anak bangsawan Bali. Anak sepertinya, setelah sekolah dasar diharapkan masuk OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah anak-anak priayi. OSVIA terdekat untuk anak bangsawan Bali berada di Probolinggo, Jawa Timur.

Buku Sejarah Kebangkitan Nasional (1900–1942) Daerah Bali menyebut Soekawati pernah belajar dari kelas 1 hingga kelas 6 di Sekolah Melayu Gianyar. Ia kemudian melanjutkan ke OSVIA di Probolinggo dari tahun 1913 hingga 1918. Setelah lulus, ia menjadi mantri polisi di Denpasar dan hampir menjadi pengawas keuangan di Badung.

Setelah ayahnya meninggal tahun 1919, Soekawati naik menggantikan ayahnya sebagai penggawa di Ubud. Ia juga berkarier dalam politik sejak muda. Antara tahun 1924 hingga 1930, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dari Bali.

Dari 1931 hingga 1932, Soekawati pernah berada di Eropa. Koran De Indische Courant, 8 Mei 1935 menyebut ia memimpin kelompok tari Bali dalam pameran kolonial internasional di Paris. Dari Paris, ia pergi ke Negeri Belanda untuk belajar tentang pertanian dan peternakan. Semasa di Eropa, ia juga mengunjungi Inggris, Jerman, Swiss, dan Italia.

Kala itu, Soekawati sudah menikah dengan Gusti Agung Niang Putu. Anak mereka yang lahir pada 1 Februari 1923, Tjokorda Ngurah Wim Soekawati, juga ikut ke Eropa. Koran De Trouw, 27 Desember 1946, menyebut ketika di Paris, Soekawati berkenalan dengan seorang wanita Prancis bernama Gilbert Vincent. Perempuan ini dinikahi Soekawati pada 1933 dan memberinya dua anak lagi.

Tjokorda Gde Raka Soekawati dalam pemilihan presiden Negara Indonesia Timur di Konferensi Denpasar, Desember 1946. (KITLV).

Setelah kembali ke Bali pada pertengahan 1932, Soekawati dipekerjakan sebagai pejabat yang terkait dengan hukum adat oleh residen Bali dan Lombok. Daerah kerjanya Badung, Karangasem, dan Buleleng. Sejak 1938, ia menjadi anggota Baliraad atau Dewan Bali. Ia lalu menjadi orang berpengaruh di Bali setelah tentara Jepang kalah.

Pengangkatan Soekawati sebagai presiden Negara Indonesia Timur rupanya tidak menjadi masalah bagi otoritas Belanda. Termasuk bagi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook dan para pejabat Belanda lainnya.

“Mayoritas pejabat Belanda di Makassar dan Bali menganggap Tjokorda Gde Raka Soekawati sebagai ‘mempesona’ dan sekaligus ‘berwawasan’. Dan meskipun Van Mook mencemooh Soekawati secara pribadi, ia jelas tidak terlalu khawatir sang presiden akan meluncur di luar kendali Belanda,” tulis Geofrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik.

Naiknya Soekawati dan Anak Agung Gde Agung diperkirakan akan merangsang bangkitnya keluarga-keluarga bangsawan Bali dalam dunia politik. Di masa ini, putra sulung Soekawati, Wim Soekawati menjadi perwira polisi di Gianyar kemudian diangkat menjadi komisaris polisi di Makassar, ibu kota Negara Indonesia Timur. Kelak, setelah bertugas sebagai diplomat di Stockholm dan Paris, Wim Soekawati menjadi duta besar Indonesia untuk Swiss (1975–1979).

Selama Soekawati menjadi presiden Negara Indonesia Timur, urusan pemerintahan negara parlementer ini diserahkan kepada perdana menteri. Mulai dari Nadjamoeddin Daeng Malewa, Samuel Josef Warouw, Anak Agung Gde Agung, J.E. Tatengkeng, J. Diapari, dan Martinus Putuhena pernah mengisi jabatan perdana menteri.

Sebagai presiden Negara Indonesia Timur, Soekawati pernah dikawal Letnan Andi Azis dari KNIL. Setelah menjadi kapten TNI, Andi Azis memimpin pemberontakan tentara KNIL pada 5 April 1950 karena menolak kedatangan TNI dari Jawa. Soekawati termasuk orang yang tidak mendukung pemberontakan tersebut. 

Akhirnya, Negara Indonesia Timur dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Soekawati meninggal dunia pada 1967.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64958254452f345d3f5c6211