Primbon Wadah Laku Mistik

Melalui primbon segala tindakan dirancang dan diperhitungkan dengan cermat, supaya tak sesat dan celaka.

OLEH:
Aryono
.
Primbon Wadah Laku MistikPrimbon Wadah Laku Mistik
cover caption
Ilustrasi oleh Betaria Sarulina/Historia.ID.

GERHANA matahari total melintasi sejumlah provinsi di tanah air pada 9 Maret 2016. Beberapa orang antusias menyambutnya. Peristiwa ini juga dijadikan ajang promosi pariwisata. Bagi ilmu pengetahuan modern, gerhana matahari merupakan fenomena alam yang biasa. Tidak demikian menurut primbon Jawa.  

Dalam primbon Jawa, terjadinya gerhana matahari memiliki pesan khusus agar kita berhati-hati dalam bertindak atau melakukan sesuatu. Jika menilik kalender Jawa-Islam, gerhana matahari total itu terjadi pada bulan Jumadil Awal. Pesannya: “akan banyak permasalahan dalam masyarakat. Selain itu, kejadian tersebut juga pertanda akan datang hujan disertai petir dan mengakibatkan bencana banjir,” tulis Kitab Primbon Jawa Serbaguna yang ditulis R. Gunasasmita, yang terbit tahun 2009.  

Anda boleh mempercayainya atau tidak. Yang pasti, kalender bagi orang Jawa bukan hanya penting untuk menentukan waktu, tetapi juga membawa pertanda terhadap aktivitas kehidupan mereka, dari soal rezeki, jodoh, hingga peruntungan nasib. Sistem perhitungan (petungan) itu, yang kemudian dimuat dalam primbon, merupakan warisan leluhur yang bertahan turun-temurun.

GERHANA matahari total melintasi sejumlah provinsi di tanah air pada 9 Maret 2016. Beberapa orang antusias menyambutnya. Peristiwa ini juga dijadikan ajang promosi pariwisata. Bagi ilmu pengetahuan modern, gerhana matahari merupakan fenomena alam yang biasa. Tidak demikian menurut primbon Jawa.  

Dalam primbon Jawa, terjadinya gerhana matahari memiliki pesan khusus agar kita berhati-hati dalam bertindak atau melakukan sesuatu. Jika menilik kalender Jawa-Islam, gerhana matahari total itu terjadi pada bulan Jumadil Awal. Pesannya: “akan banyak permasalahan dalam masyarakat. Selain itu, kejadian tersebut juga pertanda akan datang hujan disertai petir dan mengakibatkan bencana banjir,” tulis Kitab Primbon Jawa Serbaguna yang ditulis R. Gunasasmita, yang terbit tahun 2009.  

Anda boleh mempercayainya atau tidak. Yang pasti, kalender bagi orang Jawa bukan hanya penting untuk menentukan waktu, tetapi juga membawa pertanda terhadap aktivitas kehidupan mereka, dari soal rezeki, jodoh, hingga peruntungan nasib. Sistem perhitungan (petungan) itu, yang kemudian dimuat dalam primbon, merupakan warisan leluhur yang bertahan turun-temurun.  

“Di dalam sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog,” tulis Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Geertz menyebut cocog berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, atau seorang pria dengan wanita yang dinikahinya.  

“Ia menyatakan secara tidak langsung suatu pandangan kontrapuntal terhadap alam raya di mana yang penting adalah hubungan alamiah antara apa yang dimiliki oleh dua elemen yang terpisah –ruang, waktu, dan motivasi manusiawi– bagaimana mereka itu diatur untuk menimbulkan suatu paduan nada dan menghindari disonansi.”  

Sistem petungan biasa dipakai untuk memilih jodoh, pindahan rumah, memilih obat untuk suatu penyakit, menentukan hari baik untuk pernikahan, dan lain-lain.  

“Saya selalu ditanya kalau teman mau menikahkan anaknya, bagaimana menurut primbon. Terpaksa saya menghitung dengan asas dalam primbon. Memang yang paling krusial adalah menentukan jodoh lalu kelahiran,” ujar Prapto Yuwono, dosen Program Studi Sastra Jawa Universitas Indonesia, kepada Historia.

Buku-buku primbon yang dijual di Tokopedia.

Buku Induk

Sejak abad ke-8, orang Jawa sudah memiliki tradisi catat-mencatat, terutama tentang hari (pancawara, sadwara, saptawara). Menurut Mohammad Damami dalam “Primbon”, dimuat di Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum suntingan Edi Sedyawati, yang merintis penulisan primbon adalah para empu dari era kerajaan Hindu di Jawa, yang bekerja di bawah pengayoman dan wibawa politik para raja. Di dalam primbon setidaknya terdapat delapan macam isi: daur hidup (lahir-remaja-perkawinan-kematian), watak (bayi-manusia-wanita-binatang), tanda-tanda, naga dan naas, mantra-rajah-kekebalan, pranata mangsa, kapita selekta pedoman hidup sehari-hari, serta tata peribadatan Islam.

Berseraknya primbon membuat sulit mengidentifikasi mana primbon yang pertama ditulis atau setidaknya disalin. Sejauh ini Een Javanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw (Primbon Jawa Abad ke-16) dan Het Boek van Bonang (Buku Sunan Bonang) dianggap sebagai primbon tertua yang ditemukan. Keduanya diyakini bersumber sama, yakni ditulis oleh Sunan Bonang, salah satu wali penyebar agama Islam di Jawa. Naskah ini diedit dan diterjemahkan beberapa kali ke dalam bahasa Belanda oleh para sarjana Belanda.  

Tak heran jika Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita menyebut primbon sebagai “kepustakaan Islam Kejawen”, yaitu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara ajaran Jawa dan Islam. Ciri utamanya: berisi ajaran tasawuf, budi luhur, menggunakan bahasa Jawa, dan sedikit menyampaikan dari syariat.  

Sejumlah naskah primbon juga tersimpan dalam koleksi naskah Merapi-Merbabu. Isinya beragam, dari obat-obatan, hari baik, hal gaib, hingga mantra. Menurut Abimardha Kurniawan, peneliti naskah Merapi-Merbabu, naskah-naskah yang dapat terselamatkan rata-rata ditulis antara abad ke-17 dan 18.  

Tradisi menulis primbon itu terus berlanjut. Para pujangga keraton dan carik (juru tulis) mendapat otoritas untuk menulis primbon. Isinya pun bertambah, misalnya dengan memasukkan bab katuranggan (tafsir atas bentuk tubuh) dan pawukon (perhitungan wuku). “Yang menghimpun tentu saja seseorang yang paham betul tentang budaya dan spiritual Jawa. Dan yang jelas dia seorang ningrat,” ujar Prapto.  

Suluk Tambangraras atau lebih dikenal dengan sebutan Serat Centhini, yang ditulis pada abad ke-19, juga memuat primbon. “Centhini jilid I: pupuh 44–45 tentang pawukon; pupuh 55 tentang watak tanggal; pupuh 63 tentang obat-obatan dan kelahiran bayi. Lalu dalam Centhini jilid II: pupuh 7–10 tentang katuranggan; pupuh 35–37 tentang gempa bumi; pupuh 48 tentang mengungsikan orang sakit,” tulis Mohammad Damami.  

Serat Centhini ditulis tiga pujangga keraton Surakarta, Ranggasutrasna (Yasadipura II), Sastranagara, dan Sastradipura. Mereka mendapat perintah dari Pangeran Adipati Anom, putra mahkota keraton Surakarta yang kemudian jadi raja dengan gelar Sunan Pakubuwana V, agar mengumpulkan seluruh pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa. Simuh menyebut Serat Centhini sebagai primbon besar, yang berisi berbagai hal yang terjadi di tengah masyarakat Jawa.

Isi pokok dari primbon biasanya dibagi dalam empat golongan: berhubungan dengan hidup kemasyarakatan (selametan, obat-obatan, dan lain-lain), penentuan waktu (hari baik/buruk), kepribadian atau perbintangan (watak, keburuntungan, hingga perjodohan), serta tanah dan bangunannya (termasuk arah hadap, membangun hingga pindah rumah).  

“Primbon merupakan simpanan kekayaan orang Jawa tentang tradisi mistik mereka. Dari yang paling tinggi hingga rendah. Primbon juga representasi dari praktik mistik orang Jawa yang sesungguhnya. Di dalam praktik itu ada konsep keyakinan, ada masyarakat pendukungnya, lalu ada prosesinya, bahkan mengungkap jika kamu melakukan ini akan mendapat apa,” ujar Prapto.

Penghitungan Neptu.

Hitung dan Ramal

Suatu waktu, Danureja VI atau Tjakraningrat, seorang patih kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwana VI, berinisiatif menghimpun pengetahuan dalam primbon menjadi sebuah buku. Inisitif itu terealisasi sekira tahun 1939.  

Nama Soemodidjojo, cucu Tjakraningrat, diabadikan sebagai nama penerbit, yakni Soemodidjojo Mahadewa. Penerbitan ini dikelola sendiri oleh anak keturunan Tjakraningrat. Penerbit inilah yang kali pertama menerbitkan buku primbon Betaljemur Adammakna pada 1939. Buku primbon terbitan Sumodidjojo memiliki ciri khas: mencantumkan foto dan tandatangan Siti Woerjan Soemadijah Noeradyo, cicit Tjakraningrat.  

Ditilik dari namanya, Betaljemur Adammmakna mengandung pengaruh Islam. “Betaljemur berasal dari ‘baitul jumhur’, rumah bermusyawarah. Karena lidah lokal, ‘bait’ menjadi ‘bet’, ‘ul’ menjadi ‘al’, ‘jumhur’ menjadi ‘jemur’. Lalu Adammakna dari kata ‘makna adamiyah’ yang berarti makna sehari-hari,” ujar Herman Sinung Janutama, ahli manuskrip Jawa, dalam rekaman koleksi Radiobuku. “Betal Jemur ini ditujukan untuk mengayomi rakyat kecil yang enggak sekolah.”  

Keterangan lain seputar nama Betaljemur terdapat dalam naskah koleksi perpustakaan Universitas Indonesia yang berjudul Cariyos Ki Betal Jemur, dengan kode CI 65/NR 278. Dikisahkan, Betal Jemur berguru kepada Pandhita Lukman. Karena kepandaiannya di atas rata-rata, ia mendapat hadiah kitab bernama Kadammakna. Dari kitab itu, ia mengetahui bahwa ayahnya, Bekti Jamal, dibunuh Alkas Tajir. Berkat penguasaan atas kitab Kadammakna, Betal Jemur mampu melihat yang belum terjadi dan meramal masa depan.  

Hingga cetakan ke-51 tahun 1990-an, Betaljemur Adammakna memuat ratusan bab tentang masalah sehari-hari. Dari perjodohan hingga pertanian.  

“Kumulasi dari himpunan ini ditambah terus dari cetakan pertamanya tahun 1940-an. Saya pernah menemukan yang awal. Kemudian pada periode 1960 sampai 1970-an semakin lengkap dan mencakup segala level, dari keraton sampai desa,” ujar Prapto.  

Hal yang sederhana, biasanya dilakukan masyarakat desa, adalah mengenai pertanian. Dalam Betaljemur Adammakna, terdapat tabel perhitungan musim menurut pecak atau panjang telapak kaki dari tumit sampai ujung jari terpanjang. Dalam tabel termuat mangsa atau musim yang berjumlah 12, dimulai Kasa hingga Sada. Lalu ada pula hitungan pecak, umur mangsa dalam hitungan hari, hari mulai mangsa, dan diakhiri dengan sifat mangsa. Namun, perhitungan ini mungkin sulit diterapkan lagi saat ini. Sebab, musim tak lagi bisa diterka.  

Hal yang penting dalam primbon adalah Neptu (lihat tabel di atas). Neptu adalah angka perhitungan hari, minggu, bulan, dan tahun Jawa. Setiap hari, hari pasar, bulan, dan tahun memiliki nilai yang berbeda. Neptu dipakai para pemakai primbon untuk meramalkan dan memperkirakan baik-buruk suatu kegiatan, seperti bertanam, bepergian, perkawinan, pindah rumah, adu jago, menangkap pencuri, bahkan digunakan oleh pencuri itu sendiri. Ambil satu contoh. Calon laki-laki lahir Jumat Kliwon, neptu 6+8=14; lalu dikurang 9, sisa 5. Calon perempuan lahir Rabu pahing, neptu 7+9= 16; lalu dikurangi lagi 9, sisa 7. Jadi sisa 5 dan 7 dan ini berarti baik.  

Keterangan di atas baru dari satu primbon, yaitu Betaljemur Adammakna. Padahal, masih ada seri lainnya. Belum lagi puluhan primbon lain. Dan kendati tidak lagi populer, atau orang cenderung bertanya pada “orang pintar”, ragam buku primbon masih tersebar di pasaran.  

“Stok siap. Per buku harga Rp20.000. Ada tujuh seri: Betaljemur, Atassadur, Lukmanakim, Bektijamal, Shahdhatsaahtir, Qumarrulsyamsi, dan Quraisyin. Jika ke Jakarta ditambah ongkos kirim Rp15.000,” bunyi pesan singkat Abdi Malik, penjual buku online dari Surabaya, kepada Historia. Dia melanjutkan, sampai hari ini, buku primbon masih dicari orang.  

Primbon menembus zaman. Isinya menjadi acuan masyarakat Jawa melaksanakan sikap mistiknya. Namun, sampai kapan primbon yang kompleks dan rumit ini tetap bisa bertahan?*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66ab458d5a19e91a5d6743a2