PSI Ibarat Mobil Antik

Agustanzil Sjahroezah mendapat tugas menghidupkan kembali PSI. Dideklarasikan bertepatan dengan peringatan seratus tahun Sutan Sjahrir.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
PSI Ibarat Mobil AntikPSI Ibarat Mobil Antik
cover caption
Agustanzil Sjahroezah. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

PADA 23 September 2006, warga sosialis menggelar pertemuan di Jalan Guntur 49 Jakarta. Di hadapan 17 warga sosialis yang hadir, tiga anggota Dewan Partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang tersisa yaitu Listio, Kuswari, dan Rachmanullah (tidak hadir dalam pertemuan tersebut), menerbitkan surat penugasan kepada Agustanzil Sjahroezah untuk mengaktifkan kembali PSI. 

Ibong, demikian Agustanzil biasa disapa, adalah putra Djohan Sjahroezah, salah satu pendiri dan sekretaris jenderal PSI, serta cucu Pahlawan Nasional Haji Agus Salim. 

Setelah menerima surat penugasan itu, Ibong membuat pertemuan di Jalan Cilandak Tengah 17 Jakarta pada 30 September 2006. Dalam pertemuan itu Ibong mengumumkan Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia (BPSI) dan menargetkan pembentukan kelompok-kelompok kerja (pokja).

PADA 23 September 2006, warga sosialis menggelar pertemuan di Jalan Guntur 49 Jakarta. Di hadapan 17 warga sosialis yang hadir, tiga anggota Dewan Partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang tersisa yaitu Listio, Kuswari, dan Rachmanullah (tidak hadir dalam pertemuan tersebut), menerbitkan surat penugasan kepada Agustanzil Sjahroezah untuk mengaktifkan kembali PSI. 

Ibong, demikian Agustanzil biasa disapa, adalah putra Djohan Sjahroezah, salah satu pendiri dan sekretaris jenderal PSI, serta cucu Pahlawan Nasional Haji Agus Salim. 

Setelah menerima surat penugasan itu, Ibong membuat pertemuan di Jalan Cilandak Tengah 17 Jakarta pada 30 September 2006. Dalam pertemuan itu Ibong mengumumkan Badan Pekerja Pengaktifan Kembali Partai Sosialis Indonesia (BPSI) dan menargetkan pembentukan kelompok-kelompok kerja (pokja). 

Pokja terbentuk di Jawa Timur, Indramayu, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Sumatra Barat, Jakarta, Kabupaten Garut, Padang, Bukittinggi, Agam, Padang Panjang, Payakumbuh, Pariaman, dan Sijunjung. 

“Dengan kerja seperti ini kami mau membangun partai secara bottom up (bawah ke atas), bukan top down (atas ke bawah),” ujar Ibong kepada Historia

Dari hasil kerja pokja, mereka mendeklarasikan pengaktifan kembali PSI di Jalan Guntur 49 Jakarta pada 12 Februari 2009.

Ibong membeberkan bagaimana langkah-langkahnya menghidupkan kembali PSI. 

Apa pertimbangan mengaktifkan kembali PSI?

Yang menjadi pertimbangan adalah kondisi objektif; dari partai-partai politik yang ada, tidak satu pun yang memiliki ideologi sosialis dan kecenderungan tumbuhnya golput yang semakin meningkat. Bangkitnya partai menjadi tantangan bagi kerja jaringan dan diharapkan komunitas sosialis di daerah akan muncul dan bergabung. 

Deklarasi juga bertepatan dengan peringatan seratus tahun Bung Sjahrir sebagai momentum bangkitnya pejuang sosialis kerakyatan. 

Bagaimana respons dari warga sosialis?

Ketika deklarasi kami undang semua warga sosialis. Namun biasa dalam organisasi terjadi proses seleksi alam. Ada yang menganggap ini bagus tapi lama. Ada yang tidak suka dengan caranya karena akan berjalan pelan. 

Untuk alasan taktis, ada yang menawarkan bergabung dengan partai-partai lain, seperti dengan sebuah partai Kristen dan kelompok komunis. Ada yang mengatakan, lebih baik bergabung dengan kalangan komunis, membuat Partai Sosialis, bukan PSI. Saya tidak mau karena secara prinsip ideologi berbeda. 

Ada juga yang mau kasih uang. Kami juga tidak mau kalau ada hidden agenda (agenda tersembunyi). Ini pilihan kami dengan cara yang susah. Tidak apa-apa. 

Berapa cabang yang sudah terbentuk?

Masih sedikit karena banyak orang saling tunggu sampai anggotanya banyak. Tapi kami tetap berpikir bahwa untuk membangun satu gedung harus didahului oleh satu batu bata. 

Bagaimana dengan kegiatan PSI?

Masih berjalan. Cuma untuk jadi format partai politik harus ada akte pendirian. Itu belum dilakukan karena susah. Bayangkan, you mau bikin partai harus ada 30% perempuan, harus memiliki kepengurusan di 33 provinsi. Jadi, banyak aturan yang dibikin untuk menghalangi. Ini harus digugat. 

Saya bilang kepada kawan-kawan, kita jangan mau menari dengan irama gendang yang ada. Kita ubah irama gendang itu kalau tidak benar karena kita punya hak berserikat dan berkelompok. Nanti tinggal rakyat yang memilih. Kalau tidak dipilih rakyat, akan hilang dengan sendirinya. 

Selain itu, kalau kami muncul dengan PSI, sudah muncul pro dan kontra. Belum lagi ada orang yang salah kaprah menganggap PSI sebagai komunis. Padahal seumur hidupnya PSI dimusuhin komunis. 

Saya punya pengalaman ketika bikin akte notaris pendirian Yayasan Haji Agus Salim yang didirikan pada 1954 oleh Pak Natsir, Pak Sjafruddin Prawiranegara, dan Pak Mohamad Roem. Karena ada undang-undang yayasan bahwa harus diaktekan lagi. Saya bikin aktenya. Selain itu, saya menanyakan pembuatan akte PSI ke notaris yang sama. Dia bilang, “mana bisa cucu Haji Agus Salim bikin Partai Sosialis Indonesia.” “Kenapa?” Saya heran. “Itu kan komunis,” kata notaris itu. Bayangkan, seorang notaris saja seperti itu. Untuk menjelaskan PSI saja dibutuhkan energi sendiri. 

Guntur 49 tempat deklarasi pengaktifan kembali PSI. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Lantas apa yang Anda lakukan?

Karena masih ada pro-kontra dan pemahaman yang salah kaprah tentang PSI, sekarang yang dilakukan PSI seperti PNI-Pendidikan. Kami melakukan pendidikan politik dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Kami mau memberikan contoh dan mengajarkan bahwa pembangunan politik harus di atas landasan moral yang kuat dulu. Kalau tidak kuat, orang gampang dibeli, orang cuma ingin masuk ke kekuasaan dan lupa perjuangannya. 

Beredar kabar ada masalah internal terkait munculnya “PSI darah biru”?

Saya heran ada kata-kata “PSI darah biru”. Orang sosialis kok feodal. Musuh sosialisme itu feodalisme. Memang ada yang tidak suka saya yang mendapat tugas mengaktifkan kembali PSI, mungkin merasa lebih pantas. Tapi ini kan penunjukkan oleh anggota Dewan Partai yang ketika itu masih hidup. Karena saya anaknya tokoh PSI maka disimpulkan itu karena “darah biru”. Tapi kan ada anak-anak tokoh-tokoh PSI yang lain. Saya kira ini dipakai untuk melemahkan saja. Dan sikap mental seperti itu bukan sikap mental orang sosialis. Bagi kami kaum sosialis, khususnya di PSI ini, tidak ada itu “darah biru”. Kita akan terus melanjutkan cita-cita perjuangan sosialis kerakyatan. Saya membangun PSI tidak terbatas pada kalangan sosialis, tapi ke semua orang. 

Saya mendapat tugas untuk mengaktifkan kembali partai. Ini kan untuk pertama kalinya, berdasar penetapan anggota Dewan Partai yang masih hidup. Nanti kalau anggota sudah banyak, kemudian dilaksanakan kongres, nah yang ingin jadi ketua silakan maju mencalonkan diri, karena ketua akan dipilih melalui kongres. Kalau PSI partai yang siap “jalan”, wajar bila diributkan. Ini belum apa-apa sudah ribut, sedang kantor sekretariat saja belum ada. Dalam tahapan sekarang ini dibutuhkan orang-orang yang siap berjuang dan dibutuhkan pengorbanannya. 

Anda merasa terbebani? 

Saya ini mendapat tugas berat. Ibaratnya, kalau anda dikasih kunci mobil, mobilnya bagus, pakai AC, tahun terbaru, dan ada STNK baru, itu enak. Tapi, saya ini dapat mobil antik, harus diotak-atik dulu agar bisa dijalankan, STNK mati pula. Tapi ini merupakan tantangan yang menarik. Dan saat ini aktivis PSI banyak kaum mudanya, seperti saat PSI didirikan di tahun 1948, yang bukan hanya memiliki pemahaman tentang sosialisme tapi juga sosialisme itu tercermin pada sikap hidupnya. Kita mewarisi tradisi berpolitik PSI, yang mengutamakan moralitas dan intelektualitas. Sebagai partai kader, pendidikan politik rakyat, membangun solidaritas kemanusiaan serta menjaga harkat dan martabat bangsa merdeka itu merupakan agenda utama PSI. 

Menjalankan tugas ini dibutuhkan komitmen dan pengorbanan. Pernah saya ditawari menjadi calon anggota legislatif dengan kemungkinan jadinya besar, juga di perusahaan di mana
saya bekerja ditawari posisi yang lebih baik lagi, kedua tawaran itu tidak saya terima karena mempertimbangkan penugasan untuk mengaktifkan kembali PSI. Yah, ini semua konsekuensi logis dari penugasan ini. Ini tugas berat dan dibutuhkan pengorbanan untuk focused. Kita akan terus melanjutkan tradisi berpartai PSI, yakni mengutamakan kualitas daripada kuantitas, dan tiga hal yang harus dijaga, kualitas intelektual, kualitas moral, dan peduli nasib sesamanya.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65b24eb6ee3eb0971907d225