Pembentukan Negara Sumatra Timur di Medan. (gahetna.nl).
Aa
Aa
Aa
Aa
KABAR proklamasi kemerdekaan Indonesia baru sampai ke Sumatra pada Oktober 1945. Tengku Muhammad Hasan, yang diangkat jadi gubernur, berusaha menjalankan pemerintahan lokal. Namun, tantangan datang dari sultan-sultan Melayu, yang bukan hanya tak mengakui eksistensi Republik Indonesia, tetapi juga membentuk Perkumpulan Anak Deli Islam untuk melindungi kerajaan.
Untuk merangkul pihak kerajaan, Hasan mengangkat orang-orang kerajaan sebagai pejabat pemerintah. Hasan juga mengatakan Republik siap mengakui posisi istimewa raja-raja sebagai pengganti dukungan mereka kepada Republik. Tawaran itu tak mendapat tanggapan. Para pemuda gerah dengan kondisi ini. Meletuslah revolusi sosial pada Maret 1946.
KABAR proklamasi kemerdekaan Indonesia baru sampai ke Sumatra pada Oktober 1945. Tengku Muhammad Hasan, yang diangkat jadi gubernur, berusaha menjalankan pemerintahan lokal. Namun, tantangan datang dari sultan-sultan Melayu, yang bukan hanya tak mengakui eksistensi Republik Indonesia, tetapi juga membentuk Perkumpulan Anak Deli Islam untuk melindungi kerajaan.
Untuk merangkul pihak kerajaan, Hasan mengangkat orang-orang kerajaan sebagai pejabat pemerintah. Hasan juga mengatakan Republik siap mengakui posisi istimewa raja-raja sebagai pengganti dukungan mereka kepada Republik. Tawaran itu tak mendapat tanggapan. Para pemuda gerah dengan kondisi ini. Meletuslah revolusi sosial pada Maret 1946.
“Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur hancur. Yang paling berdarah adalah Kerajaan Langkat dan Kerajaan Asahan,” kata Tengku Mansoer Adil Mansoer, cucu Dr. Tengku Mansoer yang kelak menjadi wali negara Sumatra Timur.
Hegemoni Melayu yang dibangun sejak masa kolonial Belanda runtuh dalam tempo beberapa hari, disapu ganasnya revolusi sosial. Hubungan kerajaan dengan Republik praktis terputus dan sebagian pemimpin kerajaan meminta perlindungan kepada Inggris dan Belanda.
Menurut Suprayitno, dosen sejarah Universitas Sumatra Utara, dalam Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, para bangsawan dan penduduk Melayu memandang revolusi sosial sebagai infiltrasi pihak luar untuk menghancurkan kekuasaan orang asli atau pribumi. Bagi Tengku Mansoer, kecamuk itu adalah urusan orang seberang alias Jawa. “Pada masa itu, semua orang memang menginginkan kemerdekaan. Tapi tak semua orang setuju dengan kaum Republiken,” kata Tengku Mansoer.
Mereka kemudian menjadi penantang serius Republik yang berujung pada pembentukan Negara Sumatra Timur. Mulanya, lewat pembentukan sebuah komite, mereka berupaya mewujudkan Daerah Istimewa Sumatra Timur (DIST). Pada 18 Oktober 1947, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook mengeluarkan dekrit pengakuan DIST dan menetapkannya sebagai Dewan Sementara Sumatra Timur.
Dewan Sementara Sumatra Timur bersidang pada 15 November 1947. Tengku Mansoer, kandidat satu-satunya, terpilih sebagai wali negara. Tepat di hari Natal 1947, Van Mook mengesahkan Negara Sumatra Timur (NST). Proklamasi NST dilangsungkan di Medan pada 29 Januari 1948.
Republik mengecam pembentukan NST, menyebut para pemimpinnya sebagai “boneka” Belanda. Untuk menghalau propaganda Republik, Negara Sumatra Timur membuat surat kabar Mestika dan majalah Medan Buletin.
Program utama NST dalam sektor ekonomi adalah pemulihan kembali perkebunan dan hak istimewa penduduk asli atas tanah. Menurut Suprayitno, pada masa pemerintahan NST, perkembangan ekonomi di daerah ini jauh lebih baik dibandingkan daerah Sumatra lainnya yang dikuasai Republik. Keberhasilan ekonomi NST berdampak pada sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan penduduk.
Pembubaran
Pada 31 Januari 1950, sekira 8.000 rakyat Deli Hulu akan bergerak ke Medan untuk unjuk rasa menuntut pembubaran NST. Polisi dan Barisan Pengawal NST hanya mengizinkan perwakilan demonstran yang pergi berunding dengan wali negara di Medan. Perundingan buntu. Massa kemudian membentuk Aksi Tuntutan Rakyat (ATR) dan menggelar beberapa kali demonstrasi. Gerakan anti-NST juga muncul dari internal pemerintahannya. Beberapa pejabat NST mengundurkan diri.
Di tingkat Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Yamin mengajukan mosi pembubaran NST ke Parlemen RIS pada 19 Maret 1950. Ketika mosi Yamin diperdebatkan, sebanyak 44 wakil dari organisasi pro-Republik mengadakan Kongres Rakyat se-Sumatra Timur (KRSST) sebagai forum tunggal menuntut pembubaran NST pada 27 April 1950. Presiden RIS Sukarno hadir dalam kongres tersebut.
Pihak NST menganggap kongres KRSST tidak sah dan mengadakan kongres tandingan, Permusyawaratan Rakyat se-Sumatera Timur (PRSST) pada 7 Mei 1950. Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta hadir dalam kongres tersebut. Sehari setelah kongres permusyawaratan, Dewan RIS memutuskan bernegosiasi dengan RIS tentang penggabungan NST dengan Negara Kesatuan. NST dan Negara Indonesia Timur memberikan mandat kepada Hatta untuk berunding dengan Republik Indonesia.
Hatta mengajukan program Negara Kesatuan dan pada 10 Juli 1950 pemerintah RIS mengangkat empat anggota Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatra Timur (PPNKST). Program urgensi PPNKST menyatakan bahwa sebagai bagian dari Negara Kesatuan, Sumatra Timur akan dijadikan daerah administratif. Program ini menolak prinsip hak istimewa masyarakat asli Sumatra Timur dan otonomi daerah yang sudah dibangun NST. Semua golongan Republik menerima. Tokoh-tokoh elite NST menerima program itu dengan dada sesak.
“Mereka semuanya menyadari,” tulis Suprayitno, “pada masa yang akan datang otonomi Sumatra Timur akan lenyap termasuk hak-hak istimewa penduduk asli.”
Pada 13 Agustus 1950, Dewan NST mengesahkan undang-undang pembubaran NST. Dua hari kemudian, Negara Kesatuan diproklamasikan. Tengku Mansoer secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada ketua PPNKST Sarimin Reksodihardjo. Pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia kelima, upacara pelantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia diadakan di seluruh Sumatra Utara.*