Suasana pasar di Payakumbuh, Sumatra Barat tahun 1920. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
WAYAN Mirna Salihin menemui ajal setelah menenggak kopi Vietnam di kafe Olivier, Jakarta Pusat, awal 2016. Dari otopsi jasadnya ditemukan racun jenis sianida. Pengadilan memutuskan temannya, Jessica Kumala Wongso, sebagai pelaku pembunuhan berencana Mirna, dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Di alam Minangkabau, racun yang dihantar melalui kopi merupakan hal lumrah. Motifnya beragam. Mulai dari keinginan mengendalikan seseorang, mengetes kesaktian, hingga sakit hati.
Racun melalui kopi hanyalah salah satu cara. Sastrawan Marah Rusli, pada 1922, menjadikan racun sebagai salah satu plot dalam novelnya, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Hidup Siti Nurbaya berakhir tragis. Dia tewas setelah makan lemang yang sebelumnya diisi racun oleh orang suruhan Datuak Maringgih. Si Datuak sakit hati karena Siti Nurbaya tetap mencintai Samsul Bahri, meski dia telah diperistri.
Alhasil, hingga kini, lemang menjadi penganan yang menakutkan, sering diasosiasikan sebagai makanan beracun. Sebagian orang takut membeli ataupun mengkonsumsi lemang.
WAYAN Mirna Salihin menemui ajal setelah menenggak kopi Vietnam di kafe Olivier, Jakarta Pusat, awal 2016. Dari otopsi jasadnya ditemukan racun jenis sianida. Pengadilan memutuskan temannya, Jessica Kumala Wongso, sebagai pelaku pembunuhan berencana Mirna, dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Di alam Minangkabau, racun yang dihantar melalui kopi merupakan hal lumrah. Motifnya beragam. Mulai dari keinginan mengendalikan seseorang, mengetes kesaktian, hingga sakit hati.
Racun melalui kopi hanyalah salah satu cara. Sastrawan Marah Rusli, pada 1922, menjadikan racun sebagai salah satu plot dalam novelnya, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Hidup Siti Nurbaya berakhir tragis. Dia tewas setelah makan lemang yang sebelumnya diisi racun oleh orang suruhan Datuak Maringgih. Si Datuak sakit hati karena Siti Nurbaya tetap mencintai Samsul Bahri, meski dia telah diperistri.
Alhasil, hingga kini, lemang menjadi penganan yang menakutkan, sering diasosiasikan sebagai makanan beracun. Sebagian orang takut membeli ataupun mengkonsumsi lemang.
Muchlis Awwali, dosen sastra daerah Minangkabau Universitas Andalas, sering menjumpai budaya meracun saat penelitian ke kampung-kampung atau membawa mahasiswa menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di pelosok Minangkabau.
Racun menjadi kisah menakutkan di beberapa kampung di Ranah Minang. Kebanyakan kampung, kata Muchlis, berada di kabupaten perbatasan Sumatra Barat seperti Pasaman Barat, Solok Selatan, Sijunjung, dan Pesisir Selatan.
“Ada tiga daerah yang dikenal tempat racun bermekar, yakni Pesisir Selatan, Kinali (Pasaman Barat), dan Muara Labuah (Solok Selatan). Saya mencurigai ketiga daerah tersebut menjadi segitiga pelindung Kerajaan Pagaruyung dari serangan pihak luar di masa lalu,” ujar Muchlis, yang meneliti racun di Minangkabau. Sebab, ketiga daerah itu berada di tapal batas Minangkabau. Sementara Pagaruyung berdiri di tengah, persisnya di dekat Batusangkar, ibukota Kabupaten Tanah Datar.
Seorang lelaki sedang menggembala sapi di Payakumbuh, Sumatra Barat, sekitar tahun 1900-1910. (gahetna.nl).
Budaya Meracun
Dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Abdul Baqir Zein menyebut penduduk Nagari Lembah Bawan, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, selalu siap dengan racun pembunuh. Jika ada seseorang bermusuhan atau mendendam kepada yang lain, biasanya orang tersebut secara sembunyi-sembunyi meletakkan racun di atap rumah musuhnya. Pada malam hari racun mulai bekerja, menyebar seperti bakteri dan meracuni tempat penyimpanan makanan.
Menurut Musra Dahrizal, ahli adat dan budaya Minang, racun yang diletakkan di atap rumah terbuat dari binatang kaki seribu. “Itu ramuannya binatang kaki seribu. Menjalar dari atap hingga menuju makanan di rumah. Dahulu di daerah Bawan, Selaras Air, Agam, banyak yang melakukan seperti itu,” ujarnya.
Masifnya racun-meracun di masa dulu, kata Musra, membuat orang Minang menutupi tempat air minum dari buluh (bambu) dengan daun pisang batu. “Dengan begitu, racun tidak bisa masuk,” ujar Musra, biasa disapa Mak Katik.
Kebiasaan meracun terus berlanjut hingga sekarang di seantero Minangkabau. Tahun 1990-an, Muchlis mendapatkan informasi, nagari di sekitar Pangkalan, sebuah daerah di Kabupaten 50 Kota, “racun hidup” menghantui masyarakat setempat. Maksud “racun hidup” adalah binatang yang hidup menjadi sumber racun.
Cerita yang dia dapatkan, ramuan racun tersebut dibuat dengan cara mengambil kelapa muda. Buka sedikit, lalu masukan kelabang, kalajengking, dan kadal. “Ketiganya pasti akan bertarung di dalam kelapa muda. Hingga tersisa satu sebagai pemenang. Pemenang ini yang akan menjadi zat racun,” ujar Muchlis.
Pemberi racun kemudian membuat nasi ketan. Pemenang tadi, misalnya kelabang, diberi nasi ketan untuk dimakan atau dijilati. Setelah itu, nasi ketan ini diberikan kepada orang yang mau diberi racun. Dan dipastikan korban akan mati.
Ada tiga daerah yang dikenal tempat racun bermekar, yakni Pesisir Selatan, Kinali (Pasaman Barat), dan Muara Labuah (Solok Selatan).
Perihal racun di Minangkabau sebetulnya telah menjadi pasal dalam Undang-Undang Nan Duo Puluh (lisan yang diundang-undangkan), sebagaimana ditulis A.A Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru dan Zuriati dalam Undang-Undang Minangkabau.
UU Nan Duo Puluah adalah pituah lama di Minangkabau. UU itu dibagi menjadi UU Delapan dan UU Duo Baleh. Dalam UU Delapan disebutkan: Dago dagi mambari malu (menuduh tanpa bukti membuat malu kalau tidak terbukti); Sumbang salah laku parangai (perbuatan yang dilakukan tidak pada tempatnya); Samun saka tagak di bateh (menghadang orang); Umbuak umbai budi marangkak (bermulut manis); Maliang curi ka liang lantai (maling atau pencuri kampung); Tikam bunuah padang badarah (menyisakan bukti setelah berbuat jahat); Sia baka sapotong suluah (dendam jangan dibawa sampai mati); dan Upeh racun batabuang sayak (kejahatan yang tidak diketahui orang).
Dalam UU tersebut, racun disebut upeh, yaitu sejenis tuba yang dapat membunuh orang seketika. Petuah yang berbunyi upeh racun batabuang sayak (upas racun bertabung sayak) bisa dimaknai tabung sayak (tempurung) atau tapak gelas sebagai media untuk menyimpan upas racun.
Mak Katik menafsirkan lebih dalam. Menurutnya, upeh bisa dilepaskan dari jauh, bahkan dari jarak 200 kilometer. Dengan begitu, orang yang berilmu tinggi pun susah menghentikannya. Kemudian, upeh tersebut diletakkan di tapak gelas. Maka, ketika kopi dijadikan media, tentu akan susah melihat racun yang telah melekat.
Rumah AR Sutan Mansur, kakak ipar Buya Hamka, di tepi Danau Maninjau. (Koleksi AR Sutan Mansur).
Obat dan Penangkal
Sumber dan ramuan racun di Minangkabau beragam. Namun yang paling hebat adalah kumis (si sunguik) harimau. “Diputarkan saja kumis harimau tersebut ke air putih orang yang dituju, maka orang tersebut akan mati,” ujar Mak Katik.
Racun juga bisa dihasilkan dari bahan seperti air mani katak, mayat karena keguguran, kaki seribu. Selain itu, beberapa tumbuhan sering dijadikan ramuan racun. Paling terkenal adalah tubo urek (tuba dari akar tumbuhan liar) dan tubo panci-panci (tuba dari tanaman liar).
“Menandakan itu tuba (racun) dari tumbuhan, berbentuk santan tidak kental kalau ditumbuk. Bila air hasil tumbukan dimasukkan ke sungai, maka ikan-ikan mengapung dan mati. Kalau ke manusia memang lambat bekerja, tapi tetap mematikan,” ujarnya.
Sumber racun dari tumbuhan dinilai Mak Katik punya kelemahan, yakni berbau busuk. Ketika dimasukkan ke minuman, baunya menyengat dan memusingkan. Sementara bau racun dari sumber binatang tidak kentara; ketika dimasukkan ke kopi, baunya hilang dan cepat proses kerjanya.
Mak Katik bilang dia tahu membuat beragam ramuan racun, tapi enggan menyebutkan. Dia takut itu menjadi tutorial. “Saya tahu cara membuatnya. Membuat ramuan racun bisa karena ada ilmu. Tapi juga ada ramuan dibuat tanpa ilmu,” ujarnya.
Ada racun ada penangkal. Di antara cara menangkal yang dilakukan masyarakat, sebut Muchlis, antara lain, ketika dihidangkan kopi di lepau atau rumah, lakukan semacam ijab kabul; langsung diambil ketika terletak di meja lalu geser. Setelah itu kopi diaduk pelan-pelan dan diri tetap tenang. “Jangan sekali-kali kopi dituangkan ke piring. Minum dengan gelas saja. Sebab, racun kadang diletakkan di bawah gelas. Adat minum kopi itu seruput selagi hangat,” ujarnya.
Alkisah, jika hal itu dilakukan, biasanya gelas pecah kalau calon korban tidak bersalah. Selain menangkal, ada juga kebiasaan di masyarakat untuk mengetahui ada racun atau tidak dalam minuman. Misalnya, menggerakkan lidah ke langit-langit; jika tidak terasa geli, berarti ada racun. Bisa juga mengusap-usap rambut di atas telinga; kalau terasa kasar berarti aman dari racun.
Obat racun juga disebutkan dalam sejumlah manuskrip kuno yang tersebar di Minangkabau. “Di manuskrip yang kami temukan di Pesisir Selatan, Pasaman, dan Tanah Datar, kami menemukan cara membuat ramuan obat untuk racun dan bisa,” ujar filolog Pramono.
Dia menyebut antara lain naskah pengobatan dan tasawuf yang ditemukan di Bidar Alam, Solok Selatan; naskah pengobatan dan tarekat yang ditemukan di Pariangan, Kabupaten Tanah Datar; serta naskah pengobatan, azimat, dan fikih yang ditemukan di Calau, Kabupaten Sijunjung. Dikatakan Pramono, manuskrip tersebut rata-rata tidak berjudul, tanpa tahun terbit, dan tergabung dengan teks lainnya.
“Rata-rata ditemukan di surau. Karena yang menulis adalah buya (ulama), pimpinan surau tersebut. Bahkan ayah Hamka, Inyiak Rasul, juga menulis soal pengobatan di catatan hariannya. Saya menemukan di Kutub Channah, pinggir Danau Maninjau,” ujar dosen sastra daerah Minangkabau ini.
Bagi Buya Hamka, untuk menjaga diri dari racun, jagalah perilaku. “Buya Hamka mengatakan hal itu ke saya tahun 1974 di Villa Mayor Johan, Kacang, tepian Danau Singkarak,” ujar Mak Katik.*