Raja yang Dibuang ke Cianjur

Empat raja ini dibuang ke Cianjur hingga meninggal dunia karena melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

OLEH:
Hendi Jo
.
Raja yang Dibuang ke CianjurRaja yang Dibuang ke Cianjur
cover caption
Sultan Ibrahim Chaliluddin dan para pembesar Kerajaan Paserbalengkong. (Koleksi Adjie Benni).

MAKAM tua itu terpuruk dimakan usia. Di atasnya, sekumpulan batu kali tersusun rapi, membentuk ruas persegi panjang 1,5 x 2 meter persegi. Dari sesela bebatuan, rerumputan liar tumbuh subur, seolah menjadi pelindung makam dari sengatan matahari. Tak ada yang tahu persis siapa yang bersemayam di makam yang terletak di Kampung Salagedang, Cianjur.

“Sejak saya bocah, pusara itu hanya dikenal orang-orang kampung sebagai makamnya Jilolo, gegeden (orang besar) dari tanah seberang,” ujar R. Agus Thosin (65), salah seorang sesepuh Salagedang.

Di Kecamatan Cianjur, ada beberapa makam raja yang juga tak dikenal masyarakat sekitar. Di Joglo Luhur, yang masuk wilayah Kelurahan Sawahgede, terdapat makam Pangeran Hidayatullah dan Sultan Ibrahim Chaliluddin, dua pejuang dari Kalimantan. Sementara di Kelurahan Pamoyanan, ada makam Sri Diraja Datuk Badiuzaman Surbakti.

Dari berbagai sumber, Historia mengetahui bahwa mereka ternyata adalah orang-orang yang dibuang pemerintah Hindia Belanda pada 1832–1928. Inilah sebagian kecil informasi tentang mereka.

MAKAM tua itu terpuruk dimakan usia. Di atasnya, sekumpulan batu kali tersusun rapi, membentuk ruas persegi panjang 1,5 x 2 meter persegi. Dari sesela bebatuan, rerumputan liar tumbuh subur, seolah menjadi pelindung makam dari sengatan matahari. Tak ada yang tahu persis siapa yang bersemayam di makam yang terletak di Kampung Salagedang, Cianjur.

“Sejak saya bocah, pusara itu hanya dikenal orang-orang kampung sebagai makamnya Jilolo, gegeden (orang besar) dari tanah seberang,” ujar R. Agus Thosin (65), salah seorang sesepuh Salagedang.

Di Kecamatan Cianjur, ada beberapa makam raja yang juga tak dikenal masyarakat sekitar. Di Joglo Luhur, yang masuk wilayah Kelurahan Sawahgede, terdapat makam Pangeran Hidayatullah dan Sultan Ibrahim Chaliluddin, dua pejuang dari Kalimantan. Sementara di Kelurahan Pamoyanan, ada makam Sri Diraja Datuk Badiuzaman Surbakti.

Dari berbagai sumber, Historia mengetahui bahwa mereka ternyata adalah orang-orang yang dibuang pemerintah Hindia Belanda pada 1832–1928. Inilah sebagian kecil informasi tentang mereka.

Makam Raja Muda Hajuddin. (Hendi Jo/Historia.ID).

Raja dari Utara Maluku

Tjutju Soendoesijah (70) mendapat cerita dari neneknya, Unah (meninggal pada 1967 dalam usia 95 tahun), bahwa Jilolo adalah seorang raja seberang yang gagah dan memiliki banyak pengikut. “Kata nenek saya, beliau juga seorang haji,” ujarnya.

Keterangan itu tak seluruhnya salah. Dalam disertasinya berjudul “Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara”, sejarawan R.Z. Leirissa menyebut pada 1832 beberapa pembesar Kesultanan Jailolo (terletak di Maluku Utara) dan keluarga mereka dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Cianjur. Bahkan, salah satu dari mereka, Hajuddin, wafat di sana. “Kendati bukan seorang haji, keluarganya memanggil dia dengan sebutan ‘haji’,” tulis Leirissa.

Hajuddin seorang raja muda. Dia diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai sultan Jailolo dengan gelar Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah. Kekuasaannya tak berusia panjang. Secara sukarela dia menyerahkan takhta kepada sang kakak, Mohamad Asgar, dan disetujui pemerintah Hindia Belanda. “Saat itu kedaulatan Kesultanan Jailolo memang secara resmi ada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda,” ujar Leirissa.

Pada mulanya hubungan Jailolo-Hindia Belanda berlangsung baik-baik saja. Sebagai pejabat Hindia Belanda, Sultan Mohamad Asgar cukup puas “digaji” f.250. Kekisruhan muncul kala pada Agustus 1832 kesultanan memohon kepada pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Seram Pasir ke Pulau Obi. Alasannya, tanah di Seram Pasir tidak subur untuk pertanian.

Batavia tidak mengamini permintaan itu. Akibatnya muncullah “gejolak”. Untuk menyelesaikan masalah itu, Batavia menyiapkan dua opsi: “mempensiunkan” Sultan atau membubarkan kesultanan. Setelah digodok Raad van Indie (Dewan Penasihat Gubernur Jenderal), keputusan akhir adalah pembubaran Kesultanan Jailolo. Atas dasar itulah, pada Desember 1832 pemerintah secara resmi membubarkan Kesultanan Jailolo.

Menurut M. Adnan Amal, Sultan Mohamad Asgar beserta keluarganya (termasuk Raja Muda Hajuddin) dikelabui lewat suatu skenario perundingan. “Mereka lantas diangkut dengan dua kapal menuju Batavia kemudian ke Cianjur, tempat mereka diasingkan,” tulis M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah.

Tahun 1844, muncul keputusan mengembalikan para tahanan politik itu ke Maluku. Namun, Hajuddin tak masuk dalam daftar pengampunan. Jadilah dia bermukim di Cianjur hingga wafat pada 1846 dan dimakamkan di wilayah yang saat ini dikenal sebagai bagian dari Taman Makam Pahlawan Cianjur.

Makam Pangeran Hidayatullah. (Hendi Jo/Historia.ID).

Ulama Berjubah Kuning

Bagi mayoritas warga Cianjur, Pangeran Hidayatullah bukanlah nama yang asing. Selain digunakan sebagai nama seruas jalan di kawasan kota, dia meninggalkan banyak jejak. Salah satunya Kampung Banjar. “Ya memang di kawasan itulah kakek buyut saya tinggal setelah dibuang Belanda dari Banjarmasin pada 1862,” ujar Johan Rangga (44), yang akrab dipanggil Bonang.

Menurut Bonang, kendati nama Hidayatullah dikenal khalayak di Cianjur, dia sangsi mereka tahu sejarah hidup kakek buyutnya. Terlebih selama 42 tahun tinggal di tanah pembuangan, sepak terjang Sang Pangeran sangat dibatasi. “Ruang lingkup hidupnya seolah rumah-masjid agung-rumah-masjid agung saja,” ujarnya.

Kisah Hidayatullah yang pernah melawan Belanda juga dirahasiakan. Selain pejabat dan petugas pemerintah Hindia Belanda, hanya bupati Cianjur dan keluarganya yang tahu. Praktis, masyarakat kala itu hanya mengenalnya sebagai ulama kharismatik yang selalu memakai jubah kuning bila pergi beribadah ke Masjid Agung Cianjur.

Hidayatullah bukanlah sembarang pangeran. W.A. van Rees, veteran Perang Banjar (menurut versi Belanda berlangsung dari 1859 hingga 1863), menyebutnya sebagai hoofdopstandeling alias kepala pemberontak. “Di antara orang-orang Banjar yang memberontak dialah yang paling berbahaya,” tulis van Rees dalam De Banjermasinche Krijg 1859–1863.

Menurut Gusti Mayur, keterlibatan Hidayatullah dalam Perang Banjar bermula dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam masalah internal Kesultanan Banjar. Secara sepihak, pada 3 November 1857, pemerintah menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan menyusul mangkatnya Sultan Adam Alwasikubillah. “Padahal jika mengikuti adat-istiadat, Pangeran Hidayatullah yang berhak atas posisi tersebut,” tulis Mayur dalam Perang Banjar.

Penolakan kalangan istana terhadap Tamjidillah tak dihiraukan pemerintah Hindia Belanda. Wajar saja karena, dari sekian pangeran Banjar, hanya Tamjidillah yang berani memberikan konsesi pertambangan batu bara kepada orang-orang Belanda. Sebagai catatan, pemerintah Hindia Belanda saat itu bernafsu menguasai batu bara yang terdapat dalam perut bumi Kalimantan Selatan. Selain untuk keperluan industri, mereka membutuhkannya sebagai bahan bakar kapal-kapal perang uap.

Maka, perang besar tak terhindarkan. Demi menghadapi orang-orang Banjar yang dipimpin Hidayatullah, pemerintah tak mau ambil risiko. Menurut van Rees, pada tahap awal saja, mereka mengirimkan 3.000 serdadu, ratusan senjata berat, dan 22 kapal perang ke palagan Banjar. Namun, keunggulan teknis persenjataan itu tak membuat pemerintah Hindia Belanda menang dengan mudah. Mereka justru kewalahan menghadapi kecerdikan taktik perang gerilya dan strategi bumi hangus dari orang-orang Banjar.

Sadar perang tak tentu ujungnya, pemerintah Hindia Belanda menawarkan penyelesaian damai. Mereka kemudian menjebak Hidayatullah dalam suatu penangkapan berkedok perundingan. “Demikianlah pada 3 Maret 1862 jam 9 malam, kapal Bali membawa Pangeran Hidayatullah dan pengikutnya dari Banjarmasin ke tanah pengasingan di Pulau Jawa,” ujar Mayur.

Sesampainya di Batavia, Hidayatullah diberangkatkan ke Cianjur, tempat penjara besar bagi dirinya. Di kota yang terletak di kaki Gunung Gemuruh ini, Sang Pangeran sempat memperistri seorang perempuan bangsawan setempat bernama Nyai Etjeuh yang menurunkan silsilah orang Banjar di Cianjur. Pada 24 November 1904, Hidayatullah mangkat dalam usia 82 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebuah dataran tinggi yang masuk wilayah Sawahgede.

Makam Sultan Ibrahim Chaliluddin. (Hendi Jo/Historia.ID).

Pemimpin Pemberontakan SI

Tepat di sisi kiri makam Pangeran Hidayatullah, terdapat sebuah makam besar berlapiskan marmer putih. Banyak orang mengira ini adalah makam salah satu kerabat Pangeran Hidayatullah. Anggapan itu keliru. “Ini adalah makam Sultan Ibrahim Chaliluddin dari Kerajaan Paserbalengkong,” ujar Helmy Adam (32), anggota De Brings Tjiandjoer, komunitas pecinta sejarah Cianjur.

Buku Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1953, mengakui Sultan Ibrahim Chalilluddin sebagai pejuang dari Kalimantan Timur. Menurut Adjie Benni Sarief Firmansyah Chaliluddin (46), pencantuman nama kakek buyutnya di buku tersebut tentunya tidak asal-asalan.

“Buku ini pastinya dibuat berdasarkan kajian ahli-ahli sejarah dan para saksi sejarah yang pada waktu itu masih hidup,” ujar Adjie Benni.

Ibrahim Chaliluddin merupakan sultan terakhir Kerajaan Paserbalengkong. Dia diangkat sebagai sultan setelah kekuasaan kerajaan vakum selama beberapa tahun menyusul penangkapan Sultan Adjie Mohammad Ali oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1876. Namun, belum lama diangkat sebagai sultan, pada 1906 pihak Hindia Belanda memaksanya turun takhta sekaligus membubarkan Kerajaan Paserbalengkong.

Kendati demikian rakyat Paserbalengkong masih menganggap Ibrahim Chaliluddin sebagai sultan dan menaati setiap perintahnya. Saat sang raja tanpa takhta itu menjadi presiden Sjarikat Islam (SI) cabang Paser pada 1914, rakyat berduyun-duyun masuk SI. “Termasuk bekas para pembesar Kerajaan Paser yang lantas menjadi pengurus organisasi tersebut,” ujar Adjie Benni.

Pemerintah Hindia Belanda waswas; orang yang mereka awasi justru masuk organisasi yang oposisi terhadap pemerintah. Dan kecurigaan itu terbukti pada Juli 1915 saat meletus pemberontakan SI di Paser. “Tangsi militer Belanda di Tanah Grogot diserang massa-rakyat pimpinan Pangeran Singa Maulana hingga menimbulkan korban yang banyak di kedua pihak,” tulis Anggraini Antemas dalam koran Buana Minggu, 25 Januari 1976.

Konflik bersenjata itu ternyata bukan insiden sesaat. Diperlukan waktu 1,5 tahun bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memadamkannya. Setelah perlawanan kian surut, pada Februari 1916 pemerintah menangkap Ibrahim Chaliluddin dan para pengurus SI Paser.

“Kakek buyut saya, setelah disergap secara mendadak di rumahnya, hanya diberi waktu beberapa menit untuk bersiap-siap pergi oleh tentara Belanda,” ujar Adjie Benni.

Selanjutnya, Ibrahim dan keluarganya dibuang ke Banjarmasin selama tiga tahun. Mereka lalu dipindahkan ke Teluk Betung, Lampung. Pada 1928, beserta istri dan putranya, Ibrahim kembali dibuang ke Batavia lalu Cianjur, tempat dia mengembuskan napas terakhirnya dua tahun kemudian.

Makam Datuk Badiuzzaman Surbakti. (Hendi Jo/Historia.ID).

Pemimpin Perang Sunggal

Tak sulit menemukan makam Sri Diraja Datuk Badiuzzaman Surbakti, raja Sunggal, di kompleks pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Begitu masuk dan menyebut “makam Istana Deli”, penjaga kompleks pemakaman akan membawa Anda ke sebuah pusara kokoh berumpak dua. Namun, tak ada yang tahu siapa Datuk Badiuzzaman. Termasuk Iwan (41), penjaga kompleks pemakaman.

“Yang jelas hampir setiap tahun makamnya dikunjungi orang-orang dari luar Cianjur, terutama dari Jakarta dan Sumatra,” ujar Iwan.

Dalam catatan arsip-arsip Belanda, Datuk Badiuzzaman ditabalkan sebagai salah satu pemimpin Perang Batak (Batak Oorlog), sebuah penyebutan yang salah kaprah karena Sunggal merupakan bagian dari Karo. Menurut Uli Kozok, ahli budaya dan sastra Batak dari University of Hawaii, Amerika Serikat, istilah tersebut membingungkan. “Yang dimaksud dengan Batak ialah Karo. Jadi terjemahan yang lebih tepat daripada Batak Oorlog adalah Perang Karo,” ujarnya.

Namun, penyebutan Perang Karo tidak populer. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebutnya sebagai Perang Sunggal. Salah satunya Tengku Luckman Sinar, sejarawan Sumatra Utara yang menulis buku Perang Sunggal (1872–1895). “Perang ini merupakan kejadian yang sangat penting, bukan saja bagi orang-orang Sunggal tapi juga bagi pihak Belanda, karena akibat perang ini mereka harus mengeluarkan ongkos yang sangat besar,” tulis Luckman Sinar, yang masih keturunan Sultan Deli.

Bibit-bibit Perang Sunggal bermula dari ambisi Kesultanan Deli menguasai lahan orang-orang Sunggal sepeninggal Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, raja Sunggal, pada 1857. Datuk Muhammad Kecil Surbakti, adik Datuk Ahmad yang memegang kendali kerajaan untuk sementara karena putra raja masih kecil, melakukan perlawanan. Tak yakin dengan kekuatan militernya, pada 1865 Sultan Mahmud mengundang pihak Hindia Belanda untuk terjun dalam konflik tersebut. Sebagai kompensasi, dia berjanji menyerahkan lahan-lahan subur milik Sunggal kepada maskapai tembakau milik orang-orang Belanda.

Datuk Kecil bereaksi keras. Terlebih Sultan Mahmud memenuhi janjinya kepada Belanda. Bersama Sulong Barat dan Datuk Jalil, Datuk Kecil menyiapkan 1.500 pasukan. Perang meletus pada 1872. Namun, kekuatan gabungan Deli-Hindia Belanda berhasil menangkap Datuk Kecil, Datuk Jalil, Sulong Barat, dan empat panglima perang Sunggal pada November 1872.

“Setelah 10 bulan disekap di Riau, mereka lalu dibawa ke Batavia,” tulis Luckman Sinar.

Tertangkapnya para datuk dan panglima Perang Sunggal tak menyurutkan perlawanan. Dipimpin Datuk Badiuzzaman, putra Datuk Ahmad yang sudah beranjak dewasa dan memimpin kerajaan, perang terus berkobar. Saking dahsyatnya, pemerintah Hindia Belanda harus bersusah payah. “Belanda tercatat tiga kali mengirim bantuan ekspedisi militernya dari Batavia,” ujar Asmyta Surbakti, pegiat Sumatra Heritage Trust.

Tahun 1895, pemerintah Hindia Belanda mengajukan tawaran berdamai. Sebagai bentuk “keseriusan”, mereka mengundang Datuk Badiuzzaman untuk berunding dengan Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck di Batavia.

Undangan tersebut dipenuhi tanpa curiga. Bersama adiknya Datuk Alang Mohammad Bahar, sekretarisnya Datuk Mahmood, dan ajudannya Da’im, Datuk Badiuzzaman bertolak ke Batavia. Namun, setiba di Batavia, bukan perundingan yang mereka terima tetapi penghinaan. Gubernur jenderal menyatakan akan memaafkan segala “kesalahan” Datuk Badiuzzaman jika mau bersujud di depan kakinya. Datuk Badiuzzaman menolak mentah-mentah: “Biar mati sekalipun, saya tak akan pernah jongkok minta ampun di depan orang-orang Belanda.”

Akibat penolakan itu, hukuman dijatuhkan. Datuk Badiuzzaman dan Datuk Alang dihukum buang seumur hidup; masing-masing ke Cianjur dan Banyumas. “Ketika kabar itu sampai di Sunggal, tiga bulan lamanya rakyat Sunggal menyatakan berkabung,” tulis Luckman Sinar.

Belum ditemukan data-data sejarah tentang kehidupan Datuk Badiuzzaman sebagai orang buangan di Cianjur. “Hingga kini, kami belum mengetahui penyebab dan kapan wafatnya,” ujar Asmyta Surbakti.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66190f26ff002f61ac0216f7
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID