Rekonsiliasi Kecil di Hutan Plumbon

Sekelompok anak muda menginisiasi pemasangan nisan di kuburan massal korban peristiwa 1965 di Plumbon, Semarang. Langkah kecil menuju rekonsiliasi.

OLEH:
Rukardi Ahmadi
.
Rekonsiliasi Kecil di Hutan PlumbonRekonsiliasi Kecil di Hutan Plumbon
cover caption
Sri Murtini tak kuasa menahan tangis. Ayahnya, Joesoef Setijo Widagdo, salah satu korban pembunuhan massal peristiwa 1965 di Plumbon, Semarang. (Rukardi Ahmadi/Historia.ID).

TANGIS Sri Murtini pecah di hutan jati Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Tangis yang tersebab perasaan campur aduk antara sedih, gembira, dan lega. Setelah hampir 50 tahun mencari, itulah kali pertama Sri menemukan keberadaan ayahnya, Joesoef Setijo Widagdo. Pertemuan yang pilu, karena Joesoef telah mati, dan jasadnya terpendam di tanah.

Joesoef, carik Desa Margorejo, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, hilang setelah dijemput paksa sekelompok orang tak dikenal pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sri Murtini ingat, penjemputan dilakukan pada malam hari. Ia yang saat itu tengah terlelap tidur dikagetkan oleh suara gaduh. Saat terbangun, Sri melihat sang ayah telah diringkus dan hendak dibawa pergi. Sebelum menghilang di kegelapan malam, Joesoef sempat menitip pesan singkat kepada ibunya: “Tulung anak-anak dijaga.”  

Joesoef sesungguhnya bukan ayah kandung, tapi paman Sri Murtini. Namun, dia dan istrinya telah mengadopsi dan merawat Sri saat masih bayi. Sri menganggap Joesoef seperti ayah kandung sendiri. Sosok yang melindungi dan mengayomi. Itulah mengapa, dia merasa sangat kehilangan dan berusaha mencari keberadaan Joesoef. Sri dan keluarga pernah mendengar kabar sang ayah ditahan di sebuah tempat di Kendal, tetapi tak bisa ditemui. Sri yang saat itu masih berusia sembilan tahun hanya bisa berharap, Joesoef segera dibebaskan dan berkumpul lagi bersamanya.

TANGIS Sri Murtini pecah di hutan jati Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Tangis yang tersebab perasaan campur aduk antara sedih, gembira, dan lega. Setelah hampir 50 tahun mencari, itulah kali pertama Sri menemukan keberadaan ayahnya, Joesoef Setijo Widagdo. Pertemuan yang pilu, karena Joesoef telah mati, dan jasadnya terpendam di tanah.

Joesoef, carik Desa Margorejo, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, hilang setelah dijemput paksa sekelompok orang tak dikenal pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sri Murtini ingat, penjemputan dilakukan pada malam hari. Ia yang saat itu tengah terlelap tidur dikagetkan oleh suara gaduh. Saat terbangun, Sri melihat sang ayah telah diringkus dan hendak dibawa pergi. Sebelum menghilang di kegelapan malam, Joesoef sempat menitip pesan singkat kepada ibunya: “Tulung anak-anak dijaga.”  

Joesoef sesungguhnya bukan ayah kandung, tapi paman Sri Murtini. Namun, dia dan istrinya telah mengadopsi dan merawat Sri saat masih bayi. Sri menganggap Joesoef seperti ayah kandung sendiri. Sosok yang melindungi dan mengayomi. Itulah mengapa, dia merasa sangat kehilangan dan berusaha mencari keberadaan Joesoef. Sri dan keluarga pernah mendengar kabar sang ayah ditahan di sebuah tempat di Kendal, tetapi tak bisa ditemui. Sri yang saat itu masih berusia sembilan tahun hanya bisa berharap, Joesoef segera dibebaskan dan berkumpul lagi bersamanya.

Waktu terus berjalan, ingatan Sri Murtini terhadap Joesoef tak pernah lekang. Bertahun-tahun, perempuan yang kini mukim di daerah Pudakpayung, Kota Semarang itu, merindukan sang ayah. Sri ingin sekali bertemu, tetapi tak tahu di mana keberadaannya. Dalam keputusasaan, Sri hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Setiap usai salat, dia selalu berkirim doa untuk ayah tercinta. Sri juga memohon bisa dipertemukan dengan Joesoef. Kalau masih hidup, di mana tinggalnya. Kalau sudah mati di mana kuburnya.  

Doa-doa Sri akhirnya terjawab. Beberapa waktu lalu, dia beroleh kabar ihwal kepastian nasib sang ayah. Kabar yang menggembirakan sekaligus memilukan. Senin, 1 Juni 2015, Sri menghadiri acara penisanan kuburan massal di tengah hutan jati Plumbon. Dia pandangi nisan yang menerakan nama-nama jenazah yang diduga ditanam di tempat itu, hampir 50 tahun lalu. Tangis Sri pecah saat melihat nama Joesoef. Suaminya yang setia mendampingi berusaha menenangkan. Dalam sedu sedan, perempuan berhijab itu memanjatkan doa untuk arwah ayah dan teman-teman senasibnya.  

“Saya merasa lega bisa melihat kuburan bapak dan mengirim doa untuknya. Saya baca surah Alfatihah, Alikhlas, Alfalaq, Annas, dan Yasin. Semoga beliau dan para korban yang lain tenang di alam sana,” ujar Sri lirih.

Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Tempat Mencari Nomor Togel

Keberadaan kuburan massal Plumbon sesungguhnya sudah lama diketahui warga, terutama yang berusia lanjut. Namun, sejauh itu mereka hanya membiarkannya. Akibatnya, kondisi kuburan di lahan milik Perum Perhutani KPH Kendal itu jadi terkesan angker.  

Warga dari luar daerah menjadikannya sebagai tempat mencari nomor togel. Awal tahun 2000-an, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 pernah menyelidiki kuburan Plumbon. Begitupun sejumlah peneliti dari perguruan tinggi. Namun, riset mereka tak diketahui kelanjutannya.  

Pada akhir 2014, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk HAM (PMS-HAM) berikhtiar memakamkan kembali jenazah yang ditanam di kuburan Plumbon. Untuk memperlancar rencana itu, mereka menghubungi banyak pihak, mulai dari warga, RT, RW, lurah, camat, wali kota, ormas, komandan Kodim, hingga Komnas HAM. PMS-HAM juga mengurus perizinan ke perhutani. Namun, rencana pemakaman kembali batal karena tidak ada respons dari Komnas HAM.  

“Pemakaman kembali harus didahului dengan forensik, dan itu domain-nya Komnas HAM. Karena takut dianggap merusak barang bukti, kami akhirnya mengubah rencana jadi penisanan kuburan,” ujar Koordinator PMS-HAM Yunantyo Adi Setiawan.  

Nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di hutan Plumbon, Semarang. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Pemasangan nisan akhirnya terlaksana pada 1 Juni 2015. Acara yang berlangsung sederhana tetapi khidmat itu dihadiri keluarga dan kolega korban, serta puluhan tamu undangan, antara lain Plh. Kepala Kesbangpol Kota Semarang Djati Prijono, rohaniwan Romo Aloysius Budi Purnomo, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang Prof. Wasino, dan Komandan Banser Satkorwil Jawa Tengah Hasyim Asyari.  

Mereka yang hadir mengapresiasi kegiatan itu. Hasyim Asyari misalnya, mengajak semua pihak saling membuka pintu maaf atas peristiwa yang telah lalu itu. Adapun Aloysius Budi menganggap pemasangan nisan tersebut sebagai hal penting.  

“Ini peristiwa bersejarah. Dari sini kita belajar, menjadikan riak-riak masa lalu itu sebagai pegangan untuk menapaki masa depan yang lebih baik,” ujar Aloysius Budi.  

Pemasangan nisan, kata Yunantyo, baru sebuah awal. Langkah kecil itu diharapkan dapat menjadi pembuka jalan bagi rekonsiliasi antara pelaku dengan korban. Ia meyakini rekonsiliasi sebagai kunci penyelesaian masalah 1965. Jika itu terjadi, bangsa ini akan dapat berjalan ke depan dengan langkah ringan.

Pada 2020, makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, masuk dalam situs memori CIPDH (The International Center for the Promotion of Human Rights) yang berada di bawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terkait pelanggaran HAM berat.  

Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina.*

Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6629cc7d601030f5359e9e24