Rumah bola tempat bermain biliar di Societeit Harmonie, Batavia, 1880. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
RICKY Yang Han Tjong memulai break di babak ketujuh. Badannya membungkuk, matanya membidik sasaran. Stik di genggamannya bergerak maju-mundur mengunci tikaman. Dan… prakkk! Kumpulan bola bercerai membentuk skema. Satu per satu bola diantarkannya ke lubang, tanpa memberi seterunya, pebiliar tuan rumah, Jeffry De Luna mencicipi tikaman.
“De Luna gak dapat giliran mukul bola sampai babak keduabelas,” kenang Ricky saat mengulas pertandingan final turnamen internasional Philippine Open Billiard 10 Ball yang berlangsung di Mandaluyong, Filipina, pada Juni 2009.
Di babak terakhir, saat Ricky akan menikam bola sepuluh, De Luna bangun dari duduknya. Dia melempar handuk seraya mendekat dan menjabat tangan Ricky. Partai final selama lebih kurang satu setengah jam berkesudahan dengan skor 11–4 untuk kemenangan Ricky “The Piranha” Yang. Peringkatnya langsung melesat menembus lima besar dunia.
Kemenangan itu merupakan torehan baru bagi prestasi olahraga biliar Indonesia di pentas dunia. “Ini menjadi sejarah karena untuk kali pertama sejak 55 tahun lalu, ada pebiliar Indonesia menjadi juara dalam kejuaran internasional yang hampir selevel dengan kejuaraan dunia,” ujar Adhyaksa Dault, kala itu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, dikutip Gatra, 17 Juni 2009.
RICKY Yang Han Tjong memulai break di babak ketujuh. Badannya membungkuk, matanya membidik sasaran. Stik di genggamannya bergerak maju-mundur mengunci tikaman. Dan… prakkk! Kumpulan bola bercerai membentuk skema. Satu per satu bola diantarkannya ke lubang, tanpa memberi seterunya, pebiliar tuan rumah, Jeffry De Luna mencicipi tikaman.
“De Luna gak dapat giliran mukul bola sampai babak keduabelas,” kenang Ricky saat mengulas pertandingan final turnamen internasional Philippine Open Billiard 10 Ball yang berlangsung di Mandaluyong, Filipina, pada Juni 2009.
Di babak terakhir, saat Ricky akan menikam bola sepuluh, De Luna bangun dari duduknya. Dia melempar handuk seraya mendekat dan menjabat tangan Ricky. Partai final selama lebih kurang satu setengah jam berkesudahan dengan skor 11–4 untuk kemenangan Ricky “The Piranha” Yang. Peringkatnya langsung melesat menembus lima besar dunia.
Kemenangan itu merupakan torehan baru bagi prestasi olahraga biliar Indonesia di pentas dunia. “Ini menjadi sejarah karena untuk kali pertama sejak 55 tahun lalu, ada pebiliar Indonesia menjadi juara dalam kejuaran internasional yang hampir selevel dengan kejuaraan dunia,” ujar Adhyaksa Dault, kala itu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, dikutip Gatra, 17 Juni 2009.
Meski bukan kejuaran dunia sesungguhnya, hampir seluruh pebiliar terbaik dunia ikut ambil bagian. Antara lain Darren Appleton (juara dunia 2008 asal Inggris), Johnny Archer (AS), Marcus Chamat (Swedia), Chang Jung Lin (Taiwan), dan Nick van den Berg (Belanda). Tentu tak lupa pula pebiliar tuan rumah yang selama ini mendominasi kejuaraan dunia.
Prestasi Ricky sekaligus menepis tudingan miring sebagian masyarakat terhadap olahraga biliar, yang dahulu bernama bola sodok. Biliar memang memiliki riwayat berliku. Dari hobi dan ajang pertemuan kalangan atas Eropa di Hindia Belanda menjelma jadi kompetisi, judi, hingga mengukir prestasi.
Ricky Yang Han Tjong di pertandingan final turnamen internasional Philippine Open Billiard 10 Ball di Mandaluyong, Filipina, Juni 2009. (Repro Merah Putih Kukibarkan: Kisah 7 Putera Bangsa yang Menggetarkan Dunia).
Jejak di Rumah Bola
Di masa lampau permainan bola sodok bertemu jejaknya di rumah-rumah bola (societiet) yang tersebar di kota-kota di Hindia Belanda. Sebutan rumah bola datang dari kaum bumiputra yang memantau kebiasaan tuan-tuan besar Eropa bermain bola sodok. Salah satu yang mempesona adalah rumah bola De Harmonie, yang berdiri megah di Rijswijk (kini, Harmoni), Batavia.
Rumah bola Harmonie merupakan klub tertua dan terkenal di antara klub lainnya. Ia menjadi pusat kehidupan sosial orang Eropa. “Klub yang selesai dibangun pada 1814 ini merupakan klub yang paling bergengsi,” tulis Susan Blackburn (Abeyasekere), sejarawan asal Monash University, dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.
Di dalam gedung itu terdapat suatu ruang yang disebut kamar bola. Di dalamnya terdapat tiga meja berlaken hijau tanpa lubang, yang biasa dipakai untuk permainan bilar jenis carom –berbeda dari jenis english billiard dan pool yang menggunakan meja dengan enam lubang. Meja-meja itu dikawal tongkat sodok yang berdiri bak tombak pada jagangnya. Tiga lampu berpenutup menjuntai pada tiap-tiap muka meja. Di situlah para tuan besar Eropa menghabiskan malam bermain bola sodok sembari menenggak cognac.
Tak sembarang orang bisa ikut main. “Paling tidak orang harus bergaji di atas empat ratus gulden,” celoteh Oma kepada Minke saat kali pertama masuk Batavia dalam Jejak Langkah, roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya dengan cermat melukiskan pertemuan-pertemuan yang terjadi di kamar bola. Mereka bertemu bukan untuk menyodok bola, justru menjadikan meja bola sodok sebagai arena diskusi. Itu yang terjadi saat Minke kali pertama hadir dalam pertemuan khusus anggota Tweede Kamer. Meja bola sodok itu berserak asbak perak, ditingkahi obrolan yang hilir mudik.
Selain lebih sering menjadi tempat pertemuan dan pesta perayaan, nyata-nyata rumah bola menjadi episentrum diskriminasi kaum bumiputra. Pernah suatu ketika Oerip Soemohardjo, kala itu perwira KNIL, ditegur kolonelnya lantaran tak hadir dalam perayaan ulang tahun Sri Ratu di salah satu societiet di Banjarmasin.
“Saya bukan anggota kamar bola, Kolonel, karena hanya orang Eropa yang boleh menjadi anggota!” jawab Oerip, dikutip dalam otobiografinya Oerip Soemohardjo: Letnan Jenderal TNI. Persoalan itu lantas merembet. Semua opsir senior mendapat amarah karena peraturan dari abad ke-18 itu belum juga dihapus. Setelah aturan berubah, Oerip lantas menjadi anggota kamar bola paling setia.
Permainan bola sodok di ruang rekreasi Akademi Kepolisian di Hollandia (kini Jayapura), Papua, 1955. (KITLV).
Geliat Berserikat
Permainan bola sodok beranjak ke tahap yang lebih produktif ketika mulai dipertandingkan dan dibuat kompetisi. Beberapa klub biljart di tiap kamar bola melakoni pertandingan dalam skala kecil. Mereka mengadu ketangkasan dalam permainan jenis carom dengan tiga bola, yang berakar kuat di Negeri Belanda dan kemudian menular ke tanah jajahan.
Permainan jenis carom di Belanda berkembang pada 1880–1890. “Salah satu jenis permainan yang sering dimainkan saat itu adalah balkline,” ujar Cees Sprangers, penulis Encyclopedie van de Ereklasse: Historie van de Nederlandse Biljartsport, kepada Historia.
Balkline merupakan varian dari permainan jenis carom. Permainan menggunakan tiga bola di mana setiap sodokan harus mengenai dua bola lainnya. Permainan jenis balkline membagi meja menjadi delapan area yang ditandai dengan garis. Area itu disebut balk; area tengah tidak termasuk. Jika kedua bola objek berada di salah satu balk, seorang pemain hanya bisa mencetak sejumlah poin sebelum mendorong setidaknya satu bola keluar dari balk.
Di negeri asalnya, permainan jenis carom juga berkembang di beberapa societiet. Terutama di kota-kota besar: Amsterdam, Den Haag, Haarlem, dan Hilversum. “Meski begitu, pada waktu bersamaan, sebagian besar permainan juga berlangsung di kafe-kafe,” imbuh Cees Sprangers.
Pertandingan bola sodok di tanah jajahan kian semarak setelah terbentuknya Java Biljart Bond atau serikat klub bola sodok di Jawa pada 1917. Perkumpulan itu berbentuk federasi yang menghimpun beberapa klub bola sodok di tiap rumah bola di Jawa. Beberapa klub yang bergabung di antaranya Harmonie, Meester Cornelis, Concordia, Cadre, Entre Nous, Excelsior, Vita Nova, EMMA (Batavia); CIOD, Bandoeng, KSB, Klein Spel (Bandung); serta Soekamanah Club di Sukabumi. Pada perjalanannya beberapa klub lain bergabung menjadi anggota federasi.
“Perkumpulan ini bertujuan untuk memperkuat ikatan para pemain yang berafiliasi pada Java Biljart Bond dan untuk keselamatan kita semua yang mencintai olahraga bola sodok,” ujar M.C. Plagge, ketua Java Biljart Bond, dikutip dalam edisi perdana majalah berkala Officieel Orgaan van den Java Biljart Bond, Januari 1935.
Setiap tahun federasi rutin menggelar kompetisi yang dinamakan Java Kampionschap. Kompetisi ini dipecah ke dalam dua wilayah klub: Batavia dan Bandung. Pesertanya tak lain jago-jago klub yang di awal kompetisi semuanya berdarah Eropa atau Indo. Mereka terbagi dalam beberapa nomor pertandingan, cadre dan libre. Para peserta dibedakan menurut kualitas permainan, dari tingkat pertama (eerste klasse) yang setara profesional hingga kelas lima. Tiap nomor pertandingan dibatasi maksimal sepuluh peserta dan usia pemain tidak boleh kurang dari 18 tahun.
Tjoa datang ke negeri kami sebagai salah satu pemain terkuat. Dia salah satu pemain yang mendapat kehormatan class of honor atau ereklasse.
Pada kompetisi tahun 1936, beberapa pemain keturunan Tionghoa mulai unjuk gigi. Tak hanya sebagai pemanis, beberapa nama bahkan menjuarai kompetisi. Khoe Ho Tin dari klub Neutraal (Batavia) menjuarai kompetisi kelas dua dan bercokol di urutan teratas dengan mengumpulkan 7,12 poin.
“Perbedaan antara hitungan pertandingan dan praktik permainan cukup besar. Khoe menyadari hal itu untuk mengejar poin demi poin,” tulis Officieel Orgaan van den Java Biljart Bond, April 1936.
Mendahului Khoe, nama Tjoa Sie Lian harum hingga ke Negeri Belanda. Dia menjuarai kompetisi nasional kelas ketiga di Belanda pada 1934 dengan rata-rata 8,26 poin. “Tjoa datang ke negeri kami sebagai salah satu pemain terkuat. Dia salah satu pemain yang mendapat kehormatan class of honor atau ereklasse,” ujar Cees Sprangers.
Sekembalinya ke tanah air, Tjoa tak berhenti mencetak prestasi. Dia merebut kejuaran kelas utama Java Kampionschap 1936 dengan mengoleksi rata-rata 30 poin. “Ia mempunyai speltechniek yang tak ada bandingannya,” tulis Tjoa Sie Lian-Progammaboekje uit Indonesie 1950. Sodokan bolanya berhenti saat ajal menjemputnya pada 29 Agustus 1972. Jenazahnya kemudian dibawa ke Belanda untuk dikremasi.
Jago sodok keturunan Tionghoa lainnya bermunculan dan berebut peluang juara dengan para pemain berdarah Eropa. Kontestasi antarkeduanya terus mewarnai perjalanan Java Kampionschap maupun turnamen terbuka lainnya. Beberapa demonstrasi yang dilakukan di gelanggang bola sodok setelah Republik Indonesia terbentuk pun kerap mempertemukan jago keturunan Tionghoa dan pemain Belanda.
Tjoa Sie Lian, 1937. (Koleksi Cees Sprangers).
Prestasi Anak Negeri
Bola sodok kian digemari banyak kalangan setelah beberapa tempat membuka arena untuk umum. Sehingga dirasa perlu ada induk organisasi resmi untuk mendorong permainan ini menjadi cabang olahraga. Persatuan Olahraga Bola Sodok Seluruh Indonesia (POBSI) –kini Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia– lahir pada 9 Oktober 1953 untuk menjawab tantangan itu.
POBSI mengemban tugas penting di awal kelahirannya; tak lain untuk menata standar permainan bola sodok. “Standar permainan ini kurang mendapat pembinaan, sehingga dapat dipahami apabila dampak negatifnya pun berkembang,” tulis Riwayat Singkat Organisasi PB POBSI. Demi membuat nyata mimpi itu sekaligus melahirkan pemain terbaik, induk organisasi menggelar kejuaraan nasional. Pemain-pemain andalan tiap kota bertanding dalam ajang tersebut.
Di sesela kejuaraan nasional hadir jenis permainan baru yang berkembang pesat di Amerika, pocket billiard atau pool billiard. Permainan yang umumnya menggunakan bola sembilan, sepuluh, atau limabelas ini perlahan merambah arena biliar. “Walau belum memakai meja standar, di beberapa tempat sudah banyak yang mahir bermain pool,” ujar Made Suarjana, mantan atlet biliar pool tahun 1980-an. Banyak masyarakat pecinta biliar kemudian beralih memainkan jenis permainan pool.
Kendati demikian, dalam berbagai kejuaraan, permainan carom tetap menggeliat. Beberapa pertandingan sengit memperebutkan juara justru terjadi pada nomor carom. Satu nama penting pada medio 1960-an adalah Eddy Pasuter. Dia pernah memecahkan rekor seri terbaik 314 moyenne pada kejuaraan nasional di Surabaya tahun 1967 dan keluar sebagai juara. Tapi kegemilangan Eddy tak berlangsung lama. Muncul pesaingnya, Ananta Sigit dan Kempeng yang cukup tangguh dalam permainan ini. Di ajang kejuaraan nasional ketiga nama tersebut bergantian menduduki posisi pertama.
Pertarungan ketiga pemain itu berlanjut pada SEA Games di Jakarta tahun 1987 di mana cabang biliar kali pertama dipertandingkan. Tak tanggung-tanggung di partai final carambole bilyar jenis libre yang diadakan di lantai 12 Gajah Mada Tower mempertemukan Ananta Sigit dengan Kempeng. Ananta keluar sebagai peraih medali emas. Keesokan harinya dia juga mempersembahkan medali emas kedua untuk nomor carambole ancre-cadre dengan mengalahkan pebiliar asal Filipina, Effren Reyes.
Prestasi Indonesia di ajang SEA Games mengalami pasang-surut. Menurut Robby Suarly, mantan atlet sekaligus ketua bidang prestasi POBSI, kultur biliar di negara-negara Asia Tenggara sangat unik. Jenis permainan yang berkembang di suatu negara mengikuti jenis permainan yang dibawa penjajahnya. Misalnya, Indonesia kuat di nomor carom sementara Filipina menguasai nomor pool. Tiap negara unggul di masing-masing jenis permainan.
“Hanya saja di SEA Games aturannya tidak begitu ketat. Terkadang tuan rumah yang kuat di satu jenis permainan meniadakan nomor tertentu dengan alasan tidak jelas, agar tuan rumah hanya memainkan nomor yang dikuasainya. Dengan begitu tentu emas dapat diraih,” ujar Robby.
Jenis permainan pool sebenarnya tidaklah asing bagi pebiliar Indonesia. Nomor pool telah dipertandingkan di ajang kejuaraan nasional dan turnamen terbuka. “Permasalahan terbesar kala itu, para pemain tidak bertanding dengan menggunakan bola dan meja yang sesusai standar permainan pool. Kadang menngunakan bola yang ukurannya lebih kecil, atau menggunakan meja di bawah sembilan feet,” ujar Robby.
Indonesia juga telah lama tergabung dalam organisasi lingkup Asia yang menaungi jenis permainan pocket billiards. Bahkan, POBSI mengirimkan wakil ke sidang pembentukan organisasi pocket billiards se-Asia di Tokyo, Jepang, pada 13 November 1975. Sidang menyepakati Pangeran Tsuneyoshi Takeda sebagai presiden pertama. “Organisasi ini yang akan mengatur penyelenggaraan kejuaraan biliar se-Asia,” tulis Kompas, 22 November 1975. Organisasi ini adalah cikal-bakal Asian Pocket Billiard Union (APBU).
Permainan pool semakin dikenal luas masyarakat. Tokoh yang cukup berpengaruh memberi dampak luas dalam permainan jenis pool di Indonesia adalah seorang pemegang ranking dua dunia asal Jepang, Kazuo Fujima. Fujima didatangkan ke Indonesia pada Juni 1980 untuk melakukan serangkaian eksebisi. “Pertandingan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu dan teknik olahragawan biliar Indonesia,” ujar J.C. Tambunan, ketua penyelenggara, dalam Kompas, 24 Juni 1980.
Eksebisi Fujima berimbas cukup besar bagi penataan standar permainan pool, terutama bagi atlet yang menekuninya. Kejuaraan pool terbuka semakin semarak diadakan arena-arena biliar. Hadiahnya terkadang besar, bahkan mengundang pebiliar dari luar negeri.
Lambat laun Indonesia bisa berbicara di nomor pool. Bukan hanya mengimbangi, pemain Indonesia juga mulai sering mengalahkan Filipina. Faktor penting kemenangan itu adalah standar bola dan meja yang diterapkan dalam pertandingan. “Baru di SEA Games 1997 di Jakarta, pertandingan pool menggunakan meja sembilan feet dan bola ukuran standar,” ujar Robby. Sejak itu, nomor pool kerap kali menyumbang medali. Hanya di SEA Games 2009 tim pool Indonesia gagal membawa pulang medali.
Setelah kegemilangan tim biliar SEA Games 1997, permainan pool semakin mewabah. Bahkan, sebuah stasiun televisi swasta memiliki siaran rutin pertandingan pool terbuka yang diadakan di Bengkel Billiard Hall, sebuah arena biliar terbesar di Indonesia dengan fasilitas 120 meja dalam satu lantai.
Hingga kini permainan jenis pool merajai arena biliar Nusantara. Sulit menemukan arena yang menyuguhkan meja untuk permainan bola tiga.*