Riwayat Penghulu dari Masa Lalu

Sekarang tugas penghulu seperti tak jauh dari pernikahan. Di masa lalu, tugas penghulu tak hanya menangani hukum agama tapi juga politik hingga dikebari oleh pemerintah kolonial.

OLEH:
Muhammad Husnil
.
Riwayat Penghulu dari Masa LaluRiwayat Penghulu dari Masa Lalu
cover caption
Pengadilan di Pati, Jawa Tengah, tahun 1865-1876. Duduk di kursi dari kiri: Kapiten Tionghoa Oei Hotam, hakim anggota, Bupati Pati Raden Adipati Arya Tjandro Adinegoro, Residen P.W.A. van Spall, hakim ketua, panitera H.D. Wiggers, hakim anggota, penghulu Haji Minhat. (KITLV).

KERINGAT dingin membasahi tubuh Dedi Slamet Riyadi, 38 tahun. Setelah menuruni bukit, melalui tegalan sawah, dan menerabas sungai dengan sepeda motornya, dia tiba di tempat perhelatan: sebuah masjid kampung di Kuningan, Jawa Barat. Begitu masuk masjid, wajah dan berkas pernikahan yang dia jinjing sama-sama kusut. Tapi toh dia mesti menuntaskan pekerjaannya: menghadiri dan mencatat pernikahan.  

Sebagai penghulu, Dedi terbiasa menyantap medan seperti itu. Selama masih masuk wilayahnya, kapan pun dia mesti siap jika dibutuhkan masyarakat. “Pernah juga hari raya,” katanya.  

Tentu saja tugas penghulu bukan hanya menghadiri dan mencatat pernikahan. Sebagai pegawai negeri sipil, dia punya tugas lainnya. Dari perencanaan kegiatan hingga pengembangan kepenghuluan. Dari pengawasan pencatatan nikah/rujuk hingga pembinaan keluarga sakinah. Namun, meski tampak segambreng, sebenarnya tugas penghulu masa kini hanya berkutat di hukum keluarga dan pernikahan. Kedudukannya pun di kecamatan.  

Tugas itu tentu kalah jauh dibandingkan di masa lalu. Pada masa kesultanan Islam di Nusantara pada abad ke-15 hingga 18, penghulu menjadi salah satu dari tiga kekuatan selain raja dan patih. Tugasnya pun merentang dari hukum keluarga, mengurus masjid, sampai politik.

KERINGAT dingin membasahi tubuh Dedi Slamet Riyadi, 38 tahun. Setelah menuruni bukit, melalui tegalan sawah, dan menerabas sungai dengan sepeda motornya, dia tiba di tempat perhelatan: sebuah masjid kampung di Kuningan, Jawa Barat. Begitu masuk masjid, wajah dan berkas pernikahan yang dia jinjing sama-sama kusut. Tapi toh dia mesti menuntaskan pekerjaannya: menghadiri dan mencatat pernikahan.  

Sebagai penghulu, Dedi terbiasa menyantap medan seperti itu. Selama masih masuk wilayahnya, kapan pun dia mesti siap jika dibutuhkan masyarakat. “Pernah juga hari raya,” katanya.  

Tentu saja tugas penghulu bukan hanya menghadiri dan mencatat pernikahan. Sebagai pegawai negeri sipil, dia punya tugas lainnya. Dari perencanaan kegiatan hingga pengembangan kepenghuluan. Dari pengawasan pencatatan nikah/rujuk hingga pembinaan keluarga sakinah. Namun, meski tampak segambreng, sebenarnya tugas penghulu masa kini hanya berkutat di hukum keluarga dan pernikahan. Kedudukannya pun di kecamatan.  

Tugas itu tentu kalah jauh dibandingkan di masa lalu. Pada masa kesultanan Islam di Nusantara pada abad ke-15 hingga 18, penghulu menjadi salah satu dari tiga kekuatan selain raja dan patih. Tugasnya pun merentang dari hukum keluarga, mengurus masjid, sampai politik.

Penyempurna Tugas Sultan

Jejak penghulu sudah ditemukan pada masa permulaan Kesultanan Demak. Tugasnya menyempurnakan tugas sultan, yang selain sebagai kepala negara juga menjadi pemimpin agama. Penghulu berkantor di masjid agung. Bila menggelar sidang, ia melakukannya di serambi masjid.  

Raden Patah, sultan Demak pertama, menunjuk Pangeran Bonang sebagai penghulu pertama kesultanannya. Posisi Pangeran Bonang digantikan Makdum Sampang, lalu Kiai Pambayun. Pada periode Kerajaan Demak kedua, Pangeran Sabrang Lor menunjuk Rahmatullah sebagai penghulu, kemudian digantikan Sunan Kudus. Menurut Muhammad Hisyam dalam Caught Between Three Fires: Penghulu under the Dutch Colonial Administration, mereka berperan besar dalam menjembatani periode transisi antara Majapahit dan Demak.

Fungsi penghulu juga masih ajeg di masa Mataram. Ketika memerintah Mataram, Sultan Agung (1613–1645) mengangkat ulama sebagai pejabat anggota Dewan Parampara (Penasihat Tinggi Kerajaan). Selain itu terdapat Mahkamah Agama Islam yang mengurus soal-soal umat Islam. “Para pejabat yang menempati kedudukan tersebut adalah ulama yang kemudian menjadi abdi dalem (pegawai keraton) dalam urusan keagamaan dan dikepalai oleh penghulu,” tulis Ibnu Qoyim Isma’il dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial.  

Dengan mengutip Serat Wadu Aji, yang memuat aturan tentang sebutan, gelar, dan tugas para punggawa keraton Mataram, Hisyam menyatakan bahwa pangulu berarti sesirah atau kepala, pangajeng atau pemimpin.  

Menjabat sebagai kepala tertinggi dalam bidang keagamaan, penghulu bertugas menjadi hakim dalam kasus perceraian, mengurusi warisan atau wasiat, menjatuhkan hukuman mati, serta mendoakan raja dan keluarganya, bala tentara, dan masyarakat. Selain itu, penghulu mesti “ahli dalam bidang astronomi dan menguasai banyak kitab-kitab keagamaan, menjadi imam masjid agung, dai, dan guru agama,” tulis Hisyam. Untuk menjalani seabrek tugas itu penghulu memiliki pembantu.  

Karena diangkat sultan, jabatan penghulu mengikuti sistem administrasi kesultanan. Untuk tingkat istana disebut penghulu ageng. Bertugas mengelola semua urusan keislaman warga keraton, dia berstatus priayi dan disebut juga dengan nama abdi dalem pamethakan. Sementara itu, pejabat yang bertanggung jawab mengelola administrasi urusan Islam di tingkat kawedanan jaba atau regensi disebut penghulu lurah naib. Kecuali lingkup wilayahnya yang seluas regensi, tak ada perbedaan besar antara tugasnya dengan penghulu ageng: mengepalai pengadilan serambi, menjadi imam masjid, dan juga wali hakim.  

Naib adalah pembantu penghulu ageng tingkat panewon atau distrik. Dia adalah pejabat yang mengurus perkawinan dan perceraian di tingkat distrik. Sementara pembantu penghulu ageng tingkat paling rendah adalah kaum, yang bertanggung jawab untuk administrasi Islam di pedesaan.

Penghulu di Jambi, 1939. (KITLV).

Qadi dari Doa Sampai Politik

Menurut Hisyam, kendati keberadaan penghulu ditemukan di kesultanan-kesultanan di Nusantara, tak ada penyebuatan yang seragam. Di Jawa disebut pangulu atau kadang pengulu, di Melayu disebut penghulu, di Sunda disebut panghulu, dan di Madura dinamai pangoloh.  

Dalam beberapa hal, fungsi penghulu di Jawa sama dengan kadi (qadli) di kesultanan Melayu. Namun, tugas dan fungsi penghulu lebih luas ketimbang kadi. Bisa jadi, demikian kesimpulan Hisyam, kata kali dalam nama Sunan Kali Jaga, ulama besar di Kesultanan Demak, adalah terjemahan bahasa Jawa dari qadi.  

Berbeda dari Hisyam, Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan menyebutkan bahwa penghulu merupakan istilah di tanah Jawa untuk jabatan kadi. Keduanya sinonim. Melalui lembaga ini kerajaan-kerajaan di Indonesia menyebarkan ajaran dan praktik Islam. Artinya, kadi merupakan penanda penting islamisasi di Indonesia.  

“Islamisasi pada abad ketujuh belas di Indonesia ditandai dengan pendirian institusi hukum, kadi. Jabatan kadi menjelma menjadi satu lembaga Islam yang penting di banyak kerajaan,” tulis Jajat Burhanuddin, sejarawan dan dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam “Kerajaan-Oriented Islam: The Experience of Pre-Colonial Indonesia”, termuat dalam jurnal Studia Islamika Vol. 13, 2006.  

Jajat memperkirakan kadi sudah ada di Malaka sejak abad ke-15. Dia mendasarkan pada Sejarah Melayu yang beberapa kali menyebut kadi memiliki peran berpengaruh di pengadilan. Selain itu, Sultan Mahmud Shah, pemimpin Kesultanan Malaka, belajar muamalat kepada Kadli Munawar Shah. Sejarah Melayu juga menyebut Kadli Yusuf, ayah Kadli Munawar Shah, sebagai orang yang membuat masyarakat Malaka memeluk Islam.

Di Aceh, Sultan Iskandar Muda menjadikan kadi sebagai bagian dari proyek islamisasi kerajaan. Jabatan kadi dirancang sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk urusan-urusan agama, perkara kriminal, dan ekonomi. “Dengan kantor kadi, Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda memiliki sistem hukum yang cukup stabil. Karena itu beberapa gagasan tentang hukum Islam (syariah) dilaksanakan,” tulis Jajat.  

Di Kesultanan Palembang, tugas utama penghulu adalah mewujudkan ketenangan dan kebahagiaan rohani umat Islam. Pejabat paling tinggi dinamakan Pangeran Penghulu Nata Agama, sementara pejabat paling bawah disebut modin. Pangeran Penghulu Nata Agama berkedudukan di ibukota dan ruang lingkup tugasnya kesultanan. Untuk menjalankan tugas-tugasnya, dia dibantu bawahan berjumlah 39 orang. Total pejabat agama di Kesultanan Palembang berjumlah 40 orang. Jumlah ini sama dengan penghulu dan bawahannya di kerajaan Islam di Jawa.  

“Tampaknya penetapan jumlah tersebut dikaitkan dengan pendapat dalam mazhab Syafi’i bahwa untuk sahnya Salat Jumat, minimal jamaahnya berjumlah 40 orang. Ini dimaksudkan bahwa dengan 40 orang pejabat agama tersebut, walaupun belum ada jamaah lain, sembahyang Jumat tetap dapat dilaksanakan,” tulis Husni Rahim dalam Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang.  

Djaoedin Saragih, penghulu Siantar, Sumatra Utara, 1937. (KITLV).

Dalam upacara penerimaan upeti, salah satu acara penting kerajaan, penghulu duduk di sebelah kanan sultan; sementara patih duduk di sebelah kiri sultan. Posisi ini, menurut Husni, menunjukkan kesejajaran antara masalah pemerintahan umum yang diurus patih dan masalah agama yang dikelola penghulu.

Husni menjabarkan tugas penghulu ke dalam tiga bidang: ibadah, keluarga, dan kemasyarakatan. Dalam bidang ibadah, penghulu memimpin masjid dan menjadi juru doa di berbagai peristiwa dan upacara. Dalam bidang kekeluargaan, penghulu mengurus dan mencatat perkawinan dan menyelesaikan perselisihan suami-istri. Sementara dalam bidang kemasyarakatan, penghulu memberikan fatwa, menjadi juru rembuk, mengumpulkan dan membagikan zakat, memelihara harta wakaf, mengurus penyelenggaraan jenazah, memelihara pekuburan dan tempat keramat, serta menyembelih ternak.  

Dari semua tugas itu yang paling sering datang adalah menikahkan. Namun, di Kesultanan Palembang masing-masing tingkat memiliki ruang lingkupnya sendiri. Pangeran penghulu berwenang menikahkan anak sultan atau bangsawan; khatib penghulu mengawinkan orang yang tak punya wali dan bertindak sebagai wali hakim; khatib menikahkan masyarakat biasa di kampung-kampung.

Di Kesultanan Banten, kadi memegang peran penting. “Barangkali, lembaga Islam yang paling khas dalam negara Banten adalah jabatan qadhi (bahasa Jawa: kali) atau hakim tertinggi, yang di Banten memainkan peran politik yang lebih menonjol dibandingkan para qadhi di berbagai kerajaan di Jawa Tengah,” tulis Martin van Bruinessen dalam “Qadhi, Tarekat dan Pesantren: Tiga Lembaga Keagamaan di Kesultanan Banten” sebagaimana termuat pada Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat.  

Namun, dalam penelusuran Ayang Utriza Yakin, sejarawan dan filolog dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), di Kesultanan Banten penghulu dan kadi itu dua lembaga, bukan sinonim. Penghulu adalah bawahan kadi dan bertugas melayani masyarakat Islam dalam urusan hukum keluarga dan Islam di tingkat distrik. Sementara kadi adalah pejabat di tingkat pusat yang mengurus semuanya yang terkait urusan Islam.

“Segala persoalan hukum baik perdata dan pidana yang terjadi di tengah masyarakat Banten saat itu ditangani kadi. Jika terjadi perselisihan, maka dilaporkan ke kadi. Lembaga kadi memiliki struktur yang cukup besar untuk masa itu. Ia dibantu jaksa, hakim, penghulu, dan karta,” kata Ayang yang mengkaji keputusan-keputusan Peqih Najmuddin abad ke-17–18.  

Di Banten, jabatan untuk kadi disebut Peqih Najmuddin. Entol Kawista merupakan orang Banten pertama yang dianugerahi jabatan ini, setelah salah seorang kerabat istana bernama Pangeran Jayasantika menolak jabatan itu dan memilih menyepi ke Makkah. Istilah Peqih, menurut Ayang, berasal dari kata faqih dalam bahasa Arab yang berarti seseorang yang memiliki pengetahuan luas di bidang fikih atau hukum Islam. “Dalam gelar resmi itu tentu menunjukkan bahwa orang yang memangku jabatan kadi adalah orang yang mengerti fikih atau hukum Islam,” kata Ayang.

Sementara Najmuddin, menurut Martin, adalah nama pribadi yang cukup umum saat itu. “Pribadi paling terkenal yang memakai nama ini, sufi Asia Tengah abad ke-13, Najmuddin Al-Kubra, dipercaya sebagai guru pendiri dinasti penguasa Banten,” kata Martin.  

Tak hanya mengurus soal hukum Islam, wewenang kadi di Kesultanan Banten melebar ke bidang politik. Hal itu tampak jelas ketika kadi cawe-cawe dalam penunjukan sultan. Setelah Sultan Maulana Yusuf wafat, estafet kepemimpinan diperebutkan antara Pangeran Jepara dan Pangeran Muhammad. Sementara Pangeran Jepara disukai Patih Mangkubumi dan sebagian besar bangsawan istana lainnya, Pangeran Muhammad masih belum cukup umur. Namun, karena kadi campur tangan Pangeran Muhammad-lah yang menjadi sultan pengganti Maulana Yusuf.  

“Dalam contoh-contoh tersebut kadi tidak semata-mata berperan sebagai pemberi legitimasi kepada seorang penguasa de facto (sebagaimana yang umum terjadi di kebanyakan negara muslim) tapi merupakan penentu raja (king maker) yang sebenarnya,” tulis Martin.  

Tak hanya itu, Maulana Muhammad dan para pejabat tertingginya menyerahkan kekuasaan kota kepada kadi ketika mereka berangkat untuk menaklukkan Kesultanan Palembang.  

Kadi juga berperan penting dalam menjalin hubungan dengan pihak lain. Misalnya, dalam perjanjian-perjanjian kesepakatan antara Kesultanan Banten dan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Tanda tangan kadi bergandengan dengan stempel milik sultan.  

Setelah Banten dikuasai Belanda pada 1813, peran kadi perlahan dikikis. Jabatan Pekih Najmuddin dihapus pada 1868. Tak ada lagi penghulu tingkat pusat. Selanjutnya, penghulu untuk tingkat daerah dan sub-daerah ditunjuk pemerintah. Dan, dimulailah pengebirian tugas dan fungsi penghulu.

Penghulu di Minangkabau, Sumatra Barat, 1920. (KITLV).

Dikebiri Kolonial

Sebagai kelompok dagang, sebenarnya VOC tak ambil pusing dengan persoalan masyarakat muslim. Niat VOC di Hindia Belanda adalah menumpuk keuntungan. Namun, pada akhirnya mereka menganggap Islam sebagai elemen penting masyarakat jajahan mereka.  

Pada 1754 Gubernur Jenderal J. Mossel memerintahkan bawahannya menyusun hukum sipil dan adat yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat pribumi di Batavia. Setelah berkonsultasi dengan penghulu, ulama, dan pemimpin pribumi, ahli hukum D.W. Freijer mengeluarkan Compedium Freijer. Ikhtisar itu berisi hukum keluarga, waris, dan hukum perkawinan. Aspek hukum Islam termuat di dalamnya.  

Namun, peran penghulu mulai menyusut ketika VOC gulung tikar dan digantikan pemerintah Hindia Belanda. Dan itu dimulai oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808–1811). Daendels memasukkan penghulu sebagai penasihat hukum adat ke dalam struktur peradilan pemerintah. Mereka biasa dipanggil Kanjeng Penghulu Landraad.  

“Daendels adalah pejabat tinggi Belanda yang pertama kali menggunakan penghulu untuk keperluan pengadilan yang dilangsungkan pemerintah Barat,” tulis Ibnu Qoyim.

Namun, kewenangan penghulu terbatas pada hukum keluarga. Persoalan kriminal, pidana, dan perdata ditangani pengadilan negeri (landraad).  

Perubahan ini pernah mendatangkan kerumitan tersendiri. Yaitu ketika ada kasus yang terjadi pada 1863 di Lebak, Banten. Seorang penduduk di Lebak yang pernah menggadaikan sawahnya meninggal dunia sebelum sempat melunasi utangnya. Ahli warisnya bersedia membayar utang tersebut dan berharap dapat menggarap dan memiliki tanah itu kembali. Persoalan ini lalu diajukan ke pengadilan agama setempat.

Keputusan pun sudah keluar. Namun, dua tahun kemudian keputusan ini dibatalkan. Landraad menyatakan pengadilan agama tak berhak memutuskan kasus tersebut. Keputusan soal utang-piutang berada di tangan landraad. Karena ada silang pendapat, kasus itu dibawa ke Jaksa Agung dan Gubernur Jenderal. Para pembesar ternyata menyetujui pendapat landraad Lebak.  

Keberadaan penghulu dalam administrasi negara akhirnya diperkuat dengan terbitnya Staatsblad 1882 No. 152. Staatsblad itu memuat tujuh artikel yang mengatur priesteraad atau pengadilan agama. Di antaranya memuat aturan: di tiap-tiap landraad di Jawa dan Madura ada priesteraad (raad agama) yang luas daerahnya sama dengan landraad. Aturan ini menandakan bahwa posisi raad agama sejajar dengan laandrad. Namun kenyataannya, “keputusan mereka (raad agama, red.) harus dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada landraaden sebelum dikeluarkan,” tulis Hisyam.  

Dalam “Laporan Tentang Peradilan Agama Islam 1890”, termuat pada Kumpulan Karangan Snouck Hurgonje VII, Snouck Hurgonje, penasihat urusan pribumi pemerintah Hindia Belanda, menjabarkan lima tugas penghulu: sebagai kadi (memiliki kewenangan hukum yang bersifat pengadilan, kendati wewenangnya dipersempit), mufti (pemberi keterangan mengenai hukum suatu perkara tanpa wewenang menjatuhkan hukuman), juru nikah yang juga mengawasi perkara perceraian, pengurus zakat, serta penata usaha dan kepala masjid.

Tugas penghulu kian terkebiri ketika pemerintah mengeluarkan Staatsblad 1937 No. 116 yang menyatakan bahwa warisan bukan lagi kewenangan raad (pengadilan) agama melainkan landraad. Dan, sistem yang digunakan pun hukum adat, bukan hukum Islam.

Berbeda dari masa-masa sebelumnya, kali ini pemerintah mendapatkan respons balik dari penghulu. Pada tahun itu penghulu se-Jawa dan Madura mendirikan Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP). Melalui PPDP, mereka bersuara untuk menolak Staatsblad 1937 No. 116. Alasannya, “hukum yang hidup di antara rakyat muslimin di itu tempat 100 pCt. (persen) Islamistischrecht,” tulis Damai No. 1, Januari 1938.

Mereka berargumen bahwa hukum adat itu berubah-ubah. Sementara hukum Islam tetap dan takkan keluar dari garis Al-Qur'an dan hadis. Masyarakat muslim di Hindia Belanda sudah mempraktikkan hukum faraidl untuk pembagian warisan selama ratusan tahun. “Jadi kalau diubah memakai adatrecht, ini bernama mengubah agama juga,” tulis Damai.

Mereka juga mempersoalkan tercerabutnya peran pengadilan agama. “Raad agama itu seolah-olah tidak ada artinya sama sekali kedudukannya sebagai hakim agama Islam, yang sudah semestinya mengurus hukum agama Islam untuk rakyat Hindia Belanda yang beragama Islam, yang sama mengadukan perkara perkawinan, warisan dan lain-lain sebagainya dengan putusan menurut hukum syari dari agama Islam. Hal mana jikalau hak-haknya raad agama itu dipotong atau dikurangi sebagian saja, maka sifatnya raad agama itu seolah-olah seperti dicabut rohnya atau nyawanya,” tulis Damai.  

Penghulu yang pada era kerajaan Islam menangani hampir semua hal terkait masyarakat muslim menjadi hanya mengurusi hukum keluarga dan pernikahan. Tugas ini berlanjut hingga sekarang. Namun, tugas resmi dalam masalah pernikahan Islam di Indonesia tidak dibebankan kepada pengadilan agama, tetapi kepada badan administrasi lain dari Departemen Agama. Pejabat ini disebut sebagai Pegawai Pencatat Nikah di tingkat kecamatan dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah di tingkat desa. Pegawai Pencatat Nikah itulah yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan penghulu atau kadang disebut juga naib. Disebut naib (pengganti) karena menjadi pengganti wali yang tak bisa menikahkan putrinya.  

Tugas penghulu terkesan ringan. Namun, sejatinya mereka menanggung beban berat. Terutama penghulu di daerah seperti Dedi Slamet Riyadi, yang harus menempuh medan berat untuk melaksanakan tugasnya.*

Majalah Historia No. 25 Tahun III 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6651ddd1145d5eb248fa01c8
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID