Pemimpin DI/TII. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka).
Aa
Aa
Aa
Aa
KARAWANG, Jawa Barat, akhir Januari 1950. Kopral Nasilan Asmin, anggota intelijen Batalion Tadjimalela, mendadak harus pergi ke Ciranjang. Dia mendapat perintah untuk menyelidiki gerak mundur pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah milisi beranggotakan bekas anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang dipimpin Kapten R.P.P. Westerling, setelah menyerang Bandung.
“Kami mendapat informasi, setelah dipukul mundur dari Bandung, mereka akan bergabung dengan pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di wilayah Ciranjang,” ujar Nasilan, kini sesepuh di Ciranjang, kepada Historia.
Namun sebelum penyelidikan sempat dilakukan, di Cipeuyeum (kawasan dekat Ciranjang), sebagian besar pasukan APRA keburu dihabisi pasukan Divisi Siliwangi dari Batalion H pimpinan Mayor Soetojo. “Sebagian kecil meloloskan diri dan raib, diperkirakan bergabung dengan kelompok DI/TII di wilayah Cikalong Kulon,” ujar Nasilan.
KARAWANG, Jawa Barat, akhir Januari 1950. Kopral Nasilan Asmin, anggota intelijen Batalion Tadjimalela, mendadak harus pergi ke Ciranjang. Dia mendapat perintah untuk menyelidiki gerak mundur pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah milisi beranggotakan bekas anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang dipimpin Kapten R.P.P. Westerling, setelah menyerang Bandung.
“Kami mendapat informasi, setelah dipukul mundur dari Bandung, mereka akan bergabung dengan pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di wilayah Ciranjang,” ujar Nasilan, kini sesepuh di Ciranjang, kepada Historia.
Namun sebelum penyelidikan sempat dilakukan, di Cipeuyeum (kawasan dekat Ciranjang), sebagian besar pasukan APRA keburu dihabisi pasukan Divisi Siliwangi dari Batalion H pimpinan Mayor Soetojo. “Sebagian kecil meloloskan diri dan raib, diperkirakan bergabung dengan kelompok DI/TII di wilayah Cikalong Kulon,” ujar Nasilan.
Salah satu yang bergabung ke kubu DI/TII adalah C.H. van Kleef, bekas anak buah Westerling dan pernah menjabat inspektur polisi Belanda di Bogor.
“Sebagai anggota DI/TII, dia pernah bertugas di Bogor, Sukabumi, dan Ciranjang,” ujar Al Chaidar, sejarawan Universitas Malikussaleh, Aceh, yang juga peneliti sejarah gerakan DI/TII.
Pasukan APRA.
Tudingan Sukarno
Menurut Holk H. Dengel, sejarawan asal Jerman, kerjasama DI-APRA terutama terlihat di Bogor. Kesatuan DI yang beroperasi di daerah itu dilengkapi senjata-senjata dan amunisi dari APRA. Piet Colson, ajudan Westerling, berulang kali mendampingi perwira-perwira APRA pada pertemuan dengan komandan-komandan DI. Perwira-perwira TII juga sering bertemu dengan Westerling.
Dalam suatu pertemuan, Colson bertemu dengan van Kleef yang baru kembali ke daerah DI setelah penyerangan APRA atas kota Bandung. Colson pula yang membawa van Kleef yang saat itu sakit keras ke dokter di Bandung. Di Bandung, van Kleef diurus APRA.
Van Kleef disebut-sebut merupakan penghubung penting antara Kartosoewirjo dan Westerling. Dalam suratnya tanggal 10 Mei 1952, atas nama DI, van Kleef mengundang Westerling untuk mendarat di Indonesia, “sendiri atau dengan pasukannya”, sembari menyebut pantai utara Jawa Barat sebagai tempat terbaik untuk pendaratan rahasia dalam rangka bantuan pasukan sukarela untuk Negara Islam Indonesia (NII).
Dalam surat itu, van Kleef juga memberitahu Westerling bahwa pada tahun itu NII telah merintis hubungan diplomatik dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). Bahkan, AS mengirimkan seorang utusan untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada NII. Tapi, utusan itu berhasil ditangkap pemerintah RI.
“Kemungkinan Kartosoewirjo mengetahui semua hubungan dengan APRA dan dia secara diam-diam menyetujui hubungan itu, selama gerakannya dapat menarik keuntungan dari hubungan-hubungan tersebut,” tulis Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo.
Van Kleef menarik perhatian pers ketika dalam pidato Hari Pahlawan 10 November 1953, Presiden Sukarno mengutip surat Kartosoewirjo yang disita di mana nama van Kleef disebut untuk menunjukkan persekongkolan Belanda dengan DI/TII.
“Pidato Presiden Sukarno yang memukau memungkinkan kisah-kisah liar dan benar-benar tak berdasarkan yang dikemukakan pers,” tulis C.L.M. Penders dalam The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and Indonesia, 1945-1962. Sentimen anti-Belanda mencuat.
Pada Januari 1954, polisi menangkap sejumlah warga Belanda. Di antara yang ditangkap adalah Leon Nicholaas Hubert Jungschlager, eks anggota intelijen Belanda (NEFIS), dan Kapten Henricus Catharinus Johannes Georgius Schmidt, eks perwira KNIL, di Jakarta. Sementara van Kleef masih berada di tengah pasukan DI. Kasus Jungschlager-Schmidt kemudian diproses di pengadilan.
Jungschlager sedang diperikas dalam sidang pengadilan subversi di Jakarta, 8 Maret 1956. (Perpusnas RI).
Kasus Jungschlager-Schmidt
Rabu, 6 Juli 1955. Hakim G.A. Maengkom dan Jaksa Tinggi R. Soenario meninjau rumah dan perkebunan milik keluarga Pieter Reinier van Motman (1773-1821), tuan tanah pertama di kawasan Dramaga, Bogor –kini, Wisma Tamu IPB Landhuis. Rumah itu ditengarai menjadi tempat keluar-masuk senjata, amunisi, dan logistik untuk gerombolan bersenjata yang hendak melakukan aksi makar terhadap pemerintah.
R. Soenario dalam Proses Jungschlager menyebut rumah itu telah difungsikan sebagai markas besar dari sempalan APRA seperti Nederlandsch Indische Guerilla Organisatie (NIGO), White Eagles, Nederland zal Herrijzen (NzH) yang berpucuk pada beberapa warga Belanda. Di antaranya Jungschlager dan Schmidt.
Sadar kekuatannya kecil, kelompok-kelompok itu memutuskan tak bergerak sendiri. Mereka membangun kerjasama senyap dengan DI/TII. Selain memasok senjata dan tenaga tempur, Jungschlager dan Schmidt tak pernah putus membangun komunikasi dengan Kartosoewirjo.
Di persidangan, Haris bin Suhaemi (anggota DI/ TII yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Kartosoewirjo) memberikan kesaksian bahwa sepuluh hari sebelum APRA menyerang Bandung, pemimpin APRA (Westerling), pemimpin DI/TII (Kartosoewirjo), dan Kepala Negara Pasundan (Wiranatakusumah) menggelar suatu pertemuan rahasia di Hotel Preanger, Bandung.
“Selama pertemuan itu diputuskan bahwa, andaikan serangan terhadap Bandung sukses, wilayah Jawa Barat secara de facto menjadi teritori DI...,” tulis Subversive Activities in Indonesia: The Jungschlager and Schmidt Affair, diterbitkan Kementerian Luar Negeri Indonesia tahun 1957.
Haris juga mengatakan dalam pertemuan sebelumnya pada 1949 DI dan Westerling sepakat untuk melakukan aksi bersama di Jawa Barat. Dan faktanya, pada hari yang sama dengan aksi APRA di Bandung, pasukan DI melakukan serangan di dua kota lain di Jawa Barat: Tasikmalaya dan Garut.
Beberapa kali pula, menurut Haris, pemerintah Belanda lewat klik Jungschlager diam-diam memasok senjata dan amunisi ke basis-basis DI/TII. Bantuan itu didistribusikan melalui jalur udara, menggunakan pesawat-pesawat milik Bataafsche Petroleum Maatchappij (BPM), perusahaan minyak Belanda, dan pantai.
“Terutama di wilayah pantai selatan dekat pedalaman Garut,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Persidangan kasus ini menjadi santapan media. Bahkan informasi-informasi, entah benar atau tidak, berseliweran. Keng Po, 30 Oktober 1956 misalnya, menyebut adanya empat orang Belanda yang ikut dalam serangan DI/TII ke suatu pos Organisasi Keamanan Desa (OKD) di wilayah Cililin, Jawa Barat.
Orang-orang atau pemerintah asing yang dituduh terlibat menyangkal keras tuduhan-tuduhan itu. Begitu pula pihak DI/TII.
Selebaran yang dikeluarkan pihak tentara Indonesia untuk menangkap Ch. van Kleef. (Pusjarah TNI AD).
Colson menyebut tak pernah ada pertemuan antara Kartosoewirjo dan Westerling. Kesaksian Haris mengenai serangan DI di Tasikmalaya dan Garut juga meragukan. Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan menyebut memang ada peningkatan kegiatan DI sekitar waktu serangan APRA atas Bandung. Namun, “Tidak terjadi serangan massal oleh pasukan Darul Islam.”
Sebuah bantahan keras disampaikan Jenderal Mayor TII Djajasakti. Dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII) tertanggal 27 Desember 1955, Djajasakti menyebut semua itu hanya tipu muslihat gaya Republik Indonesia.
Djajasakti malah balik menuduh pemerintah RI “hilang akal” sehingga menciptakan figur-figur palsu dan dongeng-dongeng untuk menghancurkan nama DI. Sebagai contoh, dia menyebut Haris bin Suhaemi sebagai “saksi buatan” yang dimunculkan pemerintah RI. “Imam NII, S.M. Kartosoewirjo, tidak pernah mempunyai seorang ‘kurier pribadi/pengawal/vertrouwensman’, yang bernama Haris bin Suhaemi!” ungkap Djajasakti.
Djajasakti juga menyebut nama van Kleef, seorang keturunan Belanda yang memilih bergabung dengan NII dan punya nama samaran Wim Smits. “Teranglah, bahwa yang pernah datang ke daerah Cianjur dengan TII adalah W. Smits alias Ch. H. van Kleef, mujahid NII dan bukanlah Schmidt yang sekarang diperiksa di Jakarta,” ujar Djajasakti.
Djajasakti menganggap tuduhan jaksa R. Soenario sebagai absurd. Katanya, sesulit-sulitnya perjuangan melawan RI, DI/TII tak akan mempertaruhkan perjuangan itu lewat suatu kerjasama dengan orang-orang Belanda. “Belanda itu adalah musuh kami jadi menuduh kami bekerjasama dengan komplotan Jungschlager dan Schmidt itu adalah suatu perbuatan hina dina,” ujarnya.
Siapa Djajasakti masih diperdebatkan. Holk H. Dengel menyebutnya sebagai salah satu nama alias Kartosoewirjo. Sumber-sumber militer, misalnya buku Teguh-Tenang Menempuh Gelombang (1962) karya R.A. Kosasih, penguasa perang daerah (Peperda) Pangdam III/Siliwangi, menyebutnya sebagai nama alias van Kleef.
Setelah persidangan yang panjang, pengadilan memutuskan hukuman mati untuk Jungschlager. Namun, sebelum proses pengadilan usai, pada 19 April 1956 Jungschlager ditemukan meninggal dunia secara misterius di penjara.
Schmidt divonis hukuman 15 tahun penjara pada Oktober 1956. Setelah tiga tahun mendekam di balik jeruji besi, dia dibebaskan dan langsung dipulangkan ke Belanda. Begitu berkesannya pengalaman selama menjadi musuh pemerintah Indonesia, pada 1961 Schmidt menulis buku berjudul In de Greep van Soekarno (Dalam Cengkeraman Soekarno).
Senjata dan bendera DI/TII yang berhasil dirampas. Ch. van Kleef (kanan) disinyalir anggota APRA yang bergabung dengan DI/TII. (Repro Republik Indonesia Propinsi Djawa Barat, 1953).
Mati Syahid
Kendati alur kisah kerjasama DI/TII-APRA disajikan secara logis dan meyakinkan oleh Jaksa R. Soenario, banyak orang percaya persekutuan aneh itu hanya tipu-tipu gaya RI. Al Chaidar tak yakin adanya kerjasama tersebut. Kalaupun ada, dia menduga itu dilakukan klik yang sengaja diciptakan intelijen RI untuk merusak citra DI/TII.
J.C. Princen, bekas teman satu sel Schmidt di penjara Cipinang, Jakarta, juga tak yakin. Kata Princen, dalam otobiografinya Kemerdekaan Memilih, isu kerjasama antara eks APRA dan DI/TII, “sesuatu yang menurutku merupakan rekayasa.”
Princen adalah tentara Belanda yang membelot ke Divisi Siliwangi pada masa revolusi. Dia ditangkap polisi karena mengkritik pemerintahan Sukarno yang dianggapnya semena-mena karena mengeluarkan keputusan memerangi kaum pemberontak di Sulawesi tanpa persetujuan parlemen.
Satu-satunya yang menandai persekutuan itu adalah keberadaan Ch. van Kleef. Siapa dia?
Dalam dokumen APNII tertanggal 27 Desember 1955, Djajasakti bercerita tentang sosok van Kleef, seorang keturunan Belanda kelahiran 15 April 1915. Disebutkan van Kleef pernah menjadi pegawai pemerintah kolonial, sebagai polisi dan tentara. Sejak awal Februari 1951, dia memilih bergabung dengan NII, kendati tetap memeluk Katolik. Dia ikut kesatuan TII ke daerah Cianjur pada Juni 1951. Setelah sekira sebulan di kawedanan Ciranjang, dia bersama kesatuan TII kembali ke pangkalan semula.
Pada 15 Juli 1953, setelah dua setengah tahun bergaul dengan pasukan NII, atas kemauan sendiri van Kleef memeluk Islam, sehingga, tulis Djajasakti, “jadilah ia: mujahid, penggalang serta pendukung Negara Islam Indonesia yang volwaardig (penuh).”
Al Chaidar mengamini apa yang disebutkan Djajasakti. Berdasarkan hasil wawancaranya dengan seorang tokoh DI bernama Abdul Fatah Wirananggapati, van Kleef sungguh-sungguh saat bergabung dengan DI/TII. Itu dibuktikan dengan totalitas pengabdiannya, mulai bekerja sebagai staf diplomat hingga gerilyawan di hutan-hutan Jawa Barat.
Van Kleef menjadi saksi keruntuhan DI/TII. Sejak 1953, Kartosoewirjo kehilangan orang-orang kepercayaannya. Satu per satu gugur dalam pertempuran dengan tentara pemerintah atau tertawan. Praktis tinggal Sanusi Partawidjaja, yang menjabat majelis luar negeri NII. Dia pula yang mewakili Kartosoewirjo antara 1954 dan 1959 ketika Kartosoewirjo menarik diri ke kawasan-kawasan pegunungan selatan Jawa Barat.
Menurut Holk H. Dengel, Partawidjaja kemudian berkomplot dengan van Kleef untuk menentang kekuasaan Kartosoewrijo. Partawidjaja akan menggantikan posisi Kartosoewirjo, sedangkan van Kleef menempati jabatan menteri luar negeri. Rencana itu tercium Kartosoewirjo. Maka, Kartosoewirjo mengambil alih kepemimpinan NII dan kembali ke daerah pusat perjuangan DI. “Sekitar 1960 Partawidjaja dihukum mati oleh Kartosoewirjo,” tulis Dengel.
Dalam pandangan Al Chaidar, hukuman mati itu patut disesali. Mengapa? Karena berdasarkan hasil penyelidikan tim khusus yang kemudian dibentuk Kartosoewirjo, terbukti tuduhan kudeta Partawidjaja-van Kleef fitnah semata. Pelakunya adalah klik DI lain pimpinan Soedjojono. Berbeda dari Partawidjaja yang kadung dieksekusi, van Kleef terselamatkan oleh hasil temuan itu.
“Nama van Kleef kemudian dipulihkan dan ia diterima kembali masuk dalam lingkaran elite Darul Islam,” ujar Al Chaidar.
Gerakan Kartosoewirjo sendiri kian terdesak. Pada 1962, muncul seruan dari Kartosoewirjo kepada pengikutnya untuk turun gunung dan menyerah kepada pemerintah. Pada tahun yang sama Kartosoewirjo ditangkap, divonis hukuman mati oleh Pengadilan Mahkamah Militer, dan dieksekusi mati pada 12 September.
Seruan Kartosuwirjo ditanggapi beragam oleh pengikutnya. Sebagian besar patuh. Sebagian kecil meyakini itu tipu-tipu pemerintahan Sukarno dan memilih tetap melanjutkan perlawanan. Di antara kelompok kecil ini tersebutlah van Kleef.
“Saat bertahan itulah, van Kleef syahid dalam suatu pertempuran di suatu wilayah dekat Sukabumi pada sekitar tahun 1964,” ujar Al Chaidar.
Berakhirlah kisah van Kleef dan kegaduhan soal persekutuan aneh DI-APRA. Sejarah mencatat kegaduhan yang dilakukan APRA dan konflik berkepanjangan (13 tahun) antara pemerintah RI dan DI/TII menyebabkan sekitar 24.000 nyawa melayang serta penderitaan rakyat yang tak ternilai.*