PADA suatu hari di musim panas, saya menemukan makanan kemasan menarik bertulisan ‘Indisch Rendang Padang’ pada sebuah supermarket di Amsterdam. Tapi ini bukan rendang sembarang rendang. Rendang ini memang dijual lengkap dengan nasi, namun pada gambar di kemasannya tidak ada daun singkong, pasangan rendang di warung Padang. Yang ada malah brokoli sebagai sejoli. Bagaimana bisa rendang di Belanda bisa berbeda dengan yang disajikan di Ranah Minang maupun di berbagai restoran padang di Indonesia? Pertanyaan terpenting: Sejak kapan rendang ‘merantau’ ke Belanda dan bagaimana ia menyebar?
Salah satu catatan paling awal mengenai masuknya rendang dalam memori orang Belanda adalah buku masakan yang diterbitkan tahun 1903, dan kemudian dicetak ulang beberapa kali, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek (Buku Masakan Hindia Belanda Edisi Lengkap dan Baru). Buku itu ditulis oleh Nyonya J.M.J. Catenius van der Meijden. Mungkin inilah buku pertama yang merangkum hampir semua makanan tradisional di Hindia Belanda, plus sejumlah masakan Eropa dan Cina. Total ada 1.381 resep di buku ini, mulai dari ‘Empal daging’, ‘Sambel Betawi asem manis’, hingga ‘Dòdòl’ dan ‘Kwée poetoe’.
PADA suatu hari di musim panas, saya menemukan makanan kemasan menarik bertulisan ‘Indisch Rendang Padang’ pada sebuah supermarket di Amsterdam. Tapi ini bukan rendang sembarang rendang. Rendang ini memang dijual lengkap dengan nasi, namun pada gambar di kemasannya tidak ada daun singkong, pasangan rendang di warung Padang. Yang ada malah brokoli sebagai sejoli. Bagaimana bisa rendang di Belanda bisa berbeda dengan yang disajikan di Ranah Minang maupun di berbagai restoran padang di Indonesia? Pertanyaan terpenting: Sejak kapan rendang ‘merantau’ ke Belanda dan bagaimana ia menyebar?
Salah satu catatan paling awal mengenai masuknya rendang dalam memori orang Belanda adalah buku masakan yang diterbitkan tahun 1903, dan kemudian dicetak ulang beberapa kali, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek (Buku Masakan Hindia Belanda Edisi Lengkap dan Baru). Buku itu ditulis oleh Nyonya J.M.J. Catenius van der Meijden. Mungkin inilah buku pertama yang merangkum hampir semua makanan tradisional di Hindia Belanda, plus sejumlah masakan Eropa dan Cina. Total ada 1.381 resep di buku ini, mulai dari ‘Empal daging’, ‘Sambel Betawi asem manis’, hingga ‘Dòdòl’ dan ‘Kwée poetoe’.
Buku itu ditujukan kepada ‘handschoenenbruidjes’, para gadis muda Belanda yang menikah dengan orang Belanda yang bekerja di Hindia Belanda. Dus, buku itu merupakan buku babon bagi para jongedames ini sebelum tinggal dan hidup di Hindia. Bahkan buku ini merupakan salah satu buku ajar utama di Algemene Huishoudschool (Sekolah Rumah Tangga Umum) di Batavia.
Rendang (tertulis ‘Rendong’) berada pada entri nomor 402, di antara ‘Rarawon III’ dan ‘Rempah van rundvleesch’. Di sana dijelaskan bahan apa saja yang perlu dipersiapkan guna membuat rendang, mulai dari daging yang dipotong kecil, cabe, ketumbar, laos, bawang merah, kelapa parut, sereh, garam, dan ‘santen kentel’. Sehabis itu diterangkan bagaimana mengombinasikan bahan-bahan tersebut dengan tepat, mulai dari meramu bumbu-bumbu hingga memasukkan santan. Dan akhirnya ‘rendong’ pun klaar.
Sejarawan kuliner, Fadly Rachman, dalam bukunya, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870–1942, menyebut bahwa buku-buku resep karya Nyonya van der Meijden, termasuk yang dikutip di atas, berperan penting dalam memopulerkan makanan pribumi via rijsttafel di Belanda dan Hindia Belanda. Rendang tentunya ikut terkenal sebagai salah satu sajian pokok dalam rijsttafel.
Promosi Rendang
Mengingat pentingnya peranan buku di atas bagi ibu-ibu Belanda di koloni, bisa jadi mereka yang pernah tinggal di Hindia Belanda lalu kembali ke Belanda kemudian menjadi ‘duta rendang’ di sana. Salah satu ‘duta rendang’ ini agaknya adalah Everdina Broering, istri Dr. Soetomo, salah satu pendiri Boedi Oetomo. Pada 1919, pasangan ini tinggal di Amsterdam karena sang suami mendapat beasiswa. Mereka kerap mengundang mahasiswa Indonesia di sana untuk berdiskusi. Di tengah perdebatan, sang nyonya rumah menyediakan nasi rendang, atau nasi goreng, atau soto, pada tamunya.
Rendang pun masuk ke restoran-restoran ala Indis di Belanda. Waroong Bandoeng, sebuah restoran yang terletak di sudut antara Thomsonlaan dan Berkstraat, Den Haag, berpomosi pada musim dingin 1932, bahwa menu rijsttafel mereka terdiri atas nasi, sayur lodeh, rendang, sate, kerupuk dan acar. Restoran ini menyebut dirinya terkenal karena ‘kualitas prima, harga murah, persiapan yang baik, dan pelayanan yang menyenangkan’. Artinya, rendang bukanlah makanan kampung, namun identik dengan makanan berkelas, baik dari segi rasa maupun penyajian.
Bahkan dalam iklan pesan antar di surat kabar lokal rendang masuk dalam menu yang bisa dipilih. Dalam surat kabar Het Vaderland (Den Haag) tanggal 23 November 1934, Toko Bandoeng di Den Haag berpromosi bahwa mereka siap melayani pengantaran berbagai makanan Indis, mulai dari ‘Rendang Padang’ hingga ‘Soto Sappi Moeda’ dan ‘Seroendeng’. Selain menunjukkan bahwa rendang merupakan salah satu makanan Indis yang paling dikenal di era itu, iklan ini menyiratkan bahwa rendang pada era 1930-an sudah sepaket dengan ‘padang’. Jadi, tidak lagi semata-mata ‘rendang’, seperti tertulis dalam buku terbitan 1903 yang disebutkan sebelumnya.
Belanda Hingga Suriname
Rendang tak hanya dijumpai di Amsterdam dan Den Haag. Namun juga di kota yang jauh dari dua kota besar ini. Misalnya Leeuwarden di Provinsi Friesland, 160 km ke arah timur laut Den Haag. Sebuah rumah makan di kota yang terkenal sebagai basis produksi susu merk Bendera itu, R.M. Bloemsma, yang berlokasi di Oude Oosterstraat 3, pada era 1950-an menjual rupa-rupa masakan Indonesia, mulai dari ‘pepesan makreel’, ‘samb[al] taotjo’, ‘samb[al] lado teri’, dan ‘rendang’. Dalam dekade-dekade berikutnya, restoran Indonesia di Belanda yang menjual rendang semakin berkembang di berbagai kota.
Bahkan di Suriname juga muncul rendang. Pada awal 1970, sebuah pasar rakyat dibuka di sana. Suriname adalah dunia yang multikultural, dibangun oleh komunitas Afrika, India, Jawa, juga Belanda. Makanan yang dijual di pameran di atas sama beragamnya dengan latar belakang penduduknya, mulai dari karbonade dan biefstuk ala Belanda, hingga, yang daftarnya paling banyak, makanan ala Indonesia, termasuk ‘sajoer lodeh’, ‘nasi goereng’, ‘nasi koening’, ‘mangoot’, dan ‘rendang’.
Rendang Kalengan
Bagi orang Belanda, Indo, ataupun pribumi kalangan atas yang tak mau repot-repot mencari satu per satu bahan pembuat rendang, rendang instan adalah solusinya. CIP, sebuah produsen makanan kalengan asal Surabaya, pada 1950 menjual lima produk unggulan. Yakni, bumbu Bali, kerri, sambal goreng, pantjarempah, dan rendang (yang dipromosikan sebagai ‘een exquise lekkernij uit Sumatra’, sebuah kelezatan yang spesial dari Sumatra).
Di Negeri Belanda saat ini, bumbu rendang bisa didapat dengan mudah. Hampir semua jaringan supermarket besar di Belanda, seperti Albert Heijn dan Jumbo, menjual bumbu instan rendang. Kemasannya bermacam-macam. Toko Cina, seperti Oriental, dan toko Suriname, seperti Man Li Ho, adalah tempat lain untuk menemukan bubu rendang instan ini. Bumbu instan rendang bersaing dengan bumbu instan makanan ternama lain, misalnya kari dari India.
Rendang Kini
Di Belanda sekarang, rendang yang asli Minangkabau ini dikenal dengan beberapa istilah berbeda. Di antaranya, ‘rendang’, ‘rendang padang’ hingga ‘Indisch daging rendang’. Berbeda dengan pizza Italia yang sifat globalnya membuatnya sudah dikenal di mana-mana, rendang perlu diberi sedikit penjelasan pada kemasannya. Maka, rendang pun didefinisikan, mulai dari ‘pittig en romig Indonesisch stoofpotje’ (makanan Indonesia yang dimasak perlahan, rasanya pedas dan empuk) dan ‘gestoofd rundvlees in een specifieke Sumatraanse kokossaus, met witte pandan rijst’ (daging sapi yang dimasak dengan api kecil, dengan santan Sumatra yang khas, disajikan dengan nasi pandan).
Berhubung konsumen utamanya adalah warga Belanda, modifikasi pun dilakukan. Contohnya dengan menyandingkannya dengan sayuran umum di Belanda, semisal brokoli atau bayam, mengurangi kekeringan kuahnya, hingga mengganti nasi dengan mi kuning. Agar lebih tahan lama, di supermarket nasi dan rendang dijual dalam lemari pendingin bersama-sama pizza dan jus buah.
Komunitas Indonesia di Belanda merupakan salah satu dari mereka yang membuat rendang tetap hidup di negara yang jaraknya lebih dari 10.000 kilometer dari tanah asal rendang ini. Hari raya keagamaan, khususnya Idulfitri dan Iduladha, merupakan momen utama ketika rendang disajikan. Masjid-masjid yang dikelola komunitas Indonesia biasanya tidak hanya menggelar salat Id, namun juga jamuan makan seusai salat dan silaturahim sesama jamaah. Rendang merupakan menu pokok yang dipadukan dengan lontong dan telur, lalu disiram kuah opor. Dengan demikian, rendang saat Lebaran ini tidak hanya sebagai pengisi perut, namun juga obat rindu dengan tanah air yang jauh.
Di samping itu, rendang juga merupakan menu wajib di berbagai restoran Indonesia di Belanda. Dari warung makan ‘Selera Anda’ dan ‘Bunga Mas’ di Leiden hingga restoran Indonesia paling terkenal di Amsterdam, ‘Kantjil en de Tijger’, semuanya menjual rendang.
Orang Minang, baik yang bersekolah maupun yang tinggal di Belanda adalah ‘duta Minang’ untuk urusan rendang. Saat-saat berkumpul, baik untuk memperingati acara tertentu maupun untuk sekadar kongkow, tuan rumah, Uda dan Uni, selalu menyediakan rendang bagi tamunya. Jelas orang-orang Indonesia tidak akan melewatkan kesempatan ini: makan enak sembari menjalin silaturahim di negeri orang.
Dipilihnya rendang sebagai masakan terenak versi CNNgo pada 2011 mungkin tidak terlalu mengejutkan, dan hanya memperkuat persepsi selama ini mengenai kepopuleran rendang di lidah Belanda. Resep masakan Asia atau Indonesia, baik online maupun cetak, beberapa kali memuat cara pembuatan rendang. Sebuah majalah masakan terkenal di Belanda, Delicious, misalnya, pada edisi Oktober 2014 mengulas tentang masakan Asia. Rendang merupakan salah satu utusan dari Indonesia, selain sate, bakso, dan ayam zwaartzuur. Mereka bersanding dengan berbagai menu dari Cina, Jepang, India hingga, yang sedang tren, Korea.
Rendang padang ala Belanda umumnya tidak terlalu hitam, lebih mirip kalio dengan rasa pedas yang sedang. Lumayanlah untuk perut Belanda yang tidak terlalu kuat untuk makanan berbumbu tajam. Tapi barangkali mengecewakan bagi para penggemar nasi padang yang sudah merasakan rendang padang asli. Namun, kalau pintar mencari, di Belanda ada saja rendang yang lamak bana, yang membuat makan bertambah-tambah. Dan, sebagaimana kata seorang penulis Belanda yang mengulas tentang masakan Minang tahun 1957 di koran Het Vrije Volk (Rotterdam), kalau Anda makan di restoran padang, dan terasa kurang, yang perlu Anda lakukan cuma satu: “roept u, zo hard u kunt, ‘tamboeah’” (“berteriaklah sekuat tenagamu: ‘tambah’”) Jadilah, tambuah ciek randangnyo, meneer!
Penulis adalah sejarawan dan staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Mendapatkan gelar sarjana di Universitas Gadjah Mada, gelar master di Universiteit Leiden, dan gelar doktor di Universiteit van Amsterdam.