Romantisme Bemo Jakarta

Bemo didatangkan sebagai transportasi rakyat dan pengganti becak. Meski telah dilarang, bemo masih bandel beroperasi sebandel mesinnya.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Romantisme Bemo JakartaRomantisme Bemo Jakarta
cover caption
Bemo di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

SELEPAS Magrib, pelan namun pasti, kendaraan roda tiga itu merayap di antara padatnya kendaraan di jalan Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat. Raung mesinnya mirip erangan orang sakit tenggorokan, sewaktu-waktu siap meletupkan batuk. “Walau barang tua, gini-gini mesinnya bandel. Rugi Jepang dulu ngasih bantuan bemo ke kita. Barangnya bagus,” kata Khairul, berusia 54 tahun, dari balik kemudi sementara mata tuanya awas memperhatikan jalan.

Khairul, kelahiran Tanah Abang, membeli bemo pada 1980 dari seorang haji bernama Rahmat di Malang. “Bemo saya beli Rp1,5 juta waktu itu. Saya narik sejak 1980-an. Waktu itu tarikan masih bagus, penumpang masih banyak. Pertama narik, tarifnya cuma 50 perak. Sekarang orang rata-rata punya motor. Kredit motor gampang, DP 500 ribu saja sudah dapat motor,” keluhnya.

SELEPAS Magrib, pelan namun pasti, kendaraan roda tiga itu merayap di antara padatnya kendaraan di jalan Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat. Raung mesinnya mirip erangan orang sakit tenggorokan, sewaktu-waktu siap meletupkan batuk. “Walau barang tua, gini-gini mesinnya bandel. Rugi Jepang dulu ngasih bantuan bemo ke kita. Barangnya bagus,” kata Khairul, berusia 54 tahun, dari balik kemudi sementara mata tuanya awas memperhatikan jalan.

Khairul, kelahiran Tanah Abang, membeli bemo pada 1980 dari seorang haji bernama Rahmat di Malang. “Bemo saya beli Rp1,5 juta waktu itu. Saya narik sejak 1980-an. Waktu itu tarikan masih bagus, penumpang masih banyak. Pertama narik, tarifnya cuma 50 perak. Sekarang orang rata-rata punya motor. Kredit motor gampang, DP 500 ribu saja sudah dapat motor,” keluhnya.

Sebagai sopir bemo, Khairul sudah makan asam garam. Bemo ibarat kekasih baginya; banyak kisah terajut bersamanya, dari memikat hati calon istri hingga ditendang Satpol PP kala operasi penertiban.

Penuh dengan polesan dempul, bemo Khairul masih merambat malas. Di depannya, sekelompok remaja asyik berfoto ria di dalam bemo yang ditumpanginya. Mungkin dalam benak mereka, bemo itu layaknya barang antik yang mulai sulit ditemui. Sejak diterbitkannya Instruksi Gubernur No. 33 Tahun 1996 tentang Peningkatan Pelayanan dari Kendaraan Bemo menjadi Bus Kecil, bemo tinggal menunggu nasib. Aturan ini menyebut bemo sebagai kendaraan ilegal. Penertiban dan razia mulai kerap dijalankan. Bemo bakal menjadi sekadar kenangan.

“Saya tahu ada larangan bemo beroperasi, tapi ini penghasilan kami satu-satunya. Kalau tak ada penawaran solusi lain bagi para pengemudi, itu tidak manusiawi,” ujar Khairul. “Ya selama masih bisa gelinding dan masih ada penumpangnya, saya sih narik terus ajalah.”

Bemo bertahan di tengah ketatnya persaingan transportasi publik dan pelarangan oleh pemerintah DKI Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Transportasi Rakyat

Jakarta di tahun 1975. Seorang remaja berada di dalam bemo dari Gandaria menuju Blok M. Bagi seorang anak lelaki yang baru menginjak usia 14 tahun, ketertarikan terhadap lawan jenis lagi menggebu-gebu. Maklum, baru akil balig. Dia begitu menikmati duduk berdempatan di dalam bemo yang sempit.

“Wah serulah. Zaman dulu naik bemo itu istimewa banget,” kata Yahya Andi Saputra, ketua Lembaga Kebudayaan Betawi. “Buat orang Jakarta yang pernah merasakan hidup di tahun 1970 sampai 1990-an, atau bahkan dari 1960-an, pasti punya memori tersendiri terhadap bemo.”

Menurut Yahya, bemo beroperasi di Jakarta kali pertama pada 1962. Kedatangannya dimaksudkan sebagai salah satu transportasi penunjang event pekan olahraga negara-negara kekuatan baru dunia atau Ganefo pada November 1963, digagas Presiden Sukarno sebagai tandingan Olimpiade. Untuk memenuhi kebutuhan transportasi, pada 1963, Menteri Perindustrian Chaerul Saleh mengimpor 3.000 kendaraan buatan Jepang dengan nilai US$13,3 juta yang terdiri dari mobil Toyota, Mitsubishi, Mazda, Nissan, maupun kendaraan roda tiga untuk angkutan umum buatan Daihatsu, yaitu bemo.

Bemo atau becak motor merupakan kendaraan keluaran pabrikan otomotif Jepang, Daihatsu. Sejak 1951, Daihatsu memfokuskan produksinya pada kendaraan bermotor, terutama kendaraan
roda tiga yang kemudian diekspor ke berbagai negara. Di negeri asalnya, bemo bernama Daihatsu Midget. Fungsinya sebagai alat angkut barang. Awalnya Daihatsu memproduksi Midget tipe DK yang mulai dipasarkan Agustus 1957.

Dua tahun kemudian, Daihatsu mengeluarkan Midget tipe MP yang sudah menggunakan kemudi bundar –pada tipe DK, kemudinya berbentuk setang seperti sepeda motor, bermesin satu silinder, berkapasitas 305 cc, dan mampu menghasilkan tenaga 12 hp (horse power). Tahun 1960, Daihatsu mengeluarkan tipe MP4, dengan tubuh lebih panjang agar bisa mengangkut lebih banyak muatan. Midget MP4 inilah yang kemudian merambah jalanan di Indonesia.

Bemo-bemo hasil rakitan PT Transistor Radio Manufacturing di Cawang tahun 1962.

PT Transistor Radio Manufacturing –kelak menjadi PT Panasonic Gobel Energi Indonesia– kemudian menjadi pabrikan yang merakit kendaraan ini sejak 1962. Didirikan Thayeb Muhammad Gobel pada 1954, dengan pabrik di Cawang, perusahaan ini mulanya dikenal memproduksi radio merek Transistor dan Tjawang. Perakitan bemo sudah dimulai Juli 1962, yang direncanakan sebagai alat transportasi rakyat di Jakarta menggantikan becak. Sejak itu, bemo merambah ke kota-kota lain seperti Bogor, Bandung, Surabaya, Malang, Padang, dan Denpasar.

“Sebenarnya sejak 1961 bemo sudah masuk Indonesia. Saya ingat benar karena waktu itu Bundaran HI sedang dibangun. Pada akhir 1960-an hubungan Indonesia dengan Jepang kan sudah mulai membaik, urusan pampasan perang mulai diselesaikan, nah waktu itu barang-barang Jepang seperti bemo mulai masuk Indonesia,” kata Firman Lubis dalam Jakarta Tahun 1960-an.

Di Jakarta, bemo ibarat anomali. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota negara dan menjadi fokus pembangunan infrastuktur dan transportasi. Visi Sukarno akan modernitas ditunjukkan dengan pembangunan landmark macam Monumen Nasional, stadion Gelora Bung Karno, dan jalan-jalan raya modern.

Namun, menurut Peter J.M. Nas dalam The Indonesian Town Revisited, visi utopis Sukarno kurang mempertimbangkan realitas hidup dan kebutuhan sebagian besar warga metropolitan, termasuk fasilitas angkutan murah atau massal. “Karena itu layanan kendaraan umum seperti becak, bemo, dan angkot muncul untuk memenuhi kebutuhan akses masyarakat miskin seraya memberikan lapangan kerja bagi banyak pendatang baru di kawasan itu,” tulis Nas.

Menurut Firman, di awal beroperasi, bemo sempat malang melintang di daerah Menteng, mulai dari Pasar Boplo, di bilangan Jalan Latuharhary, ke arah Sarinah, SMA Kanisius, dan sekitarnya. “Karena kendaraan umum waktu itu masih sedikit, tak banyak pilihan, bemo pun jadi salah satu transportasi favorit,” ujarnya.

Khairul menjadi sopir bemo sejak tahun 1980-an. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Tersingkir

Kenangan Firman terhadap bemo adalah bentuknya yang unik. Dia selalu ingat seloroh warga Jakarta tempo dulu tentang bemo. “‘Awas kalau keserempet, catnya terkelupas, nanti ada tulisan Palmboom-nya’. Karena kualitasnya dianggap kurang baik, bemo sering disindir terbuat dari kaleng bekas margarin,” kata Firman.

Di Jakarta, bemo mulai dipinggirkan pada 1971, disusul Surabaya, Malang, dan Surakarta. Bemo makin menghilang dari daerah-daerah Indonesia. Terlebih, setelah memproduksi lebih dari 300 ribu unit Daihatsu Midget, tahun 1972 Daihatsu menghentikan produksi kendaraan niaga kecil ini. “Mulai tahun 1971, bemo sudah tidak boleh lagi masuk daerah-daerah protokol seperti Menteng atau Sudirman. Mulai terpinggir ke daerah-daerah seperti Manggarai dan Benhil,” ujar Firman.

Sejak awal, bemo dimaksudkan sebagai kendaraan pengganti becak yang melayani penumpang untuk jarak dekat. Kendaraan ini sangat praktis, mampu menjangkau jalan-jalan yang sempit, dan dianggap lebih manusiawi ketimbang becak. Kehadiran bemo dikukuhkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1 Desember 1971, ditandai dengan kebijakan mengganti becak dengan bemo. Untuk mendukung kebijakan ini, Pemprov membatasi daerah operasi becak. Pemprov juga menetapkan sejumlah tempat yang boleh dijadikan tempat mangkal bemo seperti Manggarai, Mangga Besar, Stasiun Kota, dan Salemba Tengah. Perlahan, bemo mampu menyingkirkan becak yang kemudian dihapus dari wilayah Jakarta pada awal 1990-an.

Di tengah upaya itu, pemerintah juga sudah memikirkan transportasi alternatif. Pada 1976, pemerintah membentuk PT Metro Mini untuk mengoperasikan armada bus yang akan menggantikan bemo dan opelet. Pada 1980, beroperasi pula mikrolet. Namun bemo tetap sulit dibersihkan dari jalanan ibu kota dan kota-kota lain. Pada 1979 saja, misalnya, seperti ditulis Venkatachala Setty Pendakur dalam Urban Transport in Asean, masih ada 9.800 bemo yang beroperasi di Jakarta dan 2.000 bemo di Surabaya pada 1976. Untuk transportasi jarak dekat, tak ada pilihan lain.

“Memasuki 1985–1986 rutenya makin pendek,” ujar Firman.

Bemo masih diminati warga Jakarta untuk transportasi jarak dekat. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Akhirnya, setelah 25 tahun beroperasi, dengan alasan memberi pelayanan angkutan umum yang lebih baik kepada masyarakat, bemo dinyatakan dihapus, sesuai dengan Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 33 tanggal 26 Januari 1996. Belakangan terhitung 6 Juni 2017 bemo dilarang beroperasi di Jakarta. Namun, bemo masih bandel beroperasi, sebandel mesinnya.

“Di Bogor masih beroperasi. Kalau di Jakarta, ada di Manggarai, Benhil, dan Pademangan. Kalau untuk suku cadang onderdil, walau Daihatsu sendiri sudah tidak produksi, masih ada. Di daerah Tanah Abang masih ada yang jual. Barang aspal, asli tapi palsu,” kata Khairul.

Namun, seiring tindakan penertiban yang mulai kerap dilakukan pemerintah Jakarta, Khairul sudah mulai memikirkan banting setir ke pekerjaan lain. Sementara bemonya akan dia bawa pulang ke Slawi, kampung istrinya, buat kenang-kenangan.

Pada 1960-an, kakak-beradik Chandra Soeharto dan Purnomo yang berusia 20 tahunan sering berada di pangkalan bemo di daerah Harmoni, Jakarta. Sang kakak jadi sopir dan adiknya kernet. Mereka mencari makan dan biaya sekolah dengan bemo itu, selain mengangkut telor usaha keluarga ini. Ibu mereka, Mutiara, mendapat kesempatan membeli bemo dengan harga murah dari Departemen Perindustrian pada 1962. Ayah mereka tidaklah miskin. Dia, Djokosoetono, ahli ilmu negara Universitas Indonesia. Orang tua mereka ingin mereka belajar hidup mandiri. Ketika sang ayah meninggal dunia, sang ibu mengarahkan mereka untuk beralih dari bemo ke taksi. Kelak, mereka berhasil mengembangkan usaha taksi itu, yang sekarang dikenal sebagai Blue Bird.*

Majalah Historia No. 5 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
645cd8fb53dde571303ffb46