Runtuhnya Taipan Istana

Semasa jayanya, Sang Kapten merupakan konglomerat andalan Bung Karno yang royal dan loyal. Rezim Orde Baru menggulung habis kerajaan bisnisnya.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Runtuhnya Taipan IstanaRuntuhnya Taipan Istana
cover caption
Ilustrator: Betaria Sarulina

Asmawi Lida membolak-balikan foto di album lawas peninggalan mendiang ayahnya, Sulaiman Lida. Kendati sudah lusuh, lembar demi lembar foto masih terlihat jelas. Menampilkan kebersamaan dan keakraban Presiden Sukarno dengan para pembesar negeri. 

“Enggak berani dulu kita keluarkan ini, Pak. Selama zaman Soeharto album foto itu saya simpan di rumah. Enggak saya buka-buka. Saya diamkan saja di rumah. Mana tahu suatu saat nanti akan ada gunanya,” ujar Asmawi, lelaki pensiunan berusia 69 tahun.

Album foto tersebut merekam acara penggalangan dana di Istana Negara yang dihelat pada 9 Juli 1964. Pada malam itu, ratusan hartawan yang terdiri dari pengusaha, pedagang besar, dan menengah hadir memenuhi undangan. Ketika Presiden Sukarno muncul, orang-orang memberi hormat. 

Seperti biasa, Bung Karno memulainya dengan berpidato menyampaikan maksud pertemuan itu. Dia mengharapkan para pengusaha berkenan membuka dompet lebar-lebar guna menyokong Operasi Dwikora atau Dwi Komando Rakyat demi menggagalkan rencana berdirinya Federasi Malaysia. Bung Karno kemudian menyebut satu persatu nama pengusaha. Sumbangan dana pun mengalir dari para pengusaha. 

Asmawi Lida membolak-balikan foto di album lawas peninggalan mendiang ayahnya, Sulaiman Lida. Kendati sudah lusuh, lembar demi lembar foto masih terlihat jelas. Menampilkan kebersamaan dan keakraban Presiden Sukarno dengan para pembesar negeri. 

“Enggak berani dulu kita keluarkan ini, Pak. Selama zaman Soeharto album foto itu saya simpan di rumah. Enggak saya buka-buka. Saya diamkan saja di rumah. Mana tahu suatu saat nanti akan ada gunanya,” ujar Asmawi, lelaki pensiunan berusia 69 tahun.

Album foto tersebut merekam acara penggalangan dana di Istana Negara yang dihelat pada 9 Juli 1964. Pada malam itu, ratusan hartawan yang terdiri dari pengusaha, pedagang besar, dan menengah hadir memenuhi undangan. Ketika Presiden Sukarno muncul, orang-orang memberi hormat. 

Seperti biasa, Bung Karno memulainya dengan berpidato menyampaikan maksud pertemuan itu. Dia mengharapkan para pengusaha berkenan membuka dompet lebar-lebar guna menyokong Operasi Dwikora atau Dwi Komando Rakyat demi menggagalkan rencana berdirinya Federasi Malaysia. Bung Karno kemudian menyebut satu persatu nama pengusaha. Sumbangan dana pun mengalir dari para pengusaha. 

Teuku Markam, pengusaha karet ternama asal Aceh, yang sudah menyumbang Rp50 juta mendekati Oey seraya berbisik. “Pak Haji Karim, kalau saya diizinkan memeluk Presiden, maka saya kasih lagi Rp50 juta.” 

Pesan itu diteruskan kepada Bung Karno tapi mendapat jawaban datar: “Ah, ada-ada saja.” Oey membujuk, “Cuma dipeluk saja.” Sukarno setuju. 

Teuku Markam bersama Presiden Sukarno dalam acara “Malam Dana Dwikora di Istana Negara, 9 Juli 1964.” (Dokumen pribadi Teuku Markam)

Markam pun merangkul Presiden. Hadirin tertawa ramai. Keluar cek senilai Rp 50 juta dari kantong Markam. Siapa nyana, Markam mendekati Oey lagi sambil berkata, kalau diizinkan mencium Presiden, dia menambah Rp100 juta. 

Ketika keinginan itu disampaikan, Bung Karno menolak. Namun Oey kembali membujuk, “Apalah artinya dicium pipi sejenak, dana akan bertambah 100 juta. Itu bukan sedikit.” Bung Karno bersedia. Markam mencium pipi Presiden. Hadirin semakin riuh. Dana bertambah Rp 100 juta ke kas negara. 

Apa yang terjadi pada acara penggalangan dana itu dikisahkan Haji Abdul Karim Oey, pengusaha Tionghoa, dalam memoarnya Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa: Sahabat Karib Bung Karno. Acara berlangsung sukses. Dana terkumpul mencapai Rp650 juta –melebihi target. Dari jumlah itu, sebanyak Rp300 juta merupakan sumbangan atas nama Markam. 

Markam puas. Foto-foto acara penggalangan dana itu diabadikannya dalam sebuah album foto bertajuk “Album Kenang-kenangan Malam Dana Dwikora di Istana Negara, 9 Djuli 1964”. Lalu digandakan untuk dibagikan kepada pejabat dan relasi serta seluruh cabang perusahaannya, PT Karkam. 

Asmawi Lida masih menyimpan album foto itu. Ayahnya, Sulaiman Lida, merupakan sepupu sekaligus pegawai Markam yang mengurusi perkebunan karet di Pekanbaru.

“Ketika pabrik karet Markam dikuasai pemerintah Orde Baru, barang-barang yang bersangkutan dengan Pak Markam semuanya dibakar. Hanya ada berkas album foto itu yang diselamatkan oleh ayah saya,” ujar Asmawi. 

Album foto itu menabalkan citra Markam sebagai “anak emas” Sukarno, kedekatan yang andil dalam keruntuhan imperium bisnisnya.

Pasukan Heiho. (wikimediacommons)

Mundurnya Sang Kapten 

Teuku Markam lahir di Panton Labu, Aceh Utara pada 12 Maret 1924. Ayahnya, Teuku Marhaban, seorang kepala kampung (keuchik). Ibunya sudah meninggal dunia sejak Markam kecil.

Tumbuh dari keluarga berada, Markam bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum untuk bumiputra. “Itu pun jarang masuk, paling dua kali seminggu,” ujar Markam dalam Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.

Pengasuhan yang timpang menyebabkan pendidikannya terbengkalai. Markam menuturkan dirinya terbilang anak bandel yang malas sekolah. Ketika kelas 5, Markam berhenti sekolah. Oleh ayahnya, Markam dimasukkan ke madrasah dengan harapan menjadi seorang Islam yang taat serta tidak sekular.

Pada usia 9 tahun, kemalangan menimpa Markam lagi. Ayahnya meninggal dunia. Markam selanjutnya dibesarkan oleh sang kakak, Cut Nyak Putroe. Tidak banyak catatan tertulis yang merekam aktivitas masa remaja Markam hingga tentara Jepang datang.  

Pada masa pendudukan Jepang, Markam bergabung dalam barisan tentara sukarela Heiho. Pendidikan wajib militer dijalaninya di Kutaraja (Banda Aceh). Dia kemudian diberi pangkat setingkat letnan dua dan ditempatkan di Manila ketika Jepang mempertahankan Filipina dari serbuan Sekutu. 

Ketika perang usai, Markam berada di Singapura. “Dari sana saya menyelundupkan senjata ke Pekanbaru, untuk perjuangan,” ujar Markam. Dia kemudian ditarik menjadi anggota TNI. Sepulangnya ke Sumatra, Markam terlibat dalam pertempuran Medan Area di front Tembung. 

<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/627dffbc88001300a97fa484_Intersection%2013.jpg" alt="img"></div> <figcaption>Letnan Jenderal Gatot Subroto (tengah). (Perpusnas)</figcaption></figure></div>

Pada 1950, Kapten Markam ditugaskan sebagai perwira di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) II/Operasi. Dia kemudian ditunjuk sebagai ajudan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Gatot Subroto.

Selama satu dekade lebih Kapten Markam mengabdi di kemiliteran Indonesia. Pada 1957, Markam pamit undur diri kepada Gatot Subroto. Perselisihan dengan atasannya yang berpangkat mayor jadi penyebab.

“Saya tidak sanggup angkat tabik (menghormat) saban hari pada Mayor,” kata Markam.

Hasbullah dalam buklet terbitan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh berjudul “Teuku Markam: Kisah Muram Seorang Filantropi Bangsa”, menyebut Markam berkonflik dengan Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Mayor Teuku Hamzah. Akibatnya, Markam sempat ditahan. Konflik itu akhirnya dapat didamaikan oleh Panglima Kodam Iskandar Muda Kolonel Sjamaun Gaharu. 

Pensiun dari tentara, Markam terjun ke dunia bisnis. Usaha pertama yang dirintisnya adalah penyamakan kulit yang dinamai PT Karkam –singkatan dari Kulit Aceh Raya Kapten Markam. Perusahaannya kemudian merambah bidang konstruksi dan perdagangan.

Raja Karet Sumatra

Berkat Gatot Subroto, Markam diperkenalkan dengan Presiden Sukarno. Hingga sekali waktu dia ditugaskan oleh Bung Karno untuk mengurusi perpindahan ibukota Provinsi Riau yang baru terbentuk dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Bung Karno berharap Pekanbaru tumbuh sebagai pusat perekonomian di kawasan Kepulauan Riau. 

“Kalau secara lisan saya tidak sanggup, Ayahanda,” kata Markam. Begitulah Markam mengambil hati orang nomor satu di Indonesia. 

Perintah tertulis dari Bung Karno keluar. Pembangunan harus rampung dalam lima tahun. Namun Markam menyelesaikannya hanya dalam kurun tiga tahun. 

Sejak itu hubungan Markam dengan Bung Karno semakin rapat. Bisnisnya pun kian moncer. Terlebih setelah Sukarno membentuk Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) pada April 1962 untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi.

KOTOE dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Di Riau, Gubernur Kaharudin Nasution ditunjuk sebagai pembantu KOTOE. Salah satu kebijakan yang ditempuh Kaharudin adalah menunjuk PT Karkam untuk menampung persediaan karet rakyat yang melimpah dan mengekspor ke luar negeri.

Ilustrasi kebun karet. (Shutterstock)

Markam menangkap peluang untuk menguasai karet di Riau di bawah bendera PT Karkam. Dia memborong karet rakyat dan mengekspornya ke Singapura.

“PT Karkam cukup terkenal dan membeli karet rakyat di daerah Riau dengan harga yang sangat murah, ada kalanya dibayar dengan kupon yang menyatakan akan dibayar kemudian,” kata Probosutedjo dalam Keimanan Guru Pengusaha.

Markam tahu berterima kasih. Kelak, dia memberikan sumbangan kepada Gubernur Nasution sebesar Rp300.000.000 untuk pembangunan masjid di Riau, jalan di Pekanbaru, dan perbaikan kantor Kejaksaan Negeri Riau. Sumbangan ini diberikan saat peringatan delapan tahun Provinsi Riau.

Kebijakan “Ganyang Malaysia” yang diusung Sukarno membawa berkah lain bagi Markam. Pemerintah memutuskan semua hubungan ekonomi dengan daerah-daerah yang menamakan diri sebagai bagian dari Federasi Malaysia, terutama Malaya dan Singapura, serta melaksanakan “dedolarisasi” di Kepulauan Riau.

Dilansir Antara 24 Desember 1963, PT Karkam diminta oleh pemerintah pusat untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi ke daerah-daerah yang berbatasan dengan Federasi Malaysia. Salah satu yang dilakukan PT Karkam adalah mendirikan remilling (pabrik pengolahan) karet di Teluk Kuantan, Riau. Selain itu, PT Karkam ambil bagian dalam pembangunan gudang-gudang di Pelabuhan Dumai yang memiliki kapasitas 12.000 ton untuk menampung produk-produk ekspor yang dikirim melalui pelabuhan ini.

<div class="quotes-center font-g">Setiap kali saya datang ke Istana, presiden memerintahkan saya untuk membangun gudang dan pelabuhan, yang saya lakukan. - Teuku Markam</div>

Kebijakan “Ganyang Malaysia” diikuti tindakan terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan asing. Di Riau, hak pengusahaan beberapa perkebunan karet dibatalkan pemerintah dan diberikan kepada PT Karkam. Praktis, PT Karkam memiliki lahan perkebunan karet yang tersebar di berbagai kawasan mulai dari Air Molek, Pekanbaru, Rengat, hingga Aceh. 

PT Karkam memonopoli perdagangan karet untuk kawasan Sumatra. Sementara Markam menyandang reputasi sebagai raja karet.

Untuk mengelola usahanya, Markam mempercayakan pada orang-orang terdekatnya. “Banyak yang dipakai di perusahaan Karkam itu masih saudara. Bahkan wakil Pak Markam itu, Pak Hanafiah, masih saudara sepupu Pak Markam,” ujar Asmawi.

“Orangnya agak strenglah. Kalau anak buahnya salah, dia hukum terus, enggak peduli. Namanya bekas tentara ya kan. Disiplin betul,” ujar Asmawi menurut penuturan mendiang ayahnya.

<div class="video-content"> <video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/Runtuhnya-Taipan-Istana/Teuku%20Markam%202.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/Runtuhnya-Taipan-Istana/Teuku%20Markam%202.mp4"></video></div>

Pengusaha Istana

Kedekatan Markam dengan Presiden Sukarno memungkinkannya bebas keluar-masuk Istana. Dia kerap mendapat panggilan tugas penting atau sekadar menemani Sukarno dalam jamuan minum kopi pagi-pagi. 

“Waktu itu kan saya anak angkat Bung Karno,” kata Markam dikutip Sinar Harapan, 13 April 1977.

Markam kemudian dikenal sebagai pengusaha istana yang tergabung dalam kelompok “Benteng Sepuluh”. Para taipan “Benteng Sepuluh” menjadi penopang dana untuk kepentingan revolusi yang digaungkan Sukarno. Sebagai imbalannya, mereka menerima fasilitas impor berbagai jenis kendaraan maupun mendirikan industri yang diberi proteksi. Mereka juga adalah penasihat Sukarno di luar para menteri. Tak heran julukan “kabinet bayangan” melekat pada kelompok pengusaha istana ini. 

Selain Markam, anggota kelompok “Benteng Sepuluh” adalah  Hasjim Ning, Dasaad Musin, Abdul Karim Oey, Rahman Tamin, Maratua Panggabean, T.D. Pardede, Ibrahim Tambunan, Potan Harahap, dan Abdurahman Aslam (berasal dari Makassar, dan jadi satu-satunya pengusaha non-Sumatra). 

Menurut Hasjim Ning dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Markam termasuk segelitir pengusaha yang memperoleh deferred payment (DP), izin istimewa untuk mengimpor berbagai komoditas secara bebas. Sebagai kompensasinya, pemerintah mendapat Rp17 per dolar dari total nilai yang diperdagangkan. Dampaknya, lini usaha PT Karkam beranak-pinak dan merambah berbagai sektor. 

Teuku Markam bersama Presiden Sukarno dalam acara “Malam Dana Dwikora di Istana Negara, 9 Juli 1964.” (Dokumen pribadi Teuku Markam)

Pada Maret 1965, Markam memperoleh lisensi impor produk buatan Jepang seperti mobil Nissan, suku cadang, dan semen Asano. Tak pelak, Markam menjadi salah satu pengusaha nasional yang tajir-melintir di seantero tanah air. 

“Dia memang megang ekspor-impor karet. Yang memasukkan mobil Jepang ke Indonesia, Markam juga yang pegang, kalau tidak salah mobil jip Nissan Patrol,” kata Asmawi.

Dalam persidangan kasus subversf Jusuf Muda Dalam, mantan Menteri Urusan Bank Sentral, Markam yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan dia menerima deferred payments khusus dari Adam Malik (kala itu Menteri Perdagangan sekaligus Wakil Panglima Operasi ke-I KOTOE), atas perintah presiden. Dia menerima dua kali; yang pertama sebesar 5 juta dolar dan kemudian 10 juta dolar. 

Markam juga mengatakan Presiden Sukarno punya rencana khusus untuk PT Karkam. Kata Markam, presiden mengubah nama PT Karkam menjadi PT Alat Revolusi pada 1965 (tepatnya 12 Februari) dan dia harus melaporkan kemajuan perusahaannya kepada presiden setiap Sabtu. Peresmian dilakukan dalam suatu upacara di Istana (tanpa dihadiri pejabat-pejabat lain). 

“Setiap kali saya datang ke Istana, presiden memerintahkan saya untuk membangun gudang dan pelabuhan, yang saya lakukan.”

<div class="quotes-center font-g">Kekayaannya sangat besar. Bahkan ada yang menilai 25% dari uang yang beredar, sesudah sanering Rp 1000 menjadi Rp 1, adalah milik PT Karkam. - Probosutedjo</div>

Setelah Pelabuhan Dumai, Markam membangun gudang-gudang di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Untuk keperluan itu dia menemui Bung Karno. Dilansir Duta Masjarakat 19 Juli 1965, pertemuan khusus digelar di Istana Merdeka antara Markam, Presiden Sukarno, dan Menteri Dalam Negeri/Gubernur Djakarta Raya Dr Sumarno.

“Pada kesempatan itu Presiden telah membicarakan kembali dengan pengusaha Markam sekitar pembangunan gudang-gudang besar PT Karkam di Jalan Jos Sudarso Djakarta By Pass,” tulis Duta Masjarakat.

Sumarno menyambut dan mendukung ide Presiden. Sementara Markam menyatakan, dengan restu presiden, perusahaannya sedang membangun 10 buah gudang besar dengan daya tampung barang 30.000 ton.

Dengan persetujuan presiden pula, Markam mendapat kemudahan untuk membeli tanah, perkebunan, hingga kapal. Sebagai imbal baliknya, PT Karkam menjadi “alat revolusi” untuk menggerakkan perekonomian nasional. PT Karkam misalnya memenuhi instruksi Presiden Soekarno untuk mengekspor 1.115 ton karet dari Dumai dan 5.000 ton kopra dari Makassar ke Eropa.

Dengan kantor pusat di Jalan Pintu Besar Selatan No. 97 Jakarta Barat, PT Karkam yang dipimpinnya membuka jaringan dagang yang membentang dari Jakarta hingga Selat Malaka. 

Loyal dan Royal

Di antara kelompok Benteng Sepuluh, menurut Probosutedjo, Markam memiliki kekayaan yang paling besar. Nilai kekayaannya sangat fantastis. Dalam Apa & Siapa, Markam menyebut hartanya dalam bentuk uang kontan di bank berjumlah Rp20 miliar dan 530 juta dolar AS. Itu belum termasuk aset seperti tanah, rumah, dan mobil. 

“Kekayaannya sangat besar. Bahkan ada yang menilai 25% dari uang yang beredar, sesudah sanering Rp 1000 menjadi Rp 1, adalah milik PT Karkam,” kata Probosutedjo. 

Dengan pundi-pundinya, Markam berani membiayai sejumlah proyek mercusuar Sukarno. Salah satunya pembebasan lahan untuk gelanggang olahraga di Senayan. Namun, yang paling fenomenal, Markam disebut-sebut menyumbangkan 28 kg dari 38 kg emas yang menjadi pucuk api tugu Monumen Nasional (Monas).

“Kalau Monas yakin saya itu. Masyarakat Jakarta zaman itu mengakui Monas itu sumbangan dari Teuku Markam. Tapi lantaran masa Soeharto berkuasa, hal itu enggak pernah dipublikasikan,” ujar Asmawi.

Pembebasan lahan untuk gelanggang olahraga di Senayan merupakan hasil dari sumbangan Teuku Markam. (Geheugendelpher).

Loyal dan royal, begitulah relasi Markam terhadap Sukarno. Itulah sebabnya Sukarno juga meringankan langkah Markam dalam berbisnis. 

Menyandang reputasi sebagai orang dekat presiden mengangkat derajat Markam setara kaum jetset ibukota. Gaya hidupnya bagai sosialita. Dia bergaul akrab dengan para menteri maupun pembesar negeri.  

“Dia memang pebisnis tulen. Bukan orang politik dan bukan orang partai. Perkara dia dekat sama Sukarno dan pejabat-pejabat, itu memang keahlian dia,” kata Asmawi.

Wajah Markam, kata sejarawan Jepang Masashi Nishihara dalam bukunya Sukarno, Ratna Sari Dewi, & Pampasan Perang Jepang, cukup dikenal di pesta-pesta yang diadakan Istana. Markam bersama rekannya, Abdurahman Aslam dan Ibrahim Tambunan, sesama pengusaha istana yang menikmati sistem DP kerap bergaya parlente. Mereka merupakan tamu tetap dalam berbagai acara lelang yang diselenggarakan Istana. 

Monas Ketika Sedang Dibangun. (Geheugendelpher).

Misalnya, acara lelang peci Sukarno dalam acara Pro Ganefo Night pada 1963. Mualif Nasution, sekretaris pribadi Sukarno, jadi juru lelang dan aktris Chitra Dewi sebagai asistennya. Tawaran terakhir senilai Rp2 juta diajukan Markam yang keluar sebagai pemenang. Tapi, peci itu kemudian diserahkan kembali kepada pihak panitia. “Untuk dilelang lagi pada kesempatan lain,” ujar Markam, dikutip Varia tahun 1963.

Urusan perempuan, Markam pun tidak jauh beda dari junjungannya. Menurut Asmawi, istri pertama Markam bernama Cut Aminah, yang sekampung dengan Markam. Setelah hijrah ke Jakarta, Markam mengawini tiga atau empat perempuan lagi. Istri Markam yang terakhir bernama Tan Eng Lan, dengan nama kecil Ellen, sebelum ganti nama jadi Ratna Kartika.

“Dia bekas sekretarisnya Markam, orang chinese jadi mualaf. Kami dulu suka panggil Tante Ratna, orangnya supel dan baik. Sudah pasti cantiklah. Pak Markam kan lirik perempuan-perempuan cantik sama kayak Sukarno,” kata Asmawi seraya tergelak.

Untuk urusan nama istri terakhirnya, Markam melobi Sukarno. Pada 26 Agustus 1965, terbitlah Keputusan Presiden No. 235 tahun 1965. Isinya menetapkan: “Tan Eng Lan (Ellen), isteri Sdr. Markam yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 April 1944 dengan Surat Akte Kelahiran No. 1054, tanggal 8 Oktober 1946 dari golonganTionghoa, kami ganti namanya dengan nama Ratna Kartika yang berarti: Ratna ialah permata dan Kartika adalah bintang.”

Para Pengecam Markam

Selalu ada yang tak suka dengan kejayaan Markam. Cara Markam menjalankan bisnis menjadi sorotan berbagai kalangan. Markam juga disebut-sebut mengintimidasi pengusaha karet di Riau agar menyerahkan karetnya kepada PT Karkam.

“Markam mengatur agar kapal-kapal kargo singgah di Dumai dan mengesankan supaya para pedagang karet di daerah itu harus menjual stok karet mereka kepada PT Karkam dengan harga murah. Jika tidak demikian, maka perkebunan mereka akan disita oleh pemerintah,” tulis Lance Castles dalam “The Fate of the Private Entrepreneur” pada bunga rampai Sukarno’s Guided Indonesia suntingan T.K. Tan.

Buku Sejarah Daerah Riau yang ditulis Anwar Syair dkk menyebut karet-karet rakyat yang menumpuk diambil-alih oleh PT Karkam dengan bantuan penguasa, bahkan tanpa membayar secara wajar. Setelahnya, PT Karkam mengekspor puluhan ribu ton karet tadahan itu ke Singapura. Padahal, Markam telah memaklumatkan pemindahan pasaran ekspor karetnya dari Singapura ke Jepang dan Amerika sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia. 

Bung Hatta, yang tidak lagi menjabat wakil presiden pada 1960-an, salah satu tokoh yang mengecam bisnis Markam. Dalam Surat-Menyurat Hatta dan Anak Agung, Hatta terang-terangan menyebut Presiden Sukarno dikelilingi para penjilat yang mencari keuntungan sendiri. Dalam kelompok ini termasuk pula Teuku Markam. Bahkan PT Karkam diplesetkan jadi Karno-Markam.

Bung Hatta menyebut Markam sebagai bandit penipu rakyat yang dipercayakan Sukarno menjalankan ekspor karet. (Geheugendelpher).

Hatta menyebut Markam sebagai bandit penipu rakyat yang dipercayakan Sukarno menjalankan ekspor karet. Akibat monopoli perdagangan karet PT Karkam, Hatta menaksir kerugian rakyat Riau sebesar Rp1,5 miliar.  

“Karet rakyat dibeli atas nama ‘Karkam’ (Karno-Markam), tetapi uangnya yang ditangguhkan tidak dibayar. Ekspor katanya ke Jepang untuk membunuh Singapura, tetapi dengan jalan berbelok karet itu akhirnya ke Singapura juga, sebab hanya di Singapura yang ada pabrik-pabrik remilling,” tulis Hatta dalam suratnya bertanggal 18 Desember 1964. 

Meski ada indikasi kecurangan dalam sepakterjang bisnisnya, Markam luput dari delik hukum. Para pengecam tak berkutik karena kedudukan Markam dalam lingkaran elite negara. Namun ini bukan berarti Markam bisa petetengan. Ini terjadi tatkala Markam mengurus paspor diplomatik demi bisa bebas bepergian ke luar negeri. Permintaannya ditolak Hoegeng Iman Santoso, kepala Jawatan Imigrasi. Alasannya, Markam bukan diplomat. Markam coba menyogok tapi justru membuat lawan bicaranya naik pitam.

Dalam otobiografinya Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan, Hoegeng menyebut hampir menghajar Markam. Sambil menahan diri, Hoegeng akhirnya memberi Markam dua pilihan. “Keluar baik-baik atau saya tendang ke luar pintu itu! Persetan dengan uang kamu,” bentak Hoegeng. 

Markam gelagapan. Dia kemudian melengos pergi meninggalkan kantor Jawatan Imigrasi. 

Beberapa hari kemudian, Hoegeng dan Markam sama-sama punya urusan bertemu Presiden Sukarno di Istana. Markam diterima lebih dahulu. Hoegeng melihat keakraban terjalin di antara mereka. Alih-alih merasa kikuk, Hoegeng melaporkan upaya penyogokan yang dilakukan Markam. Bung Karno pun menegur Markam. Meski demikian, kejadian itu tidak mengurangi kepercayaan Sukarno terhadap Markam. 

Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso. (Perpusnas).

Tuduhan Subversif

Geger politik akibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 menjadi titik balik kejayaan Markam. Dengan dalih pemulihan keamanan, Jenderal Soeharto yang ditunjuk sebagai Pangkopkamtib memerintahkan penangkapan terhadap orang-orang dekat Sukarno, termasuk Markam. 

Pada 23 Maret 1966, Markam ditangkap dengan sangkaan delik subversif ekonomi, pidana korupsi, dan makar terlibat G30S. Penangkapan itu, menurut koran Malaysia Berita Harian, 1 April 1966, didahului bakutembak antara anak buah Markam dan tentara yang hendak menciduk Markam di kediamannya di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan. 

Markam kemudian dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Dua bulan berselang, Cut Aminah, istri Markam, mengirimkan surat kepada ketua Team Pemeriksaan Pusat mengenai penyelesaian hukum perkara suaminya. Tapi penyelesaian yang diharapkan hanyalah pepesan kosong.

Nasib malang juga dialami orang-orang terdekat Markam. Sang istri, Ratna Kartika, seperti diberitakan Kompas 20 Maret 1968 sempat ditahan pihak berwenang. Ratna Kartika diadili dalam perkara pembakaran dokumen PT Karkam. Kediaman Hanafiah, wakil Markam, di Jalan Gadjah Mada Medan disita tentara. Rumah itu kini bersalin rupa menjadi Hotel Swiss Bell Inn. Pun properti milik Sulaiman Lida, manajer Markam yang mengurusi perkebunan di Pekanbaru.  

Istri Markam (Tengah) saat dipengadilan. (Perpusnas).

“Tanah kami di Pekanbaru juga dikuasai. Padahal sertifikat hak milik kan enggak boleh dikuasai sama negara. Hak perorangan menurut peraturan enggak boleh disita, kalau PT bisa disita. Tapi ya gitulah pemerintah Orde Baru,” gerutu Asmawi. 

Markam harus menjalani masa terpahit dalam hidupnya sebagai orang terhukum tanpa proses pengadilan. Tuduhan-tuduhan terhadapnya tak pernah terbukti. Namun, selama bertahun-tahun, dia ditahan berpindah-pindah tempat. Dari RTM Budi Utomo, Markam menghuni Rutan Guntur Jakarta Selatan, Penjara Salemba Jakarta Pusat, Lapas Cipinang Jakarta Timur, dan Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Nirbaya di Pondok Gede, Jakarta Timur. 

Pada 1972, Markam jatuh sakit dalam tahanan. Selama dua tahun, Markam dirawat di RSPAD Gatot Subroto. 

Di sisi lain, rasa iba terhadap Markam bergaung di tengah masyarakat. Salah satunya datang dari Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya yang pernah dipenjarakan oleh rezim Sukarno. Dalam tajuk rencananya, Lubis menyoal penahanan Markam yang mengabaikan prinsip keadilan. Menurutnya, hukuman terhadap Markam patut ditinjau ulang atau setidaknya dimajukan ke pengadilan.

“Harta bendanya telah porak-poranda tak karuan dan kehidupan keluarganya juga telah menderita amat sangat selama masa kehidupan yang demikian lama,” kata Mochtar Lubis dalam tajuk rencana Indonesia Raya, 26 Februari 1973.

Kekayaan yang Hilang

Setelah Markam ditahan, aset-asetnya menjadi sasaran selanjutnya. Rumahnya di Kebayoran yang sedang dibangun didatangi KAMI/KAPPI. Semua barang berharga di dalam rumah itu diambil. Bahkan, dalam buku Yusny Saby Sang Motivator, Yusny Saby yang jadi pengawas pembangunan menyebut rumah itu diduduki dan dijadikan salah satu markas oleh KAPPI Kebayoran.

Selain itu otoritas militer mulai mempreteli aset-aset Markam. Berita Antara 14 April 1966 mewartakan, Penguasa Perang Daerah Riau menguasai seluruh harta kekayaan PT Karkam yang berada di Riau. Sementara itu, di Tanjung Priok, sembilan kapal kepunyaan Markam disita oleh Pepelrada Maritim III.

“Pemerintah perlu cepat-cepat membentuk suatu tim untuk memeriksa kekayaan dari Markam yang telah disita Pepelrada Maritim III agar barang-barang itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Panglima Komando Armada III Komodor Laut Harjono Nimpuno dikutip Antara. Pepelrada singkatan dari Penguasaan Pelaksanaan Dwikora Daerah.

Kapal-kapal milik PT Karkam kemudian berada di bawah penguasaan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Pengoperasiannya diserahkan kepada PT Pelajaran Nusantara Astri Line Medan berdasarkan Surat Keputusan Deputi Menteri Kepala Departemen Perhubungan Laut No. Drp. 1/10/I tanggal 19 April 1968. Lima bulan kemudian diserahkan kepada Kepala Daerah Pelajaran III/Penguasa Pelabuhan Tanjung Priok.

Pembekuan dan pengambilalihan aset PT Karkam, bersama PT Aslam milik Abdurahman Aslam, mulai masif sejak terbentuknya team pengawas management ex PT Aslam dan PT Karkam. Team ini dibentuk melalui Surat Keputusan Bersama Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan Keamanan Soeharto No. Aa/EF/65/1966 tanggal 16 Mei 1966. 

Ketika menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Soeharto menunjuk Brigjen Suhardiman untuk memimpin tim yang mengurus kekayaan Karkam dan Aslam. Suhardiman sebelumnya ketua Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI), lembaga kekaryaan yang disponsori Angkatan Darat. 

“Tugas yang harus saya laksanakan adalah membentuk tim pemerintah untuk menindak lanjuti misi pengambilalihan kekayaan Aslam, Karkam dan Bram Tambunan,” ujar Suhardiman dalam otobiografinya Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah. 

Ibrahim Tambunan atau biasa disebut Bram Tambunan adalah pemilik PT Sinar Pagi. Tidak seperti Markam dan Aslam yang mengalami nasib nahas dipenjara, Bram Tambunan lolos dari penangkapan dengan kabur ke luar negeri. Kendati demikian, asetnya di Indonesia dibekukan.  

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/627dff6f8016afdd1ecafd74_Intersection%205.jpg" alt="img"></div><figcaption>Soeharto tahun 1965. (geheugendelpher)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/627dff759a07247b9fb69ca7_Intersection%206.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/Runtuhnya-Taipan-Istana/podcast%20Asmawi%20Lida.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Asmawi Lida</b><br>Anak dari Sulaiman Lida, Sepupu Teuku Markam. (Fernando Randy/Historia.ID).</span></div></div></div>

Menurut Suhardiman, Team yang dibentuknya mengadakan penertiban yuridis, administrasi dan kekayaan perusahaan-perusahaan itu serta memperdagangkannya kepada masyarakat atas dasar hukum ekonomi. 

Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah menggelar Kesatuan Operasi Ekonomi Tritura Express untuk menyalurkan barang-barang PT Karkam/Aslam ke beberapa daerah. Dalam beberapa kesempatan, pemberangkatan Tritura Express disambut hangat oleh kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI/KAPPI dan dikawal satu peleton RPKAD. Operasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan Tritura Express II.

Ketika hendak mengakhiri tiga bulan masa jabatan sebagai ketua Team, Suhardiman menghadiri rapat dengan beberapa jenderal di Markas Besar AD yang dipimpin oleh Soeharto. Materi yang dibahas soal tindak lanjut pengambilalihan kekayaan Aslam, Karkam, dan Tambunan. Suhardiman mengajukan konsep pembentukan pilot proyek perusahaan negara. Namanya PT Pilot Proyek Berdikari atau disingkat PT PP Berdikari.

PT PP Berdikari didirikan melalui Keputusan Ketua Presidium Kabinet Ampera No. 01/EK/KEP/8/1966 tanggal 12 Agustus 1966. 

Menurut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia, sebagai direktur Berdikari, Suhardiman bertanggung jawab langsung kepada Soeharto. Dia diinstruksikan, dilansir Angkatan Bersenjata 24 Mei 1966, melakukan ekspansi kedua perusahaan itu agar tumbuh lebih besar daripada ketika diambil alih untuk memberi manfaat bagi bangsa, revolusi, dan masyarakat. “Padahal, tujuan utama Berdikari adalah menggalang dana untuk pimpinan tentara,” tulis Crouch.

Sesuai instruksi Soeharto, Suhardiman memulai program ekspansi bisnis yang ambisius. Kantor didirikan di pusat perdagangan luar negeri. Beberapa anak perusahaan didirikan. Dengan dukungan militer, Suhardiman mampu menghindari hambatan birokrasi, seperti larangan impor mobil mewah yang diberlakukan Menteri Perdagangan Sumitro pada 1968.

“Berdikari, yang telah memperoleh hak sebagai importir tunggal mobil Mercedes Benz ke Indonesia, terus mengimpor mobil melalui pelabuhan Jakarta, dan akhirnya menteri perdagangan mencabut peraturan tersebut,” tulis Crouch.

Berdikari bukan tanpa kritik. Suara keras dilontarkan Adnan Buyung Nasution, aktivis KAMI yang duduk di DPR-GR. Buyung menggugat pembentukan Berdikari yang melanggar undang-undang, karena modalnya merupakan barang sitaan negara. Menurut Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan, gugatan Buyung Nasution tak digubris sampai ia dipecat dari DPR-GR. 

Soeharto jalan terus. Mula-mula, melalui Keputusan Presidium Kabinet No. 18/EK/KEP/1/1967, dia membentuk Team Penilai Modal/Kekayaan PT PP Berdikari. Setelah menyampaikan laporannya, Team ini dibubarkan dengan Keppres No. 41 tahun 1970. Menyusul kemudian terbit Keppres No. 47 tahun 1970 yang menyebut modal kekayaan eks PT Karkam, PT Aslam, dan PT Sinar Pagi yang dikuasai oleh pemerintah dipinjamkan kepada PT PP Berdikari untuk dijadikan modal kerja.

Sementara kerajaan bisnisnya ambruk, Markam masih mendekam di penjara. Untuk mengakhiri penahanannya, dia harus membayar dengan jaminan yang sangat mahal. Pada 1971, Markam menandatangani surat pernyataan yang berisi persetujuan seluruh harta pribadinya disita oleh negara dan tidak dikembalikan. 

Pada 7 Juni 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres No. 31 Tahun 1974, yang menetapkan harta kekayaan eks PT Karkam, PT Aslam, dan PT Sinar Pagi dijadikan penyertaan modal pemerintah dalam PT PP Berdikari senilai Rp.411.314.924,29. Uang tersebut disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh menteri keuangan, sedangkan penggunaan selanjutnya dari uang tersebut ditetapkan oleh presiden.

Pada Desember 1974, atau enam bulan setelah Keppres itu terbit, Markam dibebaskan dari penjara. 

Kepada Sinar Harapan, Markam membantah adanya tawar-menawar sewaktu dia mau bebas. “Sewaktu saya ditahan, kekayaan saya waktu itu milyaran rupiah, dan kemudian dioperkan menjadi milik perusahaan Berdikari. Saya tidak mau tuntut itu lagi. Yang sudah yah sudahlah.”

Ketika diambil alih, menurut George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, nilai aset PT Karkam berjumlah 460 juta dolar AS. “Pelan namun pasti, dengan bantuan para koleganya, jenderal purnawirawan Bustanul Arifin dan Suhardiman, status hukum PT Berdikari dipindahtangankan menjadi perusahaan swasta yang sepenuhnya dimiliki oleh ketiga yayasan Soeharto: Dakab, Dharmais, dan Supersemar,” catat Aditjondro.

Perkembangan PT PP Berdikari seolah menjanjikan. Ia berkembang menjadi holding company dengan berbagai unit usaha dan anak perusahaan. Tapi, karena salah urus, perusahaan ini jadi melempem. 

Setelah Soeharto lengser, Berdikari terkena imbasnya. Akhirnya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 2000, Berdikari ditetapkan sebagai perusahaan perseroan (Persero). Saat ini, Berdikari berada di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ID Food dan fokus mengembangkan bisnis dalam bidang peternakan ayam, sapi, serta produk retail olahan.

Marjaya dan Senjakala

Selepas keluar dari penjara, Markam bersama istrinya, Ratna, singgah di Medan untuk menjalani ritual peusijuek atau buang sial. Tradisi tolak bala khas Aceh itu, sekaligus merayakan syukuran kebebasan Markam, diadakan di kediaman Sulaiman Lida, sepupu sekaligus pegawai kepercayaan Markam. 

“Baru kemudian dia pulang ke Aceh membuat perusahaan baru bernama PT Marjaya. Aset dia yang ada di Aceh dijual, kemudian menjadi modal membangun PT Marjaya,” ujar Asmawi, yang menyebut itulah kali pertama dirinya bersua dengan Teuku Markam.

PT Marjaya, yang berarti “Markam Jaya”, didirikan pada 12 Maret 1975. PT Marjaya memiliki kantor pusat di Jalan Kejayaan I/17-19 Jakarta Barat. Cabang-cabangnya ada di Banda Aceh, Ciamis, Banjarmasin, Bandung, serta perwakilan di Singapura. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor, perdagangan umum, kontraktor, hingga perkebunan. 

“Saya bangun perusahaan ini dari modal zerozerozero,” ujar Markam kepada Sinar Harapan. Menariknya, di koran yang sama, Markam menyebut kembalinya ke bisnis berkat bantuan dari Adam Malik yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. 

“Adam Malik sangat banyak menolong saya, beliaulah yang memberikan dorongan supaya saya bangkit kembali,” kata Markam. 

Markam menambahkan, dia punya hubungan baik dengan Adam Malik sewaktu menjabat Menteri Perdagangan era Sukarno. “Sayalah waktu itu yang mengusulkan kepada Presiden Sukarno supaya Pak Adam diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Terpimpin, soalnya Pak Adam jadi Menteri Perdagangan sudah pusing saja, karena ribut dengan Jusuf Muda Dalam,” ujarnya.

Selama masa penahanan dia juga mendapat perlakuan istimewa karena andil Adam Malik. Dia bisa keluar-masuk penjara sekadar nonton film atau main golf. “Pagi-pagi saya kadang-kadang sudah di rumah Pak Adam Malik minta uang,” kata Markam sambil tertawa kecil.

Sebagai balas jasanya, Markam bersedia menjadi kader Golkar, partai penguasa saat itu. Pada pemilihan umum 1977, dia membantu kampanye Golkar di Bireun, Sigli, dan Banda Aceh. Dia mengerahkan fasilitas PT Marjaya berikut karyawannya yang berjuluk “Pasukan Markam”. 

Di Bireun, 100 truk PT Marjaya mondar-mandir mengangkut rakyat untuk menghadiri kampanye Golkar. Begitupun lampu-lampu listrik yang menerangi lapangan, sumbernya berasal dari pembangkit listrik PT Marjaya. 

Markam juga mendampingi Adam Malik jadi juru kampanye. Adam Malik dalam pidatonya memuji Markam yang membangun jalan di Aceh. Sementara Markam mengutarakan jasa Golkar setelah bebas dari penjara. “Karena itu saya minta tolong sekarang tusuklah Golkar,” seru Markam dalam pidatonya. 

Dalam kesempatan itu, Markam menyebut nama-nama yang berperan membantunya bebas dari tahanan hingga membangun PT Marjaya. Mereka antara lain Adam Malik, Laksamana Soedomo (Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban), Sutami (Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik), dan Amir Murtono. 

Adam Malik menyempatkan diri mampir ke ruang kerja Markam di base camp PT Marjaya yang terletak 3 km di luar kota Bireun. Pada kesempatan ini mereka berfoto bersama. 

“Saya cium tangan Pak Adam untuk dipotret ya.”

“Ndak usah.”

Dua tahun kemudian, Markam berkesempatan bertemu dengan Presiden Soeharto.

Bersama Adam Malik. (Sinar Harapan).

Siang itu, 17 Oktober 1979, Stadion Cot Gapu Bireun, Aceh, ramai. Puluhan tamu duduk di kursi dan berbincang-bincang. Helikopter pengamanan TNI AU mengudara di atas lapangan. Lalu, helikopter TNI AU yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat di Stadion Cot Gapu. Disusul kemudian helikopter Pertamina yang membawa rombongan menteri. Para pembesar setempat dengan pakaian adat dan pakaian dinas datang menyambut.

Presiden turun dari tangga helikopter lalu melambaikan tangan sambil tersenyum kepada masyarakat yang berkumpul di stadion. Setelah prosesi penyambutan, Presiden berjalan ke tempat acara.

Markam hadir dalam acara itu. Dia duduk di deretan kursi Menteri Pekerjaan Umum Poernomosidi Hadji Saroso, Presiden Soeharto, Gubernur Aceh Madjid Ibrahim, dan Pangdam I Iskandar Muda Aceh Brigjen Raden Achmad Saleh. Pada kesempatan itu Poernomosidi melaporkan tentang pembangunan jalan di Aceh.

Ketika Poernomosidi menerangkan proyek pembangunan jalan Lhokseumawe-Bireun yang dikerjakan PT Marjaya, Markam berdiri di depan kursinya dan memberikan hormat kepada Presiden. Markam kemudian mendekati kursi Presiden dan menyalaminya.

Usai acara, Presiden dan rombongan meninggalkan stadion dan, dengan mobil, mengunjungi proyek pembangunan jalan aspal beton yang dikerjakan oleh PT Marjaya. Begitu pula Markam. 

Pembangunan jalan Bireun-Lhokseumawe sepanjang 35 km jadi penanda kembalinya Markam ke dunia bisnis.

Setelah itu PT Marjaya memenangi tender proyek perbaikan jalan Tapaktuan-Kruengluas di Aceh Selatan sepanjang 96 km yang dibiayai oleh Bank Dunia. Di luar Aceh, PT Marjaya menggarap jalan Cileunyi-Nagreg di Jawa Barat sepanjang 136 km. 

PT Marjaya juga terlibat dalam pemindahan ibukota Kabupaten Aceh Besar ke Kemukiman Janthoi di Kecamatan Seulimun. Penetapan Kemukiman Janthoi, menilik penjelasan pada Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1979, dilakukan setelah penelitian yang dilakukan pemerintah daerah bekerjasama dengan PT Marjaya. 

Kendati bangkit, Markam tak mampu mengembalikan kejayaannya bersama PT Karkam. Bahkan beberapa proyek mandeg. Misalnya, proyek jalan Tapaktuan-Kreungluas. Pemerintah daerah menahan 24 truk PT Marjaya yang belum bayar pajak. Di sisi lain, PT Marjaya sedang kesulitan akibat uangnya belum keluar dari bank.

“Mengapa Pemerintah Daerah (Pemda) tidak membantu dengan membebaskan dulu hutang pajak-pajak itu? Anggaplah itu sebagai hutang perusahaan dan bila nanti pekerjaan sudah selesai, silahkan ambil truk-truk itu sebagai pembayar hutang,” keluh Markam dikutip Kompas, 1 Agustus 1979. 

Markam menyampaikan kekecewaannya kala Menteri Poernomosidi menginspeksi pembangunan jalan raya Cileunyi-Nagreg yang dikerjakan oleh PT Marjaya. Apa yang disampaikannya mengundang perhatian menteri dan rombongan. “Hal ini terutama karena ulah sang direktur sendiri Sdr. Markam, yang bernada mengadu kepada menteri tentang pencabutan kontraknya di Aceh Sumatera Utara,” tulis majalah Clapeyron, Maret 1979.

Kesepakatan penyelesaian Tapaktuan-Kruengluas dirundingkan antara PT Marjaya dan Bina Marga. PT Marjaya mengalami pemutusan kontrak. Pengerjaan diserahkan kepada kontraktor asing.

Markam tentu saja kecewa. Selama mengerjakan proyek di Aceh, Markam menyebut tak pernah mendapat bantuan dari Pemda. Padahal Markam kerap mengulurkan tangan untuk membantu Pemda. Ketika bencana banjir melanda di Sigli, Marjaya mengerahkan sebanyak 25 dam truk yang bekerja selama empat bulan untuk mengatasi banjir. Biaya yang bila dikonversi senilai Rp 80 juta itu dipatok Markam secara cuma-cuma. Hanya proyek di Cileungsi, menurut Markam, yang mendapat dukungan penuh dari gubernur sampai tingkat lurah.

Setidaknya selama satu dekade Markam dapat menikmati sisa hidupnya sebagai orang bebas merangkap juragan PT Marjaya. Perusahaan ini kemudian diteruskan oleh salah satu anaknya, Teuku Syauki Markam. 

Pada Desember 1985, Markam wafat akibat komplikasi penyakit. Markam sebagai penyandang pangkat kapten purnawirawan dimakamkan secara militer. 

Memulihkan Citra Markam

Selama Orde Baru, kekayaan Markam dirampas dan jasa-jasanya untuk negara dikaburkan. Begitu rezim Soeharto lengser pada Mei 1998, pihak keluarga berupaya memulihkan nama baik mendiang Teuku Markam sekaligus mendapatkan kembali aset-asetnya.

Pada Oktober 1998, Cut Aminah, istri pertama Markam, menggugat mantan Presiden Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dasar gugatan: Soeharto telah menangkap dan menahan Teuku Markam selama delapan tahun tanpa diadili. Selain itu, Soeharto merampas seluruh harta kekayaan PT Karkam milik Markam. Berdasarkan gugatan itu, Cut Aminah menuntut Soeharto untuk membayar ganti rugi sebesar Rp40 triliun berikut pernyataan maaf secara resmi.  

Sidang gugatan perdata itu digelar pada Oktober 1998. Sejumlah pejabat penting pemerintah Orde Baru dihadirkan sebagai saksi. Mereka antara lain mantan Pangkopkamtib Laksamana (Purn.) Soedomo, mantan dirut PT Berdikari Letjen (Purn.) Soehardiman, dan mantan kepala Bulog Letjen (Purn.) Bustanil Arifin. 

Menurut Soedomo dalam kesaksiannya dikutip Kompas, 29 Oktober 1998, negara sebenarnya tidak hanya menerima kekayaan Markam tanpa ganti rugi. Dalam pengambilalihan aset Markam, negara memberikan ganti rugi sebesar satu juta dolar AS. Tapi dana itu tidak diserahkan kepada Markam, melainkan dianggap sebagai penyertaan modal kepada negara. 

Sementara Soehardiman bersaksi, dikutip Kompas, 12 November 1998, PT PP Berdikari yang dipimpinnya memang menerima pelimpahan aset dari PT Karkam, PT Aslam, dan PT Sinar Pagi. Tapi saat itu Berdikari hanya meminjam dari pemerintah. Soehardiman berdalih dia tak tahu kelanjutan “pinjaman” dari keluarga Karkam setelah Berdikari dipimpin oleh Bustanil Arifin. 

Bustanil Arifin yang kesaksiannya cukup menentukan justru absen di persidangan. Di sisi lain, permintaan keluarga Markam untuk menghadirkan kuasa hukumnya, Siti Asmah, sebagai saksi ahli ditolak. Hasil persidangan itu akhirnya dimenangkan oleh pihak Soeharto.

Pada Februari 2000, keluarga Markam kembali melayangkan gugatan perdata. Kali ini melalui Teuku Syauki Markam, yang sempat terjun ke politik melalui Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. 

Syauki menuntut pengembalian aset berupa lahan tanah milik PT Ujung Lima – anak perusahaan Berdikari– di Jalan Ahmad Yani Jakarta Utara serta tanah dan bangunan pertokoan di kawasan Jalan Hayam Wuruk No. 103 Jakarta Barat. Untuk mengawal kasus ini, Syauki bahkan memohon perlindungan kepada pemerintah. 

“Ahli waris keluarga almarhum Teuku Markam meminta Presiden Gus Dur, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dan Menteri Negara Penanaman Modal/ Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi untuk ikut menyelesaikan proses pengembalian aset terkait,” kata Syauki Markam dalam penyataan tertulisnya dilansir Kompas, 11 Februari 2000.

Namun, upaya Syauki ditanggapi sekadarnya oleh pihak Soeharto. Kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, hanya berjanji membuka pintu dialog. “Sebaiknya soal-soal begini ini dikomunikasikan. Banyak cara untuk mempertemukan kedua pihak. Musyawarah atau pengadilan. Tetapi kalau memang pihak keluarga Markam mau berkomunikasi untuk hal-hal yang baik, hal itu tetap dibuka,” demikian Tampubolon.

Hingga Soeharto wafat pada 2008, proses pengembalian aset-aset Markam masih bagai benang kusut. Pun ikhtiar merehabilitasi nama Markam. Apa yang pernah diperbuat Markam di masa silam kerap dipertanyakan, termasuk kebenaran emas tugu Monas yang disebut-sebut berasal dari sumbangannya.  

Syauki sendiri tidak begitu terbuka menguak bagaimana kiprah sang ayah. Dalam kolom komentar laman facebook-nya tertanggal 10 Juni 2019, Syauki hanya mengatakan, semoga sumbangsih ayahnya menjadi kenangan sejarah bagi rakyat bangsa Indonesia.

“Air susu dibalas tuba. Di dalam keindahan (Monas) itu, terdapat nestapa keluarga Teuku Markam,” tulisnya. Teuku Syauki Markam meninggal dunia pada 18 Agustus 2019.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6267bc570b177c2c1bb7eaca