S. Rukiah yang Luput dari Sejarah

Sastrawan perempuan yang produktif berkarya sejak era kemerdekaan. Namun, namanya tenggelam dan tersisihkan imbas tragedi 1965.

OLEH:
Amanda Rachmadita
.
S. Rukiah yang Luput dari SejarahS. Rukiah yang Luput dari Sejarah
cover caption
Pameran Jejak Merah S. Rukiah "Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi" yang diselenggarakan di RUBANAH Underground Hub di Jl. Timor No. 25 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

“CINTA itu cerita lama, kataku meniru Harun. Dan dengan hati sombong, kutambah lagi: Kita bisa bikin cerita baru, di mana di dalamnya cerita itu tak usah diberi cinta kecil-kecilan. Atau kita juga bisa bikin cerita darah yang tidak kurang bagusnya dari cerita cinta. Atau kita bisa bikin cerita buruh, cerita mesin dan cerita benda-benda lainnya yang ada di luar cinta,” tulis S. Rukiah dalam novelnya, Kejatuhan dan Hati.

Siti Rukiah lahir di Purwakarta pada 25 April 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Muhammad Asik dan Ipok. Salah satu pengarang wanita yang mulai menulis sejak tahun 1940-an. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan guru selama dua tahun, dan kemudian mengajar di Sekolah Rendah Gadis di Purwakarta.

Gejolak revolusi tak menggentarkan Rukiah untuk terus berkarya di tengah perjuangan kemerdekaan. Selain menjadi anggota Palang Merah di Purwakarta, di usia 19 tahun, ia mulai menulis puisi untuk majalah mingguan Gelombang Zaman. Ia juga mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar, seperti Mimbar Indonesia dan Godam Djelata yang dikelola oleh Sidik Kertapati yang kelak menjadi suaminya.

“CINTA itu cerita lama, kataku meniru Harun. Dan dengan hati sombong, kutambah lagi: Kita bisa bikin cerita baru, di mana di dalamnya cerita itu tak usah diberi cinta kecil-kecilan. Atau kita juga bisa bikin cerita darah yang tidak kurang bagusnya dari cerita cinta. Atau kita bisa bikin cerita buruh, cerita mesin dan cerita benda-benda lainnya yang ada di luar cinta,” tulis S. Rukiah dalam novelnya, Kejatuhan dan Hati.

Siti Rukiah lahir di Purwakarta pada 25 April 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Muhammad Asik dan Ipok. Salah satu pengarang wanita yang mulai menulis sejak tahun 1940-an. Pada masa pendudukan Jepang, ia menempuh pendidikan guru selama dua tahun, dan kemudian mengajar di Sekolah Rendah Gadis di Purwakarta.

Gejolak revolusi tak menggentarkan Rukiah untuk terus berkarya di tengah perjuangan kemerdekaan. Selain menjadi anggota Palang Merah di Purwakarta, di usia 19 tahun, ia mulai menulis puisi untuk majalah mingguan Gelombang Zaman. Ia juga mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar, seperti Mimbar Indonesia dan Godam Djelata yang dikelola oleh Sidik Kertapati yang kelak menjadi suaminya.

Sejak Maret 1948, Rukiah menjadi koresponden dan staf majalah Pujangga Baru di Purwakarta. Puisi-puisinya terbit dalam majalah tersebut. Di tahun yang sama, ia mengirimkan puisi dan cerita pendek ke majalah Mimbar Indonesia dan Indonesia. Pada 1949, ia mendirikan dan menjadi redaktur majalah Irama di Purwakarta.

Novel Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah dalam pameran. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Nama Rukiah semakin dikenal setelah novelnya, Kejatuhan dan Hati diterbitkan Pustaka Rakyat pada 1950, yang sebelumnya diterbitkan sebagai edisi khusus akhir tahun Pujangga Baru. Menurut sastrawan Ajip Rosidi dalam “Tjeritapendek Indonesia terbaru”, majalah Medan Bahasa tahun 1957, Rukiah sudah membuktikan kemampuannya yang gemilang dengan novelnya, Kejatuhan dan Hati.

Ajip menilai Rukiah bercerita dengan baik, walau dalam beberapa hal ia tak bisa melepaskan diri dari kesenangannya akan permainan kata-kata. Tetapi justru lantaran ia seorang wanitalah, ia mengenal segi-segi kelemahan dan kekuatan wanita tokohnya itu, maka novel ini mempunyai kedudukannya sendiri. “Novel [Kejatuhan dan Hati] saya kira paling baik di antara segala novel dan roman yang pernah ditulis wanita Indonesia dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, sejak dulu hingga sekarang,” tulis Ajip.

Selain itu, Rukiah juga menjadi penulis perempuan satu-satunya yang meraih penghargaan sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1952 melalui karyanya, Tandus yang berisi kumpulan puisi dan cerita pendek (cerpen). Untuk kategori sastra, BMKN memberikan hadiah kepada Utuy T. Sontani buat karyanya, Awal dan Mira, kepada Mochtar Lubis untuk roman Jalan Tak Ada Ujung, dan Pramoedya Ananta Toer untuk kumpulan cerpen, Cerita dari Blora.

Maman S. Mahayana, dosen Program Studi Indonesia FIB Universitas Indonesia, dalam Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia menyebut dalam kumpulan puisi Tandus karya S. Rukiah termuat 34 puisi dan enam cerpen. “Berbeda dengan puisi-puisinya, yang sebagian besar mengungkapkan aku liris yang kontemplatif dan kadang kala juga romantis, cerpen-cerpennya banyak mengangkat persoalan rakyat kecil yang sengsara akibat peperangan,” tulis Maman.

Karya-karya Rukiah dapat menjadi contoh menarik karena ternyata karya yang tendensius atau memiliki keberpihakan tidak harus membosankan.

Setelah masa revolusi, tak hanya aktif dalam dunia sastra, Rukiah juga bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Ia bersama Sugiarti Siswadi pernah menjadi delegasi Lekra menghadiri Kongres ke-V “Himpunan Sastrawan Jerman” di Jerman Timur. Selain itu, Rukiah juga menyunting Lentera bersama Pramoedya Ananta Toer, menjadi staf editorial jurnal kiri Zaman Baru, serta jurnalis dan editor Api Kartini, media Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Keterlibatan Rukiah dalam organisasi berhaluan kiri tersebut, tak menumpulkan pemikiran kritisnya. Ia tak jarang mempertanyakan kembali makna revolusi sehingga membuatnya berdiskusi mengenai hal tersebut dengan orang-orang di zamannya.

“Kiprah S. Rukiah sebagai pendiri, pengasuh surat kabar serta editor, dan perannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seakan tersisihkan dari sejarah setelah tragedi pelanggaran HAM tahun 1965,” kata Dhianita Kusuma Pertiwi, kurator, penulis dan periset, sebagai moderator dalam diskusi publik “S. Rukiah dalam Cinta dan Perjuangan” di Ruang Pamong Budaya Gedung E, Kompleks Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (25/10/2023). 

Diskusi publik ini bagian dari rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Selain diskusi, karya-karya Rukiah juga ditampilkan dalam pameran “Kejatuhan dan Hati: Denyut Romansa di Tengah Gejolak Revolusi” yang diselenggarakan di RUBANAH Underground Hub di Jl. Timor No. 25 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

Diskusi publik “S. Rukiah dalam Cinta dan Perjuangan”. Kiri-kanan: Dhianita Kusuma Pertiwi, Giovanni Austriningrum, Murti Bunanta, dan Sabda Armandio. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Penulis Sabda Armandio mengatakan bahwa kekuatan Rukiah ada pada kemampuannya merangkai cerita menjadi sebuah karya yang menarik untuk dibaca. Karya-karya yang diterbitkan oleh Lekra kerap dipandang sebagai karya-karya yang dogmatis dan membosankan karena tendensi yang terkandung di dalam karya-karya tersebut. “Namun, karya-karya Rukiah dapat menjadi contoh menarik karena ternyata karya yang tendensius atau memiliki keberpihakan tidak harus membosankan,” kata Sabda.

Menurut Sabda, ketika seorang penulis memiliki gagasan yang spesifik dan ingin menuangkannya ke dalam tulisan karena menurutnya hal itu penting untuk diketahui oleh pembaca, ada risiko bahwa hal tersebut justru tak dipandang penting oleh mereka yang membacanya. “Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan dari penulis tersebut untuk merangkai cerita yang memungkinkan pembacanya untuk larut ke dalamnya, dan Rukiah dalam karyanya Kejatuhan dan Hati dapat melakukan hal itu dengan baik,” kata Sabda.

Karya-karya Rukiah yang dahulu kerap menjadi bahan bacaan untuk mempelajari kesusasteraan Indonesia, kini terasa asing bagi masyarakat. Namanya pun seakan menghilang dalam ingatan banyak orang saat berbicara mengenai pengarang di era kemerdekaan. 

Tak hanya namanya yang dihilangkan dalam sejarah perempuan dan sejarah sastra Indonesia pascakemerdekaan, Rukiah juga sempat ditahan dan dipecat dari Balai Pustaka. Selain itu, karya-karyanya dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Kondisi itu mendorong Rukiah kembali ke kampung halamannya. Ia tak lagi berkarya dan berkiprah di dunia sastra karena situasi politik tidak memungkinkan. Rukiah tutup usia pada 6 Juni 1996. 

Giovanni Austriningrum, periset dari Ruang Perempuan dan Tulisan (RPdT), berupaya menggali kembali karya-karyanya yang sempat terpinggirkan. Sebagai seorang pengarang, Rukiah menuliskan banyak hal. Ia tak hanya aktif dalam organisasi berhaluan kiri seperti Lekra dan turut ambil bagian dalam merumuskan gerakan turba alias turun ke bawah. Tetapi, berdasarkan pengalamannya yang multidimensi itu, di dalam karya-karyanya ia tak jarang membicarakan tentang cinta.

“Menurut Rukiah, cinta tak semata-mata soal hubungan antara dua pribadi saja, tetapi juga dapat dimaknai sebagai bentuk cinta terhadap alam, cinta terhadap sesama manusia atau kepada apapun yang bersifat universal. Dengan demikian, Rukiah mencoba untuk menunjukkan bahwa tak ada cinta yang lebih luhur di antara macam-macam jenis cinta itu,” kata Giovanni.

Dengan demikian, kata Sabda, kebutuhan untuk kembali mengenal sastrawan-sastrawan yang dilupakan atau sengaja tidak disebutkan, seperti S. Rukiah menjadi sangat penting. Dengan begitu masyarakat dapat memiliki alternatif bacaan maupun referensi yang lebih luas dan beragam.

S. Rukiah bersama suami, Sidik Kertapati, dan anaknya dalam pameran. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Buku Cerita Anak

Rukiah juga dikenal sebagai penulis cerita anak. Selama kiprahnya di dunia sastra anak, Rukiah telah memproduksi 12 karya. Beberapa buku cerita anak karya Rukiah antara lain Si Rawun dan Kawan-kawannya (1955), Teuku Hasan Johan Pahlawan (1957), Pak Supi Kakek Pengungsi, Taman Sandjak Si Kecil (1959), Dongeng-dongeng Kutilang (1962), Jaka Tingkir (1962), dan Kisah Perjalanan Si Apin (1962). Selain itu, Rukiah juga menulis ulang cerita rakyat untuk anak-anak. 

Murti Bunanta, pendiri dan ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak, mengatakan buku-buku bacaan anak yang disusun oleh Rukiah memiliki genre yang beragam, mulai dari cerita rakyat, fantasi, fiksi sejarah, hingga puisi. “Kelebihan lainnya yakni buku bacaan tersebut dilengkapi dengan ilustrasi. Selain itu, buku-buku bacaan anak yang ditulis oleh Rukiah jumlah halamannya terbilang banyak, bahkan bisa mencapai 80 halaman. Meski begitu anak-anak tetap dapat menikmati cerita yang tersaji di setiap babnya,” kata Murti.

Rukiah memiliki keunggulan dalam menulis buku bacaan anak genre fantasi. Bahkan, Murti menyebut kemampuan Rukiah dalam menulis cerita anak genre fantasi dapat menjadi acuan bagi penulis buku anak-anak di masa kini. Selain itu, Rukiah terbilang berani dalam menulis cerita rakyat.

“Dia tidak pilih-pilih, misalnya kisah Jaka Tingkir yang dituliskannya. Dalam kisah itu, ia menceritakan bahwa sosok Jaka Tingkir pernah melakukan hal buruk seperti menipu maupun membunuh. Kenapa Rukiah menuliskan hal tersebut, itu karena ia ingin menunjukkan bahwa manusia itu ada plus dan minusnya,” jelas Murti.

Dalam genre fiksi sejarah, Rukiah memadukan kisah perjuangan seorang tokoh pahlawan maupun tokoh bersejarah dengan fantasi. Meski begitu, kisah tersebut tetap disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi di masa itu. “Mungkin ini dapat dikatakan sebagai kelebihan seorang sastrawati atau pengarang perempuan, ketika ia menulis sastra dewasa ia menulis dengan pendekatan sastra tetapi saat ia menulis buku anak, ia tetap menggunakan pendekatan sastra namun ia menulis dengan kacamata anak-anak,” kata Murti.

Kiprah Rukiah dalam sastra Indonesia tak terbatas pada aktivitasnya dalam Lekra maupun organisasi berhaluan kiri lainnya di masa Orde Lama. Ia juga berperan besar dalam khazanah sastra anak dengan karya-karyanya.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
653b7d5fc362ee79194a482a
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID