Aksi menentang pernyataan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Jakarta, 2006. (Dok. Eka Hindra).
Aa
Aa
Aa
Aa
HALAMAN Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budhi Dharma di Bekasi terasa teduh dan asri. Tamannya luas dengan beragam tanaman yang tertata rapi. Di dekat taman, berdiri beberapa wisma. Tak ada aktivitas para penghuni panti. Siang itu jam istirahat. Mereka diam di kamar, mengobrol, atau tidur. Hanya terlihat beberapa perawat lagi bersantai sambil membaca koran di beranda panti.
Di salah satu wisma bernama Sakura keadaan agak ramai. Beberapa pekerja sibuk melakukan pekerjaan renovasi. Wisma itu terdiri dari tujuh kamar. Tampilannya berbeda dari wisma lainnya. Lebih menyerupai rumah petak ketimbang wisma. Di depan kamarnya terdapat kursi yang bertuliskan “Bantuan AWF”. Dulu, wisma ini dipakai korban ianfu. “Waktu saya masuk tahun 2006, saya dan beberapa teman pernah merawat seorang ianfu,” kenang Faisal, 40 tahun. “Kami memanggilnya Mami.”
HALAMAN Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budhi Dharma di Bekasi terasa teduh dan asri. Tamannya luas dengan beragam tanaman yang tertata rapi. Di dekat taman, berdiri beberapa wisma. Tak ada aktivitas para penghuni panti. Siang itu jam istirahat. Mereka diam di kamar, mengobrol, atau tidur. Hanya terlihat beberapa perawat lagi bersantai sambil membaca koran di beranda panti.
Di salah satu wisma bernama Sakura keadaan agak ramai. Beberapa pekerja sibuk melakukan pekerjaan renovasi. Wisma itu terdiri dari tujuh kamar. Tampilannya berbeda dari wisma lainnya. Lebih menyerupai rumah petak ketimbang wisma. Di depan kamarnya terdapat kursi yang bertuliskan “Bantuan AWF”. Dulu, wisma ini dipakai korban ianfu. “Waktu saya masuk tahun 2006, saya dan beberapa teman pernah merawat seorang ianfu,” kenang Faisal, 40 tahun. “Kami memanggilnya Mami.”
Menurut Faisal, Mami sempat cerita mengenai deritanya sebagai ianfu. Umur Mami baru 14 tahun ketika dia dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Waktu itu dia sedang main di luar rumah. Tiba-tiba tentara Jepang datang dan mengambilnya secara paksa. Ayahnya tak bisa berbuat apa-apa dan pasrah. Faisal bilang tak lama merawat Mami. “Mami kemudian dirawat rekan saya. Dia meninggal tak lama setelah saya menyelesaikan masa orientasi,” ujar Faisal.
“Dari cerita Pak Sabir, jumlah korban ianfu tak sampai sepuluh. Usia mereka sudah sangat lanjut. Mereka ditempatkan di Wisma Sakura, pos khusus ianfu,” Faisal menambahkan.
PSTW Budhi Dharma merupakan salah satu panti yang mendapat bantuan dana dari Asian Women’s Fund (AWF), lembaga atau wadah yang menyalurkan dana dari Jepang bagi korban ianfu di seluruh dunia. Dalam laporan pemerintah Indonesia kepada AWF, M. Sabir, kepala panti, tercatat sebagai penanggung jawab dana periode 2001 sebesar Rp309,460 juta dan 2006 sebesar Rp377,700 juta untuk pembangunan dua wisma: Sakura I dan II.
Proses Mencari Keadilan
Ianfu menjadi isu panas yang terus membayangi pemerintah Jepang setelah perang. Namun, pemerintah Jepang selalu menyangkal keterlibatan negara dan militernya dan menyebut ianfu disediakan oleh swasta. Peristiwa menentukan terjadi pada musim panas 1991 ketika mantan ianfu, Kim Hak-soon memutuskan “keluar” untuk menekan Jepang agar bertanggung jawab. Setelah itu satu per satu mantan ianfu dari berbagai negara buka suara.
Pemerintah Jepang kemudian melakukan penyelidikan. Akhirnya, pada Juli 1992 Kepala Sekretaris Kabinet Koichi Kato membuat pernyataan yang mengakui keterlibatan militer dalam pengelolaan tempat hiburan dan menyampaikan permintaan maaf. Pernyataan serupa juga dikeluarkan penggantinya, Yohei Kono.
Situasi di Jepang mendorong lima pengacara dari Federasi Advokat Jepang (Nichibenden) datang ke Indonesia pada April 1993. Mereka hendak mengumpulkan data mengenai korban perang Jepang, termasuk ianfu, yang antara lain akan dipakai sebagai bukti dalam sidang pengadilan di Jepang untuk mendapatkan ganti rugi. Di LBH Jakarta, mereka mendengarkan kisah pilu lima mantan ianfu.
“Nichibenden meminta Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) untuk mengumpulkan data ianfu tapi mereka tak bisa mengerjakan dan meminta saya selaku direktur LBH Jakarta,” kata Nursyahbani Katjasungkana, yang kemudian mengkoordinasi pengumpulan data di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Saya masih ingat alasan Inten Suweno menolak memberikan kompensasi ke individu korban karena merusak hubungan Indonesia dengan Jepang dan mempermalukan korban.
Berita akan adanya kompensasi bagi ianfu disambut Menteri Sosial Inten Suweno. Dia menyatakan perempuan-perempuan korban perang Jepang perlu dicari. Tapi dia menyerahkan penanganannya kepada pihak swasta dengan alasan sejak awal pemerintah Indonesia menyatakan tak akan menuntut kompensasi kepada pemerintah Jepang. “Saya masih ingat alasan Inten Suweno menolak memberikan kompensasi ke individu korban karena merusak hubungan Indonesia dengan Jepang dan mempermalukan korban. Menteri perempuan belum tentu bela sesama perempuan,” ujar Nursyahbani.
Efek dari pengumuman akan adanya kompensasi luar biasa. Yang mendaftar ke Yayasan ex-Heiho mencapai 22 ribu, sementara LBH Yogyakarta mendata 1.156 korban. “Tak mungkin diverifikasi satu per satu seperti dilakukan pengadilan di Filipina karena di sana yang mengaku korban hanya 500–700. Mana lagi banyak penipuan. Di Lumajang, sepasang suami-istri dihukum pengadilan karena dianggap menipu korban-korban itu sampai ratusan juta,” ujar Nursyahbani.
Pada 31 Agustus 1994, Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama menyatakan “penyesalan mendalam dan permintaan maaf yang tulus” dan menyatakan keinginan untuk menemukan “cara tepat yang memungkinkan partisipasi yang luas” dari orang Jepang. Menindaklanjuti pernyataan perdana menteri, tiga partai yang berkuasa meluncurkan “proyek yang berhubungan dengan masalah-masalah peristiwa 50 tahun setelah perang”, yang memiliki subkomite penanganan ianfu.
Laporan pertamanya dikeluarkan pada 7 Desember 1994. Isinya: selain mengakui ianfu terjadi selama pendudukan Jepang sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan martabat perempuan, pemerintah Jepang meminta semua orang Jepang berbagi komitmen untuk berpartisipasi dalam kegiatan memenuhi tanggung jawab ini. Terbentuklah AWF yang resmi bekerja pada 19 Juli 1995.
Menolak AWF
Dalam pertemuan CFR (Citizens Fund For Redress WW II Victims in Asia & The Pacific) di Jepang, 11 Juli 1996, yang dihadiri mantan ianfu dari Korea, Filipina, Taiwan, China, dan Indonesia, disepakati untuk menolak kompensasi dari AWF. Indonesia diwakili Ibu Mardiyem yang didampingi Budi Hartono dari LBH Yogyakarta.
Menurut Budi Hartono dan Dadang Juliantoro, alasan penolakan karena AWF melakukan diskriminasi dengan hanya mengakui dan akan memberi ganti rugi kepada 300 ianfu dari Korea, Filipina, dan Taiwan, sedangkan ianfu dari Indonesia dan China tak diakui. Pemerintah Jepang juga melakukan manuver dengan memberikan kompensasi kepada tiga ianfu Filipina di luar koordinasi solidaritas ianfu.
“Dana lembaga ini yang dihimpun dari masyarakat mengisyaratkan bahwa memang pihak pemerintah Jepang tidak ingin menangani masalah ini, dan tanggung jawab hendak diserahkan kepada masyarakat,” tulis Budi dan Dadang dalam Derita Paksa Perempuan.
Menurut Nursyahbani, tuntutan mereka yang menolak AWF adalah kompensasi resmi dari pemerintah Jepang (legal compensation), bukan hanya santunan (atonement money). Berdasarkan keputusan lembaga PBB untuk masalah perempuan (CEDAW) dan Komisi HAM pada 1996, “atonement money tak menghilangkan kewajiban Jepang untuk memberikan legal compensation,” kata Nursyahbani.
Jepang menolak dengan alasan legal compensation sudah dibayarkan lewat pampasan perang kepada bekas negara-negara yang didudukinya. Tapi, dalam perjanjian pampasan perang tak menyebut soal ianfu, hanya physical damage (kerusakan fisik).
Yang kami inginkan ianfu mendapat perlakukan khusus bukan karena lansia, tapi karena dia korban kejahatan seksual pada masa perang.
Permasalahan kompensasi terhadap para ianfu menjadi pelik ketika pada 27 September 1996, Sekjen Departemen Sosial Asmono menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menolak dana kompensasi dari Jepang. Dia menggunakan alasan sulitnya membuktikan kebenaran korban pelecehan seksual. Selain itu, jika menerima dana tersebut, itu sama saja dengan pemerintah Indonesia menerima perlakuan militer Jepang. Baginya, penolakan dana kompensasi berarti menghormati perempuan Indonesia.
Pada 21 Maret 1997, Perdana Menteri Jepang Ryutaro Hashimoto mengirimkan surat permintaan maaf pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia melalui Presiden Soeharto. Surat itu tak menyinggung “tanggung jawab moral pemerintah Jepang, sebaliknya menekankan kerja sama dengan pemerintah Jepang.”
Empat hari kemudian, Kementerian Sosial menandatangani memorandum of understanding dengan AWF. Isinya, kedua belah pihak mengakui keberadaan ianfu di Indonesia. AWF memberikan kompensasi sebesar 380 juta yen. Namun, Kementerian Sosial akan mengelola dana tersebut untuk “meningkatkan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia” dalam periode sepuluh tahun. Alasannya, sulit mengidentifikasi mantan ianfu. AWF tidak keberatan, asalkan “Kementerian Sosial menjamin proyeknya dilaksanakan di daerah di mana mantan ianfu berada.”
Dalam pertanggungjawaban kepada AWF pada 2006, Kementerian Sosial melaporkan: telah menyelesaikan pembangunan 61 institusi sosial (PSTW) untuk lanjut usia beserta peralatan pendukungnya, plus renovasi delapan PSTW di 26 provinsi, dengan biaya sebesar Rp24,156 miliar.
Nursyahbani menyayangkan Kementerian Sosial tak mempertanggungjawabkan dana AWF kepada publik. “Mereka hanya lapor ke AWF dan AWF terima begitu saja, padahal mereka tahu bahwa pelaksanaannya tidak benar, malah dicurigai penuh korupsi,” ujarnya.
Ianfu (Tak) Menghuni Panti
Menurut pihak pengelola PSTW Budhi Dharma Bekasi, pembangunan wisma dengan dana AWF dipantau oleh sebuah tim dari Jepang untuk memastikan bahwa bangunan tersebut dipakai oleh ianfu. Sebelum pembangunan Wisma Sakura I pada 2001, tim Jepang dibantu pengurus PSTW melakukan verifikasi terhadap ianfu.
“Agak susah memverifikasi mereka. Kami rasa itu aib dan tidak akan ada seorang pun yang mau mengaku mantan ianfu. Pendekatan khusus kami terapkan kala itu,” ujar Tony, 50 tahun, kepala seksi advokasi PSTW yang mendampingi tim Jepang.
Langkah pertama tim verifikasi adalah mengelompokkan penghuni panti berdasarkan tahun lahir. Siapa saja yang lahir sepuluh atau belasan tahun sebelum kedatangan Jepang, dikumpulkan. Mereka lalu ditanya dengan pendekatan khusus. Dari sinilah terkumpul sekira sepuluh orang. Setelah Wisma Sakura I berkapasitas tujuh kamar berdiri pada 2001, para ianfu dipindahkan ke sana. Fasilitasnya berbeda dengan wisma lainnya. “Ada kipas angin, kamar mandi sendiri, dan satu kamar satu orang,” kata Tony. Sementara Wisma Sakura II, yang dibangun pada 2006 dan berkapasitas enam kamar, sempat dihuni tiga lansia.
Menurut Tony, lantaran sudah lanjut, satu per satu mantan ianfu meninggal dunia. Ada juga yang diambil keluarganya. Beberapa kali tim Jepang datang ke PSTW untuk mengecek penggunaan wisma, sebelum kedua wisma itu dikosongkan pada 2008.
Menurut Hesti Armiwulan, komisioner Komnas HAM yang bertanggung jawab menangani ianfu, alokasi dana AWF untuk panti jompo tidaklah tepat. Kompensasi dari AWF semestinya diberikan secara individu seperti di Korea Selatan, Filipina, dan Taiwan. “Ironisnya Indonesia tidak seperti itu. Dari perspektif korban, ini ketidakadilan. Mereka melakukan advokasi tapi ketika ada kompensasi mereka tidak bisa menikmatinya,” kata Hesti.
Di sisi lain, panti jompo yang dibangun tak membantu kehidupan para mantan ianfu. Bahkan, berdasarkan informasi yang disampaikan pendamping korban, tak satu pun panti jompo yang dihuni mantan ianfu. Para pendamping pun menuntut dana AWF dikembalikan tunai dan dibagikan secara individu. “Jika tak memungkinkan, Komnas HAM telah meminta kepada Kementerian Sosial agar di setiap panti dinyatakan dalam prasasti atau papan nama bahwa panti ini dibangun berkat sumbangsih ianfu sebagai penghormatan kepada ianfu,” ujar Hesti.
Merespons berbagai tuntutan itu, Kementerian Sosial dalam program jangka pendeknya memberikan santunan kepada ianfu yang masih hidup tapi dalam konteks sebagai lansia. “Yang kami inginkan ianfu mendapat perlakukan khusus bukan karena lansia, tapi karena dia korban kejahatan seksual pada masa perang,” tegas Hesti.*
Tulisan ini dikerjakan bersama Hendaru Tri Hanggoro