SUARA tambur mengalun, atraksi topeng monyet pun dimulai. Anak-anak dan dewasa mengeliling. “Sarimin pergi ke pasar,” perintah sang dalang. Dia lalu memberikan tas dan payung kecil kepada seekor monyet. Sang monyet pun berjalan berkeliling sejauh tali yang mengikat lehernya. Sang dalang kemudian memberikan motor-motoran, kuda-kudaan, dan gerobak dorong, tentu semuanya berukuran kecil.
Bagaimana melacak topeng monyet? Y.W. Mangunwijaya dalam Rara Mendut: Sebuah Trilogi menyebut topeng monyet sebagai kethek ogleng: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu; dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet. Mangunwijaya agaknya keliru sebab kethek ogleng, sebagai salah satu cerita rakyat (folklore) dalam kisah Panji dari Jawa, kemudian menjadi dongeng anak-anak dan sendratari tradisional Tari Kethek Ogleng.
Menurut Matthew Isaac Cohen, “Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon,” dalam The Indonesian Town Revisited karya Peter J.M. Nas, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing direproduksi di Indonesia. Di Jakarta dikenal dengan nama “topeng monyet” dan tempat lain di Jawa sebagai ledhek kethek. Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
SUARA tambur mengalun, atraksi topeng monyet pun dimulai. Anak-anak dan dewasa mengeliling. “Sarimin pergi ke pasar,” perintah sang dalang. Dia lalu memberikan tas dan payung kecil kepada seekor monyet. Sang monyet pun berjalan berkeliling sejauh tali yang mengikat lehernya. Sang dalang kemudian memberikan motor-motoran, kuda-kudaan, dan gerobak dorong, tentu semuanya berukuran kecil.
Bagaimana melacak topeng monyet? Y.W. Mangunwijaya dalam Rara Mendut: Sebuah Trilogi menyebut topeng monyet sebagai kethek ogleng: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu; dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet. Mangunwijaya agaknya keliru sebab kethek ogleng, sebagai salah satu cerita rakyat (folklore) dalam kisah Panji dari Jawa, kemudian menjadi dongeng anak-anak dan sendratari tradisional Tari Kethek Ogleng.
Menurut Matthew Isaac Cohen, “Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon,” dalam The Indonesian Town Revisited karya Peter J.M. Nas, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing direproduksi di Indonesia. Di Jakarta dikenal dengan nama “topeng monyet” dan tempat lain di Jawa sebagai ledhek kethek. Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
Dalam karya lainnya, hasil riset postdoktoral di International Institute for Asian Studies (IIAS) Ohio University, berjudul Komedi Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903, Cohen menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa); ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan China, balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), serta pertunjukan anjing dan monyet, dan seniman boneka.
Hindia Belanda terkenal dengan keragaman seni pertunjukan tradisional. Banyak bentuk seni rumit yang ditampilkan orang Jawa, Bali, Madura, dan etnis lain dari kepulauan bagian barat, seperti wayang kulit yang berakar seribu tahunan atau lebih. Ada berbagai bentuk tari kerasukan yang terkadang dikaitkan dengan perdukunan dan penyembuhan, tari topeng dan teater topeng, tarian rakyat komunal, serta bercerita dengan iringan musik. Prosesi dengan tandu, patung raksasa, musik, dan menari sebagai bagian dari ritus dalam banyak masyarakat Hindia Belanda.
“Rombongan musisi rakyat, penari, aktor, dan hewan mengamen di pasar dan sudut-sudut jalan,” tulis Cohen.
Pertunjukan topeng monyet terutama dinikmati oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Hal ini bisa dilihat dari foto koleksi Tropenmuseum (kini, Wereldmuseum) Amsterdam, Belanda. Foto tahun 1900–1920 ini memperlihatkan seorang dalang Arab dengan dua monyetnya yang dirantai. Ada enam foto pertunjukan topeng monyet lainnya (lihat di sini) yang diambil antara 1 Januari 1947 sampai 31 Desember 1949 oleh Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau persatuan juru foto Amsterdam yang bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953. Dia kerap membuat foto kehidupan sehari-hari. Breijer meninggal dunia pada 18 Agustus 2011 di usia 96 tahun.
Hingga 1970-an, topeng monyet menjadi hiburan anak-anak yang populer. Sampai-sampai, penyanyi cilik Adi Bing Slamet menyanyikan lagu berjudul “Topeng Monyet”. Saking populer, banyak anak yang menginginkan pertunjukan topeng monyet untuk mengisi acara ulang tahun.
“Sebagai anak pada awal tahun 1970-an, saya ingin topeng monyet untuk ulang tahun saya, orang tua saya awalnya menentang, tetapi saya memohon dan mereka akhirnya menurut,” tulis Dyah Suharto, The Jakarta Post, 8 Mei 2008. “Monyet yang akhirnya datang ke rumah saya bernama Sarimin.”
Di balik atraksinya yang lucu, Sarimin memendam rasa sakit. Jakarta Animal Aid Network (JAAN) menuntut pemerintah melarang topeng monyet. Selain menyiksa, monyet membawa banyak jenis virus, seperti hasil penelitian Lisa Jones Engel dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Primata Universitas Washington, Amerika Serikat terhadap sampel darah 20 monyet di Jakarta.
Hasil penelitiannya, yang dimuat di jurnal Tropical Medicine and International Health edisi 8 Desember 2005, antara lain menunjukkan monyet positif membawa virus herpes B (CHV-1) dan simian T-cell lymphotropic virus (STLV) –leluhur Human T-lymphotropic virus (HTLV), penyebab penyakit leukemia (kanker darah). Belajar dari banyak penelitian di kawasan Afrika, tim peneliti juga mencurigai kemungkinan monyet menjadi perantara HIV, penyebab AIDS pada manusia.
Yang biasa digunakan dalam atraksi topeng monyet adalah monyet ekor panjang (macaca fascicularis). Ia cenderung mudah beradaptasi. Tak heran jika kerap dipakai sebagai hewan peliharaan atau hewan percobaan dalam penelitian. Populasinya masih banyak sehingga IUCN Red List mengkategorikannya belum terancam punah (Least Concern) dan pemerintah Indonesia tak memasukkannya sebagai binatang yang dilindungi. Namun, tetap saja ia rentan terhadap eksploitasi; diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Ditambah tingkat deforestasi dan penyempitan hutan, bukan tak mungkin monyet ekor panjang akan terancam punah.