Di usianya yang kian senja, Elisabeth Fisher-Spanjer masih mampu menuturkan kisah masa lalunya bersama kekasihnya, Henk Sneevliet, tokoh yang membawa komunisme ke Indonesia.
Elisabeth Fisher-Spanjer. (Bonnie Triyana/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
FLAT itu terletak di Comeniusstraat, sebelah utara Amsterdam tak jauh dari stasiun kereta Amsterdam Lelylaan. Sudah lebih dari 30 tahun Elisabeth Fisher–Spanjer menempati flat berlantai dua itu. Dia kini berusia 98 tahun. Tinggal sendirian sepeninggal Frank Fisher, suami keduanya, dan dua anaknya yang terlebih dulu wafat meninggalkannya.
Di usia senjanya, mantan sekretaris Nationaal Arbeids-Sekretariaat (NAS, Sekretariat Buruh Nasional) periode 1933–1938 itu masih mampu menuturkan tentang apa saja yang terjadi pada hidupnya. Tak terkecuali hubungan asmaranya dengan Henk Sneevliet yang terjalin secara diam-diam, sejak 1933 sampai 1938.
Pertengahan April lalu, ditemani Rob Hartmans, penulis biografi Elisabeth, Alleen in de wind. Een leven in de twintigste eeuw (Sendiri dalam (hembusan) Angin: Sebuah kehidupan pada abad keduapuluh), Bonnie Triyana dari Historia berhasil mewawancarai perempuan kelahiran Amsterdam tahun 1915 itu. Berikut petikan wawancaranya:
FLAT itu terletak di Comeniusstraat, sebelah utara Amsterdam tak jauh dari stasiun kereta Amsterdam Lelylaan. Sudah lebih dari 30 tahun Elisabeth Fisher–Spanjer menempati flat berlantai dua itu. Dia kini berusia 98 tahun. Tinggal sendirian sepeninggal Frank Fisher, suami keduanya, dan dua anaknya yang terlebih dulu wafat meninggalkannya.
Di usia senjanya, mantan sekretaris Nationaal Arbeids-Sekretariaat (NAS, Sekretariat Buruh Nasional) periode 1933–1938 itu masih mampu menuturkan tentang apa saja yang terjadi pada hidupnya. Tak terkecuali hubungan asmaranya dengan Henk Sneevliet yang terjalin secara diam-diam, sejak 1933 sampai 1938.
Pertengahan April lalu, ditemani Rob Hartmans, penulis biografi Elisabeth, Alleen in de wind. Een leven in de twintigste eeuw (Sendiri dalam (hembusan) Angin: Sebuah kehidupan pada abad keduapuluh), Bonnie Triyana dari Historia berhasil mewawancarai perempuan kelahiran Amsterdam tahun 1915 itu. Berikut petikan wawancaranya:
Kapan Anda pertama kali berkenalan dengan Henk Sneevliet?
Pertama kali saya berkenalan dengannya ketika saya bekerja sebagai sekretaris di Nationaal Arbeids-Sekretariaat di Amsterdam tahun 1933. Tapi tentu saja saya sudah mengenal nama dia sebelumnya. Ibu saya pun sudah mengenal dia. Dia tokoh politik yang cukup terkenal. Mungkin saya sudah mengenal namanya sekira tahun 1930 atau 1931. Waktu itu saya sudah menjadi anggota Persatuan Pemuda Revolusioner (Revolutionaire Jeugdbond, red.), Henk sering menjadi pembicara.
Bagaimana kesan pertama Anda?
Dia seorang pembicara yang simpatik. Mampu membuat para pendengarnya terkesima saat dia bicara atau sedang pidato. Dia bisa memperdaya Anda.
Berapa lama Anda menjalin hubungan dengan Henk?
Sejak tahun 1933, saat itu saya masih berusia 18 tahun. Saya masih muda saat itu. Dan dia tokoh yang cukup penting dan terkenal pada zaman itu. Pada hari-hari itu, dia membuat saya terpesona. Henk seorang penggoda yang tangguh, perayu ulung. Mungkin juga saya masih terlalu muda saat itu. Anda harus tahu juga, waktu itu, pada masa saya masih tumbuh sebagai seorang gadis belia, saya banyak bertemu orang, banyak mengenal kawan laki-laki. Tapi Henk sangat pandai memperdayai saya. Saya terperdaya olehnya.
Sneevliet sudah berkeluarga sedangkan Anda saat itu masih sangat belia.
Ya, saya tahu, saya sangat menyadari itu. Umur saya 18 tahun dan saya terpukau olehnya. Dia sangat memuja saya. Dan hei, Anda harus tahu juga, waktu itu saya pun sudah punya pacar. Tapi Henk begitu sangat memuja saya. Waktu itu saya, tentu saja seorang gadis muda, cantik, bersemangat dan idealis. Saya punya pacar di Brussel (Belgia, red.) tapi bagaimana jadinya kalau saya katakan kepadanya bahwa saya sedang mempersiapkan sebuah revolusi dan berharap kepada dia untuk mewujudkan itu demi berkencan dengan saya pada sebuah malam?! Jangan bodoh! Saya ingin sekali menjadi seorang kamerad (panggilan “kawan” di kalangan aktivis kiri, red.). Dan Henk memberikan itu kepada saya. Dan sekarang saya sadari betapa dia sangat mempengaruhi cara pandang dalam hidup saya saat itu.
Kehidupan pribadi Elisabeth sangat menarik. Dia punya dua anak dari dua lelaki. Anak pertama, Victor Sebastiaan (dipanggil Bas), lahir di Buckow, Jerman, 11 Desember 1944, meninggal di Amsterdam pada 1999. Ayah biologis anak itu adalah Louis Thijssen, seorang wartawan yang bekerja untuk penerbitan Nazi-Jerman. Louis mengaku kalau pekerjaannya itu hanyalah kamuflase untuk menutupi aktivitas bawah tanahnya sebagai aktivis antifasis. Elisabeth percaya itu. Terlebih mereka berdua pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Scheveningen dan Vught, Belanda. Louis dan Elisabeth tak pernah menikah.
Pada 1946, Elisabeth menikah dengan Joop Zwart, aktivis komunis, pengikut Trotsky dan wartawan. Joop pernah pula ditahan di kamp konsentrasi Nazi. Mereka bercerai pada 1962 dan punya seorang anak, Elisabeth Annie Gertrude (biasa dipanggil Pop Zwart). Pop meninggal pada 2008.
Pernikahan kedua berlangsung pada 1967 dengan seorang warga Amerika kelahiran Polandia, Frank S. Fisher. Frank dan Elisabeth mendirikan Yayasan Alexander Herzen, untuk menghormati nama penulis Rusia yang menjadi pelarian saat Stalin berkuasa di Uni Soviet. Frank meninggal pada 1970. Tak ada anak dari pernikahan kedua ini.
Apa yang Anda lakukan bila sedang bersama Henk? Dan apa saja yang menjadi kegemarannya?
Dia seorang sybarite (penikmat kesenangan, red.) yang sangat menyukai makanan, menyukai anggur, dan tentu saja mencintai perempuan. Saya sering menikmati waktu bersama dia, menyantap oister, rijstafel (hidangan lengkap nasi dan lauk pauk, red.). Dan dia selalu memiliki selera yang sama dengan saya. Kami pernah pergi bersama ke Paris untuk menemui Trotsky untuk sebuah pertemuan. (Leon Trotsky, ideolog Marxis, pendiri dan komandan pertama Tentara Merah Uni Soviet. Pendiri Internasionale keempat. Tewas dibunuh atas perintah Joseph Stalin pada 21 Agustus 1940, red.). Di sana kami menyantap makanan yang cukup berlimpah dan saya bertanya-tanya: hei dunia sedang krisis bagaimana bisa ada makanan sebanyak ini. Henk juga sangat menyukai traveling. Dia pergi ke Paris, Berlin, Oslo, dan banyak lagi.
Apakah Henk selalu membicarakan politik saat bersama Anda atau ada hal lain yang juga dia lakukan di luar urusan politik?
Dia tak pernah mau pergi ke museum. Tapi saya suka pergi ke museum. Saya pergi ke teater dan ke gedung konser, dia tidak. Setiap kali ada konferensi, pada saat tertentu saya menyempatkan diri untuk menonton teater atau ke gedung konser. Di Paris misalnya, saat ada kongres, saya meninggalkan kongres untuk mengunjungi gedung teater, berdansa atau berdiskusi dengan para kamerad di kafe sambil menikmati kopi dan rum. Dalam acara seperti itu Anda bisa bertemu dengan kamerad-kamerad dari mana saja, Anda bisa bertemu dengan kamerad dari Cina, dari Indocina atau dari Jerman. Dan setiap malam kami menyerukan pemogokan. Ah... sangat menyenangkan.
Henk seorang tokoh politik, cukup terkenal pada zamannya. Sisi manusiawi apa dari Henk yang menurut Anda menarik?
Henk punya beberapa sisi kehidupan. Lebih tepatnya dia punya banyak sisi kehidupan. Henk pembaca sastra yang baik. Apakah Anda tahu, pemimpin buruh biasanya tak punya kebiasaan membaca buku sastra. Tapi Sneevliet sangat senang membaca buku sastra. Dan ya, ketika anaknya, Pim, bunuh diri dengan menghirup gas beracun, dia sangat terpukul. Saya kenal Pim, dia seorang pemuda yang baik. Dia senang memelihara burung merpati. Henk sangat terpukul. Kemudian dia juga kehilangan Pam. Saya pun sekarang bisa merasakan hal yang sama dengannya. Saya kehilangan dua anak saya dan betapa sedihnya saya.
Kisah Elisabeth penuh kontroversi. Selain menjalin hubungan dengan Henk Sneevliet, pada masa mudanya, Elisabeth juga memiliki hubungan dengan Willy Brandt. Willy dan Elisabeth bertemu pertama kali di Laren, Belanda, Februari 1934 dalam pertemuan pemuda sayap kiri radikal. Kelak Willy jadi kanselir Jerman Barat periode 1969–1974. Pengujung tahun lalu, koran Jerman, Die Welt menulis profil Elisabeth, di mana dia mengungkapkan hubungannya dengan pemenang Nobel perdamaian pada 1971 itu. Namun, menurut Rob Hartmans, mereka hanya bersahabat. “Tak pernah ada hubungan yang lebih jauh.”
Elisabeth juga disebut-sebut terlibat dalam aksi spionase yang menyebabkan terbunuhnya Ignaz Reiss di Chamblandes dekat Lausanne, Swiss pada 4 September 1937. Ignaz adalah agen intelijen GPU (dinas rahasia Uni Soviet, kemudian berubah menjadi NKVD, cikal bakal KGB, red.). Dia jadi buruan agen rahasia Soviet karena mengkritik Stalin dan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai spion.
Nyawa Ignaz dihabisi agen rahasia suruhan Stalin, beberapa jam sebelum dia menemui Henk Sneevliet. Namun demikian, baik Elisabeth dan juga Rob Hartmans menolak tuduhan tersebut. “Sampai sekarang tidak ada satu pun bukti kuat yang bisa menunjukkan keterlibatan Elisabeth dalam peristiwa itu,” kata Rob di sela-sela wawancara.
Elisabeth juga pernah menjadi sekretaris Frans Goedhart, anggota parlemen Belanda dari SDAP yang gigih membela kemerdekaan Indonesia. Di kalangan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, Frans dijuluki “Tuan baik hati”.
Apakah Henk pernah bercerita kepada Anda tentang pengalamannya selama di Indonesia?
Ya, tentu saja. Dan saya juga kenal beberapa kamerad dari Indonesia, Darsono, Semaoen. Ya, saya kenal mereka semua.
Kapan Anda terakhir kali menjalin kontak dengan Henk?
Pada saat ulang tahun saya ke-26, itu terjadi di tahun 1941. Waktu itu Henk sedang berada di dalam persembunyiannya di Den Haag. Seorang kamerad datang membawa surat dari dia untuk saya. Henk mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Itu terakhir kali saya menerima surat darinya. Dia tak bisa lagi kemana-mana waktu itu. Kakinya cedera.
Dari semua peristiwa yang Anda alami, baik bersama Sneevliet ataupun tidak, apa yang bisa Anda refleksikan?
Kami adalah orang-orang yang kalah. Saya merasa kalah. Anda lihat, dunia berubah sekarang dan ini semua tak sesuai dengan apa yang kami cita-citakan, kami impikan. Waktu itu kami, hanya sedikit orang saja, yang ingin mengubah dunia. Dan sekarang, lihatlah, kami gagal mengubah dunia. Jangan gegabah, lihatlah Soviet di bawah Stalin, bahkan dia pun banyak membunuh manusia. Mau apa?! Bagaimana pun saya merasa Henk berjasa dalam memberikan saya pengalaman di dalam gerakan politik internasionalis itu.*