Tak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal, KTP menjadi alat penguasa untuk mengontrol warganya. Karena biaya pendaftaran terbilang mahal, banyak orang membayar dengan mencicil.
KTP Nona Tan Kik Kit Nio berusia 17 Tahun. (Koleksi Didi Kwartanada).
Aa
Aa
Aa
Aa
BEGITU mendarat di Jawa, bala tentara Dai Nippon bergerak cepat untuk mengatur wilayah pendudukannya. Pada 11 April 1942, Jepang mengeluarkan aturan registrasi bagi bangsa asing, Osamu Seirei No. 7. Aturan ini mewajibkan semua penduduk dewasa berumur 17 tahun atau lebih, kecuali orang Jepang dan orang Indonesia, mendaftarkan diri kepada penguasa.
Undang-undang ini memang berlaku bagi Eropa (termasuk Indo) dan Timur Asing (Tionghoa dan Arab). Namun, karena kepentingan politis untuk merangkul umat Islam, kelak pada Juli 1944 Jepang mengeluarkan peraturan yang menganggap orang Arab sebagai “orang Indonesia”, yang berarti membebaskan mereka dari pendaftaran. Setelah mendaftar, mereka akan mendapatkan selembar kartu tanda penduduk (KTP) yang dalam bahasa Jepang disebut Gaikokujin Kyojuu Touroku Sensei Shoumeisho (surat bukti registrasi kediaman dan sumpah warga negara asing).
BEGITU mendarat di Jawa, bala tentara Dai Nippon bergerak cepat untuk mengatur wilayah pendudukannya. Pada 11 April 1942, Jepang mengeluarkan aturan registrasi bagi bangsa asing, Osamu Seirei No. 7. Aturan ini mewajibkan semua penduduk dewasa berumur 17 tahun atau lebih, kecuali orang Jepang dan orang Indonesia, mendaftarkan diri kepada penguasa.
Undang-undang ini memang berlaku bagi Eropa (termasuk Indo) dan Timur Asing (Tionghoa dan Arab). Namun, karena kepentingan politis untuk merangkul umat Islam, kelak pada Juli 1944 Jepang mengeluarkan peraturan yang menganggap orang Arab sebagai “orang Indonesia”, yang berarti membebaskan mereka dari pendaftaran. Setelah mendaftar, mereka akan mendapatkan selembar kartu tanda penduduk (KTP) yang dalam bahasa Jepang disebut Gaikokujin Kyojuu Touroku Sensei Shoumeisho (surat bukti registrasi kediaman dan sumpah warga negara asing).
Secara fisik, KTP ini memiliki ukuran standar 21 x 16 cm. Namun, di beberapa wilayah ada juga yang mengeluarkan kartu berukuran 20 x 15 cm, 21 x 15 cm, dan bahkan 21 x 17 cm. Kartu terdiri dari dua sisi. Sisi depan berisi foto pemegang beserta data pribadi: latar belakang etniknya, tempat lahir, nama dan umur, alamat sekarang, pekerjaan, berapa tahun tinggal di Jawa, dan sudah berkeluarga atau belum. Bagi yang sudah berumah tangga, nama dan umur anggota keluarganya yang belum cukup umur juga harus didaftarkan. Sementara bagian belakang kartu terdiri atas dua panel pengumuman dalam bahasa Jepang dan Indonesia, yang menjelaskan pemegang kartu ini “sudah masuk daftar penduduk bangsa asing”.
Selain sebagai tanda pengenal, KTP merekam perubahan status seseorang. Ketika mendaftar pada Mei 1942, Tee San Hok masih seorang bujang. Setelah menikah dan mempunyai seorang putri, KTP-nya merekam perubahan itu. Begitu pula promosi dalam pekerjaannya. Berhubung minimnya teknologi, semua perubahan itu tampak jelas di atas lembaran KTP San Hok.
Untuk mendapatkan selembar KTP, ada tarif pendaftaran yang harus dibayar sesuai latar belakang etnis dan jenis kelamin. Lelaki Eropa membayar f.150, sedangkan perempuan f.80. Sementara untuk golongan Timur Asing, setiap lelaki dikenakan biaya f.100 dan perempuan f.50. Namun, karena ongkosnya terbilang mahal, dimaksudkan Jepang untuk menarik dana dari masyarakat demi kebutuhan perang, banyak orang tak sanggup membayar kontan. Mereka lalu memohon keringanan untuk mencicil. Jepang mengabulkannya, dengan pertimbangan lebih baik mencicil daripada tidak membayar sama sekali.
Ny. Kwee Tjin Gwan dari Magelang harus mencicil sepuluh kali untuk melunasi biaya pembuatan KTP-nya. Selain cicilan, ada keistimewaan dari KTP Ny. Tjin Gwan ini: nama dan beberapa item lainnya dilengkapi huruf Tionghoa. Di masa itu, tak banyak daerah yang mau bersusah-payah melakukannya. Yang tak kalah menarik, Ny. Kwee digolongkan sebagai bangsa “Indo Tionghwa”, yang dalam kanji disebutkan “Tionghoa kiao seng” (peranakan). Pas fotonya juga cukup unik karena dia berpose dengan bayinya.
Ny. The Wan Nio dari Lumajang dan Oen Kim Lioe dari Indramayu juga mencicil. Penempatan catatan pembayaran cicilan mereka berbeda dalam KTP; Ny. Kim Lioe digoreskan di bagian depan, sementara Oen Kim Lioe di bagian belakang.
Aturan registrasi juga memuat klausul tentang kewajiban mengucapkan janji setia kepada Jepang. Di bagian bawah KTP Go Thwan Tjioe, misalnya, tertulis “telah bersumpah setia terhadap Tentara Dai-Nippon, dan telah melakukan registrasi kediaman warga negara asing” yang disahkan dengan cap Komandan Brigade Isamu, Maruyama Masao. Begitu pula KTP Oen Kim Lioe.
Dari Shina hingga Tjina
Dari Sukaraja didapatkan KTP atas nama Go Thwan Tjioe. Dia digolongkan sebagai “Tionghoa Peranakan”, yang ditulis pula dalam huruf kanji “Shina ni seijin”. Menurut Susy Ong, pengajar Sastra Jepang Universitas Indonesia, “Shina ni seijin” berarti “orang Tionghoa generasi kedua”.
Yang menarik, pemakaian istilah “Shina” sebagai kategori etnis Tionghoa di sini. Menurut Tsuda Koji, antropolog Universitas Tokyo, istilah “Shina” awalnya tak mengandung konotasi penghinaan –seperti halnya kata “China” dalam bahasa Inggris. Namun, sejak Perang Jepang-Dinasti Ching (1894), kata ini mengalami pergeseran makna. Setelah Perang Dunia II, kata ini tak dipakai lagi, kecuali mau menjelekkan China, atau beberapa idiom yang sudah baku seperti “Shina-soba” (bakmi-china, yaitu ramen).
Stempel “Shina” (atau dalam bentuk singkat “Shi”) juga muncul di daerah Bandung, Cirebon, Indramayu, dan Jember. Istilah “Cina” yang dewasa ini menjadi kontroversi, sempat muncul pula dalam KTP Jepang, seperti KTP Ny. Oey Tjin Nio dan KTP Oen Tjin Hwa. Dari daerah Adiwerna, Slawi, dan Tegal (ketiganya masuk wilayah kabupaten Tegal) muncul istilah “Tjina Indo” (maksudnya “Peranakan”) dan “Tjina Totok”. Menariknya, dari seluruh sampel, istilah peyoratif tersebut tak muncul di daerah lain. Tentu ini menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.
Istilah “Tjina” sebagai penyebutan Tiongkok muncul dalam KTP Hong Lauw. Hong Lauw, yang sudah 22 tahun tinggal di Indonesia, menyatakan diri berasal dari Hokkian, “Negeri Tjina”.
Untuk golongan totok, penguasa Jepang di Surabaya sudah mempersiapkan stempel dwibahasa yang rapi (Kanji-Latin). Ini tampak dalam KTP Tjiong So, seorang tukang kayu yang sudah tujuh tahun hidup di Indonesia dan meninggalkan istrinya di kampung halaman di Canton.
Kertas yang Mengawasi
Hampir setahun setelah pendudukan Jepang, Liong Tjoen Djan memutuskan pindah dari Cianjur ke Surabaya. Tak ada alasan khusus selain dia punya warung kopi di Surabaya. Untuk itu, pada Februari 1943, dia melapor kepada polisi (keisatsucho) Cianjur. Di Surabaya, dia mendapatkan KTP tertanggal 17 Februari 1943 yang menerangkan kepindahannya.
Apa yang terjadi pada Tjoen Djan tidaklah aneh di masa Jepang. Untuk mengawasi aktivitas dan ruang gerak orang-orang Tionghoa (dan minoritas asing lainnya), Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 4 tanggal 4 Februari 1943 atau undang-undang yang “mengawasi hal pindah dan bepergian”. Apabila hendak berpindah alamat, seseorang harus melapor ke kepala polisi setempat. Demikian pula apabila hendak bepergian ke luar kota.
Uniknya, dalam KTP Tjoen Djan, namanya ditulis dalam huruf katakana –satu-satunya dari sejumlah KTP sampel yang diperoleh. Alamat dan jenis pekerjaan Tjoen Djan yang lama (di Cianjur) ditutup dengan kertas bertuliskan alamat baru (Surabaya) dengan diberi stempel “walikota”. Di sebaliknya ada stempel: “Melihat-Kepala Bagian Pendaftaran A. Salam”.
Semua gerak-gerik Tjoean Djan pun terpantau dengan baik oleh aparat. Begitu pula bangsa Eropa. Yang melanggar aturan ini bisa kena hukuman. Ini dialami C.H. Anthonysz yang dihukum tiga bulan penjara karena, tulis Pembangoen, 13 Mei 1943, “dipersalahkan pindah dari Jakarta ke Kebayoran dengan tidak melaporkan pada polisi.”
Dari selembar KTP, ada banyak kisah terbaca. Ia bukan sekadar tanda pengenal seseorang. Ia juga alat penguasa mengontrol dan mengawasi warganya seperti dialami etnis Tionghoa di Jawa semasa pendudukan Jepang. Sebabnya, sebelum kedatangan Jepang, sebagian dari mereka gigih melawan agresi Nippon ke Tiongkok melalui berbagai cara: agitasi di media dan ruang publik hingga penggalangan dana.
Namun, Jepang kemudian mengambil kebijakan untuk merangkul etnis Tionghoa. Pada 8 Desember 1943, bertepatan dengan Peringatan Hari Pembangunan Asia Timur Raya, terbit Osamu Seirei No. 52 yang membebaskan pendudukan Tionghoa dari Osamu Seirei No. 4. Alasannya, sebagaimana dikutip Sinar Matahari, 10 Desember 1943, orang-orang Tionghoa patuh dan bahkan menyumbangkan tenaga bagi pemerintah Jepang selama masa perang. “Karenanya pemerintah belum lama berselang mengakui bahwa penduduk Tionghoa itu adalah sebagian dari penduduk di Jawa.” Namun, Jepang tak segan-segan memberlakukan aturan itu lagi jika “bangsa Tionghoa peranakan” melakukan perbuatan yang tak patut atau melanggar larangan dalam bidang perekonomian.
“Dengan keluarnya undang-undang yang baru ini, penduduk Tionghoa dengan leluasa dapat lagi menjalankan penghidupan ekonominya sebagai biasa, karena semenjak lama mereka terkenal sebagai golongan penduduk yang mengendalikan dunia perdagangan di Jawa,” tulis Pembangoen, 11 Desember 1943.
Gratis
Lim Peng Gwan dari Cirebon genap berusia 17 tahun pada 1945. Dia mendaftarkan diri dan mendapatkan selembar KTP tertanggal 20 Mei 1945. Namun, uniknya, dia tak mengeluarkan biaya pendaftaran alias gratis. Tampaknya menjelang kekalahannya dalam perang, Jepang mulai melonggarkan kebijakannya.
Setelah kekalahan Jepang, bagaimanakah nasib KTP ini? KTP milik The Wan Nio ternyata tetap bisa digunakan. Wan Nio menggunakan KTP-nya sebagai dokumen untuk meminta Kartu Izin Masuk di Malang tahun 1981, atau 36 tahun setelah Jepang angkat kaki dari bumi Indonesia!
Seperti halnya Belanda, Jepang mengambil kebijakan atas dasar garis rasial yang menciptakan segregasi dalam masyarakat. Ironisnya, kebijakan seperti ini kemudian berulang. Tidak bisakah kita belajar dari sejarah, termasuk dengan membaca dokumen-dokumen seperti KTP masa Jepang ini?
Foto-foto koleksi Didi Kwartanada
Penulis adalah sejarawan spesialis sejarah Tionghoa. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Susy Ong dan Dr. Tsuda Koji yang telah menerjemahkan bahasa dan tulisan Jepang; serta Bung Dede yang telah berbaik hati memberikan scan dua koleksi pribadinya.