Sekolah Islam ala Hamka

Dari Masjid Al-Azhar, Hamka menggerakkan roda pendidikan umat. Sebuah upaya modernisasi pendidikan Islam.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Sekolah Islam ala HamkaSekolah Islam ala Hamka
cover caption
Jemaah mendengarkan khotbah dari imam Buya Hamka saat salat Idulfitri di halaman Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 15 September 1977. (Perpusnas RI).

LEPAS Ashar pada pertengahan 1952, Gazali dan Salim dari Yayasan Pesantren Islam (YPI) berkunjung ke rumah Hamka di Gang Toa Hong II. Mereka meminta saran Hamka tentang rencana YPI membangun masjid dan gedung kuliah di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masalahnya dana YPI hanya cukup untuk membangun salah satunya. Mereka bertanya, “Manakah yang harus didahulukan?” 

Hamka menjawab, “Bangunlah masjid lebih dahulu! Tetapi bangunan itu hendaklah sedemikian rupa mempunyai ruangan-ruangan kantor, aula untuk rapat, kuliah…,” diceritakan oleh Gazali Syahlan dalam “Nasehat Yang Tulus Ikhlas” termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Hamka bersedia jadi khadam-nya (imam) kalau masjid sudah jadi. 

Gazali dan Salim melapor ke pengurus YPI. Mereka semua setuju usul Hamka dan lekas membangun masjid. Pembangunan masjid selesai pada 1958. YPI menamakannya Masjid Agung Kebayoran Baru. Bentuknya megah dengan menara khas Timur Tengah. Imamnya Hamka. Tapi jamaahnya masih sedikit. “Hanya beberapa saudara kandung saya, kuli bangunan, dan tukang becak,” kenang Irfan Hamka.

LEPAS Ashar pada pertengahan 1952, Gazali dan Salim dari Yayasan Pesantren Islam (YPI) berkunjung ke rumah Hamka di Gang Toa Hong II. Mereka meminta saran Hamka tentang rencana YPI membangun masjid dan gedung kuliah di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masalahnya dana YPI hanya cukup untuk membangun salah satunya. Mereka bertanya, “Manakah yang harus didahulukan?” 

Hamka menjawab, “Bangunlah masjid lebih dahulu! Tetapi bangunan itu hendaklah sedemikian rupa mempunyai ruangan-ruangan kantor, aula untuk rapat, kuliah…,” diceritakan oleh Gazali Syahlan dalam “Nasehat Yang Tulus Ikhlas” termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Hamka bersedia jadi khadam-nya (imam) kalau masjid sudah jadi. 

Gazali dan Salim melapor ke pengurus YPI. Mereka semua setuju usul Hamka dan lekas membangun masjid. Pembangunan masjid selesai pada 1958. YPI menamakannya Masjid Agung Kebayoran Baru. Bentuknya megah dengan menara khas Timur Tengah. Imamnya Hamka. Tapi jamaahnya masih sedikit. “Hanya beberapa saudara kandung saya, kuli bangunan, dan tukang becak,” kenang Irfan Hamka. 

Bersama pengurus YPI, Hamka mengadakan beberapa kegiatan untuk memakmurkan masjid. Antara lain pengajian subuh, konsultasi keagamaan, dan kajian tasawuf. Cara mereka berhasil. Jamaah masjid bertambah. 

Pada 1960, Mahmud Syaltout, rektor Universitas Al-Azhar Mesir, berkunjung ke masjid itu. Dia menyarankan nama baru bagi masjid: Al-Azhar. “Maksudnya ialah agar di masjid ini didirikan suatu perguruan Islam yang dapat mengimbangi Universitas Al-Azhar Mesir,” tulis Badruzzaman Busyairi dalam Setengah Abad Al-Azhar.

Hamka sepikiran dengan Syaltout. “Buya Hamka ingin masjid menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan,” tulis Shobahussurur dalam Mengenang 100 Tahun Hamka. Nama masjid itu pun berganti. 

Hamka kemudian mengundang para mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Ciputat, Jakarta, tinggal di asrama masjid. “Mereka diharapkan dapat memakmurkan masjid pada saat salat lima waktu dan pada kegiatan lain,” kata Mahfudh Makmun, mantan ketua YPI Al-Azhar bidang pendidikan, dikutip Enam Puluh Tahun YPI Al-Azhar.

Buya Hamka menyampaikan khotbah Idulfitri di halaman Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 15 September 1977. (Perpusnas RI).

Dari Pengajian Sore

Para mahasiswa mengajar anak-anak di aula masjid pada sore hari. Kebanyakan anak berasal dari keluarga tak mampu. Mereka dapat materi baca-tulis Al-Qur’an. Kian hari jumlah mereka meningkat. Pelajaran tambah beragam. “…Juga belajar tauhid, ibadah, akhlak, serta tarikh. Lantas duduknya tidak lagi bersila di depan rehal, melainkan di bangku-bangku panjang dari kayu,” tulis Badruzzaman. 

Melihat pengajian sore anak-anak berkembang, Abdullah Hakim, salah satu jamaah masjid, mengusulkan ke YPI pada Maret 1963 agar meningkatkan mutu pengajian itu. Pengurus YPI terpikat usul tersebut. Mereka mempersiapkan tim perancang sekolah. “Antara lain saya, Nurcholish Madjid (kelak jadi intelektual muslim terkemuka), dan A. Wachid Zaini,” kata Mahfudh. 

Mereka berhasil mematangkan rancangan sekolah pada tahun itu juga. Pengurus YPI lantas mengumumkan kehadiran Sekolah Islam Sore (non-formal) untuk anak-anak berusia 6–12 tahun di Al-Azhar. Mereka menyebutnya Madrasah Diniyah. Waktu belajarnya dari sore hingga jelang Magrib.

Tahun berikutnya, Agustus 1964, YPI membuka Taman Kanak-Kanak (TK) Islam dan Sekolah Dasar (SD) Islam Al-Azhar. Masing-masing hanya satu kelas. “Baik TK maupun SD waktu itu masih menggunakan aula masjid sebagai tempat belajarnya,” tulis Kompas, 24 April 1983.

Bangunlah masjid lebih dahulu! Tetapi bangunan itu hendaklah sedemikian rupa mempunyai ruangan-ruangan kantor, aula untuk rapat, kuliah...

Pengelolaan dan penyusunan kurikulum sekolah berada sepenuhnya pada pengurus YPI. Hamka tak terlibat langsung. Hamka bukan pengurus atau anggota YPI. “Dia sendiri tidak ikut dalam proses awal pembentukan YPI Al-Azhar, akan tetapi nama besarnya melekat pada badan hukum itu,” tulis Lukman Hakiem dalam Enam Puluh Tahun YPI Al-Azhar

Dalam pembangunan lembaga pendidikan di masjid Al-Azhar, Hamka punya dua peran. Pertama, Hamka turut menarik orang datang ke masjid. Termasuk dari kalangan atas. Hamka menggerakkan mereka untuk menyumbang ke masjid. Seperti uang, buku, Al-Qur’an, kursi, dan meja. Sumbangan jamaah masjid sangat bermanfaat bagi kegiatan di TK dan SD Al-Azhar. “Semuanya dibiayai oleh jamaah di bawah pimpinan dan anjuran Buya Hamka,” kata Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Hamka.

Kedua, Hamka ikut menyumbangkan gagasan pendidikan Islam ke pengurus YPI. “Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan bahwa di atas dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Yang Maha Besar… sebab itu pendidikan modern kembali kepada agama,” tulis Hamka dalam Lembaga Hidup. Hamka juga menerangkan dua tujuan pendidikan Islam: untuk mengenal Allah dan mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah masyarakat.

Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. (Koleksi YPI Al-Azhar).

Menerapkan Gagasan Hamka

Pengurus YPI mengejawantahkan gagasan Hamka dalam sistem pendidikan Al-Azhar. Mereka menerapkan sistem pendidikan modern dengan memasukkan ruh Islam ke kurikulum. “Pendidikan yang didirikan pun bukan madrasah atau pesantren tradisional sebagaimana lazimnya ada di Indonesia pada zaman itu, tetapi yang didirikan adalah sekolah model Barat,” tulis Shobahussurur. 

Al-Azhar memakai kurikulum nasional dengan penambahan khusus pada jam dan bobot pelajaran agama. Masyarakat menyukai konsep pendidikan di Al-Azhar. Mereka berebut menyekolahkan anaknya di Al-Azhar. 

Bersama itu, Kebayoran Baru menjelma daerah elite di Jakarta. Keluarga-keluarga kaya tertarik pula menyekolahkan anaknya di Al-Azhar. Mereka sanggup membayar mahal dan memberi sumbangan besar. YPI pun beroleh dana segar. Sehingga mereka mampu membuka lagi dua sekolah: Sekolah Menengah Pertama pada 3 Januari 1971 dan Sekolah Menengah Atas pada 3 Januari 1976. Lengkap dengan gedung baru melalui bantuan Pemerintah DKI Jakarta.

Pelan-pelan Al-Azhar berganti wajah. Dari sekolah kaum duafa menjadi sekolah favorit kaum elite, para muslim kota. Hamka sadar keadaan berubah. Maka saat memperoleh amanah sebagai ketua YPI sejak 1975, Hamka mengajak para pendidik di Al-Azhar menjaga kepercayaan masyarakat. “Pusat perhatian YPI Al-Azhar di bawah kepemimpinan Buya Hamka adalah menjaga kualitas pelayanan di segala bidang dengan tingkat akuntabilitas yang mumpuni,” tulis Lukman. 

Sedang jaya-jayanya, Al-Azhar kehilangan Hamka pada 1981. Hamka wafat. Sepeninggal Hamka, para pendidik tetap menjalankan pesan Hamka. Hasilnya masyarakat masih getol menyekolahkan anaknya ke Al-Azhar. Untuk membatasi jumlah murid, Al-Azhar bikin seleksi ketat dua jalur: kemampuan kognitif anak (testing) dan daya finansial orang tua. 

“Bila orang tua tak dapat memenuhi persyaratan administratif sekolah, anaknya harus rela minggir dari Al-Azhar, walau anaknya telah sukses dalam testing,” tulis Kompas. Pengurus YPI memandang daya finansial orang tua cukup penting. Sebab, pendidikan berkualitas memang mahal. Apalagi Al-Azhar tak menerima subsidi dari pemerintah. Beda dari sekolah negeri. 

Beberapa orang tua mengaku kecewa anaknya gagal masuk Al-Azhar. Pengurus YPI mulai berpikir untuk membuka cabang Al-Azhar di luar Kebayoran Baru. YPI siap bekerja sama dengan pihak lain untuk membuka cabang. Dan tawaran pihak lain pun cepat berdatangan. Sekolah Al-Azhar lekas bermunculan di luar masjid seperti di Pasar Minggu, Pondok Labu, dan Kemang. Bahkan hingga ke Cirebon, Jawa Barat, kampung istri kedua Hamka. 

Seperti Al-Azhar di Kebayoran baru, cabang-cabang itu memperoleh banyak peminat. Mengapa orang tua sangat berminat memasukkan anaknya ke Al-Azhar? “Kami tidak mengetahui secara pasti mengapa sekolah ini digandrungi masyarakat,” kata Mahfudh, dikutip Kompas. Irfan Hamka menduga nama besar Buya Hamka sebagai daya tarik Al-Azhar. 

“Nama Al-Azhar tak bisa lepas dari Buya Hamka,” kata Irfan. Lantaran itu pula beberapa orang mencoba menggunakan dan mematenkan nama Al-Azhar. Klaim kedekatannya dengan Hamka jadi bahan argumentasi. Persengketaan sempat mengemuka. Misalnya, kasus Al-Azhar di Kemang dan Kelapa Gading. Kasus ini berakhir damai pada 1991. Hingga sekarang Al-Azhar masih jadi sekolah favorit kalangan elite.*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65dc7f2e1681fb45688a9485