Laksamana Muda Tadashi Maeda mendirikan Asrama Indonesia Merdeka. Sekolah politik itu dituding menekankan pengajaran komunis. Di balik itu ada kepentingan jangka panjang.
Tadashi Maeda bersama Ahmad Subardjo dan Yaichiro Shibata. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan kepada Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan “kelak di kemudian hari”. Setelah Deklarasi Koiso itu, Shigetada Nishijima mengontak Ahmad Subardjo dan memberi tahu rencana Laksamana Muda Tadashi Maeda mendirikan sekolah untuk pemuda-pemuda Indonesia. Sekolah itu bernama Asrama Indonesia Merdeka, didirikan pada Oktober 1944 dan bertempat di Jalan Kebon Sirih No. 8 Jakarta Pusat.
“Nama tempat pendidikan itu berasal dari Subardjo. Terinspirasi oleh nama majalah Perhimpunan Indonesia: Indonesia Merdeka,” tulis Kompas, 14 Agustus 1969.
Tidak lama kemudian, menurut sejarawan George McTurnan Kahin, Maeda mendirikan cabang sekolah tersebut di dekat Surabaya. “Angkatan Perang Jepang menentang pendirian sekolah Asrama Indonesia Merdeka, tetapi tidak berhasil menutupnya,” tulis Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
PADA 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan kepada Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan “kelak di kemudian hari”. Setelah Deklarasi Koiso itu, Shigetada Nishijima mengontak Ahmad Subardjo dan memberi tahu rencana Laksamana Muda Tadashi Maeda mendirikan sekolah untuk pemuda-pemuda Indonesia. Sekolah itu bernama Asrama Indonesia Merdeka, didirikan pada Oktober 1944 dan bertempat di Jalan Kebon Sirih No. 8 Jakarta Pusat.
“Nama tempat pendidikan itu berasal dari Subardjo. Terinspirasi oleh nama majalah Perhimpunan Indonesia: Indonesia Merdeka,” tulis Kompas, 14 Agustus 1969.
Tidak lama kemudian, menurut sejarawan George McTurnan Kahin, Maeda mendirikan cabang sekolah tersebut di dekat Surabaya. “Angkatan Perang Jepang menentang pendirian sekolah Asrama Indonesia Merdeka, tetapi tidak berhasil menutupnya,” tulis Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
Pemilihan para pengajar dan peserta kursus diserahkan sepenuhnya kepada Subardjo. Kepala sekolahnya Wikana, seorang komunis. Para pengajar sekolah itu dan materi yang diajarkannya antara lain: Sukarno (politik), Mohammad Hatta (ekonomi), Sutan Sjahrir (sejarah Asia dan sosialisme), R.P. Singgih (kebudayaan Indonesia), Sanusi Pane (sejarah Indonesia), Suwandi (sejarah pergerakan nasional), Iwa Kusumasumantri (hukum pidana), Ahmad Subardjo (hukum internasional), dan Muhammad Said (pendidikan dan budaya).
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para tokoh nasionalis untuk memengaruhi para pemuda soal kemerdekaan Indonesia. “Bahkan, menurut Sjahrir, mereka mendapatkan kebebasan untuk menyerang pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu,” tulis Kahin.
Menurut sejarawan Suhartono dalam Kaigun Penentu Krisis Proklamasi, awalnya Sjahrir menolak mengajar. Akhirnya, ia mau mengajar setelah dibujuk Subardjo bahwa pemuda berminat belajar sosialisme.
Sjahrir, yang bergerak di bawah tanah melawan Jepang, bersedia mengajar juga demi keselamatannya dari penangkapan Jepang. “Agar tidak memberikan alasan kepada Jepang untuk menangkapnya, maka Sjahrir bersedia mengajar di Asrama Indonesia Merdeka yang dikelola oleh Wikana dan Nishijima,” tulis Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1909–1966.
Jadi terlalu dibuat-buatlah teori bahwa Maeda dan perwira-perwira Angkatan Laut Jepang menjalin kegiatan dengan orang-orang Indonesia atas dasar aspirasi komunis.
Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, sejarawan Harry A. Poeze mengamini bahwa Maeda dan pembantu-pembantunya, Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi, melindungi Subardjo dan teman-temannya dari perhatian Kempeitai (polisi militer) yang menakutkan.
Sementara itu, lanjut Poeze, para peserta kursus (berusia 18–20 tahun) sedikit banyak tetap di dalam kesatuan-kesatuan semimiliter bentukan Kaigun (Angkatan Laut) yang terus berkembang, yang bertujuan untuk melakukan perlawanan gerilya di pedalaman jika terjadi penyerbuan Sekutu.
“Satu-satunya yang dilakukan Maeda hanyalah memberi pelatih-pelatih seni bela diri. Mereka ini terdiri dari orang-orang Jepang,” tulis Kompas. Rupanya pendidikan yang dimaksudkan Maeda itu serupa dengan Peta (Pembela Tanah Air) yang diusahakan Angkatan Darat, hanya tanpa disiplin ketat kemiliteran. Tujuan Maeda mendirikan sekolah itu untuk “mendidik pemuda-pemuda Indonesia yang berbakat agar mereka memiliki latar belakang pendidikan patriotisme dalam konteks solidaritas Asia.”
Dengan sekolah itu, menurut Suhartono, Maeda mencoba menciptakan “kandidat”. Jika Sukarno, Hatta, dan Subardjo ditahan, para kandidat dapat melanjutkan perjuangan.
Hingga akhir Juli 1945, Asrama Indonesia Merdeka mengadakan kurus dwibulanan dan menghasilkan ratusan lulusan. “Mulai Mei 1945, para tamatan Asrama Indonesia Merdeka didekati Subardjo dan diminta untuk bergabung dalam gerakan bawah tanah anti-Jepang yang ia kepalai,” tulis Kahin.
Wikana (kedua dari kiri) pernah menjadi kepala sekolah politik di Asrama Indonesia Merdeka. (ANRI).
Tujuan Lain Maeda
Kahin menuding bahwa Maeda, dibantu para perwira Dinas Rahasia Angkatan Laut Jepang (Kaigun Bukanfu Daisanka) yang turut mengelola sekolah Asrama Indonesia Merdeka, memberikan penekanan pada pembelajaran komunisme. Oleh karena itu, Kahin berpandangan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagian besar berkat pengaruh sikap dan aktivitas perwira-perwira Jepang yang communistic minded (berkecenderungan komunis).
“Dan tokoh utama yang dipandang bertanggung jawab terhadap aktivitas-aktivitas itu adalah Laksamana Muda Maeda. Bersama dengan perwira-perwira Angkatan Laut Jepang bawahannya, Maeda dianggap tokoh yang menginginkan berdirinya suatu Republik Indonesia, berdasarkan prinsip-prinsip Marxistis, dengan bantuan pemuda-pemuda Indonesia. Untuk kepentingan ini para pemuda itu harus dididik dalam sekolah yang didirikannya,” tulis Kompas.
Subardjo membantah keterangan Kahin. Menurutnya, komunisme tidak masuk sebagai bahan pengajaran. Ini tidak mungkin, karena sampai saat-saat terakhir pendudukan Jepang, komunisme dianggap berbahaya. Malahan pejabat-pejabat Jepang sendiri, baik sipil maupun militer, lebih takut untuk mengucapkan kata komunis. Sebelum berperang, mereka diindoktrinasi dalam Nihon Sheisin (jiwa semangat Jepang) yang pada hakikatnya antikomunis.
“Jadi terlalu dibuat-buatlah teori bahwa Maeda dan perwira-perwira Angkatan Laut Jepang menjalin kegiatan dengan orang-orang Indonesia atas dasar aspirasi komunis,” kata Subardjo dikutip Kompas.
Kahin juga mengetengahkan pertanyaan mengapa Maeda mendirikan Asrama Indonesia Merdeka? “Belum ada kesepakatan di kalangan mereka yang merasa mengetahui jawabannya,” tulis Kahin.
Namun, Kahin menyodorkan beberapa pendapat bahwa pendirian sekolah itu untuk menyusupi PKI atau memecahnya, sehingga bantuan pihak ini (karena PKI antifasis) terhadap Sekutu akan menjadi lemah. Atau justru ada gagasan di balik itu, bahwa kekalahan Jepang akan diikuti dengan perebutan kekuasaan kaum komunis, dan Jepang bersama Uni Soviet akan bergandeng tangan sebagai sekutu dalam Perang Dunia III.
“Teori-teori persekongkolan rahasia seperti itu terasa dicari-cari terlalu jauh,” tulis Poeze. Maeda, menurut Poeze, terlepas dari kesulitan sehari-hari menghadapi pemerintah (Angkatan Darat) di Jawa, bisa memberanikan diri menyatakan simpatinya kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam perbuatan. Mengingat kekalahan Jepang yang tak terelakkan itu, Maeda bekerja demi kepentingan jangka panjang negerinya dengan jalan membantu elite politik Indonesia sampai proklamasi kemerdekaan. Terbukti, setelah merdeka, Indonesia menjalin hubungan baik dengan Jepang.*