Ilustrasi Kusni Kasdut mencuri berlian di Museum Nasional. (Betaria Sarulina/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
LIMA tahun setelah album pertamanya, band raksasa rock Indonesia God Bless merilis album kedua tepat pada “April Mob” 1980. Di dalam album bertajuk Cermin itu ada lagu berjudul “Cermin”, “Balada Sejuta Wajah”, dan “Selamat Pagi Indonesia”. Dua lagu terakhir liriknya ditulis jurnalis Theodore KS dan musiknya digarap gitaris God Bless Ian Antono. Lagu terakhir inspirasinya baru datang di awal tahun itu juga.
“Liriknya ditulis oleh Theodore KS. Lagu ini diilhami oleh terpidana mati Kusni Kasdut, yang harus mengakhiri hidupnya di hadapan regu tembak pada 16 Februari 1980,” tulis Alex Palit dalam God Bless and You Rock Humanisme.
LIMA tahun setelah album pertamanya, band raksasa rock Indonesia God Bless merilis album kedua tepat pada “April Mob” 1980. Di dalam album bertajuk Cermin itu ada lagu berjudul “Cermin”, “Balada Sejuta Wajah”, dan “Selamat Pagi Indonesia”. Dua lagu terakhir liriknya ditulis jurnalis Theodore KS dan musiknya digarap gitaris God Bless Ian Antono. Lagu terakhir inspirasinya baru datang di awal tahun itu juga.
“Liriknya ditulis oleh Theodore KS. Lagu ini diilhami oleh terpidana mati Kusni Kasdut, yang harus mengakhiri hidupnya di hadapan regu tembak pada 16 Februari 1980,” tulis Alex Palit dalam God Bless and You Rock Humanisme.
Lagu tersebut menggambarkan bagaimana Kusni Kasdut menghadapi hukuman matinya.
“Derap langkahnya yang begitu tenang. Melangkah menuju keabadian,” begitu bunyi potongan lirik “Selamat Pagi Indonesia” yang dinyanyikan Ahmad Albar, sang vokalis.
Meski tak lahir di Malang seperti Ian Antono, Kusni Kasdut yang –kelahiran tahun 1929–bernama asli Waluyo juga “Kera Ngalam” alias “Arek Malang”. Di Malang, Waluyo kecil hingga remaja tinggal di Gang Jangkrik. Menurut sejarawan Malang Fransisco Hera alias Sisco, “Gang Jangkrik dekat Pasar Besar Malang.” Daerah ini terkenal dengan kulinernya, Bakmi Gang Jangkrik, yang sekarang lokasinya tidak di Gang Jangkrik lagi.
Rumahnya kecil dan konon mirip kandang. Rumah itu disewa ibunya yang berdagang pecel. Masa-masa sebelum 1945 adalah masa tak menyenangkan bagi Waluyo. Ada sesuatu yang dianggap aib keluarga. Ketika remaja, Waluyo merasa dirinya tidak berharga.
“Dengan perasaan kecil dan tidak berarti itulah Kusni bersama beberapa orang temannya mendaftarkan diri menjadi Heiho menjelang rontoknya kekuasaan Jepang di Indonesia,” catat Saiful Rahim dalam Perjalanan Hidup Kusni Kasdut.
Dengan mendaftarkan diri ke Heiho, ada asa untuk memperbaiki nasib yang bisa digapainya di sana. Heiho adalah pembantu tentara Jepang.
Setelah Jepang kalah, Waluyo alias Kusni Kasdut lalu mendukung kemerdekaan Republik Indonesia yang hendak dihancurkan Belanda. Kusni, yang masih berusia 16 tahun itu, dengan berani ikut serta dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Di masa-masa menyerempet bahaya yang bisa mengakhiri nyawanya sendiri itulah Waluyo merasa dirinya berharga.
Kala itu pejuang bersenjata seperti dirinya dipandang positif oleh orang kebanyakan. Latar belakang yang suram di dalam kemiskinan tentu tak sempat dipandang orang lain. Yang dipikirkan banyak orang hanyalah aksi nyata dalam membela kemerdekaan. Itulah sebabnya seorang perempuan Indo muda, dari keluarga yang jauh lebih dipandang dari keluarga Kusni, mau dinikahi Kusni.
Dalam perjuangan angkat senjata di masa revolusi, Kusni pernah ditempatkan dalam Staf Pertempuran Ekonomi. Markasnya di Jalan Beliton, Madiun. Berkaitan dengan tugas itu, yang tak hanya menuntut keberanian tapi juga kreativitas, Kusni rela merampok demi Republik Indonesia.
“Kusni tak tahu menahu dan tak mau tahu nasib hasil jarahannya. Ia menyumbangkan puluhan juta bagi revolusi,” catat James Siegel dalam Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Kejahatan Politik dan Kejahatan.
Gerombolan Kusni Kasdut berhasil menggondol sebelas butir berlian dari Museum Nasional.
Kusni bahkan pernah terluka kakinya demi kemerdekaan Indonesia. Namun, cederanya justru dijadikan alasan oleh negara untuk menolak Kusni masuk tentara setelah revolusi.
Kusni menghadapi kehidupan yang berbeda setelah revolusi berlalu. Keadaan masyarakat setelah tahun 1950 kembali ke “zaman normal” era Hindia Belanda, hanya beda penguasa saja. Sistem priayi baru terbangun. Kusni, dan banyak pejuang lain sepertinya, kebetulan tak terserap dalam golongan priayi baru ini dan cenderung dilupakan kiprahnya di masa revolusi.
Hidup sebagai sipil dengan istri dan anak tanpa pekerjaan yang mencukupi kebutuhan keluarga –pekerjaan Kusni saat itu adalah pedagang– membuat Kusni mempraktikkan kembali apa yang dilakukannya di Staf Pertempuran Ekonomi. Kali ini aksinya bukan untuk negara yang kurang peduli pada orang sepertinya, melainkan untuk dirinya dan kawan-kawan yang ikut dengannya. Kusni pun merampoki orang kaya.
Aksi terkenalnya adalah perampokan terhadap Ali Bajened, direktur NV Marba, pada 11 Agustus 1953 di Jakarta.
De Vrije Pers tanggal 24 Maret 1954 memberitakan Kusni alias Hamzah alias Sutarto (26 tahun) kemudian tertangkap bersama rekannya, Salim bin Alkaf (35 tahun) dan Ahmad Usman bin Anwar (29 tahun). Mereka berniat membunuh Ali Bajened dengan berusaha menculiknya. Kusni alias Hamzah, diberitakan Java Bode edisi 23 September 1954, akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup. Dia lalu ditahan di Cipinang.
Sekitar tahun 1959, Kusni berhasil kabur dari penjara dan buron. Aksinya waktu di Staf Pertempuran Ekonomi diulanginya. Kali ini bukan menyasar orang kaya tertentu tapi negara yang kurang menghargai jasa perampokannya di masa revolusi. Pada 31 Mei 1961, Kusni dan kawanannya menyamar jadi polisi dan menyasar Museum Nasional atau Museum Gajah yang letaknya tidak jauh dari Istana Negara. Selain sempat menembak petugas museum, gerombolan Kusni berhasil menggondol sebelas butir berlian.
Pelarian Kusni sebagai buron berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya. Penangkapan itu bermula dari kecurigaan seorang petugas pegadaian yang mencurigai berlian yang hendak dijual seseorang ke instansinya berukuran tak lazim. Petugas itu lalu melapor ke kepolisian. Polisi pun bergerak. Kusni ditangkap.
Kusni akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 1964. Namun, masa tunggu eksekusi yang lama membuat Kusni berkali-kali berusaha kabur. Upaya kabur di tahun 1979 berhasil namun dia ditangkap kembali. Hukuman matinya pun disegerakan.
Kusni Kasdut dieksekusi regu tembak pada 16 Februari 1980. Kematiannya membebaskannya dari penderitaannya di masyarakat dan pengkhianatan negara kepadanya.*