Semaoen Anak Didik Sneevliet

Henk Sneevliet melihat Semaoen sebagai pemuda berani yang berbakat dalam politik. Sementara Semaoen menganggap Sneevliet sebagai gurunya. Ini kisah persahabatan dua orang revolusioner.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Semaoen Anak Didik SneevlietSemaoen Anak Didik Sneevliet
cover caption
Semaoen dipanggul rekan-rekan komunis Belanda dan didaulat pidato di Gedung Konser Amsterdam tahun 1923. (Repro Di Negeri Penjajah karya Harry A. Poeze).

PADA siang hari 16 Juli 1917, untuk sebuah pekerjaan propaganda buruh serikat kereta api, Semaoen dan Henk Sneevliet pergi mengunjungi Probolinggo. Atas anjuran seorang kusir, mereka menuju sebuah hotel di tengah kota Probolinggo. Ketika pesuruh hotel membawa koper masuk dan Sneevliet tengah duduk di kursi goyang, pemilik hotel datang menyambangi Sneevliet dan bertanya, “siapakah inlander yang datang bersamamu itu? Apa pekerjaanya?”

“Dia kolega saya, tuan,” kata Sneevliet sopan.

“Apakah dia seorang guru?” tanya pemilik hotel berkulit putih itu.

Sneevliet kembali mengatakan bahwa lelaki yang pergi bersamanya itu kawannya tak lebih tak kurang. Mendengar jawaban tersebut, pemilik hotel mengatakan bahwa hotelnya tidak biasa menerima seorang tamu bumiputra untuk menginap. Dia berkilah merasa tak enak dengan tamu-tamunya yang lain. “Ada hotel lain di sini, milik seorang Tionghoa, di mana orang seperti kawanmu itu bisa menyewa kamar,” kata pemilik hotel, sontak membuat Sneevliet marah.

“Tuan, manusia macam apa tamu-tamu Anda itu? Mereka terbiasa mengambil keuntungan dari bumiputra tapi cara mereka memperlakukan manusia sama sekali tidak bisa diterima,” kata Sneevliet.

PADA siang hari 16 Juli 1917, untuk sebuah pekerjaan propaganda buruh serikat kereta api, Semaoen dan Henk Sneevliet pergi mengunjungi Probolinggo. Atas anjuran seorang kusir, mereka menuju sebuah hotel di tengah kota Probolinggo. Ketika pesuruh hotel membawa koper masuk dan Sneevliet tengah duduk di kursi goyang, pemilik hotel datang menyambangi Sneevliet dan bertanya, “siapakah inlander yang datang bersamamu itu? Apa pekerjaanya?”

“Dia kolega saya, tuan,” kata Sneevliet sopan.

“Apakah dia seorang guru?” tanya pemilik hotel berkulit putih itu.

Sneevliet kembali mengatakan bahwa lelaki yang pergi bersamanya itu kawannya tak lebih tak kurang. Mendengar jawaban tersebut, pemilik hotel mengatakan bahwa hotelnya tidak biasa menerima seorang tamu bumiputra untuk menginap. Dia berkilah merasa tak enak dengan tamu-tamunya yang lain. “Ada hotel lain di sini, milik seorang Tionghoa, di mana orang seperti kawanmu itu bisa menyewa kamar,” kata pemilik hotel, sontak membuat Sneevliet marah.

“Tuan, manusia macam apa tamu-tamu Anda itu? Mereka terbiasa mengambil keuntungan dari bumiputra tapi cara mereka memperlakukan manusia sama sekali tidak bisa diterima,” kata Sneevliet.

Kisah itu ditulis oleh Sneevliet pada penerbitan berkala Het Vrije Woord, dikutip oleh Max Perthus dalam biografinya, Henk Sneevliet Revolutionair-Socialist in Europa en Azie untuk menggambarkan situasi kolonial yang diwarnai diskriminasi oleh bangsa Belanda terhadap kaum bumiputra. Cerita Sneevliet tersebut mengingatkan kisah serupa tentang larangan masuk ke tempat-tempat tertentu yang khusus diperuntukan bagi orang Belanda lengkap dengan pengumuman “Verboden voor honden en inlanders” (Anjing dan pribumi dilarang masuk).

Persahabatan Sneevliet dan Semaoen melampaui persoalan dominasi dalam struktur masyarakat kolonial. Kisah itu dimulai ketika Sneevliet melihat Semaoen sebagai pemuda berani yang berbakat dalam politik. Sementara itu, Semaoen menganggap Sneevliet sebagai gurunya, sebagaimana disebut dalam suratnya pada 26 Agustus 1921, dia menyebut Sneevliet “Mijn Goeroe” atau “guruku”.

Ketika memulai perjalanan politiknya, Semaoen baru berusia 17 tahun. Walaupun masih muda, dia telah tampil sebagai tokoh pergerakan revolusioner Indonesia. “Sneevliet-lah yang ‘menemukannya’ dan kemudian membinanya,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.

Semaoen dan Henk Sneevliet.

Siapakah Semaoen?

Semaoen lahir pada 1899 di Curahmalang, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, Prawiroatmodjo bekerja sebagai pegawai kereta api rendahan. Dia hanya belajar di sekolah dasar bumiputra kelas dua (Tweede Klas, Ongko Loro), tetapi sempat kursus bahasa Belanda di HIS (Holland Inlandsche School), sekolah dasar bagi anak priayi dan orang berpunya. Selulus dari Tweede Klas, dia bekerja sebagai klerk (juru tulis) di stasiun kereta api Surabaya pada 1912, saat usia 13 tahun.

Pada 1914 Semaoen menjadi sekretaris Sarekat Islam cabang Surabaya. Setahun kemudian dia bergabung dengan VSTP (Vereniging van Spoor- en Tramwegpersoneel atau Serikat Buruh Kereta Api dan Trem) dan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging atau Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia) cabang Surabaya. Hal ini, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Soewarsono, didahului oleh pertemuannya dengan Sneevliet di Surabaya awal tahun 1915.

“Suatu pertemuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap ‘ketulusan dan sikap manusiawi’ Sneevliet, dan karena itu, menerima tawaran Sneevliet agar Semaoen memasuki VSTP dan ISDV afdeeling Surabaya,” tulis Soewarsono dalam Berbareng Bergerak, Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaun.

Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, Semaoen banyak terlibat dalam aktivitas serikat buruh kereta api sehingga mengantarkan dirinya mendapatkan nama buruk sebagai seorang agitator buruh pertama di Indonesia. “Kedudukan itu juga menghubungkan dirinya dengan Sneevliet yang kemudian menjabat di VSTP. Setahun kemudian dia menjadi wakil ketua cabang Surabaya. Semaoen kagum akan upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia,” tulis McVey.

Menurut Soewarsono, Semaoen menguasai bahasa Belanda cukup baik, minatnya untuk terus memperluas pengetahuannya dengan jalan otodidak dan hubungan dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor penting yang membuat Semaoen menempati posisi strategis di VSTP dan ISDV.

Pada Juli 1916, karena diangkat sebagai propagandis VSTP yang digaji bulanan, Semaoen pindah ke pengurus besar VSTP di Semarang. Dia pun berhenti dari pekerjaannya di stasiun kereta api Surabaya. Dia juga menjadi redaktur Si Tetap, organ penerbitan VSTP berbahasa Indonesia. Dia juga diangkat sebagai propagandis Sarekat Islam Semarang. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih menjadi ketua SI Semarang.

Semaoen memimpin pengelolaan Sinar Djawa, corong SI Semarang. Dia memperkuatnya dengan memasukkan Mas Marco Kartodikromo, yang baru saja keluar dari penjara, dan Darsono, yang dijumpainya saat pengadilan Sneevliet, sebagai anggota redaksi. Sinar Djawa berubah menjadi Sinar Hindia sejak 1 Mei 1918.

Semaoen berhasil meningkatkan jumlah anggota SI Semarang dalam waktu setahun saja. Dari 1.700 anggota pada 1916 menjadi 20.000 orang pada 1917. Kegiatannya di ISDV, membuat dia membawa SI Semarang ke arah radikal yang selalu bertentangan dengan CSI (Central Sarekat Islam) selaku koordinator SI lokal.

Karena tulisan-tulisannya di media massa, Semaoen terkena persdelict. Dia dipenjara di Yogyakarta selama empat bulan, Juli–November 1919. Selama dalam kurungan, dia menulis novel Hikajat Kadiroen dan Penoentoen Kaoem Boeroeh.

Persahabatan Sneevliet dan Semaoen melampaui persoalan dominasi dalam struktur masyarakat kolonial.

Semaoen menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920. Pada musim gugur 1921, dia berangkat ke Uni Soviet untuk menghadiri kongres Komunis Internasional ketiga. Tan Malaka ditunjuk untuk menggantikan posisinya. Tan Malaka kemudian menyelenggarakan sekolah gratis bagi anak-anak buruh anggota SI di Semarang.

Pada 1922, terjadi pemogokan besar-besaran serikat buruh pegadaian yang dipimpin Abdoel Moeis dari CSI. PKI mendukung pemogokan ini yang kemudian berhasil digagalkan oleh pemerintah dan memecat para pegawai yang mogok. Tan Malaka diusir dari Hindia Belanda selagi Semaoen masih di luar negeri.

Pada Mei 1922, Semaoen kembali ke Hindia Belanda. Dia mulai menempuh haluan yang hati-hati dengan tujuan memulihkan pengaruh PKI dan menghindari tindakan pemerintah terhadap partai. Tetapi desakan massa mau tak mau mendorong dilakukannya aksi. Pemogokan buruh kereta api pada Mei 1923 membuat Semaoen ditahan dan kemudian diusir. Dia tiba di Amsterdam, Belanda pada 20 September 1923. Sebelum berangkat dan menetap di Amsterdam, dia ditunjuk oleh PKI menjadi wakil partai di Eropa.

“Tiga hari kemudian dengan sangat meriah dia dielu-elukan dalam suatu rapat selamat datang yang diadakan baginya di Concertgebouw,” tulis Poeze.

Di Belanda, Semaoen menjalin hubungan dengan Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada November 1925, PI bahkan tidak keberatan menguasakan kepada Semaoen dan Iwa Kusuma Sumantri pergi ke Moskow, Uni Soviet untuk meminta penjelasan tentang politik “front rakyat” (eenheidsfront). Politik yang diusung Komunis Internasional dengan semboyan “kaum proletar di seluruh dunia bersatulah” ini telah menarik perhatian PI.

Pada November 1926 dan Januari 1927 pecah pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra. Pemberontakan gagal dan PKI dilarang. Ribuan orang komunis dikirim ke kamp Boven Digul, Papua. Beberapa pimpinan PKI berhasil kabur ke Uni Soviet.

“Di sinilah mereka mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia,” tulis Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru, 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia.

Pada 1927, Darsono menulis buku Perjuangan Petani Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Prancis. Pada 1931, Musso menerbitkan brosur populer berjudul Indonesia, dan kumpulan artikel tentang pemberontakan buruh Indonesia di kapal perang Belanda Zeven Provincien pada 5 Februari 1933. Sedangkan Semaoen menerbitkan brosur berjudul Indonesia pada 1940 dengan oplah mencapai 50 ribu eksemplar.

Semaoen dan Darsono semasa muda.

Pulang ke Indonesia

Sebelum kembali ke Indonesia pada 1946, Musso menyusun bahan pelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Uni Soviet. Bahan tersebut disempurnakan oleh Semaoen yang mengajar bahasa Indonesia pada 1945–1947 di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskow. Hasil revisi Semaoen inilah yang kemudian diterbitkan sebagai buku pelajaran bahasa Indonesia yang pertama untuk mahasiswa Uni Soviet.

Di awal 1945, Semaoen memulai siaran bahasa Indonesia di radio Moskow dan bekerja di sana. Dia bahkan menikah dengan seorang perempuan Rusia bernama Varia. Kakaknya, Anna menikah dengan Iwa Kusuma Sumantri. Keterangan ini berdasarkan otobiografi Iwa Kusuma Sumantri, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah. Sumber lain, Intisari (Oktober 1971) menyebut istri Semaoen bernama Valentina Ivanova.

Pada 1952, Adam Malik menjadi anggota delegasi untuk menghadiri konferensi ekonomi di Uni Soviet. Dia sempat mengunjungi Semaoen di rumahnya di flat baru yang bertingkat delapan di Novo Pisjana. Semaoen mendapat empat kamar di tingkat dua. Dalam buku catatan kunjungannya, Sovjet Rusia Seperti Jang Saja Lihat (1954), Adam Malik menyebut Semaoen memiliki dua anak laki-laki, Rono yang sudah berumah tangga, dan Mischka, serta satu cucu perempuan, Iljena. Sementara Intisari (Oktober 1971) menyebut anak pertama Semaoen, laki-laki, bernama Rono, dan anak kedua, perempuan, bernama Elena yang ikut pulang ke Indonesia. Rono kemudian dikenal sebagai penerjemah karya-karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia.

Sumber lain majalah Ekspres (Januari 1971) dan majalah Intisari (Oktober 1971) menyebut bahwa dari pernikahan pertamanya sebelum diasingkan ke Belanda, Semaoen memiliki dua anak bernama Logiko Sudibjo dan Axioma.

Menurut Tomi Lebang, mungkin karena dianggap “terlalu paham” soal Soviet, Semaoen dilarang pulang ke Indonesia. Pemerintah Soviet khawatir Semaoen –yang pernah menjadi ketua semacam badan pembangunan nasional Turkmenistan– akan dituduh mata-mata mereka di Indonesia. Namun, banyak pihak menduga sebaliknya: Soviet justru takut Semaoen membeberkan berbagai informasi strategis yang membahayakan keamanan intelijen negara itu.

Semaoen meminta bantuan Sukarno ketika berkunjung kali pertama ke Moskow pada Agustus–September 1956. Sukarno lalu meneruskan permintaannya kepada Marsekal Barsilov, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet. Akhirnya, Semaoen bisa pulang ke Indonesia pada 1957.

Pada 1959, Sukarno memberi jabatan penting kepada Semaoen sebagai wakil ketua Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara), yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX. Bapekan dibubarkan pada 1962. Pada 1961, Semaoen mendapat gelar doktor honoris causa dalam ilmu ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Dia menjadi pengajar mata kuliah ekonomi di kampus tersebut hingga meninggal pada 7 April 1971.*

​​Tulisan ini dikerjakan bersama Bonnie Triyana

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6516d5108ecd9967b3ce886e