Senam Giat Tubuh Sehat

Terinspirasi senam taiso pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Orde Baru menggalakkan dan mewajibkan olahraga senam SPI kemudian SKJ.

OLEH:
Aryono
.
Senam Giat Tubuh SehatSenam Giat Tubuh Sehat
cover caption
Para perawat sedang olahraga senam taiso pada masa pendudukan Jepang. (Djawa Baroe, 1 Oktober 1944).

JUMAT pagi tak seramai dulu. Dentaman musik rancak yang membuka aktivitas murid sekolah dan pegawai kantoran di pagi hari nyaris tak terdengar lagi. Hanya beberapa sekolah dan instansi yang masih menghelatnya.

“Jam krida wajib karena masih ada Keppres No. 17 Tahun 1984 yang mengaturnya dan belum dicabut. Pilihannya bebas, bisa senam aerobik atau SKJ,” ujar Bambang Laksono, Asdep Olahraga Rekreasi, di ruang kerjanya di Gedung Kemenpora lantai 8.

JUMAT pagi tak seramai dulu. Dentaman musik rancak yang membuka aktivitas murid sekolah dan pegawai kantoran di pagi hari nyaris tak terdengar lagi. Hanya beberapa sekolah dan instansi yang masih menghelatnya.

“Jam krida wajib karena masih ada Keppres No. 17 Tahun 1984 yang mengaturnya dan belum dicabut. Pilihannya bebas, bisa senam aerobik atau SKJ,” ujar Bambang Laksono, Asdep Olahraga Rekreasi, di ruang kerjanya di Gedung Kemenpora lantai 8.

Keppres No. 17 Tahun 1984 menentapkan jam krida olahraga demi meningkatkan kesegaran jasmani, rohani, dan produktivitas kerja bagi pegawai negeri, tentara, karyawan BUMN dan bank negara, karyawan perusahaan dan bank milik daerah, serta pelajar dan mahasiswa.

Senam Kesegaran Jasmani atau SKJ, melanjutkan Senam Pagi Indonesia (SPI), merupakan upaya pemerintahan Soeharto untuk menyukseskan program “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”. Saat itu pemerintah menggalakkan, bahkan wajib, kegiatan senam di semua instansi, pemerintah maupun swasta, dan sekolah.

Namun, wajib senam bukanlah khas Orde Baru. Di masa pendudukan Jepang, militer Jepang sudah menerapkannya dengan pemberlakuan wajib senam taiso. Menurut Pewarta Celebes, 15 Februari 1944, kewajiban ini adalah sabda langsung dari Kaisar Tenno Heika. Dalam pertemuan antara Jepang, Manchuria, Tiongkok, Filipina, Thailand, dan Birma pada November 1943, Kaisar Tenno Heika menghendaki seluruh rakyat Asia sehat jasmani sehingga perlu adanya pengajaran taiso. Tenno Heiko juga menunjukkan kaitan antara kesehatan dan kehebatan bangsa Jepang. “Kita ketahui bahwa seluruh rakyat Nippon berlomba mempertinggi kesehatan dan kekuatan badan maka tidak heran kekuatannya mengagumkan dunia.”

Sastrawan Suparto Brata tak akan lupa ketika bersekolah di masa Jepang. Dia masuk sekolah rakyat di Moendoeweg atau Jalan Mundu, yang berhadapan dengan stadion Tambaksari, Surabaya (sekarang Gelora 10 November). Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, dia melakukan upacara. Setelah itu mengucapkan sumpah sebagai Pelajar Jawa Baru atau Sin Jawa Gakko to no Cikahu, yang siap belajar dan membela negara untuk Perang Asia Timur Raya. Guru lalu memberikan wejangan dan acara ditutup dengan “radio taiso” atau gerak badan radio.

“Aba-abanya dan musiknya disiarkan bersama lewat radio dari Jakarta. Anak laki-laki bajunya dilepas, tinggal celana pendek,” tulis Suparto Brata dalam Surabaya No Monogatari, Surabaya Zaman Jepang.

Kegiatan itu bukan hanya dilakukan anak sekolah tapi juga orang sipil. Begitu berkumpul, semua orang memulai gerakan pemanasan dengan menekukkan lutut lalu tegak kembali, berturut-turut sampai satu baris musik. Setelah itu barulah melakukan gerakan kedua, ketiga, hingga sembilan, teratur sistematis, dari leher sampai memutar pinggang, lalu kembali lagi ke gerakan pertama untuk mengembalikan otot-otot. Taiso kemudian ditutup dengan mengatur pernapasan. Semuanya dilakukan tak lebih sepuluh menit.

Setelah kalah perang, Jepang meninggalkan Indonesia tapi jejak taiso tak jua menghilang. Kegiatan itu masih dijalankan berpuluh tahun setelah Indonesia merdeka. “Agaknya upacara semacam ini digemari oleh bangsa Indonesia, sehingga sekali pun Jepang sudah angkat kaki dari Indonesia, bahkan orang Jepang tidak lagi melakukan upacara lapangan semacam itu di negaranya, bangsa Indonesia tetap melakukannya,” tulis Suparto Brata. “Saya menjadi pegawai negeri Pemerintah Kota Surabaya (1971–1988) tetap melakukan upacara lapangan macam itu. Jadi, saya melakukan upacara, sumpah dan senam.”

Senam taiso salah satu kegiatan tantara Pembela Tanah Air (Peta). (Djawa Baroe, 1 Oktober 1944).

Senam ala Silat

Pada Januari 1973, delegasi kongres IV Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) menemui Presiden Soeharto, pembina utama IPSI. Dalam pertemuan, Soeharto mengutarakan keinginannya akan adanya olahraga massal yang bersifat kesegaran jasmani atau gerak badan seperti taiso yang pernah dijalankan masa Jepang. Dia juga menyatakan perlunya kajian akan faedah gerak badan itu bagi kesehatan dan kesegaran jasmani.

Sebagai tindak lanjut anjuran presiden, pada November 1974, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menggelar Seminar Olahraga Asli di Tugu, Cipanas. Dibahaslah upaya memasukkan dan mempopulerkan pencak silat di sekolah-sekolah. Hasil seminar menyimpulkan perlunya menggarap terlebih dulu program olahraga massal yang bersifat penyegaran jasmani. Dibentuklah tim khusus untuk menggodoknya, yang terdiri dari praktisi pencak silat, kesehatan, dan olahraga, serta dosen Sekolah Tinggi Olahraga Jakarta.

“Senam yang akan diresmikan tersebut memang ditujukan murni untuk menjaga kebugaran, fitness. Jadi ada penelitian yang menerangkan bahwa kebugaran tersebut akan membawa implikasi pada produktivitas orang yang bersangkutan. Misalnya, di kantor tidak ngantuk,” ujar Amrum Bustamam, mantan Kasubdit Pembinaan Olahraga Masyarakat, yang juga jadi anggota tim khusus.

Selain Amrum, tim tersebut antara lain terdiri dari M.F. Siregar (waktu itu sekjen KONI Pusat) serta praktisi pencak silat dari IPSI macam Mohamad Hadimulyo dan Mohamad Djoko Waspodo. Konsep senamnya digodok di Direktorat Keolahragaan, di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga, yang waktu itu masih berada di bawah Depdikbud.

Gerakan-gerakan senam mengambil inspirasi dari gerakan pencak silat, olahraga tradisional yang dikenal luas di Indonesia. Gerakannya dikemas sedemikian rupa agar aman dilakukan terutama oleh anak sekolah. “Saya dan teman-teman menjalin kerja sama dengan Ikatan Pencak Silat Indonesia untuk merangkai gerakan-gerakan senam,” ujar Amrum.

Ada penelitian yang menerangkan bahwa kebugaran akan membawa implikasi pada produktivitas orang yang bersangkutan. Misalnya, di kantor tidak ngantuk.

Untuk musik pengiringnya, Depdikbud menggelar Sayembara Mencipta Lagu Senam Pagi Indonesia. Ada beberapa syarat bagi lagu yang ikut sayembara ini. Senam Pagi Indonesia (SPI) terdiri dari 12 ragam, masing-masing ragam terdiri dari delapan hitungan, antara ragam satu dengan ragam lain diselingi empat hitungan. Kemudian irama lagu (gerakan) adalah 4/4 dengan tempo 80. Tema lagu dan syair harus didasarkan atas kebudayaan dan kepribadian Indonesia. Pemenangnya berhak mengantongi hadiah sebesar Rp200 ribu.

Juri diketuai R.M. Suwandono, direktur Pendidikan Kesenian Depdikbud. Anggotanya: Pranajaya, El Pohan, R.A.Y. Sudjasmin, dan A.P. Suhastjarjo. Setelah menilai karya 74 peserta yang mendaftarkan diri, juri akhirnya menetapkan tak ada karya peserta yang memenuhi syarat. Seperti yang diungkap Sutarso, ketua sayembara, sebagaimana dikutip Tempo, 9 Agustus 1975, “otomatis pemenangnya tidak ada.”

Panitia dan juri bersepakat menunjuk Sudjasmin yang dikenal sebagai komponis untuk membuat lagu senam dengan bantuan juri lainnya. Lagu pengiring SPI ini diharapkan selesai sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia ke-30.

Dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1975, Presiden Soeharto menyatakan perlunya pembangunan jiwa dan raga, khususnya senam pagi. “Dari mimbar ini saya serukan agar mulai tanggal 17 Agustus 1975 kita memulai untuk secara
teratur melakukan Senam Pagi Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan segera akan menggerakkan senam pagi itu, antara lain dengan mewajibkan pada sekolah-sekolah untuk melakukan senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Gerakan-gerakan dalam senam pagi itu digali dari sumber-sumber kebudayaan kita sendiri, diarahkan untuk pertumbuhan jiwa dan raga kita serta disesuaikan dengan keperluan bangsa kita yang terus membangun ini.”

Sejak itu program-program penataran dan kurikulum kemudian dirancang guna menyukseskan SPI. “Kami mengundang perwakilan sekolah, perwakilan tempat kursus, serta pakar kesehatan dan olahraga untuk pelaksanaan SPI. Kami ingin olahraga senam ini sehat sekaligus aman dilakukan masyarakat,” ujar Amrum.

Kursus-kursus instruktur SPI juga digelar, yang mengundang staf dari instansi dan sekolah. Peserta kursus akan mendapatkan piagam. Untuk mensosialisasikannya, pemerintah menyediakan puluhan ribu kaset SPI. Gerakan nasional ini makin gencar setelah Presiden Soeharto mencanangkan apa yang disebut Panji Olahraga: “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”.

Varian SPI kemudian berkembang; seri A, B, C dan D. “Seri A,B, C, D sebenarnya wujud dari tingkatan dari yang mudah hingga yang sulit,” ujar Amrum.

Siswa sekolah sedang SKJ. (Dok. Darma Dianto).

Rezim Senam

Sejak ada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 1983, kegiatan olahraga di Indonesia kian marak. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Abdul Gafur menyosialisasikan dan melanjutkan program senam massal ini di sekolah-sekolah hingga kantor-kantor pemerintah.

SPI sendiri kemudian bertransformasi menjadi Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang mulai diperkenalkan awal 1984. Perubahan ini tak lepas dari evaluasi yang dilakukan Kemenpora. Pelaksanaan SPI dianggap memakan waktu cukup lama. Alunan dan tempo musiknya terlalu lambat. “Lalu ada upaya pembaruan dengan menghadirkan senam baru lagi yang bernama Senam Kesegaran Jasmani,” ujar Amrum. “SKJ sifatnya aerobik, gerak dinamis, musiknya pun dibuat meriah.”

Musik senam SKJ 1984 diciptakan Nortier Simanungkalit, komponis Indonesia dengan spesialisasi lagu-lagu mars dan himne, yang juga pernah menggubah musik untuk SPI. Setelah itu, setidaknya empat tahun sekali, gerakan dan lagu atau musik senam disempurnakan melalui lokakarya-lokakarya yang melibatkan ahli senam, dokter dan pakar olahraga, IPSI, dan pencipta lagu. Beberapa nama tercatat mengaransemen SKJ seperti Januar Ishak (SKJ 1988 dan 1993) dan F.X. Sutopo (SKJ 1996), dengan menyertakan lagu-lagu daerah dari Yamko Rambe Yamko (Papua) sampai Jali-Jali (Jakarta).

SKJ secara simbolis mulai dijalankan di seluruh tanah air sejak 11 Maret 1984 –mengambil hari penting bagi sejarah Orde Baru, alih kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, dengan menjadikan senam sebagai sarana perjuangan– namun pelaksanaannya setiap Jumat dimulai April 1984 mengikuti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV.

Pelaksanaan wajib senam diperkuat dengan diterbitkannya Surat Perintah Kantor
Menpora No. B/0227/K/Menpora/84 yang dikeluarkan pada 13 Februari 1984, Surat Keputusan Mendikbud No. 0242/U/1984 tanggal 4 Juni 1984, dan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga No. Kep-03/E/K/1984. Untuk memasyarakatkannya, SKJ menjadi acara TVRI setiap minggu.

Sifat pembelajaran dari SKJ adalah komando, mematuhi dan mengikuti gerak instruktur atau mengandalkan hapalan gerakan tertentu, sehingga terjadi kemungkinan pemasungan kreativitas, terutama anak usia sekolah.

Ironisnya, ketika pemerintah menggalakkan SKJ, senam lainnya dilarang. Ini terjadi pada senam waintankung, taichichuan, dan berbagai senam berbau Tionghoa lainnya yang populer kala itu. “Pemerintah menginginkan hal-hal yang berbau asing itu dihilangkan. Agar jangan mengganggu pembinaan bangsa,” kata Menpora Abdul Gafur, seperti dikutip Tempo, 31 Januari 1987. Waitankung pun berubah nama jadi Senam Sehat Indonesia, sementara taichichuan berubah menjadi Senam Tera Indonesia. Pemerintah pun kian menggalakkan SKJ, termasuk mewajibkannya selama jam krida olahraga.

Senam menjadi bagian dari alat kontrol negara. “Sifat pembelajaran dari SKJ ini adalah komando saja, mematuhi dan mengikuti gerak instruktur atau mengandalkan hapalan gerakan tertentu, sehingga terjadi kemungkinan pemasungan kreativitas, terutama anak usia sekolah,” ujar Mia Kurniasih, guru SMA di Bandung. “Padahal semestinya SKJ setiap Jumat ini kan membuat pesertanya gembira, sarana refresh kala bekerja atau sekolah.”

Setelah Soeharto lengser, pelaksanaan SKJ tak sesemarak dulu. Hanya beberapa instansi dan sekolah yang terlihat menggelarnya. Itu pun tak mesti SKJ. Bebas, bisa senam apa saja. Toh bukan berarti SKJ sudah mati, karena Keppres tentang Jam Krida Olahraga belum dicabut.

Senam, juga olahraga apapun, memang penting. Namun rasanya tak perlu lagi didikte. Pewajiban dan penyeragaman hanya akan membuat tubuh sehat tapi jiwa belum tentu kuat. Men sana in carpore sano.*

Majalah Historia No. 5 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
645cbb1269005d63b1bbcbf3