Sengkarut Tinju Pro

Ring tinju disemarakkan adu jotos para selebritas. Kapan kita punya juara dunia tinju lagi?

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Sengkarut Tinju ProSengkarut Tinju Pro
cover caption
Ilustrasi: M. Awaludin Yusuf.

SUASANA di lingkar dalam Stadion Gelora Bung Karno (GBK) sore itu berangsur riuh. Beberapa orang, tua-muda, berolahraga jogging, jalan sehat, atau sekadar bikin konten. Lagu-lagu medley tradisional terdengar dari pengeras suara.

Di area “Pintu Kuning” yang berada di antara Zona 10 dan 11, dengan suara lantang Nicholas “Nico” Thomas memberikan aba-aba. Pukulan keras menghantam target pad merah di tangannya. “Terus! Maju! Satu, dua, tiga, empat. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!” seru Nico.

Bhuk! Bhak! Bhuk! Bhak!’ Pukulan bertubi-tubi membidik target pad. Kadang diselingi manuver mengelak dan melancarkan pukulan counter maupun switch stance atau mengubah kuda-kuda.

“Tembak! Bagus! Terus, tembak! Terus, tembak! Ambil! Ambil!” lanjut Nico. Aba-aba “tembak” adalah instruksi untuk melancarkan pukulan hook, sedangkan “ambil” berarti pukulan overhand.

Nico tak muda lagi. Usianya 56 tahun. Kerutan terlihat di kulitnya. Rambut serta kumisnya memutih. Namun Nico masih bugar dan gagah. Suaranya masih lantang.

“Ya lumayan (pendapatannya),” ujar Nico seraya membereskan peralatan latihan. Keringat membasahi kaos kelabunya.

Nico Thomas dikenal sebagai salah satu petinju profesional Indonesia. Dia pernah menyandang gelar juara dunia kelas terbang mini versi International Boxing Federation (IBF) tahun 1989.

Setelah gantung sarung tinju, Nico bekerja serabutan. Namun, sejak 2015, ia menerima member untuk latihan privat. Latihan tak hanya di GBK tapi kadang di dekat rumahnya di kawasan Tangerang Selatan. Jadwal latihan tergantung permintaan member. “Saya enggak punya kemampuan kerja lain. Ya sekarang jadi laki-laki ‘panggilan’,” Nico terkekeh.

SUASANA di lingkar dalam Stadion Gelora Bung Karno (GBK) sore itu berangsur riuh. Beberapa orang, tua-muda, berolahraga jogging, jalan sehat, atau sekadar bikin konten. Lagu-lagu medley tradisional terdengar dari pengeras suara.

Di area “Pintu Kuning” yang berada di antara Zona 10 dan 11, dengan suara lantang Nicholas “Nico” Thomas memberikan aba-aba. Pukulan keras menghantam target pad merah di tangannya. “Terus! Maju! Satu, dua, tiga, empat. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan!” seru Nico.

Bhuk! Bhak! Bhuk! Bhak!’ Pukulan bertubi-tubi membidik target pad. Kadang diselingi manuver mengelak dan melancarkan pukulan counter maupun switch stance atau mengubah kuda-kuda.

Mantan petinju Indonesia, Nico Thomas saat melatih tinju dikawasan Gelora Bung Karno Jakarta,(Historia/Fernando Randy).jpg

“Tembak! Bagus! Terus, tembak! Terus, tembak! Ambil! Ambil!” lanjut Nico. Aba-aba “tembak” adalah instruksi untuk melancarkan pukulan hook, sedangkan “ambil” berarti pukulan overhand.

Nico tak muda lagi. Usianya 56 tahun. Kerutan terlihat di kulitnya. Rambut serta kumisnya memutih. Namun Nico masih bugar dan gagah. Suaranya masih lantang.

“Ya lumayan (pendapatannya),” ujar Nico seraya membereskan peralatan latihan. Keringat membasahi kaos kelabunya.

Nico Thomas saat memberikan instruksi kepada muridnya di GBK, (Historia/Fernando Randy)

Nico Thomas dikenal sebagai salah satu petinju profesional Indonesia. Dia pernah menyandang gelar juara dunia kelas terbang mini versi International Boxing Federation (IBF) tahun 1989.

Setelah gantung sarung tinju, Nico bekerja serabutan. Namun, sejak 2015, ia menerima member untuk latihan privat. Latihan tak hanya di GBK tapi kadang di dekat rumahnya di kawasan Tangerang Selatan. Jadwal latihan tergantung permintaan member. “Saya enggak punya kemampuan kerja lain. Ya sekarang jadi laki-laki ‘panggilan’,” Nico terkekeh.

Mula Tinju Pro

Nico Thomas berasal dari keluarga petinju. Saudara-saudaranya, Noce, Nyong, Charles, dan Alex menekuni olahraga tinju. Prestasi “Thomas Bersaudara” pun terbilang bagus. Noce beberapa kali menjadi juara nasional. Nama besar Noce pula yang mendorong Nico untuk menguji kekuatan kepalan tangannya.

Nico kali pertama dilatih oleh kakaknya, Nyong. Dia mulai naik ring pada Kejuaraan Daerah Maluku 1982 dan keluar sebagai juara. Setelah itu dia meraih prestasi dalam Kejuaraan Nasional, Pekan Olahraga Nasional, dan Piala Presiden 1986.

Mantan petinju Indonesia Nico Thomas berpose usai melatih tinju di GBK Jakarta, (Historia/Fernando Randy)

Nico kemudian berlatih di Sasana Garuda Pattimura yang berlokasi di halaman belakang rumah pelatih legendaris Teddy van Room di kawasan Belakang Soya, Ambon. Teddy atau biasa disapa Om Buce dikenal sebagai pelatih yang mengorbitkan Ellyas Pical sebelum terjun ke tinju pro.

Sejarah tinju pro bermula di Inggris. Pertandingan tinju pertama yang tercatat di era modern terjadi pada 6 Januari 1681. Bangsawan Christopher Monck mengatur duel antara kepala pelayan dan tukang daging. Keisengan Monck menular ke bangsawan-bangsawan lainnya.

Saat itu pertandingan diadakan tanpa aturan alias suka-suka yang bayar. Dianggap tak bermoral, tinju amatir diperkenalkan sebagai olahraga yang dianggap lebih aman pada pertengahan abad ke-19.

Sederet aturan lantas disematkan pada tinju. Mulai dari penggunaan sarung tinju, ring, jumlah ronde, dan lain-lain. Saat ini tinju profesional modern berpatokan pada Marquees of Queensberry Rules, yang diciptakan oleh John Sholto Douglas, pemilik gelar 9th Marqueess of Queensberry, pada 1867.

Ilustrasi gambar tentang pertandingan tinju pada tahun 1789 di Odiham Inggris, (wikimediacommons)

Di Indonesia, tinju diperkenalkan serdadu Belanda pada 1920-an. Olahraga ini segera menarik kaum bumiputera. Apalagi pertandingan tinju kerap digelar di pasar malam. Setelah Indonesia merdeka, tinju masih menjadi bagian dari hiburan rakyat semata dan belum diarahkan ke jalur prestasi.

Tinju pro maupun amatir memiliki wadah bernama Persatuan Tinju dan Gulat (Pertigu) yang dibentuk tahun 1954. Tinju amatir kemudian mandiri dengan terbentuknya Persatuan Tinju Amatir Nasional sebelum berubah jadi Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina) pada 30 Oktober 1959.

Perkembangan tinju amatir mendapat perhatian pemerintah pada 1961. Pada tahun yang sama, tinju pro dilarang karena dianggap melibatkan bisnis dari negara kapitalis.

Tinju pro bangkit pada 1970 menyusul kebijakan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang memberikan izin tinju pro digelar di Jakarta. Setahun kemudian, berlandaskan Peraturan Pemerintah No. 63 tanggal 2 Oktober 1971, berdiri Komisi Tinju Indonesia (KTI) sebagai badan tinju profesional.

Ali Sadikin atau Bang Ali ikut menumbuhkan tinju pro di Indonesia. Buku Masa Akhir Ali Sadikin Memimpin Jakarta yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo mencatat, Bang Ali memprakarsai event pertandingan tinju amatir maupun profesional dengan mendatangkan lawan dari Korea di Istora Senayan pada 13 Juli 1977. Sementara Pertina mengerahkan delapan petinju amatir, KTI mengorbitkan Sperling Pangaribuan, Rocky Joe, dan Rudy Siregar ke jenjang penantang titel juara Orient and Pacific Boxing Federation (OPBF).

Tercatat sejumlah petinju Indonesia menyandang gelar bergengsi internasional. Wongso Suseno adalah petinju pro pertama dengan raihan gelar juara kelas welter OPBF tahun 1975. Jejaknya diikuti petinju-petinju lainnya. Namun, hanya sedikit yang berhasil meraih gelar juara dunia.

Catatan emas dalam sejarah tinju pro di Indonesia terjadi pada 3 Mei 1985. Ellyas Pical merebut gelar kelas bantam yunior versi IBF dengan memukul roboh Chun Ju-do, petinju Korea Selatan, pada ronde delapan. Elly pun tercatat sebagai juara dunia tinju pertama Indonesia.

Nico Thomas, yang menyaksikan pertarungan itu lewat televisi, terinspirasi atas kesuksesan Elly. Apalagi keduanya sama-sama berasal dari Maluku, petinju kidal, dan pernah juara Piala Presiden. Setelah mendapatkan medali emas Piala Presiden 1986 di kelas layang terbang, Nico beralih ke tinju pro.

“Nah di situ datang Pak Tinton Suprapto, bos kakak saya, Charles, ajak saya masuk ke profesional,” kenang Nico. “Dari awal saya percaya Pak Tinton karena ambisinya luar biasa.”

Tinton Suprapto, lebih dulu dikenal sebagai pembalap, memiliki Tonsco Boxing Camp di Bintaro, kawasan di selatan Jakarta. Di sinilah Nico digembleng oleh pelatih Charles Thomas yang notabene kakaknya. Selain itu dia mendapat sentuhan dari Abu Dhori, pelatih dari Malang.

Kerja keras itu berbuah hasil. Dia meraih gelar juara dunia kelas terbang mini versi IBF dengan mengalahkan Samuth Sithnaruepol (Thailand). Nico menjadi juara dunia tinju yang kedua bagi Indonesia setelah Ellyas Pical.

Peran Promotor

Selama perjalanannya sebagai petinju profesional, Nico Thomas kerap gonta-ganti manajer dan promotor. “Saya dulu manajer-pelatih selalu kakak saya. Di amatir Nyong Thomas, pas pro Charles Thomas sampai dia meninggal,” kata Nico.

Seorang manajer bertanggung jawab mengawasi banyak aspek karier seorang petinju. Dari latihan, kondisi fisik, pemilihan lawan, menegosiasikan pembayaran, hingga promosi. Seorang manajer tinju umumnya menerima persentase dari pendapatan petinju. Agar dapat bayaran yang sesuai, manajer biasa bernegosiasi dengan promotor.

Pertarungan Nico Thomas vs Samuth Sithnaruepol digelar promotor Ferry Moniaga di Istora Senayan Jakarta pada 23 Maret 1989. Selama 12 ronde, Nico bertarung bagai tak kenal lelah. Namun, entah kenapa, hasilnya draw. Dengan demikian Sithnaruepol mempertahankan gelarnya melalui keputusan kontroversial.

Pertarungan ulang digelar di tempat yang sama pada 17 Juni 1989 dengan promotor Marthen Walewangko. Nico Thomas akhirnya menang angka mutlak dan berhak menyandang sabuk juara dunia.

Dalam tinju pro, peran promotor amat penting. Maklum, promotor menentukan petinju yang layak naik ring dan mengurusi soal bayaran petinju. Ia juga harus mencari penyandang dana dan sponsor. Semakin banyak sponsor semakin tinggi bayaran petinju yang bertarung. Di profesi ini belum ada yang bisa menyaingi popularitas Boy Bolang, mantan petinju yang jadi promotor.

Don King, promotor paling berpengaruh di dunia yang menjadi mentor bagi Boy Bolang didunia tinju. (Dok M. Nigara )

Boy Bolang adalah promotor Asia pertama yang bisa bekerjasama dengan Don King, promotor paling berpengaruh di dunia, untuk mementaskan pertarungan Saoul Mamby- Thomas Americo di Jakarta pada 29 Agustus 1981. Inilah untuk kali pertama pertandingan tinju pro untuk memperebutkan gelar juara dunia digelar di Indonesia.

Sebagai juara dunia kelas super ringan versi World Boxing Council (WBC), Saoul Mamby (Amerika) harus mempertahankan gelar melawan Thomas Americo (Indonesia). Saat itu penyandang dananya adalah Herman Sarens Soediro, purnawirawan jenderal TNI dan pemilik Sasana Satria Kinayungan di Jakarta.

Di tengah jalan, kerjasama keduanya pecah menyusul dugaan penyelewengan dana. Lisensi Boy Bolang dicabut oleh KTI. Herman Sarens menggantikannya sebagai promotor. Sialnya, Thomas Americo kalah angka dalam laga 15 ronde. Herman Sarens juga rugi lebih dari Rp200 juta. Pertikaian berlanjut. Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib) Laksamana Sudomo menengahi dengan mengungsikan Boy Bolang ke Amerika.

Saat bermukim di Amerika, Boy memperdalam ilmu soal dunia tinju pro. Dia kembali ke Tanah Air pada 1984. Setelah memperoleh kembali lisensinya sebagai promotor, dia mengantarkan Ellyas Pical sebagai juara dunia tinju.

Boy Bolang populer dan disukai para petinju karena memberikan bayaran yang pantas. Untuk Elly sendiri, tak kurang tiga kali Boy menjadi promotor pertandingan dengan bayaran antara 100.000 hingga 125.000 dolar AS setiap bertanding.

Setelah kekalahan Ellyas Pical atas Cesar Polanco (Republik Dominika) tahun 1986, Boy Bolang menyatakan mundur dari kegiatan promotor. Kalangan tinju pun menyebut tinju pro memasuki masa lesu.

Dalam Ellyas Pical: Legenda Tinju Indonesia seri III, yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo, promotor Setiadi Laksono menyebut Boy Bolang sebagai satu-satunya promotor yang punya hubungan luas dengan pelbagai organisasi tinju dunia dan betul-betul mengerti seluk-beluk tinju. Namun pendapat ini dibantah promotor Tinton Suprapto. Sepanjang keuangan penyelenggaraannya kuat, kegiatan tinju pro tak akan mandek.

Tinton mulai terlibat dalam dunia tinju ketika Ellyas Pical merebut gelar juara dunia dari Chun Ju-do. Saat itu dia membantu kepanitiaan sebagai humas. Tapi sejak itu ketertarikannya pada tinju menguat. Dia bahkan menjadi promotor tinju. Pada 1987 dia mengantarkan Pulo Sugarray sebagai juara tinju kelas bulu super WBC yunior setelah mengalahkan Geron Porras (Filipina).

Ellyas Pical saat melatih beberapa muridnya di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Ellyas Pical merupakan salah satu juara tinju dunia yang dimiliki oleh Indonesia (Historia/Fernando Randy)

Pada 1989, Tinton membawa Nico Thomas sebagai juara dunia. Sayangnya, pada September tahun yang sama, Nico harus kehilangan gelar setelah kalah KO pada ronde kelima dari Erick Chavez (Filipina).

Penata tanding (matchmaker) atau agen tinju yang bertindak sebagai even organizer punya andil dalam kekalahan Nico. Lazimnya, ada kesepakatan kerjasama antara promotor dan matchmaker. Setelah itu matchmaker mencari petinju yang akan diadu. Apabila petinju tersebut setuju, dibuatkan kontrak pertandingan. Setelah kontrak pertandingan dibuat dan ditandatangani, promotor melalui matchmaker mengajukan izin pertandingan ke KTI.

Nah, Nico langsung dipertemukan dengan peringkat paling atas. Seharusnya diatur bagaimana agar Nico bisa mempertahankan gelar menghadapi lawan yang dipilih, bukan melawan penantang wajib. Kalau sudah mempertahankan gelar beberapa kali, baru menghadapi penantang wajib.

Setelah kekalahan itu, upaya Nico merebut kembali gelar juara dunia selalu gagal. Di level internasional, paling banter ia mendapatkan gelar juara kelas minimum OPBF yang dipertahankannya sebanyak dua kali. Pertarungan ketiga melawan Wolf Tokimitsu dari Jepang diadakan di Tokyo pada Februari 1998.

Kala itu Nico berada di bawah naungan Willy Lasut, mantan petinju, pendiri dan pengurus KTI, serta penata tanding internasional. Di bawah Lasut-lah, Nico mengecap bayaran terbesarnya, sebanyak 15 ribu dollar. Sayangnya, dalam pertandingan ini Nico kalah angka sehingga kehilangan gelarnya. Sejak itu, Nico gagal untuk meraih gelar juara nasional maupun internasional. Karier Nico pun meredup.

Ketika Nico mulai dilupakan, tinju tanah air punya juara baru. Namanya Chris John, juara dunia kelas bulu versi World Boxing Association (WBA).

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/tinju-pro/TINJU-PROFESIONAL.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/tinju-pro/TINJU-PROFESIONAL.mp4"></video></div>

Simbiosis Mutualisme

Yohannes Christian John, atau lebih dikenal sebagai Chris John memulai tinju dari level amatir. Setelah bertanding dalam beberapa kejuaraan amatir di Banjarnegara, Jawa Tengah, dia direkrut oleh Sasana Orang Tua Semarang milik pelatih kenamaan Sutan Rambing.

Pada era 1980-an, tinju pro tak kalah marak dari sepakbola atau bulutangkis. Prospek dan bibit-bibit calon juara dunia cukup menjanjikan. “Kelas bulu cukup favorit dan cukup bisa menorehkan prestasi bagus. Di atas (kelas) welter kayaknya udah punya orang-orang Eropa, Amerika,” ujar Chris John.

Chris John kali pertama muncul ke publik melalui acara Sabuk Emas RCTI dan menjadi juara. Petinju dengan julukan “The Dragon” ini terjun ke tinju profesional pada 1998. Setelah beberapa kali bertanding dalam perebutan gelar nasional, dia merebut gelar kelas bulu versi Pan Asian Boxing Association (PABA) dengan mengalahkan juara bertahan yang juga rekan senegaranya Soleh Sundava pada 2001.

Chris John salah satu petinju terbaik Indonesia yang kini telah pensiun.(Historia/Biddi Kalwan)

Pada September 2003, Chris John mendapat kesempatan berduel menantang Oscar Leon (Kolombia), juara bertahan kelas bulu WBA. Dia menang angka dan berhak menyandang gelar juara dunia. Gelar itu dipertahankannya dalam waktu yang lama.

Salah satu sosok yang berjasa mengantarkan kesuksesan Chris John meraih gelar PABA dan juara dunia adalah Daniel Bahari. Sebagai promotor, Daniel pula yang membawa Chris John ke Tokyo, Jepang, untuk bertarung mempertahankan gelar melawan Osamu Sato.

Di dunia tinju, Chris John pernah tercatat sebagai petinju dengan bayaran tertinggi di Indonesia. Saat bertarung melawan Rocky Juarez (Amerika) di Amerika Serikat, di bawah promotor Golden Boy Promotion (GBP) milik Oscar de la Hoya, Chris John dibayar 200 ribu dollar atau sekira Rp2,4 miliar.

Dalam pertarungan yang digelar Maret 2009 itu, juri memberikan nilai yang sama bagi kedua petinju. Dengan demikian Chris John berhasil mempertahankan gelarnya. Pertandingan ulang yang digelar September 2009 juga memberikan kemenangan angka mutlak bagi Chris John.

Namun jerih payahnya tak selalu diperoleh dengan mudah. Selain harus berjibaku di atas ring, dia kerap berseteru dengan promotor.

Seorang promotor lazimnya punya modal yang besar untuk bisa mengontrak petinju-petinju untuk diadu. Terjalin simbiosis mutualisme. Petinju mendapatkan panggung untuk unjuk kebolehan, meraih gelar, dan mendapat bayaran setimpal; promotor mendapatkan untung. Dalam praktiknya, lebih banyak promotor yang merugi.

“Enggak banyak promotor yang mau berjibaku seperti Aseng (Herry Sugiarto) atau Boy Bolang. Promotor kan dagang, bisnis. Kalau enggak untung ya ngapain bisnis? Ini juga faktor fundamental yang membuat akhirnya dunia tinju kehilangan ruhnya,” ujar Mahfudin Nigara, wartawan senior-cum-pengamat tinju.

Mahfudin Nigara saat ditemui tim Historia di kantornya kawasan Senayan Jakarta, (Historia/Fernando Randy)

Herry Sugiarto atau lebih dikenal sebagai Aseng adalah promotor tinju asal Surabaya yang mengantarkan Muhammad Rachman merebut sabuk juara dunia terbang mini IBF dari tangan Daniel Reyes (Kolombia) pada 2004.

Selain kerap merugi, tak jarang promotor berseteru dengan petinju. Hal ini dialami Ellyas Pical. Kala meladeni Khaosai Galaxy (Thailand) untuk memperebutkan sabuk kelas bulu super WBA di Senayan Jakarta pada 1987, Elly disebut-sebut menerima 150 ribu dolar atau setara Rp250 juta. Namun Elly tak dibayar sesuai kontrak karena promotornya, Kurnia Kartamuhari, bilang merugi.

Dalam pertarungan itu Elly kalah TKO. Setelah itu Elly sempat beberapa kali bertarung dan sempat merebut kembali sabuk juara IBF sebelum akhirnya benar-benar gantung sarung tinju.

Perseteruan dengan promotor juga dialami Chris John. Setelah mempertahankan gelar juara melawan Jose Cheo Rojas (Venezuela) pada 2004. Chris John, yang dibayar Rp 1,8 miliar, menghadapi masalah pembayaran. Meski promotor Albert Reinhard Papilaya akhirnya menuntaskan kewajibannya, masalah berlarut-larut hingga melibatkan pemerintah (Menpora).

Ellyas Pical saat melatih beberapa muridnya di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Ellyas Pical merupakan salah satu juara tinju dunia yang dimiliki oleh Indonesia (Historia/Fernando Randy)

Albert dikenal sebagai promotor termahal dalam sejarah tinju Indonesia. Selain menggelontorkan banyak uang untuk pertarungan Chris John versus Rojas, Albert berani memberikan bayaran Rp 50 juta pada partai-partai tambahan, yang tak pernah dilakukan promotor tinju di Indonesia.

Celakanya, muncul kasus lain yang melibatkan Albert. Pertandingan wajib (mandatory fight) antara Muhammad Rachman melawan Florante Condes (Filipina) pada Juni 2007 dibatalkan. Terjadi perselisihan mengenai pelunasan pembayaran. Pertandingan ini akhirnya diambil-alih Ndondo Sugiarto sebagai promotor.

Sayangnya, setelah dua kali mempertahankan gelar usai mengalahkan Omar Soto (Meksiko) dan Benjie Sorolla (Filipina), sabuk juara Muhammad Rachman lepas setelah kalah melawan Florante Condes.

Chris John mengalami masalah lebih kompleks. Setelah mengalahkan Rojas, dia memutuskan kontrak pelatih Sutan Rambing karena ketidaksepakatan pembagian hasil pertandingan. Dia kemudian dilatih oleh Craig Christian dari Harry's Gym, Perth, Australia. Tapi perselisihan terus berlanjut, bahkan sempat berlanjut ke meja hijau. Masalah ini akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/631866a24cdcfc65e590d7b5_podcast1-Medium-p-500.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Petinju Indonesia Daud Yordan bersiap diri bersama sang pelatih Craig Christian di ruang ganti sesaat sebelum bertanding melawan Kato di Jakarta. (Historia/Fernando Randy)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/631862fd0094ad16143188e6_CHRIS-JOHN.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/tinju-pro/PODCAST-CHRIST-JOHN.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Chris John</b><br></span></div></div></div>

Masalah lain muncul. Chris John berkonflik dengan promotor Suryo Guritno. Ketika hendak tarung melawan Jackson Asiku, petinju Australia kelahiran Uganda, tahun 2008, manajemen Chris John protes karena uang muka yang dibayarkan tak sesuai kesepakatan. Kendati pembayaran diselesaikan, pertandingan dibatalkan karena kedua petinju tak hadir dalam acara resmi timbang badan. Mengklaim dirugikan Rp1,6 milyar, Guritno melaporkan Craig ke polisi atas dugaan penipuan dan penggelapan dana pertandingan yang dibatalkan.

Persoalan ini berlarut-larut. Dua tahun kemudian, 25 insan tinju Indonesia yang terdiri dari petinju, mantan petinju, dan pelatih berunjuk rasa di halaman Gedung Menpora, Jakarta. Mereka menuntut penyelesaian masalah antara pihak Chris John dan Suryo Guritno sebelum duel antara Chris John dan Fernando Saucedo (Argentina).

Pertandingan itu tetap digelar di Jakarta pada 5 Desember 2010 dengan promotor A.M Hendropriyono, mantan ketua KTI Pusat dan Badan Intelejen Nasional (BIN). Chris John menang angka mutlak dan mempertahankan gelar juara dunianya.

Singkatnya, tinju pro adalah bisnis yang merugi. Akibatnya, tak banyak orang terjun jadi promotor.

“Sudah jadi rahasia umumya ya, promotor lebih banyak ruginya. Jadinya saat-saat ini di Indonesia susah sekali buat seorang petinju mendapatkan panggung. Tidak seperti di zaman-zaman saya itu ada sampai 2-3 televisi yang menayangkan rutin pertandingan,” ujar Chris John.

Chris John memutuskan gantung sarung tinju beberapa hari setelah kalah TKO ronde keenam melawan Simpiwe Vetyeka (Afrika Selatan) pada 6 Desember 2013.

Sportainment

Chris John tak mau lama-lama menjauhi ring tinju. Karena ingin menghidupkan kembali tinju pro Indonesia, dia terjun sebagai promotor. Chris John tahu, tidak mudah untuk membangkitkan tinju pro Indonesia. Selain butuh sponsor yang besar, perlu ada gelaran tinju yang menjadi panggung para petinju seperti di zamannya.

“Eranya memang beda. Dulu televisi marak. Mereka berlomba-lomba,” ujar Chris John, yang mengorbit berkat perkembangan industri televisi yang demam acara tinju.

Saat itu bisa dibilang masa keemasan tinju pro. Jadwal pertandingan padat. Ini tak lepas dari adanya acara tinju beberapa stasiun televisi. Indosiar menayangkan Gelar Tinju Profesional Indosiar (GTPI), RCTI mengandalkan Sabuk Emas RCTI, TVRI lewat tayangan Round to Round Fight, sementara SCTV sesekali menayangkan pertandingan tinju pro lewat SCTV Top Boxing.

“Jadi kalau kita flashback, saat TV menayangkan event-event reguler itu, banyak yang kepengin terus bertanding. Menang, bertanding lagi. Dapat jam terbang, prestasi naik,” ujar Chris John.

Acara rutin semacam itu nyaris tak ada lagi. Penyebabnya antara lain tak ada promotor dan sponsor. Butuh promotor gila tinju dengan rekening gendut. Dulu, sebagai contoh saja, Indosiar menjalin kerja sama dengan Daniel Bahari Promotion (DBP), sementara RCTI pernah bekerjasama dengan Boy Bolang.

Ketiadaan promotor, yang juga hidup dari penyandang dana atau sponsor, jadi penyebab tinju pro lesu. Tak ada promotor, tak ada pertandingan. Petinju pro Indonesia juga sulit mendapat lawan tanding dan meraih kemenangan.

Setelah Chris John, belum lahir kembali juara tinju dunia. Sejarah tinju pro di Indonesia baru mencatat empat nama: Ellyas Pical, Nico Thomas, Chris John, dan Muhammad Rachman.

“Yang real juara dunia cuma empat orang. Selebihnya enggak ada. Daud Yordan belum juara dunia, baru IBO. IBO itu member-nya cuma 18,” ujar Nigara.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/631866a64cdcfc819e90d7c5_podcast2-Medium-p-500.jpeg" alt="img"></div><figcaption>Petinju Indonesia Daud Yordan saat bertanding melawan petinju Jepang, Kato di Jakarta. (Historia/Fernando Randy)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/631863036389051dcf9aa964_M-NIGARA.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/tinju-pro/PODCAST-M-NIGARA.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Mahfudin Nigara</b><br></span></div></div></div>

Daud Yordan menyandang titel kelas bulu versi International Boxing Organization (IBO) tahun 2012, kelas ringan IBO (2013), dan kelas ringan super versi International Boxing Association (IBA) tahun 2019. Awal Juli 2022, dia juga mempertahankan sabuk gelar WBC Asia.

Selain Daud, ada Tibo Monabesa yang menyandang gelar kelas terbang ringan IBO sejak 2019 dan Ongen Saknosiwi di kelas bulu IBA.

Menurut Nigara, badan tinju yang diakui adalah “Big Four”: WBA, WBC, IBF, dan World Boxing Organization (WBO). Lainnya dianggap badan tinju dengan titel kasta kedua.

Melahirkan seorang juara tinju dunia adalah kerja sinergis antara petinju, manajer, pelatih, dan promotor. Pengalaman Nigara berbicara, bahwa saat ia ikut mengurus sasana yang didirikan kakak iparnya di Medan, rata-rata setiap petinju butuh Rp3,5 juta per bulan. Sebagian besar untuk urusan nutrisi dan gizi. Bayaran petinju juga masih kurang layak. Di tingkat lokal, lazimnya bayaran petinju hanya Rp750 ribu sampai Rp1,5 juta. Lebih kusut lagi dengan kenyataan ketiadaan pertandingan rutin.

“Bertanding setahun enggak sampai sekali. Bisa-bisa setahun enggak bertanding sama sekali,” ujar Nigara.

Sementara tinju pro mati suri, tinju amatir yang notabene dibiayai oleh negara jalan terus. Kompetisi selalu ada. Dari bibit-bibit di level amatir ini sejatinya bisa menjadi langkah awal untuk memasuki tinju pro.

Mahfudin Nigara mantan wartawan olahraga yang juga pengamat tinju baik nasional maupun internasional (Historia/Fernando Randy)

“Sebetulnya jenjang amatir-pro itu sudah terbantahkan. Ada beberapa petinju seperti (Julio César) Chávez Jr. amatirnya cuma dua atau tiga kali. Dia bisa tuh jadi juara dunia (kelas menengah WBC). Mike Tyson enggak sukses di amatir tapi bisa menguasai tinju dunia (kelas berat WBA, WBC, IBF),” ujar Nigara.

Kendati demikian, lanjut Nigara, yang terbaik adalah jebolan amatir. Sebab, mereka sudah menguasai dasar-dasar tinju. Selebihnya tinggal menjaga performa.

Mahfudin Nigara berpose bersama dengan mantan petinju dunia Julio Caesar Chavez. ( Dok Pribadi Nigara )

Seorang petinju yang naik level pro bukan lagi menjadi urusan Pertina tapi KTI. “KTI itu kan badan tinju (pro) tertua. Kadang badan tinju itu yang lebih bisa koneksi ke badan tinju dunia. Semua sasana tinju akan mendaftarkan para petinju dan kelas-kelasnya di badan tinju. Dari situ dia akan menyusun peringkat, tergantung prestasi,” ujar Chris John.

Namun, silang sengkarut kepentingan mendera KTI. Perpecahan tak terelakkan. Diikuti kemunculan badan-badan yang menaungi petinju pro. Sebut saja Asosiasi Tinju Indonesia (ATI), Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI), Federasi Tinju Indonesia (FTI), Federasi Tinju Profesional Indonesia (FTPI), dan Dewan Tinju Indonesia (DTI).

“Kenapa banyak lahir? Karena mencontek di luar. Bedanya di luar banyak jam terbang, di sini enggak ada pertandingan. Jadi buat apa bikin badan tinju kalau enggak ada pertandingannya?” ujar Nigara.

“Jujur saya juga tidak ngerti badan tinju sebanyak itu untuk apa? Tinju Indonesia tetap begini-begini saja,” ujar Chris John.

Di tengah lesunya tinju pro, publik di Indonesia kembali bergairah dengan pertandingan tinju ala selebritas.

Ekspresi Nico Thomas saat menjawab berbagai pertanyaan dari Historia saat ditemui usai melatih di GBK. (Historia/Fernando Randy)

“Orang nonton cuma mau lihat artisnya doang,” ujar Nico Thomas. “Saya senang aja melihatnya tapi enggak ada manfaat untuk ke jenjang internasional. Jadi tinju ramai cuma karena didompleng artis.”

Mantan petinju Indonesia Chris John saat menjawab pertanyaan dari Historia di Jakarta. Chris merupakan salah satu petinju terbaik negeri ini. (Historia/Biddi Kalwan)

Chris John punya pendapat berbeda. Baginya tak masalah sepanjang punya hubungan simbiosis mutualisme, di mana para petinju punya kesempatan bertanding.

“(Tinju) Holywings itu ada bagusnya. Penggemar seleb-seleb itu kan cukup banyak jadi bisa menaikkan tinju. Tapi tetap jangan lupakan petinju aslinya untuk bisa bertanding, diarahkan ke jenjang yang lebih baik. Karena usia petinju enggak lama. Jangan sampai dia enggak bertanding tapi umur bertambah. Itu yang terjadi saat ini,” timpal Chris.

Entah kapan tinju pro bangkit kembali dan melahirkan juara dunia yang mengharumkan Merah-Putih.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63113a209e4d2b96c5697423