Senjakala Partai Murba

Dalam kondisi partai yang compang-camping, Murba mengikuti Pemilu 1971. Gagal memperoleh kursi.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Senjakala Partai MurbaSenjakala Partai Murba
cover caption
Tokoh Partai Murba, Maroeto Nitimihardjo dan Elkana Tobing saat kampanye Pemilu 1971. (Dok. Hadidjojo Nitimihardjo).

KENDATI harus mulai dari nol, Ketua Umum Partai Murba Sukarni tetap optimis partainya bisa kembali berbenah dan berbicara banyak dalam Pemilu 1971. Untuk itu, Sukarni merangkul Partai Indonesia (Partindo); pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), berhaluan kiri, dan ditindas pasca-1965. Bahkan sejumlah tokoh kawakannya seperti Ibrahim Yacoob alias Iskandar Kamel dan Djon Pakan ditempatkan dalam jajaran pimpinan Murba.

Untuk memuluskan kerjasama itu, Komisariat dan cabang partai kemudian diperintahkan untuk melakukan kontak dengan eks anggota Partindo dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), menerima mereka di dalam Partai Murba, dan melibatkan mereka dalam aksi pemilu.

“Partindo, yang ternyata masih mempunyai sisa-sisanya yang berfungsi, pada 10 Maret 1970 mengeluarkan pernyataan yang mengesahkan kerjasama dengan Partai Murba dan di bawah bendera pemilu Partai Murba,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 5.

KENDATI harus mulai dari nol, Ketua Umum Partai Murba Sukarni tetap optimis partainya bisa kembali berbenah dan berbicara banyak dalam Pemilu 1971. Untuk itu, Sukarni merangkul Partai Indonesia (Partindo); pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), berhaluan kiri, dan ditindas pasca-1965. Bahkan sejumlah tokoh kawakannya seperti Ibrahim Yacoob alias Iskandar Kamel dan Djon Pakan ditempatkan dalam jajaran pimpinan Murba.

Untuk memuluskan kerjasama itu, Komisariat dan cabang partai kemudian diperintahkan untuk melakukan kontak dengan eks anggota Partindo dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), menerima mereka di dalam Partai Murba, dan melibatkan mereka dalam aksi pemilu.

“Partindo, yang ternyata masih mempunyai sisa-sisanya yang berfungsi, pada 10 Maret 1970 mengeluarkan pernyataan yang mengesahkan kerjasama dengan Partai Murba dan di bawah bendera pemilu Partai Murba,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 5.

Selain Partindo, Sukarni merangkul eks tokoh PSI, yang dilarang Sukarno pada 1960, seperti L.M. Sitorus. Simpati juga datang dari Margono Djodjohadikoesoemo.  

Menurut Hadidjojo Nitimihardjo dalam Ayahku Maroeto Nitimihardjo, dengan bergabungnya eks Partindo dan PSI, garis Partai Murba berubah menjadi moderat dan terus terang menyebut garis sosial demokrat. Tanda gambar diubah, cukup bintang sebagai ciri sosialis.

Lemahnya Organisasi dan Intimidasi

Pada 19 September 1970, partai membentuk Badan Aksi Pemilihan Umum (Bapu) di pusat dan cabang-cabang. Pada akhir September 1970, Dewan Politik Partai Murba membentuk Team Konsolidasi yang kemudian dikirim ke sejumlah provinsi untuk mengawasi konsolidasi partai.

Laporan dari biro organisasi pada 20 November 1970 menyatakan konsolidasi berjalan lancar hanya di empat provinsi (Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur). Delapan provinsi sedang berjalan, tujuh provinsi belum bergerak, dan empat provinsi lagi tak ada kegiatan. Mengingat waktu kampanye hanya dua bulan, Team Konsolidasi mengusulkan memusatkan kampanye sedikitnya di delapan provinsi dan paling banyak di 14 provinsi.

Untuk itu, tulis Poeze, setiap cabang diinstruksikan mengerahkan anggotanya untuk kampanye dengan organisasi sepuluh orang yang berdampak meluas ibarat bola salju. Tujuannya untuk mencapai target 20 kursi. Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing harus memberikan lima kursi, lima kursi di Jawa sisanya, dan lima kursi lagi dari Sumatra Utara, Aceh, dan Kalimantan Timur.

Target tinggi itu berbanding terbalik dengan kondisi partai. Ini terlihat dari target untuk Jawa Timur dan Jawa Barat. Wasid Suwarto dalam kunjungan keduanya ke Jawa Timur mendapati keadaan partai di Surabaya dan cabang-cabang lainnya terkesan tenggelam dan dilupakan. Sementara di Jawa Barat, laporan Sukarnadi, anggota Murba setempat, menyebut pimpinan cabang-cabang di Jawa Barat tak aktif dan banyak anggota keluar lalu menyeberang ke Golkar

Lemahnya organisasi juga tercermin dari laporan Agus Wasita, anggota pimpinan partai di Cirebon. Agus menyatakan, tulis Poeze, “pesimis dengan hasil yang akan diraih Partai Murba: tidak ada pimpinan, tidak ada pengikut, tidak ada kader, dan tidak ada ormas.”

Daftar calon anggota DPR dari Partai Murba daerah pemilihan Jawa Barat dalam Pemilu 1971. (Dok. Arie Widodo).

Kesimpulan yang sama terlihat pada laporan dari daerah-daerah lain. Selain lemahnya mesin partai, Murba harus menghadapi intimidasi.  

“Anggota-anggota Partai Murba di berbagai daerah diintimidasi. Saya menyaksikannya. Walaupun ketika itu saya masih kecil, saya sudah bergaul dengan orang-orang Murba,” kata Yos Ully, bendahara umum Partai Murba tahun 1998, kepada Historia.

Laporan Sukarnadi menyebut adanya intimidasi dari Golkar dan pemerintah. Dengan “omongan yang manis”, Golkar memaksa anggota-anggota Murba memberikan suara untuk Golkar. Selain itu, pemerintah menolak mendaftar calon-calon Murba dan menudingnya melakukan aksi ilegal bahkan sebagai partai terlarang.

Di Cirebon, Agus Wasita melaporkan komandan militer menuduh pimpinan partai setempat mengadakan rapat rahasia dan melakukan “gerilya politik”, bahkan memerintahkan mereka membubarkan partai. Ketika perintah itu tak ditaati, calon-calon Partai Murba dihapus dari daftar, dan sekretaris pimpinan partai dipenjarakan.  

Menurut Agus ketakutan masih mencengkam penduduk sejak 1965, sementara pemerintah dengan 1001 cara berusaha keras memenangkan Golkar. Dua pertiga tanda gambar Partai Murba dihancurkan. Arak-arakan mobil Murba tak diberi izin untuk berkampanye. Rumah-rumah pengikut Murba diberi gambar silang hitam.  

Dalam kondisi persiapan pemilu yang compang-camping, Murba kehilangan ketua umumnya. Sukarni wafat pada 7 Mei 1971 di usia 55 tahun karena serangan jantung. Maroeto untuk sementara mengambil alih kedudukan selaku ketua Partai Murba.

“Sukarni meninggal setelah kampanye partai di Medan. Setelah papa meninggal habislah Murba karena papalah Murba itu,” kata Emalia Iragiliati Sukarni kepada Historia.

Gagal Total

Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya diadakan serentak pada 5 Juli 1971. Hasilnya: Golkar menang mutlak dengan meraup 62,82 persen suara.

Partai Murba sendiri menduduki urutan paling buncit dengan hanya meraih 48.126 suara atau 0,08 persen. Hasil terbaik didapat di Kalimantan Timur (0,94%) dan terendah di Sulawesi Selatan (19 suara atau 0,006%). Praktis, Murba tak mendapatkan kursi.

Pada 16 Juli 1971, Dewan Partai menanggapi kekalahannya itu dengan sebuah pernyataan: “Partai Murba terkejut atas prestasinya sendiri karena ternyata bahwa di berbagai daerah jumlah suara yang diperoleh jauh lebih kecil daripada anggota yang terdaftar.”

Meski demikian, Kompas, 17 Juli 1971, mengabarkan bahwa “Partai Murba akan melanjutkan perjuangannya sebagai wadah aspirasi-aspirasi sosialisme di Indonesia dengan kepemimpinan nasional Presiden Soeharto dalam batas-batas kemungkinan bagi Partai Murba sebagai partai yang terkalahkan.”

Partai Murba menuju senjakala.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6747ed25055bd277704e725a