Seolah Menginap di Rumah Sendiri

Jalan Jaksa, sebuah jalan kecil dengan nama besar. Terutama bagi turis berkantong pas-pasan. Berkat Wisma Delima.

OLEH:
Aryono
.
Seolah Menginap di Rumah SendiriSeolah Menginap di Rumah Sendiri
cover caption
Wisma Delima zaman dulu di Jalan Jaksa No. 5, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. (Dok. Keluarga Boy Lawalata).

MALAM kian larut. Namun, suasana di Jalan Jaksa di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, masih ramai. Para pelancong mancanegara memenuhi kafe dan kedai, yang berjejer di kiri-kanan jalan sepanjang 400 meter itu. Banyaknya penginapan murah di kawasan ini menjadikan Jalan Jaksa sebagai tempat favorit turis-turis remaja berkantong cekak dan backpacker.  

“Kami menikmati suasana di sini. Mudah dicapai dengan semua transportasi. Dan yang paling penting tidak ketat seperti menginap di hotel,” ujar Luigi, wisatawan dari Italia, kepada Historia.

Esok hari, sebagian turis melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat menarik lainnya di Indonesia. Sebagian lainnya menelusuri jalanan ibukota. Umumnya mereka bisa dikenali dari penampilan: mengenakan celana pendek, kaos singlet, sandal jepit, dan menyandang ransel gede.

MALAM kian larut. Namun, suasana di Jalan Jaksa di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, masih ramai. Para pelancong mancanegara memenuhi kafe dan kedai, yang berjejer di kiri-kanan jalan sepanjang 400 meter itu. Banyaknya penginapan murah di kawasan ini menjadikan Jalan Jaksa sebagai tempat favorit turis-turis remaja berkantong cekak dan backpacker.  

“Kami menikmati suasana di sini. Mudah dicapai dengan semua transportasi. Dan yang paling penting tidak ketat seperti menginap di hotel,” ujar Luigi, wisatawan dari Italia, kepada Historia.

Esok hari, sebagian turis melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat menarik lainnya di Indonesia. Sebagian lainnya menelusuri jalanan ibukota. Umumnya mereka bisa dikenali dari penampilan: mengenakan celana pendek, kaos singlet, sandal jepit, dan menyandang ransel gede.

Sejak Jakarta masih bernama Batavia, daerah Kebon Sirih sudah dikenal sebagai kawasan penginapan, baik untuk pelancong maupun pelajar. Sebagian besar mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool) –cikal-bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia– memilih tinggal di pemondokan di sebuah jalan kecil di kawasan itu, yang kemudian dikenal dengan nama Jalan Jaksa.

Namun kisah Jalan Jaksa sendiri dimulai tahun 1969 ketika Nathanael Lawalata mengusahakan hostel penginapan murah untuk turis-turis asing dengan fasilitas terbatas di rumahnya di Jalan Jaksa No. 5, yang kemudian dinamain Wisma Delima.

“Pada 1969, Jalan Jaksa masih disebut Gang Jaksa. Dan dulu masih gelap, belum seramai sekarang,” ujar Boy Lawalata, 62 tahun, putra ketiga Nathanael Lawalata yang kini mengelola Wisma Delima, kepada Historia.  

Saat itu, Nathanael Lawalata tak pernah membayangkan Wisma Delima akan berkembang, bahkan menjadi pionir hostel di Jalan Jaksa.

Nathanael Lawalata, pendiri Wisma Delima, dan istrinya, Deni Rehatta. (Dok. Keluarga Boy Lawalata).

Tanpa Uang Sepeser

Nathanael Lawalata, orang Saparua, Maluku, lahir pada 7 November 1912. Dia bekerja sebagai pegawai negeri. Ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa membuka kantor di Indonesia pada 1945, Lawalata adalah orang kedua yang bertanggung jawab atas kantor organisasi tersebut. Dia juga pernah bekerja di Biro Perancang Nasional (kini, Badan Perencana Pembangunan Nasional atau Bappenas). Setelah pensiun, Lawalata bekerja sebagai kepala hubungan masyarakat untuk sebuah perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM).

“Saat itu kami tinggal di Jalan Jaksa No. 1, yang sekarang jadi parkiran Sate Senayan. Lalu oleh perusahaan diminta pindah ke rumah yang lebih besar. Maka, jadilah kami menempati rumah di Jalan Jaksa No. 5 tahun 1953,” ujar Boy.

Setelah meninggalkan BPM tahun 1963, Lawalata menginvestasikan seluruh tabungannya untuk berbisnis kain batik. Usahanya gagal total. “Saya akhirnya tidak memiliki uang sepeser pun, sama sekali tak punya uang. Di pagi hari saya pergi ke pasar dan membeli makanan kecil untuk dijual di bis yang berhenti di depan Hotel Borobudur di Jakarta,” ujar Nathanael Lawalata, dikutip Indonesia Magazine, Vol. 27, tahun 1996.

Lawalata kemudian mendapatkan pekerjaan di Bhayangkara Travel sebelum pindah ke Induk Koperasi Angkatan Kepolisian (Inkopak). Klop, sebab Deni Rehatta, istrinya yang keturunan Ambon tapi lahir di Magelang, Jawa Tengah, seorang polisi.

“Saat di Bhayangkara Travel ayah saya kenal dengan beberapa pejabat polisi seperti Danusugito. Sementara ibu saya saat itu berkantor di hoofd biro, depan Museum Gajah, sekitar Monas,” ujar Boy.

Bhayangkara Travel dikelola Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Selain itu, Mabes Polri memiliki dan mengoperasikan Hotel Polisi yang terletak di Kebon Sirih 17. Hotel ini dikelola Seksi Perjalanan/Pengangkutan di Jawatan Kepolisian Negara. Selain disewakan, hotel ini dipakai untuk tempat penginapan dan tempat tinggal sementara bagi para perwira polisi. Yang bertanggungjawab atas pengelolaannya adalah AKBP Danusugito, seorang perwira polisi yang kemudian punya andil dalam perkembangan Wisma Delima.

Salah satu sudut Wisma Delima. Tampak bendera-bendera negara asal turis yang menginap di Wisma Delima. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Menepis Kaum Hippies

Belum jelas sejak kapan Hotel Polisi beroperasi. Tapi pada awal 1950-an hotel itu sudah ada. Setelah pengakuan kedaulatan dan status ibukota dikembalikan lagi ke Jakarta, yang membuat Mabes Polri dan Akademi Kepolisian harus pindah ke Jakarta, Hoegeng termasuk di antara yang ikut boyongan. Hoegeng saat itu anggota polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi yang juga mahasiswa Akademi Kepolisian. Karena belum ada fasilitas perumahan, Hoegeng untuk sementara hidup terpisah dari keluarganya.

“Saya tinggal Hotel Polisi, bertempat di Jalan Kebon Sirih 19. Direktur hotelnya Rientyes, seorang Belanda totok. Dan saya sekamar dengan Hoofd Inspecteur Dom, Katik Soeroso dan Oetarman,” ujar Hoegeng dalam otobiografinya Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan. Hoegeng kelak menjabat Kapolri kelima.

Hoegeng mungkin alpa. Alamat yang dia sebut adalah Wisma Bhayangkara. Darby Greenfield dalam Indonesia, A Traveler’s Guide: Java and Sumatra (1975) menyebut Wisma Bhayangkara sebagai salah satu hotel yang direkomendasikan dengan tarif Rp1.100 –terbilang agak mahal. Sementara Hotel Polisi beralamat di Kebon Sirih 17 bertarif Rp400 per malam, tanpa makan dan minum.  

Hotel Polisi ramai ketika terjadi lonjakan turis mancanegara berkantong pas-pasan. Pemerintah baru kala itu, di bawah Soeharto, memberlakukan pengawasan ketat terhadap wisatawan mancanegara ini.

“Menurut saya, sikap pemerintah pada periode tersebut ambigu. Mereka justru sedang giat membuka pariwisata di Bali. Mungkin kekhawatiran pemerintah pada gaya hidup, penampilan hippies, di mana terbit peraturan larangan rambut gondrong, serta penyalahgunaan obat-obatan,” ujar Ahmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia yang konsen pada sejarah pariwisata, kepada Historia.  

Khusus turis-turis nyentrik yang datang ke Jakarta hingga awal 1970 ditampung di Hotel Polisi yang sanggup menampung 150 orang.  

Selain sebagai hostel, Hotel Polisi menjadi kantor Asosiasi Pondok Pemuda Indonesia (Indonesian Youth Hostel Association), yang berdiri pada 1968 dan diterima sebagai anggota ke-73 International Youth Hostel Federation (IYHF) –kini Hostelling International. Kegiatannya dititikberatkan pada pemberian jasa berupa fasilitas, baik kepada pemuda-pemuda Indonesia maupun negara lain, untuk menjelajah dan mengenal alam dan budaya Indonesia dengan biaya murah. Danusugito jadi ketuanya. Salah satu hajatan terbesar, yang dipercayakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, adalah mengurusi misi muhibah pemuda-pemuda Jepang di Jakarta tahun 1969.

Namun, Hotel Polisi nyaris tak terurus. Ia tak dikelola secara profesional, “penginapan tidak terjaga dengan baik, tidak bersih dan wisatawan tidak suka karena tidak nyaman,” ujar Nathanael Lawalata, dikutip harian Jakarta Post edisi 2 Agustus 1994.

Ketika Hotel Polisi siap-siap gulung tikar, Danusugito menyarankan Lawalata untuk mengembangkan usaha penginapan murah di rumahnya. Rupanya, Danusugito tak sembarangan memberi usul. Dia melihat kawasan Jalan Jaksa strategis untuk bisnis akomodasi pariwisata. Dia juga yakin Lawalata adalah orang yang tepat.

“Ketika mereka menutup Hotel Polisi, mereka memutuskan untuk memindahkannya ke rumah saya karena saya tinggal di pusat kota Jakarta, tidak jauh dari tempat wisata seperti Monas dan Museum Nasional –lebih populer sebagai Museum Gajah, stasiun kereta Gambir dan Lapangan Banteng, yang merupakan terminal bus,” ujar Lawalata. Lawalata mengikuti saran karibnya.  

Hotel Polisi sendiri lenyap tak berbekas. Di atas lahannya kini berdiri Gedung Bimantara milik Bambang Trihatmodjo, anak Soeharto, dan sekarang jadi Gedung MNC kepunyaan taipan Harry Tanoesudibjo.

Boy Lawalata, anak Nathanael Lawalata, pengelola Wisma Delima. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Bak Unit Keluarga

Mulanya Nathanael Lawalata tak bermaksud menyewakan kamar sebagai bisnis tapi karena alasan sosial. Suatu ketika, dia dikunjungi Mr. Kanako, manajer wisma remaja (youth hostel) di Jepang, yang menanyakan apakah Lawalata dapat menampung beberapa turis laki-laki muda dari Jepang, di rumahnya. “Tapi apa yang bisa saya lakukan dengan hanya satu kamar? Namun, saya memutuskan untuk mengakomodirnya saja, jadi mereka tidak akan terdampar,” ujar Lawalata.

Rupanya, kedatangan turis Jepang itu bukanlah yang terakhir. Permintaan kerap menghampiri. Bahkan Lawalata pernah menerima empat puluh turis. “Syukurlah mereka tak membutuhkan tempat tidur, hanya atap di atas kepala mereka. Yang mereka butuhkan tempat yang cukup untuk berbaring di kantong tidur mereka,” kata Lawalata.  

Karena dorongan Danusugito-lah dia mulai mengembangkan Wisma Delima pada 1969.

“Nama Delima ini diambil dari kata De dan Lima. Lima merujuk pada kedua orangtua dan tiga saudara kandung saya, meskipun kemudian lahir adik saya,” ujar Boy. “Waktu itu kami memiliki modal dua kamar. Modelnya bangsal, dengan ranjang susun.”

Namun, dua tahun berjalan, Wisma Delima masih sepi turis, kendati tarifnya murah: Rp200 per malam. Yang menginap satu-dua orang saja. Berbagai upaya pun ditempuh. Anak-anak Lawalata mencoba mengambil turis langsung dari Bandara Halim Perdanakusumah, namun tak ada hasil sebab para turis belum mengenal mereka.

“Dulu kami menyewa becak untuk mencari pengunjung. Jadi kami setiap hari nongkrong di Kemayoran untuk mencari wisatawan asing yang mau menginap. Kalau dapat, kami bawa ke Wisma Delima dengan naik becak,” ujar Boy.

Lawalata hampir putus asa dan berniat menutup Wisma Delima namun dicegah anak-anaknya. Mengikuti saran Danusugito, yang pindah tugas ke Bali, Lawalata mendaftarkan Wisma Delima pada International Youth Hostel Federation (IYHF) pada 1972. Sejak itu tamu berdatangan. Wisma Delima juga mulai tercantum dalam buku panduan wisata. Para pelajar, tulis Darby Greenfield, lebih memilih menginap di Wisma Delima yang terletak di Jalan Jaksa No 5.

Letak Jalan Jaksa amat strategis; menghubungkan dua jalan utama –Jalan Kebon Sirih dan Jalan Wahid Hasyim– di pusat Jakarta yang sibuk. Naluri Lawalata untuk membuka hostel untuk turis mancanegara tak meleset. Jalan Jaksa kian ramai dan menjadi pilihan turis asing.

Sadar bahwa bisnisnya mulai berkibar, Lawalata pun menambah jumlah kamar. Seiring waktu berlalu dan Wisma Delima menjadi kian sibuk, rumah-rumah tetangga pun dikontrak untuk mengakomodasi semakin banyaknya turis back-pack bersandal. “Kepuasan mereka disebarkan dari mulut ke mulut ke teman-teman mereka di rumah dan di luar negeri,” kata Lawalata dengan bangga. Lawalata kemudian ditunjuk sebagai sekretaris jenderal Asosiasi Pondok Pemuda Indonesia.

Pada kurun 1972 hingga 1979, Wisma Delima adalah rajanya penginapan di Jalan Jaksa. Jika musim liburan di Eropa tiba, Wisma Delima penuh. “Karena di sini hanya tempat transit, jadinya paling lama mereka menginap hanya 2 malam,” ujar Deni Rehatta kepada majalah Jakarta Jakarta edisi November 1990.

Pada 1990 Wisma Delima menyediakan 12 kamar –kini, 14 kamar. Dari selusin kamar itu, tiga kamar dipersiapkan khusus untuk rombongan enam orang, dan sisanya untuk kapasitas dua orang. Dia memasang tarif yang murah: Rp1.000 per malam. Anggota IYHF, dengan menunjukkan kartu, cukup membayar Rp750. Selain itu, Lawalata menyulap garasi rumahnya menjadi ruang tunggu, perkantoran mini, dan ruang duduk.

Meski hanya sebatas hostel, keluarga Lawalata memberlakukan aturan ketat bagi para tamu. Antara lain larangan membawa tamu luar, minuman keras, dan narkotika ke dalam kamar; pintu pagar dikunci pada pukul 24.00; dilarang merokok di tempat tidur; dan terakhir harus mengenakan pakaian sopan ketika ke kamar mandi –yang kebetulan terpisah dari kamar tidur.

“Masalah terakhir inilah yang sering disepelekan mereka. Mungkin mereka menganggap pakaian minim itu tidak apa-apa. Tapi peraturan itu tetap saya berlakukan, seandainya membangkang silakan mencari wisma lain,” ujar Deni Rehatta

Apa yang membuat hostel seperti Wisma Delima bisa bertahan?

Youth hostels di seluruh dunia, tulis Indonesia Magazine, dioperasikan seperti unit keluarga besar dan dalam kebanyakan kasus, para manajer dianggap hampir seperti ayah daripada manajer. Kadang seorang turis jatuh sakit dan dirawat si empunya rumah. Perhatian pribadi inilah yang membuat para wisatawan menikmati masa tinggal mereka di Wisma Delima.  

Prinsip utama di balik Wisma Delima juga sejalan dengan Youth Hostelling International: pendidikan, pengetahuan tentang tradisi dan budaya lokal, saling pengertian, solidaritas, dan pengembangan kaum muda. “Inilah unsur penting yang membuat Wisma Delima menjadi tempat yang menyenangkan untuk tinggal,” tulis Indonesia Magazine.

Wisma Delima kemudian menjadi model bisnis serupa di sepanjang Jalan Jaksa.

Tampak depan Wisma Delima. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Tinggal Hitungan Jari

Memasuki tahun 1980-an, bermunculan hostel-hostel lain di Jalan Jaksa. Kian ramainya Jalan Jaksa juga mendorong orang membangun hotel, kafe, dan tempat biliar. Penduduk setempat pun tak menyia-nyiakan peluang bisnis ini dengan menyewakan kamar mereka. Jalan Jaksa kian semarak.

Kendati muncul banyak kompetitor, Wisma Delima masih bisa bertahan. “Saya puas bahwa kamar kami selalu penuh meski kita harus bersaing tidak hanya dengan 26 hotel lainnya tapi juga dengan warga di daerah ini yang juga menawarkan kamar untuk wisatawan,” kata Lawalata.

Namun, persaingan bisa tak sehat jika tak dikelola dengan baik. Maka, atas inisiatif Nathanael Lawalata, dibentuklah Ikatan Usaha Kepariwisataan Jalan Jaksa dan Sekitarnya (IKJS). Lawalata ditunjuk sebagai ketua.

“Organisasi ini sebenarnya dibentuk karena saat itu kawasan Jalan Jaksa kabarnya akan dicaplok oleh grup Bimantara. Kami membuat organisasi supaya kami ada kekuatan,” ujar Boy. “Sekarang kami juga khawatir kalau MNC menyeberang ke mari.”

Sejak 1994, IKJS memprakarsai atraksi wisata bertajuk Festival Jalan Jaksa. Lima tahun kemudian, walikota Jakarta Pusat memutuskan Jalan Jaksa sebagai kawasan wisata malam. Jalan Jaksa kian memikat. Tapi hostel-hostel macam Wisma Delima justru mulai terlibas.

Nathanael Lawalata meninggal dunia pada 2007, menyusul istrinya yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Atas kontribusinya sebagai pelopor turisme di Jakarta, Nathanael Lawalata dianugerahi Penghargaan Upakarti, penghargaan tertinggi dari pemerintah untuk orang-orang yang berdedikasi tinggi dan melakukan berbagai upaya luar biasa dalam pengembangan industri kecil dan menengah.  

Kini, hostel di Jalan Jaksa harus berjuang dari sergapan hotel-hotel besar yang tumbuh subur di kawasan sekitarnya.  

“Sekarang kalau tidak salah, jumlah hostel di Jalan Jaksa tinggal hitungan jari, mungkin tinggal empat buah saja yang bertahan,” ujar Boy.*

Majalah Historia No. 37 Tahun IV 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
675673c0f7917f8e7c34ff97