Sepucuk Kenangan dari Selcuk

Menelusuri sebuah kota kecil di Turki di mana peradaban Barat dan Timur bertemu.

OLEH:
Farchan Noor Rachman
.
Sepucuk Kenangan dari SelcukSepucuk Kenangan dari Selcuk
cover caption
Benteng Ayasoluk. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

SAYA berdiri menatap Selcuk dari gigir Pegunungan Bul-bul. Dari ketinggian bukit, Selcuk hanya sebuah titik kecil dari wilayah Turki yang agung. Kota kecil ini, yang masuk wilayah Provinsi Izmir, jauh dari hiruk-pikuk dan dipenuhi orang tua dengan rambut memutih.

Di sini, sejarah terserak di berbagai sudut kota. Sayang, susah sekali mendapatkan angkutan umum. Saya kebingungan. Seorang tua di alun-alun menyarankan saya menyewa mobil.  

Saya bersua Ferit ketika mengunjungi tempat penyewaan mobil. Alih-alih menyewa mobil, saya menerima tawaran Ferit untuk mengantarkan saya berkeliling Selcuk dengan taksinya seharga 80 lira sehari penuh.

SAYA berdiri menatap Selcuk dari gigir Pegunungan Bul-bul. Dari ketinggian bukit, Selcuk hanya sebuah titik kecil dari wilayah Turki yang agung. Kota kecil ini, yang masuk wilayah Provinsi Izmir, jauh dari hiruk-pikuk dan dipenuhi orang tua dengan rambut memutih.

Di sini, sejarah terserak di berbagai sudut kota. Sayang, susah sekali mendapatkan angkutan umum. Saya kebingungan. Seorang tua di alun-alun menyarankan saya menyewa mobil.  

Saya bersua Ferit ketika mengunjungi tempat penyewaan mobil. Alih-alih menyewa mobil, saya menerima tawaran Ferit untuk mengantarkan saya berkeliling Selcuk dengan taksinya seharga 80 lira sehari penuh.

“Mobil saya sudah tua, saya harus pelan-pelan.” Ferit mengendarai Peugeot tuanya dengan pelan, melahap kelak-kelok tanjakan Pegunungan Bul-bul, dan mengantar saya menuju Rumah Peristirahatan Terakhir Bunda Maria di Efesus, sebuah kota tua yang berjarak sekira tiga kilometer dari Selcuk.  

Konon, setelah peristiwa penyaliban Yesus Kristus, Bunda Maria menyingkir ke Efesus dan memutuskan tinggal di sebuah rumah di sekitar perbukitan. Penganut Katolik di sekitar Selcuk secara turun-temurun mengisahkan keberadaan rumah ini. Melalui warisan dongeng itu, secara tradisional mereka menziarahi tempat ini setiap tahunnya. Tapi ternyata orang-orang Muslim di Selcuk juga melakukan hal yang sama. Bagi mereka, Bunda Maria adalah Maryam, ibu dari Nabi Isa dalam tradisi Muslim.

Rumah Bunda Maria. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Kompleks ziarah ini dijaga gendermarie (tentara yang menjalankan tugas-tugas kepolisian) yang hilir-mudik dengan senjata lengkap. Sebagai sebuah situs sejarah penting dalam ritus dua agama, suasana situs ini sungguh sepi. Ketika saya memasuki rumah, nuansa hening menyergap. Seorang biarawati tersenyum ketika saya berhenti sejenak di altar.  

Saya bergerak menuju dinding doa di luar kompleks. Pengunjung biasanya melakukan ritual dengan menuliskan doa dan harapan lalu menggantungkannya di dinding doa. Ada ribuan kertas doa dari berbagai bahasa dan ini menunjukkan Rumah Peristirahatan Terakhir Bunda Maria menjadi rumah bagi orang-orang dari berbagai bangsa yang datang berziarah.

Usai melakukan ritual singkat, saya menemui Ferit yang sudah menunggu di dalam taksi.  

“Saya akan mengantarmu menuju Efesus, menuju gerbang belakang, nanti saya jemput di gerbang depan.” Kami menuju kompleks kota tua Efesus.

Ephesus. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Pusat Kota

Di era kuno, sebelum menjadi kota kecil seperti sekarang, Selcuk adalah salah satu kota terbesar di Jazirah Anatolia yang menjadi kutub peradaban dan budaya. Jejak-jejak masa lalu Selcuk tampak jelas di Efesus.  

Ketika saya tiba, matahari sudah lebih sepenggalan dan panas mulai menggantang. Saya masuk kompleks Efesus setelah membayar tiket seharga 30 lira. Ada dua pintu masuk ke kompleks Efesus, gerbang belakang dan gerbang depan. Untuk menyusuri Efesus, pengunjung biasanya masuk dari salah satu gerbang dan keluar di gerbang lainnya.  

Gerbang belakang yang saya masuki merupakan area perbukitan dan padang gersang. Di masa lalu area ini adalah tempat hiburan orang-orang kaya. Lepas pintu masuk, di sisi kanan, terdapat Odeon berbentuk amphitheater yang dulunya tempat pertunjukan tari dan musik. Di seberang Odeon terdapat pemandian orang-orang Romawi yang mewah; terbagi atas pemandian air dingin dan panas. Reruntuhannya masih sangat megah.

Sejarah Efesus sangat panjang dan melalui beberapa periode. Menurut data-data arkeologis, Efesus mulai dihuni orang-orang Yunani sejak abad ke-10 SM. Letaknya yang strategis di tepi Laut Aegea membuat Efesus berkembang menjadi kota pelabuhan yang sibuk. Dan di era Yunani inilah Efesus sohor sebagai kota perdagangan terbesar di sekitar Laut Aegea.  

Laju peradaban membawa Efesus memasuki era Romawi. Di era Kaisar Augustus, Efesus menjadi ibukota Provinsi Asia. Hal ini membuat Efesus sebagai kota terpenting di jazirah Asia Minor.  

Periode sejarah yang dilewati kota ini membuat sebaran bangunan arkeologis dari Efesus amat beragam. Dari bangunan era Yunani, Romawi, bahkan peradaban Mesir Kuno. Hal ini tampak dari reruntuhan Kuil Isis di seberang Odeon. Konon, pada zaman Alexander Agung, Efesus mengadakan hubungan dagang dan diplomatik dengan Kota Alexandria di Mesir, sehingga banyak orang Mesir bermigrasi ke Efesus dan membangun Kuil Isis.  

Jejak arkeologis Efesus juga bisa ditemukan di area yang luas, di dalam maupun luar kota Selcuk. Itulah mengapa Kota Selcuk bak museum yang amat besar dan luas.  

Dari reruntuhannya, Kota Efesus dirancang apik dengan beragam bangunan monumental. Ia terbagi menjadi beberapa bagian dengan sangat rapi: hiburan, pusat kota, dan pelabuhan.

Rancang bangun utama Kota Efesus berbentuk huruf L. Jalan utama yang lebar dan terbuat dari marmer menjadi penanda utama bagian kota kuno ini.

Perpustakaan Celcus. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Jejak Yudaisme

Dari area hiburan, saya bergerak menuju Gerbang Herakles. Gerbang ini menjadi penanda masuk ke area pusat kota Efesus. Ia disebut Gerbang Herakles karena ada ornamen Herakles, tokoh mitos dan anak Zeus dalam legenda Yunani, di gerbang ini. Gerbang Herakles berukuran sempit, di masa lalu difungsikan sebagai penghalang kereta kuda. Penguasa Efesus menjadikan jalanan Efesus sebagai pedestrian; hanya untuk pejalan kaki.  

Memasuki area pusat kota Efesus, bangunan-bangunan monumental mulai terlihat. Jalanan pun semakin besar. Di sisi kanan-kiri adalah kompleks residensial pejabat-pejabat kota dan para orang kaya.  

Saya menuju Perpustakaan Celcus, bangunan paling indah di Efesus. Perpustakaan ini dibangun sebagai mausoleum untuk Senator Tiberius Julius Celsus di awal abad kedua Masehi. Di masa lalu di dalam perpustakaan terdapat abu jenazah Celsus dan juga koleksi buku yang dibuka untuk publik.  

Yang menarik dari seluruh area ini justru insignia kecil menorah di tangga masuk perpustakaan. Di seluruh Efesus, jejak Yudaisme hanya tersisa di perpustakaan ini dan ukurannya amat kecil. Hingga sekarang, selain insignia menorah tersebut, belum ada lagi bukti-bukti peninggalan lainnya untuk merekonstruksi cerita tentang Yudaisme di Efesus.  

Jika di masa sekarang penanda pusat kota bisa berupa alun-alun, taman atau monumen, di masa lalu penanda pusat kota adalah Agora. Dalam tata kota Yunani Kuno dan Romawi, Agora selalu ditempatkan di pusat kota. Sebagian dari Agora berfungsi sebagai pasar. Dan karena Agora selalu ramai, orang-orang Yunani Kuno selalu memberikan pengumuman publik di Agora.  

Agora di Efesus sekarang hanya menyisakan pilar-pilarnya, dulunya berukuran sekitar 160 x 73 meter. Uniknya, Agora di Efesus tak berfungsi sebagai pasar, namun digunakan untuk melakukan pertemuan-pertemuan penting.

Teater. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Bangunan monumental terakhir di Efesus yang saya kunjungi adalah Teater yang menjulang dan sangat mencolok dibanding bangunan lain. Apabila datang dari laut, Teater ini seolah menyambut para pengunjung. Teater ini dibangun sejak era Yunani kemudian diperbesar di era Romawi. Pada zamannya, ia menjadi teater terbesar di Asia Minor dan mampu menampung 25 ribu pengunjung dalam sekali pertunjukan.

Saya masuk melalui pintu kecil di sisi kanan Teater, menyusuri lorong-lorongnya yang seperti labirin, dan muncul di samping panggung. Lokasi Teater menempel bukit. Saya mendaki tangga Teater sampai ke puncak, yang dulu dipakai sebagai kursi untuk orang-orang biasa. Di puncak Teater, terhamparlah seluruh panorama Efesus beserta jalan besar menuju pelabuhan dan perbukitan.  

Pelabuhan Efesus hanya tinggal reruntuhan. Alamlah yang meruntuhkannya. Sedimentasi sungai menjauhkan Efesus dari Laut Aegea. Kapal-kapal berhenti datang. Kota mengalami kemunduran karena bencana alam di abad ke-5 dan pada abad ke-14 Efesus benar-benar ditinggalkan penghuninya.  

Saya berada di ujung pelabuhan, membayangkan kapal-kapal niaga besar singgah. Kenyatannya, di ujung pelabuhan yang sama sekarang hanya ada padang rumput dan pepohonan yang tumbuh jarang-jarang.  

“Mari kita ke kota,” Ferit sudah menyambut di gerbang utama ketika saya keluar dengan wajah penuh keringat.  

“Saya mau mampir membeli jeruk dulu.”  

“Boleh, nanti ada di sepanjang jalan menuju Selcuk.”  

Selcuk adalah kota agraris. Terperangkap perbukitan dan memiliki lahan subur. Di sepanjang kiri dan kanan jalan dari Selcuk menuju Efesus, terbentang ladang jeruk dan zaitun. Jika zaitun adalah tumbuhan yang acap ditemui di Asia Minor hingga Mediterania, jeruk terhitung baru di Selcuk.  

Saya membeli beberapa jeruk untuk bekal. Ferit muncul dengan hipotesis menarik bahwa jeruk di Selcuk mungkin berasal dari China. Saya tertawa. Saya bilang seluruh barang di dunia memang berasal dari China. Ferit ikut tertawa.

Basilika St. John. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Landmark

Dari Efesus, Ferit membawa saya kembali ke Selcuk. Panas yang menggantang membuat saya harus membuka lebar-lebar jendela taksi.  

“Nanti tenang saja. Jika ada yang menawari souvenir, abaikan saja,” Ferit menasihati saya sebelum berhenti di Kuil Artemis. Dan benar, segera setelah saya keluar dari taksi, para pedagang souvenir mengerubuti. Saya mengikuti saran Ferit dan terus melangkah ke reruntuhan Kuil Artemis.  

Dulu, Kuil Artemis dengan ratusan pilar setinggi tujuh belas meter begitu menggetarkan. Sayang kuil ini kemudian hancur karena kebakaran, gempa, dan serangan kaum Goths di abad kedua Masehi. Sejak itu pula Kuil Artemis ditinggalkan, tak dibangun lagi, dan hanya menyisakan reruntuhan.  

Kondisi kuil sungguh memprihatinkan. Ia tak lebih dari onggokan bebatuan di balik semak-semak. Takkan ada yang memperhatikan jika tak ada petunjuk. Kuil, yang pernah masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia kuno, kini tinggal satu pilar yang berdiri terengah-engah. Lainnya adalah sisa pondasi yang tenggelam ditelan tanah dan dibenamkan waktu.

Dari Kuil Artemis, saya menatap destinasi terakhir di Selcuk; tiga bangunan utama yang saling berdekatan dan terletak di pusat kota. Ferit mengantarkan saya menuju Basilika St. John.

Basilika St. John dibangun pada abad ke-6 di bekas kapel yang dipercaya sebagai makam Rasul Yohanes. Pondasi bangunan ini awalnya berbentuk seperti salib dengan pilar-pilar tinggi mendominasi. Lokasinya yang berada di atas bukit menambah kesan relijius. Di masa lalu, para peziarah datang untuk mendoakan Rasul Yohanes di dalam gereja. Sekarang bekas makam Rasul Yohanes masih ditandai di tengah-tengah reruntuhan Basilika. Ketika saya datang, beberapa peziarah sedang berdoa di makam tersebut.

Alun-alun Selcuk. (Farchan Noor Rachman/Historia.ID).

Saya memandang ke arah puncak bukit Ayasoluk. Benteng Ayasoluk terlihat gagah. Sayangnya, hingga sekarang benteng tersebut tak dibuka untuk pengunjung. Saya mendekati benteng untuk melihat detailnya. Benteng Ayasoluk dibangun sekitar abad ke-6 saat Turki berada di era Kekaisaran Byzantium. Pembangunan dilakukan ketika Efesus mengalami kemunduran dan sebagian penghuninya pindah ke area Ayasoluk. Benteng ini menjadi simbol kota baru dan pelindung kota.  

Di era penaklukkan Seljuk dan Utsmaniyah, Benteng Ayasoluk diperbesar dan diperkuat. Utsmaniyah menganggap benteng ini penting sebagai pertahanan kota dan menempatkan sekitar 40 prajurit di benteng ini sampai keruntuhan Utsmaniyah pada awal abad ke-20. Walaupun pada faktanya, ketika ditaklukkan Utsmaniyah, benteng ini begitu gampang direbut. Kota yang dikatakan menjadi penerus Efesus tak terwujud; hanya menjelma sebuah desa di kaki bukit Ayasoluk.  

Usai dari Benteng Ayasoluk, saya menuju Masjid Isa Bey. Terletak di sebelah Basilika St. John, Masjid Isa Bey terlihat mencolok dengan dua kubahnya. Masjid ini didirikan Dinasti Seljuk yang menjadi inspirasi nama kota ini, Selcuk. Dibangun pada abad ke-14, ia menjadi salah satu peninggalan Dinasti Seljuk yang masih bertahan hingga sekarang.  

Sayangnya waktu sudah semakin sore. Saya tak bisa lama-lama di Masjid Isa Bey. Saya bergegas menuju alun-alun.  

Sama seperti orang-orang Selcuk, di tengah alun-alun saya menikmati senja dengan sentimentil, menanti senja surup di antara viaduk peninggalan bangsa Romawi, dan menunggu datangnya kereta yang akan membawa saya menuju destinasi berikutnya.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Penulis adalah pegawai pajak. Hobi ngeblog, fotografi, dan traveling. Tinggal di Jakarta.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67034fcd9db1c8afc7b3d6c3