Mr. Hamid Algadri (kedua dari kiri) bersama anggota delegasi Misi Parlemen Indonesia ke Inggris di London, 1952. (Repro Mengarungi Indonesia, Memoar Perintis Kemerdekaan Mr. Hamid Algadri).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETELAH Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 mengenai pembentukan partai politik, para pemimpin Partai Arab Indonesia (PAI) justru menolak menghidupkan kembali partai yang sudah dibubarkan Jepang. Alasannya, selain tak sesuai dengan semangat kemerdekaan, partai-partai politik yang akan muncul membuka pintu bagi mereka.
Para tokoh PAI pun bergabung dengan partai politik sesuai ideologi masing-masing. Umumnya memilih Masyumi, termasuk A.R. Baswedan. Hamid Algadri masuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Selebihnya bergabung dengan partai politik lainnya, seperti Said Bahreisj (Partai Nasional Indonesia) dan Ahmad Bahmid (Nahdlatul Ulama).
Langkah tokoh-tokoh PAI diikuti keturunan Arab lainnya. Beberapa dari mereka menduduki jabatan penting dalam kepengurusan partai maupun Komite Nasional Indonesia Pusat. Baswedan bahkan menjabat menteri muda penerangan pada Kabinet Sjahrir III.
SETELAH Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 mengenai pembentukan partai politik, para pemimpin Partai Arab Indonesia (PAI) justru menolak menghidupkan kembali partai yang sudah dibubarkan Jepang. Alasannya, selain tak sesuai dengan semangat kemerdekaan, partai-partai politik yang akan muncul membuka pintu bagi mereka.
Para tokoh PAI pun bergabung dengan partai politik sesuai ideologi masing-masing. Umumnya memilih Masyumi, termasuk A.R. Baswedan. Hamid Algadri masuk Partai Sosialis Indonesia (PSI). Selebihnya bergabung dengan partai politik lainnya, seperti Said Bahreisj (Partai Nasional Indonesia) dan Ahmad Bahmid (Nahdlatul Ulama).
Langkah tokoh-tokoh PAI diikuti keturunan Arab lainnya. Beberapa dari mereka menduduki jabatan penting dalam kepengurusan partai maupun Komite Nasional Indonesia Pusat. Baswedan bahkan menjabat menteri muda penerangan pada Kabinet Sjahrir III.
Yang mengejutkan penyesuaian sikap Umar Hubeis, kepala sekolah Al-Irsyad di Surabaya yang pernah jadi oposan PAI. Dia masuk Masyumi. Sikap Hubeis diikuti semua anggota kelompok Al-Irsyad. Menurut Natalie Mobini Kesheh dalam Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, ini menunjukkan secara keseluruhan masyarakat Hadrami mengakui sebagai bagian dari “bangsa Indonesia”.
Bukan hanya di Jakarta. Di Kalimantan Timur, keluarga Sayid Baraqbah aktif dalam politik dan pemerintahan. Yang menarik pilihan politik yang diambil Sayid Fachrul Baraqbah. Dia bergerilya melawan Belanda, lari ke Jawa dan bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), aktif di Front Demokrasi Rakyat yang kemudian memberontak di Madiun, lalu jadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kalimantan Timur.
Burhan D. Magenda dalam “Dinamika Peranakan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal”, dimuat jurnal Antropologi Indonesia Vol. 29 No. 2 tahun 2005, menulis, “keterlibatan beliau dalam PKI sebagai hal yang jarang dalam politik keturunan Arab di Indonesia.”
Delegasi Keturunan Arab
Selama masa revolusi, jalan bersimpangan diambil Syarif Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, sultan Pontianak. Bersama sejumlah tokoh negara bagian/kepala daerah otonom, dia membentuk Perhimpunan Musyawarah Federal (BFO). Selain Sultan Hamid II, Belanda memakai M.B.A. Alamudi, bekas pemimpin Indo Arabische Verbond, untuk mengorganisasi Konferensi Keturunan Arab di Pangkal Pinang.
Eksponen PAI merespons dengan membentuk Komite Politik Kalangan Arab yang diketuai Mahdar bin Syech Abu Bakar. Konferensi Pangkal Pinang gagal mempengaruhi masyarakat keturunan Arab. Komite juga berhasil mencegah terbentuknya delegasi minoritas keturunan Arab ke Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Kami berpendirian tidak perlu ada delegasi minoritas Arab karena keturunan Arab sudah termasuk dalam bangsa Indonesia,” kata Hamid Algadri dalam memoarnya, Mengarungi Indonesia. Algadri ditunjuk sebagai penasihat delegasi Indonesia di bawah Mohammad Hatta.
Terjadi pertikaian antara Sultan Hamid II dan mantan anggota PAI. Sebagai kompromi, dua eksponen PAI, Abdul Kadir Assegaf dan Yahya Alaydrus, menjadi penasihat delegasi BFO. “Setibanya delegasi di Negeri Belanda, kedua orang itu menyerahkan segala urusan politik KMB kepada saya,” ujar Algadri.
KMB memutuskan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Wakil Partai, Bukan Minoritas
Pada 25 Desember 1950, keturunan Arab mengadakan konferensi yang dihadiri wakil dari 21 kota. Konferensi memutuskan membentuk Badan Konferensi Bangsa Indonesia Turunan Arab. Program kerjanya antara lain memperjuangkan penghapusan Pasal 58 Undang-Undang Dasar (UUD) Sementara Republik Indonesia.
Pasal 58 menyebut keterwakilan golongan kecil Arab dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekurangnya 3 anggota. Jika jumlah itu tak tercapai dalam pemilihan umum (pemilu), pemerintah mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan kecil itu.
“Peraturan tersebut bertentangan dengan cita-cita PAI yang menghendaki hapusnya segala perbedaan di antara keturunan Arab dengan Indonesia Asli yang dipejuangkan sejak berdirinya PAI pada 1934,” kata Algadri. Algadri, bersama A.R. Baswedan, Ahmad Bahmid, dan Said Bahreisj yang menjadi anggota DPR Sementara, memperjuangkan penghapusan itu.
Ternyata, dalam Pemilu 1955, semua calon keturunan Arab dari partai politik terpilih menjadi anggota DPR. Mereka adalah Abdullah Gathmyr (NU), Husein Saleh Assegaff (NU), dan M.O. Bafadhal (Masyumi). Sementara dalam Pemilu Konstituante, badan yang bertugas menyusun UUD baru, terdapat A.R. Baswedan, Hamid Algadri, T.G.K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan Umar Hubeis.
Konstituante dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena berlarut-larutnya pembahasan menyangkut dasar negara. PSI dan Masyumi, yang kerap mengkritik Sukarno, dibekukan pada 1960. Di awal Orde Baru, tokoh-tokoh Masyumi mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bergerak di bidang dakwah.
A.R. Baswedan memimpin DDII cabang Yogyakarta serta membina Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (Bakopa) dan Ikatan Khotib. Sementara Hamid Algadri aktif di bidang sosial dalam Yayasan Dana Bantuan, lembaga yang memberikan bantuan pendidikan. Keduanya, bersama dua tokoh PAI lainnya, Salim Maskati dan Said Syekh Alwie Sjehab (Ali Gathmyr), diakui sebagai Perintis Kemerdekaan dan dianugerahi bintang penghargaan dari pemerintah.
Bagian dari Orde Baru
Generasi muda peranakan Arab menjadi bagian dari gerakan melahirkan Orde Baru. Mereka terlibat dalam organisasi dan kesatuan aksi mahasiswa. Misalnya, Maher Algadri, Mari’e Muhammad, Nono Anwar Makarim, dan Fadel Muhammad. Beberapa dari mereka kemudian jadi politisi di sejumlah partai politik di masa Orde Baru maupun reformasi. Bahkan ada yang jadi pejabat pemerintahan, termasuk menteri.
Hamid Algadri termasuk yang senang dengan perkembangan ini. “Hal yang sangat menggembirakan saya adalah diangkatnya tiga orang keturunan Arab dalam Kabinet Pembangunan V (1988–1993) menjadi menteri,” kata Hamid. Mereka adalah Fuad Hassan, Saleh Affif, dan Ali Alatas. Daftarnya kemudian bertambah, yang menunjukkan penerimaan peranakan Arab sebagai warga negara Indonesia, seperti yang dicita-citakan PAI.*