Setelah Peluit Kapal Berbunyi

Sebagai bentuk protes pengurangan gaji dan penahanan rekan mereka di Surabaya, awak kapal Indonesia memberontak di kapal De Zeven Provincien.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Setelah Peluit Kapal BerbunyiSetelah Peluit Kapal Berbunyi
cover caption
Ilustrasi pengeboman kapal De Zeven Provincien di koran Soerabaiasch Handelsblad, 13 Februari 1933.

KAPAL Hr. Ms. De Zeven Provincien bertolak dari pelabuhan Surabaya pada 2 Januari 1933 untuk keliling Sumatra selama tiga bulan. Dalam pelayaran latihan ini, awak kapal terdiri dari 141 Eropa (30 perwira dan 26 perwira menengah) dan 256 pribumi (tujuh perwira menengah dan 80 siswa KIS atau Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi).  

Sesaat sebelum berlayar, komandan kapal P. Eikenboom menyampaikan bahwa belum ada keputusan tentang pengurangan gaji. Dia berharap masalah itu tidak menjadi penghalang selama perjalanan. Untuk mengendurkan ketegangan, selama perjalanan akan diadakan pesta persaudaraan dan pertandingan sepakbola. Di Tanjung Priok diadakan pertandingan tolak peluru. Di Padang Panjang, Sumatra Barat, ada acara pesta persaudaraan marinir dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).  

“Kami diterima di gedung pertemuan KNIL dan mendapat sajian nasi kuning, minuman ringan, dan bir. Paginya, sambil berbaris bersama KNIL, kami melihat-lihat kota Padang,” kata P. Pelupessy, awak Indonesia, dalam Sedjarah Pembrontakan di Kapal Tudjuh (Zeven Provincien) karya M. Sapija.

KAPAL Hr. Ms. De Zeven Provincien bertolak dari pelabuhan Surabaya pada 2 Januari 1933 untuk keliling Sumatra selama tiga bulan. Dalam pelayaran latihan ini, awak kapal terdiri dari 141 Eropa (30 perwira dan 26 perwira menengah) dan 256 pribumi (tujuh perwira menengah dan 80 siswa KIS atau Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi).  

Sesaat sebelum berlayar, komandan kapal P. Eikenboom menyampaikan bahwa belum ada keputusan tentang pengurangan gaji. Dia berharap masalah itu tidak menjadi penghalang selama perjalanan. Untuk mengendurkan ketegangan, selama perjalanan akan diadakan pesta persaudaraan dan pertandingan sepakbola. Di Tanjung Priok diadakan pertandingan tolak peluru. Di Padang Panjang, Sumatra Barat, ada acara pesta persaudaraan marinir dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).  

“Kami diterima di gedung pertemuan KNIL dan mendapat sajian nasi kuning, minuman ringan, dan bir. Paginya, sambil berbaris bersama KNIL, kami melihat-lihat kota Padang,” kata P. Pelupessy, awak Indonesia, dalam Sedjarah Pembrontakan di Kapal Tudjuh (Zeven Provincien) karya M. Sapija.  

Awak Indonesia terus-menerus dibuat sibuk agar tidak sempat memikirkan hal-hal yang dapat membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Namun, kata Pelupessy, semua upaya pengaturan itu tidak memperbaiki suasana.  

Pada 20 Januari 1933, kapal De Zeven melanjutkan perjalanan menuju Sibolga. Di sini, mereka harus bermain sepakbola dengan KNIL, tetapi mereka menolak. Tujuh hari kemudian, De Zeven bertolak menuju Sabang. Hendrik, juru api, berhasil mendapat izin dari polisi untuk merayakan Lebaran pada 28 Januari 1933 di sebuah bioskop.  

“Juliant Hendrik yang berusia 23 tahun adalah orang pertama yang memimpin rapat di gedung bioskop di Sabang untuk menjelaskan situasi terakhir dan mengajak berontak,” kata Peter A. Rohi, sejarawan-cum-wartawan, kepada Historia.  

Menurut Pelupessy, jelaslah bahwa seorang Kristen menyelenggarakan pesta hari raya Islam untuk para awak kapal, tidak dianggap aneh. Hadir dalam pesta itu 170 awak Indonesia dan sekira 30 awak Belanda. Hendrik berpidato dengan berapi-api membela pentingnya kerjasama demi perbaikan nasib. Untuk melawan pengurangan gaji, kebanyakan awak Belanda tidak setuju dengan cara pemberontakan, tetapi menyetujui pembangkangan.  

P. Pelupessy, awak Indonesia di kapal De Zeven Provincien.

Pada 30 Januari 1933, berita pembangkangan dan penahanan anggota marinir di Surabaya disebarkan oleh awak Eropa, kopral-masinis Maud Boshart. Berita pembangkangan itu kemudian ditempel di papan pengumuman. Pada waktu makan malam, Martin Paradja, Hendrik, dan Gosal, menyampaikan kepada siswa KIS tentang terbukanya kemungkinan untuk memperbaiki keadaan dengan cara pembangkangan atau pemberontakan.  

“Terutama karena makanan buruk yang dihidangkan, suasana tidak menjadi lebih baik. Lalu dilakukan lagi protes terhadap kualitas makanan di kapal yang buruk,” kata Pelupessy.  

Pada 2 Februari 1933, De Zeven berangkat menuju Olehleh (sekarang Banda Aceh). Sesampainya di sana, Eikenboom menyampaikan kepada awak Indonesa bahwa ada pembangkangan di Surabaya. Dia berharap contoh buruk ini tidak diikuti oleh awaknya. “Ucapan komandan masuk kuping kiri keluar kuping kanan,” kata Pelupessy. Selanjutnya, Eikenboom menugaskan para perwira untuk mengadakan pesta dengan marinir. Uang untuk pesta sebesar 500 gulden diambil dari kas resimen KNIL. “Kami bahkan diperkenankan berdansa dengan wanita Eropa,” kata Pelupessy.  

Sementara itu, Paradja, Rumambi, Gosal, Kawilarang, Hendrik dan dua orang lagi berunding untuk melakukan pemberontakan dan mengambil alih komando. Mereka berhasil menyelenggarakan rapat di sebuah bioskop. Duapuluh orang Indonesia hadir dalam rapat itu, termasuk Pelupessy.  

“Hendrik memimpin teman-temannya di sebuah gedung bioskop dengan izin akan melakukan acara halalbihalal usai Idulfitri 29 Januari. Tapi dalam acara itu mereka membicarakan taktik perebutan kapal,” kata Peter. Dalam rapat kedua yang lebih rahasia ini dihadiri perwakilan suku-suku, seperti Madura, Bugis Makassar, Palembang, Padang, Ambon, Minahasa, Sunda Kecil, dan lain-lain. Rapat memutuskan bahwa tujuan gerakan adalah melayarkan kapal kembali ke Surabaya dan membebaskan para pembangkang sehingga dapat menunjukkan perjuangan kepada dunia.  

Boshart juga hadir dan menekankan bahwa kita punya kemampuan lebih dari sekadar tukang gosok lencana dan tanda kepangkatan. “Inilah saatnya kalian memperlihatkan bahwa kalian dapat mengemudikan kapal,” kata Boshart. Lalu dibuat pembagian tugas: Kawilarang akan mengemudikan kapal, Paradja mengurus persenjataan, Gosal bertanggungjawab atas keamanan di kapal, dan Boshart menjadi pemimpin di ruang mesin. Gerakan direncanakan pada 4 Februari 1933 malam, ketika komandan dan sebagian besar perwira dan perwira menengah menghadiri pesta di Atjehclub.

Kapal De Zeven Provincien. (KITLV).

Pemberontakan Dimulai

Pada 4 Februari 1933 pagi, awak Indonesia lagi-lagi menerima undangan dari KNIL untuk bertanding sepakbola. Undangan itu diterima agar tidak menimbulkan kecurigaan. Awak Indonesia kalah 4:2 dari KNIL. Sekira pukul delapan dan setengah sembilan pagi, komandan dengan perwira dan perwira menengah meninggalkan kapal. Siangnya, Paradja, Kawilarang dan Gosal meninggalkan kapal dan kembali menjelang malam. Dalam bus menuju pelabuhan, mereka dengan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka siap melakukan pemberontakan malam harinya.  

Pukul sepuluh malam, Kawilarang membunyikan peluit kapal, tanda pemberontakan dimulai. Sebagai kelasi-meriam, Paradja dengan mudah menguasai kunci rak senjata dan lemari tempat menyimpan amunisi. “Paradja membongkar gudang senjata membagi-bagikan senjata dan menyiapkan peluru meriam,” kata Peter.  

Di geladak, 38 awak Indonesia bersenjata siap menjalankan perintah dari Kawilarang. Rumambi, Gosal, Soewarso, dan Pelupessy melucuti senjata para perwira. Lampu-lampu dipadamkan kecuali di buritan kapal. Perwira dan perwira menengah Belanda berlari ke buritan. Dalam waktu kurang dari satu jam, pemberontak telah menguasai kapal dan semua perwira menyerah.  

Menurut J.C.H. Blom dalam “Pemberontakan di Kapal De Zeven Provincien,” termuat di De Zeven Provincien: Ketika Kelasi Indonesi Berontak (1933), perwira penanggung jawab kapal, W.F.J. Fels, melarikan diri ke darat; nantinya dia berdalih bermaksud memberi tahu komandan. Hanya seorang perwira muda A.N. de Vos van Steenwijk berhasil mencapai ruang radio dan memancarkan berita tentang pemberontakan. Sesudah itu, dia berkelahi dengan Boshart yang meyakinkannya agar lebih baik tak ada pertumpahan darah. Kemudian dia bergabung dengan para perwira lain di ruang kabin gelap.  

Harry Kawilarang, keponakan Josias Kolondam Kawilarang, mengatakan bahwa kapal De Zeven Provincien kemudian keluar pelabuhan Olehleh dan berlayar menuju Surabaya di bawah kemudi Kawilarang. Paradja menunjuk Kawilarang karena punya pengalaman di Eropa dan bertugas sebagai navigator. Rumambi di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar dan Gosal mengurus bagian kesehatan.  

“Kapal Zeven Provincien untuk pertama kali dikuasai dan dikendalikan oleh pribumi Indonesia,” kata Harry kepada Historia.  

Sekoci mengangkut para pemberontak kapal De Zeven Provincien. (KITLV).

Pada 5 Februari 1933, para pemberontak mengumumkan dalam bahasa Belanda dan Inggris: “Kapal dikuasai para awak dan berlayar menuju Surabaya. Sehari sebelum merapat komando akan diserahkan pada komandan. Kami memprotes pengurangan gaji yang tidak adil, dan menuntut pembebasan langsung rekan kami yang ditahan tiga hari yang lalu. Di kapal semua dalam keadaan baik, tidak ada kekerasan dan tidak ada yang terluka.”

Sesaat sebelum pemberontakan, Kopral Van Haastrecht, bekas ketua pengurus Serikat Marinir Anak Buah Kapal, yang mendengar desas-desus rencana pemberontakan, memutuskan untuk memberi tahu komandan. Gagal bertemu komandan, dia takut dibentak kalau lapor kepada perwira utama, C. Meijer. Haastrecht pun menyampaikan berita pemberontakan itu kepada seorang inspektur polisi. Polisi itu meneruskan beritanya dan sampai kepada komandan yang saat itu masih di rumah komandan militer setempat. Pukul sembilan malam, komandan tiba di Atjehclub dan membicarakannya dengan perwira utama.  

“Keduanya menganggap hal itu sama sekali tak patut dipercaya karena reputasi Van Haastrecht yang dikenal sebagai tukang mabuk,” tulis Blom.  

Bahkan, menurut Pelupessy, komandan malah tertawa dan berkata, “Akankah monyet-monyet itu membajak kapal? Mereka bahkan tidak tahu bedanya kanan dan kiri kapal.” Para perwira ikut tertawa dan menepis berita itu dengan berkata, “Haastrecht pasti mabuk lagi.”  

Namun, komandan mengirim seorang perwira muda, J.W. Reyniers untuk memastikan kebenaran berita itu. Dia tiba di kapal sekira pukul sepuluh malam, ketika pemberontakan dimulai. Dia segera kembali melaporkan pemberontakan itu kepada komandan.  

Komandan dan awak lain yang tertinggal segera mengejar dengan kapal uap milik pemerintah, De Aldebaran. Kapal uap ini lebih cepat daripada De Zeven, sehingga pada 5 Februari 1933, kedua kapal berhadap hadapan. Ketika De Aldebaran yang tak memiliki meriam mencoba mendekat, De Zeven mengancam akan menembaknya dengan meriam. De Aldebaran pun menjauh dan membuntuti De Zeven.  

Komandan dan beberapa perwira dan bawahannya berganti kapal ke De Eridanus lalu De Orion. Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.P. Osten berunding dengan stafnya, serta meminta petunjuk dari Gubernur Jenderal De Jonge. Keputusannya pemberontak akan diserang dengan rencana: diultimatum untuk menyerah, jika tak berhasil bom peringatan akan dijatuhkan di depan kapal, jika tetap tak digubris maka akan disusul dengan pengeboman. Serangan pertama akan dilakukan melalui udara dengan petimbangan De Zeven tidak memiliki penangkis serangan udara. Jika pengeboman juga tidak membawa hasil, maka akan dilakukan serbuan torpedo dari kapal selam. Bila diperlukan, kapal penjelajah dan kapal pemburu akan menyergap.

Para pemberontak ditahan di Pulau Onrust. (KITLV).

Akhir Pemberontakan

Pada 10 Februari 1933 pukul 08.53, Th. H.J. Coppers, yang memimpin penerbangan dengan pesawat Dornier D11, mendapati De Zeven di Selat Sunda. Dia mengultimatum: “Peringatan terakhir. Menyerah tanpa syarat atau akan digunakan kekerasan. Kibarkan bendera putih atau kain putih diatap dek, hentikan kapal. Saya beri waktu 10 menit.” Ultimatum ini diulangi tiga kali.  

Para pemberontak berkumpul di anjungan. Boshart dan beberapa orang yang menginginkan petualangan ini diakhiri tidak dihiraukan, kemudian meninggalkan anjungan. Para pemberontak menjawab ultimatum itu: “Kepada yang berwenang, sama sekali tak ada unsur komunistis, tak ada kekerasan, hanya protes terhadap pengurangan gaji dan penahanan anggota marinir yang memprotes. Jangan halangi kami. Semua baik-baik saja di kapal, tak ada yang terluka, tugas berjalan seperti biasa. Selanjutnya serah terima pimpinan pada komandan satu hari sebelum tiba di Surabaya.”  

Coppers mengabaikan jawaban itu dan tidak menjalankan rencana kedua, yaitu menjatuhkan bom di depan kapal. Dia menjatuhkan bom 50 kg dari ketinggian 1.200 meter mengenai De Zeven tidak jauh dari anjungan dan langsung meledak.  

Akibatnya, 19 orang tewas (tiga orang Eropa dan 16 orang Indonesia termasuk pemuka pemberontak seperti Paradja, Gosal, dan Rumambi), sebelas orang luka berat (tiga orang Eropa dan delapan orang Indonesia, empat orang kemudian tewas), dan tujuh luka ringan (dua orang Eropa, satu-satunya perwira yang terluka adalah Van Steenwijk, dan lima orang Indonesia).  

Para pemberontak ditangkap, dibawa ke kapal lain, dan ditahan di Pulau Onrust. Korban tewas dibawa dengan kapal lain; awak Indonesia dimakamkan di Pulau Kerkhof (Pulau Kelor, gugusan Kepulauan Seribu), awak Eropa di Pulau Purmerend (Pulau Sakit, kini Pulau Bidadari) di Teluk Jakarta. Para pemberontak dan “pengikutnya” kemudian dihadapkan ke meja hijau di Mahkamah Angkatan Laut Surabaya, kemudian hampir semua naik banding ke Pengadilan Tinggi Militer Hindia Belanda di Batavia. Proses pengadilan berlangsung dari Oktober 1933 sampai Juli 1934.  

Mereka dibagi lima kelompok. Kelompok pertama, 19 pemberontak Indonesia dalam pengadilan banding dijatuhi hukuman penjara antara 1,5 tahun sampai 18 tahun; hukuman terberat dijatuhkan kepada Kawilarang.  

Kelompok kedua, delapan orang pemberontak Eropa dalam pengadilan banding dihukum penjara antara tiga bulan sampai sepuluh tahun, hukuman terberat menimpa Boshart. Kelompok ketiga, 82 orang “pengikut” Indonesia oleh pengadilan banding dihukum penjara antara satu hari sampai 12 tahun. Kelompok keempat, 33 awak ruang mesin Indonesia dalam pengadilan banding dihukum penjara antara enam bulan sampai enam tahun. Kelompok kelima, 23 kelasi Eropa dalam pengadilan banding dijatuhi hukuman penjara antara tiga bulan sampai enam tahun, dan seorang divonis bebas. Hampir semua hukuman itu disertai pemecatan dari dinas. Total keseluruhan hukuman penjara itu berjumlah 715 tahun, 10 bulan dan 21 hari; jadi rata-rata empat tahun per orang.

Sebanyak 16 perwira diadili karena tindakan yang salah dalam pemberontakan, sembilan orang di antaranya diadili di pengadilan banding. Enam perwira dijatuhi hukuman penjara antara tiga sampai enam bulan ditambah pemecatan; sepuluh perwira sisanya hanya dihukum penjara, kebanyakan sangat singkat. Komandan dan perwira utama divonis oleh Pengadilan Tinggi Militer di Den Haag dengan hukuman penjara empat dan tiga bulan penjara disertai pemecatan.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66b9b78410e303328104ff38