Setelah Peluit Terakhir Berbunyi

Tawanan Indonesia berjuang mengatasi hawa panas, rasa dahaga, dan ancaman kematian. 46 dari 100 tawanan tewas dalam gerbong kereta api maut.

OLEH:
Hendi Jo
.
Setelah Peluit Terakhir BerbunyiSetelah Peluit Terakhir Berbunyi
cover caption
Stasiun Bondowoso tahun 1928. (Tropenmuseum).

NOVEMBER 1947. Isu itu bertiup kencang di penjara Bondowoso. Dari sipir-sipir yang diam-diam memilih sikap pro-Republik, para tawanan mendengar bahwa dalam waktu dekat mereka akan dipindahkan ke Surabaya. Konon, kepindahan itu terkait dengan daya tampung penjara yang dinilai sudah berlebihan. 

Kabar burung itu akhirnya menjadi kenyataan. Pada 22 November 1947, sekitar 100 tawanan berbaris di depan penjara lalu digiring ke stasiun Bondowoso. Mereka lantas dinaikkan ke tiga gerbong, masing-masing bernomor GR.4416, GR.5769, dan GR.10152. 

Rencananya para tawanan akan diberangkatkan ke Surabaya pada hari itu juga. Tetapi begitu peluit pemberangkatan akan ditiup, masalah muncul ketika massa yang sebagian besar terdiri dari keluarga tawanan memenuhi area stasiun. Akhirnya, secara diam-diam militer Belanda memutuskan pemberangkatan akan dilakukan pada besok pagi.

NOVEMBER 1947. Isu itu bertiup kencang di penjara Bondowoso. Dari sipir-sipir yang diam-diam memilih sikap pro-Republik, para tawanan mendengar bahwa dalam waktu dekat mereka akan dipindahkan ke Surabaya. Konon, kepindahan itu terkait dengan daya tampung penjara yang dinilai sudah berlebihan. 

Kabar burung itu akhirnya menjadi kenyataan. Pada 22 November 1947, sekitar 100 tawanan berbaris di depan penjara lalu digiring ke stasiun Bondowoso. Mereka lantas dinaikkan ke tiga gerbong, masing-masing bernomor GR.4416, GR.5769, dan GR.10152. 

Rencananya para tawanan akan diberangkatkan ke Surabaya pada hari itu juga. Tetapi begitu peluit pemberangkatan akan ditiup, masalah muncul ketika massa yang sebagian besar terdiri dari keluarga tawanan memenuhi area stasiun. Akhirnya, secara diam-diam militer Belanda memutuskan pemberangkatan akan dilakukan pada besok pagi. 

Neraka Dunia

Slamet Karsono masih ingat, pagi baru saja datang ketika secara tiba-tiba gerbong kereta barang yang ditumpanginya ditutup rapat. Suasana berubah menjadi gelap dan pengap. Terlebih di gerbong itu tak ada lubang sama sekali. Selama kereta api berjalan suasana terasa sangat menyiksa. Hawa panas mulai mendera. 

“Semakin siang, udara semakin panas dan menjadikan sebagian dari kami panik: menggedor-gedor badan kereta supaya gerbong dibuka,” ujar Slamet Karsono dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid IV. Alih-alih dituruti, para serdadu pengawal dari kesatuan Marinir Kerajaan (KM) tak menghiraukannya. 

Menjelang tengah hari, kereta api akan tiba di stasiun Jember. Di tengah suasana sangat panas, gelap, dan pengap, Karsono masih sempat menyaksikan sosok-sosok tubuh bertelanjang bulat saling berebut lubang udara sebesar ujung paku di dinding gerbong. Seorang gerilyawan tua asal Maesan bernama Asbun tak berdaya di tengah-tengah himpitan orang-orang kalap itu. 

“Ya Allah…Ya Allah… Ya Allah… Allahu Akbar, berilah aku kekuatan. Ya Allahhh, panasss… Airrr…,” rintihnya.

Karsono tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan menolong Asbun, dia sendiri tengah tersiksa oleh situasi gerbong yang seolah neraka di dunia. Tak kuat menahan rasa haus, dia meminta rekannya bernama Singgih untuk buang air kecil. Dengan air seni dari tubuh Singgih itulah, Karsono menuntaskan rasa dahaganya. “Rasanya pahit,” kenang Karsono.

Monumen Gerbong Maut di Bondowoso.

Penderitaan para tawanan agak berkurang saat kereta api mulai berangkat lagi dari stasiun Jember (setelah dua jam berhenti) dan hujan turun rintik-rintik. Suhu panas di dalam gerbong berangsur turun. Para tawanan yang masih mampu bergerak merayap bak binatang melata: coba menjilati titik-titik air hujan yang melekat di dinding gerbong. 

Di gerbong lain, Soetedjo merasakan kondisi yang sama. Kekurangan cairan dan energi yang banyak keluar karena berusaha membuat lubang udara dengan sepasang sendok dan garpu menjadikan mereka kehausan. Pernah dicoba menggedor-gedor bagian gerbong yang ditempati para pengawal untuk memohon air minum, namun jawaban menyakitkan justru mereka dapatkan: “Godverdomme! Hei anjing, di sini tidak ada air, yang ada peluru. Di Surabaya, nanti kamu bisa minum sepuas-puasnya!”

Menurut Djoko Sri Moeljono (79), putra Soetedjo, ayahnya berserta kawan-kawannya bisa bertahan berkat satu buah mangga yang kebetulan dibawa salah seorang tawanan. “Biji peloknya kemudian dijilati sepanjang perjalanan sekadar untuk membasahi tenggorokan seadanya,” ujarnya. 

Setelah 13 jam perjalanan, suasana neraka mulai berakhir menjelang pukul 20.00, saat kereta api tiba di tujuan: stasiun Wonokromo, Surabaya. Setelah peluit tanda berhenti berbunyi, para serdadu pengawal berloncatan lalu membuka pintu gerbong-gerbong dan menghardik para tawanan untuk cepat keluar satu persatu. 

“Ayo, cepat! Keluar!” teriak seorang serdadu seraya mengokang senjatanya. Namun tak ada suara sama sekali. Suasana hening. 

Para pengawal marah dan terus berteriak-teriak. Namun, setelah semua pintu gerbong dibuka lebar, terkejutlah mereka. Di hadapan mereka tampak tumpukan dan serakan manusia. Ada yang dalam posisi berpelukan, terlentang, atau tertelungkup. Sejumlah tawanan mati dengan mata terbelalak, sementara tawanan lain tewas dengan seluruh tubuh penuh goresan kuku.

Saya berpendapat bahwa pemerintah pada waktu itu telah melakukan tindakan yang benar-benar salah.

Sikap Tentara Belanda

Usai semua diturunkan, diketahui 46 dari 100 tawanan itu telah tewas. Dalam proses evakuasi, kondisi mereka tak memungkinkan untuk diangkut dan dipindahkan, mengingat kulit mereka sudah terlanjur menyatu dengan badan gerbong dan akan terkelupas bila dipaksakan. 

Sejatinya, seorang anggota militer Belanda bernama Giovanni Hakkenberg sudah memberi tahu kondisi tak manusiawi dari gerbong-gerbong itu kepada komandan lokal dari Dinas Keamanan Brigade Marinir (VDMB). Bahkan, pemberitahuan itu diulangi Giovanni ketika melihat indikasi laporannya tidak diindahkan. “Jangan lakukan itu,” ungkapnya seperti dikutip Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950

Namun, komandan itu juga tak bisa berbuat apa-apa, karena gerbong-gerbong itu sudah telanjur ada di stasiun Bondowoso. Sedangkan pengiriman tawanan ke Surabaya harus secepatnya dilaksanakan. 

Belakangan Joop Eikenboom, salah satu serdadu yang terlibat dalam pengawalan kereta api maut itu, menyatakan rasa penyesalannya. Seperti rekan-rekan lainnya, semula dia mengira para tawanan adalah penjahat, bukan buruh tani biasa atau tentara seperti dirinya. “Sementara ini, saya berpendapat bahwa pemerintah pada waktu itu telah melakukan tindakan yang benar-benar salah,” tulis Joop seperti dikutip Gert Oostindie. 

Sepuluh orang tertuduh dalam kasus “kereta api maut” diseret ke meja hijau pada Agustus 1948. Pengadilan militer Belanda di Surabaya menuntut hukuman 2–6 bulan. Sementara Kapten Antinan, yang memimpin pengangkutan tawanan, dibebaskan.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
648bdb44dd8a2f4a0628b2bf