Suatu siang nan terik, setelah perjalanan panjang, ia sampai di rumah seorang asisten X dari salah satu perusahaan perkebunan besar. Si pemilik rumah tidak ada. Jadi ia menunggu di beranda. Belum sempat duduk, ia mendengar rintihan seorang perempuan yang sepertinya berasal dari bawah rumah.
Rumah-rumah di Deli berdiri 1 atau 2 meter di atas tanah, disangga kasau batu atau tiang kayu. Ia mendekat ke arah sumber rintihan itu. Ketika turun, ia melihat seorang perempuan Jawa berusia lima belas atau enam belas tahun terikat pada sebuah tiang kayu. Seberkas sinar matahari menyinari tubuhnya yang telanjang bulat. Kejahatannya, gadis itu lebih memilih cinta tanpa pamrih dari salah satu sukunya daripada cinta uang perak Belanda (rijksdaalder) dari Tuan X.
Suatu siang nan terik, setelah perjalanan panjang, ia sampai di rumah seorang asisten X dari salah satu perusahaan perkebunan besar. Si pemilik rumah tidak ada. Jadi ia menunggu di beranda. Belum sempat duduk, ia mendengar rintihan seorang perempuan yang sepertinya berasal dari bawah rumah.
Rumah-rumah di Deli berdiri 1 atau 2 meter di atas tanah, disangga kasau batu atau tiang kayu. Ia mendekat ke arah sumber rintihan itu. Ketika turun, ia melihat seorang perempuan Jawa berusia lima belas atau enam belas tahun terikat pada sebuah tiang kayu. Seberkas sinar matahari menyinari tubuhnya yang telanjang bulat. Kejahatannya, gadis itu lebih memilih cinta tanpa pamrih dari salah satu sukunya daripada cinta uang perak Belanda (rijksdaalder) dari Tuan X.
Tak tahan dengan pemandangan itu, ia memilih pergi. “Saya mendengar gadis itu menghabiskan waktu dalam kondisi seperti itu dari pukul enam pagi hingga enam sore,” ujarnya.
Demikianlah Johannes van den Brand, anggota Dewan Kotapraja Medan, menuangkan penuturan seorang saksi mata dalam brosur berjudul De Millioenen uit Deli (1902). Brosur ini juga memaparkan tanpa basa-basi perlakuan tidak manusiawi lainnya terhadap kuli kontrak di perkebunan-perkebunan tembakau Deli. Dipukuli, ditendang, digantung, diseret dengan kuda, dicambuk rotan, hingga dijebloskan ke penjara.
Van den Brand, seorang Kristen yang taat, menyebut bahwa kuli dalam masyarakat Deli dalam praktiknya dianggap sebagai budak, yang dilegalkan melalui peraturan kuli. Di balik kemakmuran Deli, ada kemaksiatan, korupsi, dan ketidakadilan.
“Deli adalah makam yang diplester,” tulis Van den Brand.
Brosur Van den Brand mengenai kekejaman pengusaha perkebunan di Sumatra Timur menimbulkan kegemparan. Banyak orang merinding sekali lagi, setengah abad setelah terbit novel Max Havelaar karya Multatuli.
Kuli sedang memotong tembakau di Bekiun, Sumatra Utara, di bawah pengawasan mandor antara tahun 1855 dan 1895. (Tropenmuseum).
Kuli Kontrak
Setelah penghapusan perbudakan pada 1860 dan Sistem Tanam Paksa sepuluh tahun kemudian, Hindia Belanda seolah akan berjalan ke arah yang lebih baik. Kaum liberal yang jadi mayoritas di parlemen Belanda memulai era baru kolonialisme.
Pada 1870, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik liberal atau disebut dengan “politik pintu terbuka”. Hal ini ditandai dengan keluarnya Undang-undang Agraria atau Agrarische Wet 1870, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta untuk menanamkan modal di Hindia Belanda. Kebijakan ini mendorong tumbuhnya perusahaan perkebunan swasta besar.
Di Sumatra Timur, perkebunan tembakau tumbuh pesat. Menurut Yasmis dalam “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880–1915”, tesis di Universitas Indonesia tahun 2007, pada 1873 sudah terdapat 13 perkebunan tembakau di Deli, 1 perkebunan di Serdang, dan 1 perkebunan di Langkat. Jumlah ini terus bertambah karena dalam waktu 11 tahun saja, yaitu tahun 1884, sudah terdapat 76 perkebunan tembakau. Di Deli ada 44 perkebunan, 9 perkebunan di Serdang, 20 perkebunan di Langkat, dan 3 perkebunan di Padang Bedagai.
Jumlah perkebunan yang terus meningkat membutuhkan tenaga kerja yang banyak pula. Maka, kuli–kuli didatangkan ke Deli dengan cara yang bermacam-macam, resmi maupun tidak resmi, oleh makelar maupun biro penyalur tenaga kerja.
Mulanya hubungan antara pengusaha dan buruh diatur dalam Staatsblad 1838 No. 50. Dengan peraturan ini pengusaha mengadakan perjanjian kerja dengan kepala desa untuk mengerahkan penduduk agar bekerja di perkebunan. Aturan ini berjalan penuh ketimpangan. Buruh bekerja tanpa upah dan kerap mendapat perlakuan buruk sehingga banyak yang melarikan diri. Para pengusaha kembali menghadapi kekurangan tenaga kerja.
Untuk menyiasatinya, pada 1872 pemerintah menambahkan ketentuan dalam Algemene Politie Strafreglement (Staatsblad 1872 No. 111). Dalam ketentuan ini buruh pribumi yang meninggalkan atau menolak melaksanakan pekerjaannya bisa dikenai pidana denda antara 16 sampai 25 rupiah atau kerja rodi selama 7 sampai 12 hari.
Ancaman pidana tersebut, yang disebut poenale sanctie, mendapat kecaman pedas sehingga dicabut tahun 1879. Kemudian dengan Staatsblad 1879 No. 256, pasal 1601 lama hingga pasal 1603 lama Kitab Hukum Undang-undang Perdata diberlakukan untuk golongan pribumi. Buruh yang meninggalkan pekerjaannya hanya dikenakan sanksi perdata, yaitu berupa ganti kerugian dengan cara mengajukan gugatan perdata.
Menurut Yasmis, cara pengadilan seperti itu dirasakan oleh pengusaha perkebunan di Sumatra Timur sangat sulit karena memakan waktu lama dan prosesnya berbelit-belit. Maka, pada 1873, mereka mengajukan permohonan kepada pemerintahan Belanda agar diberikan hak untuk mengadili kuli-kulinya dengan caranya sendiri.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Namanya sih kuli kontrak atau apapun, tapi kita melihat esensinya, praktiknya, menyerupai perbudakan.</div>
Pergulatan pengusaha perkebunan berbuah hasil. Demi kelangsungan industri perkebunan, pada 13 Juli 1880 pemerintah menerbitkan Staatsblad 1880 No. 133 yang dikenal dengan Ordonansi Kuli. Dengan Ordonansi Kuli, para pengusaha perkebunan mendatangkan buruh dari luar Sumatra Timur dan mengikat mereka dengan kontrak, sehingga mereka disebut kuli kontrak.
“Namanya sih kuli kontrak atau apapun, tapi kita melihat esensinya, praktiknya, menyerupai perbudakan,” kata Abdul Wahid, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada.
Selain mengatur hak dan kewajiban kuli maupun pengusaha, Ordonansi Kuli memberikan kewenangan kepada para pengusaha perkebunan untuk menjatuhkan hukuman kepada para kuli yang mogok, melarikan diri, atau malas. Hukumannya bisa berupa kurungan sampai hukuman badan dengan cambukan. Hukuman ini disebut poenale sanctie.
Bondan Kanumoyoso, dosen sejarah Universitas Indonesia, menyebut kuli kontrak layak disebut perbudakan karena di Indonesia budak bukan istilah yang generik.
“Dalam konteks kuli kontrak, mereka adalah orang yang dibayar sehingga tidak bisa melepaskan diri dari kontrak mereka dan poenale sanctie akan menjerat mereka jika kabur dari kontrak mereka. Mereka akan dicambuk seperti budak yang melawan majikannya,” kata Bondan.
Menurut Jan Bremen dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad Ke-20, Ordonansi Kuli disusun khusus untuk Sumatra Timur. Tapi kemudian secara bertahap diberlakukan di daerah lain. Alasannya, kemajuan pertambangan dan perkebunan besar bergantung pada ketersediaan tenaga kerja dalam jumlah cukup. Peonale sanctie pun diterapkan dengan gencar pada 1896.
Di Jawa, pemerintah pun menggunakan pasal-pasal hukuman istimewa untuk mengontrol tenaga kerja antara lain dalam proyek pengairan di lembah Bengawan Solo dan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok. Hal itu dilakukan dengan dalih untuk kepentingan umum.
“Dengan Ordonansi Kuli juga dilakukan pemasangan rel kereta api dan penambangan batu bara di tambang-tambang di Sumatra Barat,” tulis Bremen.
Ordonansi Kuli pada mulanya dimaksudkan untuk mengikat para pekerja agar menaati kontrak kerja. Namun dalam praktiknya aturan ini memberi kekuasaan kepada pengusaha untuk bertindak sewenang-wenang.
Kuli Jawa kembali ke Jawa setelah bekerja di perkebunan di Sumatra tahun 1871. (Tropenmuseum).
Orang Rantai
Di Sawahlunto, sebuah kota penting di Sumatra Barat, perusahaan pertambangan mulai beroperasi pada 1892 menyusul penemuan batubara di Ombilin. Perusahaan milik pemerintah ini, yang kemudian dikenal dengan De Ombilin Steenkolenmijnen, membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun, mereka tak bisa berharap pada orang-orang lokal, yang percaya pekerjaan di bawah tanah bukan untuk manusia. Hanya segelintir penduduk asli Minangkabau mau bekerja di perusahaan tambang. Itu pun sebagai buruh bebas, yang bekerja tanpa kontrak kerja.
“Orang-orang lokal tidak bisa diharapkan, apalagi untuk bekerja di tambang bawah tanah. Mereka juga punya pilihan ekonomi. Mereka punya sawah, punya kebun. Jadi mereka tidak mau bekerja sebagai buruh di bawah tanah,” kata Erwiza Erman, sejarawan BRIN yang mendalami sejarah pertambangan di Indonesia.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengerahkan orang-orang hukuman, baik tawanan politik maupun kriminal, untuk menjadi buruh paksa di tambang Ombilin. Mereka diambil dari penjara-penjara di berbagai wilayah di Sumatra Barat, bahkan didatangkan dari penjara di Jawa. Tangan, kaki, dan leher diikat rantai sehingga sulit bagi mereka untuk kabur. Orang Belanda menyebut mereka kettingganger dan orang Minang menyebutnya urang rantai.
Menurut Anatona Gulo, sejarawan Universitas Andalas yang meneliti perbudakan di Sumatra, peran orang rantai cukup besar dalam perekonomian kolonial. Mereka membuka hutan, membangun fasilitas pertambangan, dan bekerja sebagai buruh paksa di Sawahlunto.
“Belanda memaksimalkan tenaga para residivis ini,” ujar Anatona Gulo. “Mereka bukan budak, tapi cara bekerjanya rada-rada mirip budak.”
Urang rantai atau buruh paksa mendominasi jumlah tenaga kerja di pertambangan Ombilin. Kendati ada anjuran agar buruh paksa diganti dengan buruh kontrak, pemerintah tetap bergeming dengan alasan keuangan. Tak heran jika perusahaan lebih suka mempekerjakan buruh paksa hingga 1920-an.
Namun, kebutuhan tenaga kerja yang meningkat mendorong pemerintah untuk mendatangkan buruh dari luar Minangkau, termasuk orang-orang Tiongkok dan terutama orang Jawa. Mereka bekerja berdasarkan peraturan perburuhan yang tercantum dalam Ordonansi Kuli.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Tangan, kaki, dan leher diikat rantai sehingga sulit bagi mereka untuk kabur. Orang Belanda menyebut mereka kettingganger dan orang Minang menyebutnya urang rantai.</div>
Buruh bekerja dalam pengawasan seorang mandor dan mandor bertanggung jawab kepada kepala pengawas. Untuk menjaga ketertiban ditugaskan polisi tambang. Namun pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan untuk memperketat pengawasan dengan melengkapi polisi tambang dengan polisi bersenjata.
Buruh paksa lebih menderita dibandingkan buruh kontrak. Mereka tidak menerima upah. Mereka mendapat tekanan dan perlakuan yang buruk dari perusahaan tambang. Perlakuan tidak manusiawi ini mendorong mereka untuk melarikan diri atau memberontak, dengan risiko mendapat hukuman paling berat berupa dicambuk rotan.
Di Sawahlunto, hukuman kerap dijatuhkan bukan hanya terhadap buruh paksa tapi juga buruh kontrak. Dicatat De Locomotief, 9 November 1925, pada 1923 saja terdapat 2.740 hukuman atas pelanggaran Ordonansi Kuli dari 2.708 buruh kontrak di tambang Ombilin. Setahun kemudian hukuman naik menjadi 2.779 dari 5.070 buruh kontrak, yakni 54 persen dari total keseluruhan. Bandingkan dengan angka di tambang lain di Sumatra, yang persentasenya bervariasi antara 1 sampai 8 persen.
Salah satu hukuman berat yang diterapkan adalah cambuk rotan. Jumlah hukumannya pun terbilang tinggi.
Pada 1920 hukuman rotan dilakukan sebanyak 5.684 kali di seluruh Hindia Belanda. Dari jumlah tersebut, 978 di Sawahlunto. Pada 1921, 2.070 dari 5.666 hukuman rotan di Hindia Belanda dilakukan di Sawahlunto. Pada 1922 jumlah hukuman rotan di Hindia Belanda meningkat jadi 8.148 dan di Sawahlunto menjadi 5.063. Pada 1923, hukuman rotan diterapkan di Hindia Belanda sebanyak 8.815 kali, di mana 5.693 kali di Sawahlunto. Artinya, lebih dari enam puluh persen hukuman rotan yang diterapkan di Hindia Belanda dilakukan di Sawahlunto.
“Ini adalah angka yang keras. Peningkatan kuat hukuman rotan di seluruh Hindia Belanda, dan peningkatan di Sawahlunto hingga ratusan persen dalam beberapa tahun!” catat De Locomotief.
Atas dasar angka-angka itu, dalam surat kepada pemerintah, kepala Kantor Tenaga Kerja menulis: “Seringnya penerapan hukuman rotan, menurut pendapat saya, merupakan noda hitam yang menimpa bisnis negara ini…”
Ordonansi Kuli jadi biang keladi kekejaman yang terjadi di perusahaan perkebunan dan pertambangan. Reaksi pun bermunculan.
Tambang batubara di Sawahlunto, Sumatra Barat. (KITLV).
Menghapus Ordonansi
Menjelang abad ke-19, pers secara teratur memberitaan segala keburukan yang terjadi di perkebunan dan pertambangan di seluruh Hindia Belanda. Misalnya, seorang koresponden dari Medan untuk harian Java Bode, dalam sejumlah artikelnya yang selalu anonim, menyebut diri sebagai penentang sengit Ordonansi Kuli.
Jan Breman menyebut saat jadi pembicara dalam rapat terbuka di Hotel Oranje, Medan, pada 29 Maret 1902, koresponden itu menyerang Ordonansi Kuli dan menyatakannya sebagai perbudakan modern.
Kendati pers telah lebih dulu menggugat Ordonansi Kuli, para pengusaha perkebunan baru bereaksi setelah Johannes van den Brand membeberkan penderitaan para kuli melalui brosur De Millioenen uit Deli.
“Van den Brand mempertaruhkan praktik pengacaranya dengan mengecam Ordonansi Kuli dengan poenalesanctie-nya,” tulis Bremen.
Publikasi itu mendatangkan kemarahan pemerintah dan pengusaha swasta. Menurut Emil W. Aulia yang mengolah-terjemahkan karya Van den Brand berjudul Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract, Van den Brand dikucilkan dalam pergaulan Eropa di Medan. Ia dituduh pengacara yang tak laku karena itu ia mencari berita sensasi murahan.
“Ahli hukum pencari keadilan ini mendapat dampratan hebat dari rekan-rekan senegaranya,” tulis Emil dalam “Brosur Van den Brand”, Jurnal Sejarah, No. 13 tahun 2007. Van den Brand disebut “tidak cinta tanah air, tidak tahu berterima kasih, mengotori Deli, tempatnya mencari makan dengan kotorannya sendiri”.
Serangan para tuan kebun tak membuat Van den Brand mundur. Ia mengeluarkan tulisan kedua berjudul Nog eens: De Millioenen uit Deli (1903). Dalam tulisan ini, ia mengemukakan segala fitnah dan hambatan yang ia alami di Medan setelah menerbitkan tulisan pertama. Dalam tulisan ini ia mengulangi tuduhannya ditambah dengan beberapa fakta baru.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Apa yang diungkapkan Rhemrev dalam banyak hal bahkan lebih buruk dari yang sebelumnya pernah diketahui atau diduga oleh siapa pun.</div>
Publikasi Van den Brand membangkitkan animo diskusi di Majelis Rendah. Alhasil, akhir 1902, Menteri Daerah Jajahan Belanda mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Rooseboom untuk menyelidiki kebenaran informasi yang ditulis Van den Brand dan mengambil tindakan yang diperlukan. Dengan surat keputusan pemerintah tanggal 24 Mei 1903, Jaksa Tinggi J.L.T. Rhemrev ditugaskan melakukan penyelidikan administratif atas apa yang disebut dalam brosur Van den Brand.
Rhemrev menuntaskan penyelidikan menjelang akhir tahun. Pada awal 1904, laporannya sampai ke tangan Rooseboom yang diteruskan ke Menteri Daerah Jajahan. Ternyata Van den Brand tidak melebih-lebihkan gambaran tentang keadaan mengerikan di perkebunan-perkebunan Deli.
“Apa yang diungkapkan Rhemrev dalam banyak hal bahkan lebih buruk dari yang sebelumnya pernah diketahui atau diduga oleh siapa pun,” tulis Jan Bremen.
Laporan Rhemrev juga berisi rekomendasi untuk menangani masalah yang terjadi di perkebunan, antara lain penunjukan pejabat khusus yang mengawasi pelaksanaan Ordonansi Kuli, perbaikan upah kuli perempuan, hingga peningkatan kekuatan kepolisian.
Pada 13 Juni 1908, secara definitif, gubernur jenderal Hindia Belanda membentuk Inspektorat Tenaga Kerja (Arbeidsinspectie) di bawah Departemen Kehakiman sesuai keputusan Kerajaan Belanda. Tugasnya mengawasi relasi pengusaha dan buruh dalam Ordonansi Kuli serta mengawasi perekrutan buruh kontrak.
Ordonansi Kuli justru mendapat tantangan dari keadaan. Perang Dunia I menimbulkan dampak serius bagi perusahaan perkebunan di Sumatra Timur. Demi penghematan, sejumlah perusahaan mengambil tindakan pemutusan hubungan kerja. Namun mereka terbentur Ordonansi Kuli, yang tak memungkinkan pemutusan hubungan kerja sebelum kontrak berakhir. Salah satu cara mengatasinya adalah mencabut peraturan itu.
Menurut Yasmis, atas kesepakatan bersama, para pengusaha perkebunan menghadap residen Pantai Timur Sumatra untuk meminta kepada pemerintah di Batavia agar mencabut Ordonansi Kuli. Atas nasihat Dewan Hindia Belanda dan usul dari direktur pemerintahan, akhirnya Ordonansi Kuli dicabut pada 1915. Namun, mengingat Sumatra Timur merupakan salah satu pemasok devisa bagi pemerintahan kolonial, pengusaha dan pemerintah sepakat bahwa poenale sanctie tetap diberlakukan.
Hukuman cambuk pada masa kolonial Belanda tahun 1900-an. (javapost.nl).
Menyoal Sanksi
Suara-suara penolakan terhadap poenale sanctie muncul, termasuk dari tokoh-tokoh bumiputra. Abu Hanifah, dokter yang bekerja di beberapa perkebunan di Sumatra Utara dan Indragiri, dalam Renungan Perjuangan Bangsa Dulu dan Sekarang menyebut Sarekat Islam sibuk melancarkan kritik pedas terhadap keadaan kuli-kuli.
Pada 1916, Ketua Sarekat Islam Medan Mohammad Samin mengemukakan soal ini dalam Sarekat Islam yang mendapat sambutan ramai. Ia merumuskan sejumlah tuntutan. Dari penghapusan poenale sanctie, gaji kuli minimum 60 sen sehari, jam kerja delapan jam, hak kuli mengakhiri kontrak kerja, cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja, hingga sekolah untuk anak-anak kuli.
“Kalau kita perhatikan konsep Mohammad Samin, yang kemudian diambil alih oleh Sarekat Islam, harus kita akui, bahwa konsep ini sangat modern,” kata Abu Hanifah.
Sarekat Islam menerima konsep Mohammad Samin dalam kongres di Surabaya tahun 1918. Mohammad Samin juga meneruskan tuntutannya kepada Parlemen Belanda pada 17 Oktober 1917. Ia mendesak supaya poenale sanctie dihapuskan. Setelah Sarekat Islam bergerak, organisasi-organisasi pergerakan nasional lainnya mengikuti.
Akibat tuntutannya, Mohammad Samin dipersulit oleh penguasa kolonial. Bahkan ia harus pindah ke Pontianak, Kalimantan Barat.
“Tetapi poenale sanctie telah mulai dapat perhatian juga oleh golongan Belanda di Indonesia dan di negeri Belanda,” kata Abu Hanifah.
Van den Brand juga terus bersuara. Ia berusaha melalui jalur politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda. Usahanya gagal karena tak mendapat dukungan dari teman-temannya yang menganggapnya terlalu radikal. Ia tidak menyerah.
Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya menyebut, hingga tahun 1921 Van den Brand masih memperjuangkan penghapusan poenale sanctie. Tak lama setelah menjadi ketua dan redaktur De Planter, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang diangkat oleh gubernur jenderal pada 17 Mei 1921. Sebelumnya, ia dicalonkan dari Sumatra Timur tapi tidak didukung oleh pemegang suara orang Belanda. Ia hanya tujuh bulan menjadi anggota Volksraad karena meninggal dunia di Bogor pada 5 Desember 1921.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Kalau kita perhatikan konsep Mohammad Samin, yang kemudian diambil alih oleh Sarekat Islam, harus kita akui, bahwa konsep ini sangat modern.</div>
Jan Bremen mencatat, beberapa hari sebelum meninggal, Van den Brand dalam pidatonya di Volksraad mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan yang berarti sejak ia mengeluarkan brosurnya pada 1902.
“Keadaan di Sumatra Timur sangat mengerikan, dan tidak akan sukar kiranya untuk sekali lagi menyusun brosur De millioenen uit Deli. Temuan-temuan baru terus mengungkapkan berbagai skandal lama yang takkan pernah lenyap sama sekali, selama Ordonansi Kuli masih berlaku,” kata Van den Brand.
Poenale sanctie menjadi topik tetap dalam agenda kerja Volksraad. Salah satu anggota Volksraad yang getol menyuarakan penghapusan adalah Muhammad Husni Thamrin, seorang tokoh Betawi terkemuka. Ketika Albert Thomas, pejabat Volkenbond atau Liga Bangsa-Bangsa (kini, Perserikatan Bangsa-Bangsa), berkunjung ke Hindia Belanda, Thamrin mempergunakan kesempatan itu untuk memberikan memorandum. Partai Nasional Indonesia (PNI) membuat pertemuan dengan Albert Thomas dan juga memberikan memorandum.
Memorandum itu menjadi bahan Albert Thomas untuk menentukan sikapnya dalam pertemuan dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda. Albert Thomas menyatakan bahwa poenale sanctie tak layak lagi diterapkan di abad ini.
Tekanan dunia internasional yang kuat membuat Volksraad mengirim Thamrin dan Kusumo Utojo untuk menyelidiki penerapan poenale sanctie di Sumatera Timur. Temuan-temuan tentang kekejaman tuan-tuan kebun disampaikannya dalam sidang Volksraad pada 1930.
Penghapusan poenale sanctie juga menjadi agenda utama partai-partai politik yang tergabung dalam Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Di bawah pimpinan Thamrin, PPPKI Jakarta mengadakan rapat umum untuk membicarakan penghapusan poenale sanctie. Dicatat Swara Publiek, 6 September 1929, atas permintaan Central PPPKI, berbarengan acara di Jakarta, diadakan pula rapat umum untuk membahas poenale sanctie di Bandung, Yogyakarta, Solo, dan mungkin Semarang dan Surabaya.
Kendati desakan datang dari dalam dan luar negeri, pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan janji-janii mengenai penghapusan poenale sanctie.
“Rupanya masih terlalu banyak kaum imperialis dan kapitalis di dunia,” kata Abu Hanifah. “Sampai Perang Dunia ke-II mulai, tidak pernah secara resmi poenale sanctie itu dicabut.”
Poenale sanctie yang melanggengkan bisnis perkebunan akhirnya dicabut dengan Staatsblad 1941 No. 514 yang berlaku mulai 1 Januari 1942.*